Sabtu, 22 Februari 2014

Moralitas dan Integritas Pimpinan



Membangun Moralitas dan Integritas Kader Pimpinan di Era Multi Peradaban

Era globalisasi sebagai sebuah ruang sejarah, telah memberikan kebebasan kepada siapa saja untuk melakukan sesuatu atau menampilkan budaya masing-masing sesuai dengan kebiasaan mereka masing-masing pula. negara-negara asing akan masuk ke wilayah Indonesia untuk memasarkan berbagai produk yang tentunya akan membawa pengaruh besar bagi perubahan sosial masyarakat dan kesemuanya akan banyak bertentangan dengan konsep dasar normatifitas agama atau mungkin dapat mengaburkan nilai-nilai agama dan etos sosial penganutnya.

Dari sisi lain kita dapat melihat bahwa mahasiswa sebagai komunitas intelektual mempunyai peran dan tanggung jawab yang besar sebagai subyek sejarah -jika meminjam istilah agent of historical change- dalam mewarnai perubahan sosial yang cenderung pada orientasi degredasi moral dan dishumanitas. Berbagai ideologi telah memasuki masyarakat dan kesemuanya itu telah memberikan spirit untuk melakukan perubahan-perubahan di tengah masyarakat, termasuk masyarakat mahasiswa sebagai komunitas intelektual. Beraneka ragam ideologi-ideologi Barat termasuk ideologi kapitalis-sosialis dan berbagai ideologi lainnya telah banyak mewarnai berbagai perubahan tanpa terikat dengan konstitusi Sang Pencipta alam. Sehingga dapat diprediksi bahwa masyarakat kita ke depan akan seperti drakula yang menghisap darah-darah manusia lainnya demi memenuhi kebutuhannya, atau seperti srigala di tengah hutan yang menerkam mangsanya dalam altar hukum rimba.
Di dalam masyarakat yang relatif stabil, mahasiswa mengkonsentrasikan perhatiannya kepada studi dan persiapan masa depan, sehingga peran perubahan sosial yang dimainkannya menjadi bagian inheren dari perubahan dirinya sendiri. Sedangkan dalam masyarakat yang mengalami krisis, mahasiswa berperan penuh sebagai lokomotif perubahan secara terorganisir yang berbasis pada sebuah kesadaran kolektif yang lebih mondial, dengan mengambil fokus sasaran pada perubahan struktural.
Bila kita melihat dengan jujur kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat dewasa ini, kita segera melihat bahwa kita sedang menghadapi krisis nasional yang bersifat multidimensional. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa dewasa ini kita menghadapi krisis sosial, krisis akhlak/moral, krisis politik, krisis disiplin nasional, krisis moneter/ekonomi, dan bahkan krisis kemanusiaan.
Harus diakui, ketimpangan sosial di berbagai sisi-sisi kehidupan masyarakat lebih banyak disebabkan oleh kebobrokan  sistem yang berakibat kepada rusaknya akhlak/moral sebagai pemimpin dan masyarakat yang cenderung morat-marit yang pada akhirnya menimbulkan fenomena kemunafikan dan berujung pada krisis kepercayaan masyarakat terhadap elit birokrasi.
Merujuk kepada berbagai fenomena tersebut, maka mahasiswa sebagai salah satu kader di tengah eksistensinya dituntut untuk menjadi garda depan dalam membangun moralitas yang nyaris hilang akhir-akhir ini. Sehingga tampak diperlukan adanya rekonstruksi dan redefinisi arah gerakan terhadap peran kesejarahan mahasiswa dalam kultur pendidikan sekaligus dalam bingkai realitas sosial-politik untuk lebih melihat konsentrasi arah gerakan kader.
Perlu disadari bahwa integritas kader pimpinan tidak lebih akan mengacu kembali kepada visi dan misi nahasiswa sebagai insan intelek yang peduli terhadap persoalan umat. Selayaknya, visi dan misi ideal tersebut berpijak pada keyakinan ideologis normatif; berbasis keagamaan, moralitas filsafat humanis, kritik tradisi dan kemapanan, atau yang lain. Wacana komprehensif keagamaan sebagai ideologi gerakan mahasiswa ke depan diformulasi secara lebih sistematis demi mengantarkan pada telaah realitas sekaligus sebagai pisau analisis menyusun strategi pengabdian masyarakat sebagai refleksi ibadah sosial di era multi peradaban ini.  Melalui ini, kepeloporan mahasiswa diharapkan mampu merealisasikan manifesto keadilan-kesejahteraan dalam ranah bangsa dan negara.
Pada akhirnya disepakati bahwa sebagai mahasiswa Islam sekaligus sebagai kader pimpinan, hendaknya mampu menampilkan identitas kader yang selalu menginvestsikan progresivitas dengan semangat idealisme yang tetap terikat pada konstitusi ilahiah. Sehingga dari postulat ini pula, kader pimpinan di tengah benturan paradaban dan perubahan sosial diharapkan mampu menampilkan keteladanan, mengedepankan moralitas/akhlak untuk mewarnai setiap perubahan, baik dari segi pemikiran, maupun dari aspek perilaku.


















