Sabtu, 22 Februari 2014

Metode Pemahaman Islam

METODE PEMAHAMAN ISLAM
By. Muh. Gazali Rahman

Pendahuluan
            Pemahaman tentang Islam pada dasarnya tidak lepas dari pondasi bangunan tauhid seorang muslim. Artinya, hal itu mesti dimulai terlebih dahulu dengan keyakinan dan kesadaran tentang kebenaran adanya Tuhan semesta alam beserta perangkat-perangkat emanasi-Nya[2] di muka bumi dan juga kebenaran tentang adanya kehidupan setelah kehidupan dunia, yaitu kehidupan akhirat yang lebih kekal. Oleh karena itu, memahami Islam sesungguhnya terkait dengan adanya tiga hubungan yang erat antara Tuhan sebagai Khalik, manusia sebagai makhluk, serta alam semesta. Hubungan antara Tuhan dan manusia biasa dikenal dengan istilah habl min Allah dan hubungan manusia dengan sesamanya yang dikenal dengan istilah habl min al-nas. Hal ini terkait dengan doa popular yang senantiasa dibaca: rabbana atina…

            Kesadaran yang perlu dibangun selanjutnya adalah bahwa sesungguhnya penciptaan manusia dan alam semesta oleh Allah bukanlah suatu yang aksidental, tiba-tiba. Melainkan memiliki target, tujuan yang tidak main-main dalam sistem dan dimensi Ilahiyah. Sebab, alam semesta dan manusia adalah medan kreativitas Tuhan yang terhebat untuk mendeskripsikan ke-Mahakuasaan-Nya. Kesadaran ini kemudian berimplikasi kepada pengakuan transendental tentang adanya kekuatan “Maha Dahsyat” di luar dimensi kemanusiaan. Dengan demikian, setiap perjalanan spiritual manusia pada dasarnya adalah perjalanan transkosmik menuju Tuhan.
            Pada spektrum yang lain, tindak lanjut penciptaan manusia itu sendiri adalah menghendaki emplementasi dari eksistensi manusia sebagai khalifah fi al-ar« (khalifah Allah di muka bumi), yakni menjadi wakil Tuhan di muka bumi yang dalam pengertian luasnya adalah menjadi “tuhan di muka bumi”.[3] Hal ini secara tegas telah dilansir dalam Alqur’an yang mengatakan inni ja’ilun fi al-ardh khalifah. Aplikasi kekhalifahan tersebut dalam arti luasnya adalah bagaimana manusia berupaya untuk berakhlak sebagai akhlaknya Allah Swt, sebagaimana hadis nabi mengatakan takhallaqu bi akhlaq Allah, yaitu akhlak Allah yang dikenal melalui asma al-husna-Nya.
            Demikianlah hal tersebut perlu menjadi mainstream, paradigma dasar bagi seorang muslim sebagai langkah awal untuk memahami Islam sebagai agama yang rahmatan li al-alamin.
 
Pembahasan
            Suatu pemahaman yang diawali dengan “metode”[4] tentunya sangat terkait dengan “pendekatan”[5] atau “teknik”. Penggunaan hal tersebut merupakan bagian dari pengembangan strategi ilmu filsafat yang menghendaki suatu pola pikir yang lebih komprehensif dan sistematis. Artinya, dengan metode atau pendekatan, pemahaman atau pemikiran seseorang tentang susuatu dapat lebih ilmiah dan rasional.
            Di sisi lain, hal ini memberikan indikasi adanya perbedaan mendasar antara pemahaman Islam awam dan pemahaman Islam terpelajar. Sebab salah satu karakteristik kemahasiswaan sebagai insan intelek, di samping keharusan untuk berpikir kritis, juga dibingkai dengan nilai-nilai ilmiah melalui penguasaan metodologi keilmuan.
            Lebih dari itu, suatu metode dan pendekatan juga dimaksudkan agar rasionalisasi yang dilakukan mampu membuka cakrawala pikir dan secara fleksibel menerima pendapat dan ide-ide lain yang lebih argumentatif. Lebih dari itu agar pemahaman yang terbangun tidak subyektif, apologis, dan taklid/ikut-ikutan terhadap pendapat yang tidak diketahui dasar hukumnya.
            Dengan perangkat metodologi itu pula, kebenaran ajaran Islam sebagai al-haq wa la rayba fih (kebenaran yang tidak ada keraguan di dalamnya) dapat dibuktikan secara lebih ilmiah/rasional berdasarkan kategori-kategori kebenaran ilmiah. Sebagaimana diketahui ada beberapa jalan menuju kebenaran, beberapa diantaranya masih dalam kategori kebenaran relatif, yaitu:
-          Kebenaran yang diperoleh melalui panca indera, hal ini akan menjadi relatif bagi mereka yang memiliki keterbatasan alat indera.
-          Kebenaran yang diperoleh melalui akal, namun menjadi relatif ketika akal didominasi oleh ide-ide spekulatif.
-          Kebenaran yang diperoleh melalui proses berpikir filsafat, proses ini tidak semata-mata melibatkan kerja dan proyeksi akal, tetapi juga melalui perenungan mendalam tentang hakikat sesuatu.
-          Kebenaran yang diperoleh melalui ilham atau intuisi. Hal ini biasanya ditempuh melalui jalur tasawuf atau tarekat.
-          Kebenaran yang diperoleh melalui wahyu.[6]
Jika ditelusuri dalam beberapa kajian pustaka, pada dasarnya telah banyak karya-karya penting yang ditulis oleh ulama dan cendekiawan muslim tentang metode pemahaman Islam.[7]
            Dalam garis besarnya, beberapa pendekatan yang digunakan dalam memahami Islam atau pengkajian Islam sebagai agama adalah:
1. Pendekatan Normatif
            Islam dipahami memiliki dua aspek yaitu aspek historis dan aspek normatif. Aspek historis menjadi obyek penilitian sejarah kehadiran Islam secara fenomenologi-historis, sedangkan aspek normatif muncul sebagai kekuatan batin yang memberikan pengakuan akan ”kebenaran” untuk mengatur kehidupan individu dan sosial. Aspek normatif tersebut merupakan bagian pengkajian teologi.
            Pendekatan teologi dalam pemahaman Islam adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk formal atau simbol-simbol keagamaan yang doctrinal. Berkenaan dengan pendekatan teologis ini, Amin Abdullah mengemukakan bawah pendekatan ini semata-mata tidak dapat memecahkan masalah esensial pluralitas pemahaman teks-teks agama saat ini. Terlebih lagi  bahwa  doktrin agama itu pada dasarnya tidak pernah berdiri sendiri, ia tidak terlepas dari institusi atau kelembagaan sosial kemasyarakatan yang mendukung keradaannya.
            Pendekatan teologis