Makassar, 8 Desember 2003,

بسم الله ألسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

 

Yang terhormat,
              Ukhty Fatma

Semoga Allah meridhai kita.
Entah, alasan apa yang tepat untuk melegitimasi terkirimnya surat ini untukmu, yang jelasnya, kamu adalah salah seorang yang tahu tentang masalah saya (meskipun mungkin ada yang lebih tahu dari kamu).

Sampai detik surat ini tertulis, saya belum tahu harus bersikap bagaimana terhadap masalah itu, dan saya pun tak tahu harus memberi jawaban yang bagaimana dan dengan cara dan bahasa apa yang tepat untuk (dia).
Kejadian kemarin tatkala buka puasa bersama di rumahmu mungkin sudah menjadi indikator dari ketidakdewasaan saya dalam bersikap. Meskipun niat awal saya baik, namun caranya ternyata salah. Apa yang ada di kepala kita, hati kita, tidak semua sama, termasuk persepsi kita tentang nilai. Jika saya menilai apa yang telah saya lakukan kemarin itu benar, maka bagi kamu ternyata tidak. Kalau kamu saja sudah merasa jengkel dengan pernyataan saya saat itu, bagaimana dengan (dia) ?, tapi ternyata (dia) adalah sosok yang tegar. Saya sadari  telah sering melukai perasaannya.
Bagi saya, masalah ini bisa saja tidak jadi masalah jika saya bersikap tidak peduli (dan tidak menganggapnya sebagai masalah yang butuh penyelesaian), namun ternyata, ini tetap jadi masalah juga. Sebab, jujur saja, hal ini terasa cukup mengganggu saya, mengganggu belajar saya, shalat saya, dan sampai-sampai tanpa saya sadari telah melibatkannya dalam do’a saya. (terserah, apakah kamu mau menilainya sebagai kesombongan atau tidak).
Ukhty…, terkadang, indahnya persahabatan, indahnya kebersamaan, begitu pula dengan keindahan berorganisasi harus tercorengi oleh hadirnya perasaan-perasaan sentimentil dari bias relasi laki-laki dan perempuan. Terlebih lagi jika hadirnya rasa  itu terlalu didramatisir oleh subyek dan obyek pelakunya. Hadirnya perasaan itu tentunya tidak dapat dan tidak boleh dipersalahkan oleh siapapun. Kita adalah makhluk-makhluk normal yang memiliki potensi ke arah itu, dan Allah pun telah melegitimasi dalam ayat-Nya tentang  eksistensi potensi kemanusiaan itu. Tapi, bukankah Allah juga menegaskan bahwa hal itu adalah menjadi ujian buat kita ? Bersyukurlah kita yang dirahmati Allah dengan ujian-Nya, karena itu adalah bukti bahwa Allah masih peduli pada kita.
Hanya saja, tidak semua di antara kita yang mampu menyikapinya dengan lebih bijak, me-menej-nya dengan lebih bagus, dan bahkan terkadang kita begitu picik mengambil tindakan dan kesimpulan yang terlalu prematur, serta menilainya sebagai hasil yang telah final.
Ukhty…, saya tidak hendak menggurui kamu dengan bahasa-bahasa basis dan ideal. Namun, satu hal yang jelas, saya juga bukanlah orang yang fanatik ataupun ekstrem dalam beragama. Apalagi untuk menjalankan syari’at dan sunnah dengan kaffah. Shalat lail, puasa sunnat, semua itu adalah hal yang jarang saya lakukan (selain di bulan puasa dan ketika  tugas instruktur DAD). Bahkan, jika saya mau menuruti semua nafsu saya yang terlalu mudah jatuh cinta, maka saya pun sudah lama mencintaimu, atau siapa saja yang menjadi pilihan saya bahwa ia pantas dan layak untuk sama-sama membangun kebahagiaan yang saya cita-citakan. Tapi, sampai hari ini, saya masih bisa memendam, menyimpan dan menyembunyikan semua itu, me-menej-nya dalam hati  saya, agar tidak mengotori niat baik dalam berorganisasi. Mengapa hal seperti itu tidak kita biarkan saja berjalan alami ? meskipun memang, jodoh juga merupakan sesuatu yang perlu diperjuangkan, tapi, adalah salah kaprah jika memprioritaskan organisasi sebagai biro jodoh.  Mungkin, seharusnya saya bangga dan berterimakasih karena masih ada yang menyukai, namun setelah saya mengaca diri, saya sendiri sadar, belum ada yang dapat saya banggakan untuk bisa mencintai dan dicintai. Entahlah, apa yang (dia) nilai pada pribadi saya sehingga bisa tertipu dengan retorika saya, atau mungkin (dia) belum menemukan keburukan dan kejelekan saya ?
Padahal…, kamu sendiri tahu, bahwa saya adalah orang yang tidak punya sikap, tidak berpendirian, tidak tegas, plin-plan, dan mungkin banyak lagi yang dapat kamu nilai dan telah kamu ketahui pada pribadi saya.
Ukhty…, sekali lagi, sampai saat ini saya masih belum tahu harus bersikap bagaimana tentang hal itu. Saya pun tidak sanggup membahasakan suatu penolakan sebagaimana ketidaksanggupan saya menolak seseorang yang membahasakan perasaannya pada saya. Di sisi lain, saya pun tak mungkin memaksakan perasaan saya hadir dan tumbuh pada orang yang memang bukan pilihan saya (bukankah masing-masing kita punya pilihan?).
Mungkin…, perasaan terhadap (dia) masih butuh waktu yang cukup panjang untuk hadir dan tumbuh, se-panjang- dengan keinginan saya untuk mapan terlebih dahulu sebelum melangkah pada komitmen membangun format kehidupan baru. Atau mungkin saya butuh moment yang tepat untuk bisa mencintainya, entahlah…
Saat ini saya butuh banyak alternatif sebagai pertimbangan untuk bersikap lebih bijak. Bagi saya, kondisi psikologi (dia) bukan pada kondisi yang membutuhkan pernyataan sikap yang sesegera mungkin untuk direalisir. Tapi tetap saja membuat saya perlu memilih antara keharusan bersikap jujur ataukah membiarkan semuanya berjalan alami, mendiamkannya sambil menunggu bara cinta itu padam dengan sendirinya. Sekali lagi, entahlah... Semuanya jadi dilematis bagi saya.

Ukhty…,
Saya tidak hendak mengajakmu untuk turut bergulat dalam pemikiran tentang sindrom dari sebuah babak dari berbagai babakan kehidupan. Saya hanya hendak kembali menyadarkan keinsyafan kita sekaligus menginsyafkan kesadaran kita agar sama-sama kita sadari akan ke mana akhir dari semua ini, meskipun saya tak tahu apakah yang saya lakukan ini akan ada gunanya kelak.
Tanpa terasa waktu berlalu dengan cepatnya seiring dengan terkuburnya kenangan-kenangan indah yang tak akan pernah dapat terlupakan. Satu persatu sahabat terbaik membuka masa depan yang insya Allah akan indah seindah cita-cita mereka. Mereka mengawalinya dengan tangis kegembiraan atau  tangis penyesalan karena terenggutnya kebahagiaan masa muda yang indah dari tangan mereka, saya tidak tahu. Yang saya tahu Allah pasti memberikan yang terbaik untuk hambanya selama kita masih yakin akan kasih sayang-Nya.
Saya hanya bisa berdoa, agar mereka bahagia dan menempuhnya dengan kebahagiaan selamanya
karena kebahagiaan mereka adalah kebahagiaan saya juga dan kesedihan mereka adalah kesedihan saya juga.

Ukhty…, maafkan karena telah merepotkan dengan keluh-kesah ini. Mungkin saja kamu punya saran yang lebih tepat dan bijak setelah membaca ini. Terima kasih atas kepedulianmu terhadap masalah ini, mungkin saja suatu saat kamu punya masalah serupa, dan tentunya akan saya bantu pula dengan menjadi bagian dari masalah itu, sehingga bisa menyelesaikan masalah dengan masalah…ha…ha… ha…100 X…………………………………………………….dst.
Saya pamit….

وألسلام عليكم ورحمة الله وبركاته


 


Hormat saya
Al-Gha……




 
 





نشهد ان لا إله إلا الله ونشهد ان محمد الرسول الله

 

 

 

IBU…, Ceritakan Aku Tentang Ikhwan Sejati



Seorang remaja pria bertanya kepada ibunya, Ibu ceritakan padaku tentang ikhwan sejati….
Sang ibu tersenyum dan menjawab…
Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari bahunya yang kekar, tetapi dari kasih sayangnya pada orang di sekitarnya..
Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari suaranya yang lantang, tetapi dari kelembutannya mengatakan kebenaran…
Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari jumlah sahabat di sekitarnya, tetapi dari sikap bersahabatnya pada generasi muda bangsa……
Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari bagaimana dia dihormati di tempat bekerja, tetapi bagaimana dia dihormati di dalam rumah…
Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari kerasnya pukulannya, tetapi dari sikap bijaknya memahami persoalan…
Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari dadanya yang bidang, tetapi hati yang ada dibalik itu…
Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari banyaknya akhwat yang memuja, tetapi komitmennya terhadap akhwat yang dicintainya…
Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari jumlah barbell yang dibebankan, tetapi dari tabahnya dia menghadapi liku-liku kehidupan…
Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari kerasnya membaca Al-qur’an, tetapi dari konsistennya dia menjalankan apa yang ia baca…
….setelah itu, ia kembali bertanya…
“Siapakah yang dapat memenuhi kriteria seperti itu, Ibu ?”
Sang Ibu memberinya buku dan berkata……”Pelajarilah tentang dia..”
Ia pun mengambil buku itu “MUHAMMAD”, judul buku yang tertulis di buku itu.

(al-Hikam)





















Ramadhan telah berlalu, bulan penuh rahmah, maghfirah, dan itkum min al-Nar. Tidak ada jaminan kita menjumpainya kembali, sebagaimana tidak kita ketahui kapan ajal menjumpai kita.
Tahmid, tahlil, dan takbir berkumandang menggema di seantero jagat raya bertanda kemenangan.
Nabi bersabda, orang yang berpuasa dengan kesungguhan dan menjalankan qiyamu ramadhan akan menjumpai satu syawal seperti bayi yang baru dilahirkan dari rahim ibunya, tanpa dosa.
Begitu banyak orang yang bertahmid, tahlil, dan  takbir di satu Syawal, namun... sungguh, Allah tidak akan menerima tahlil, tahmid, dan takbir bagi orang-orang yang tidak berpuasa, mereka tidak pernah menang.
Seusai perang Badar, Nabi bersabda, raja’na min jihad al-Shagir ila jihad al-Akbar.... (kita telah selesai dari peperangan kecil menuju peperangan yang lebih besar... yaitu perang melawan hawa nafsu.
Puasa yang kita jalani pada hakikatnya merupakan suatu proses peperangan melawan hawa nafsu, karena puasa yang kita jalani diharapkan menghilangkan dua hal: dzamb al-Jazad dan Nafs al-Madzmumah atau dzamb al-Qalb (dosa diri dan nafsu sesat atau dosa hati).
Ramadhan sebagai sarana latihan kesabaran, kedisiplinan, kepedulian, diharapkan menjadikan kita dapat berpuasa sepanjang masa.
Satu Syawal merupakan hari wisuda bagi orang-orang yang menang, bagi orang-orang mu’min, bagi orang-orang takwa. Hari itu, Allah memakaikan kita baju kebesaran dengan libas al-Taqwa, pakaian takwa, karena puasa yang kita jalani.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar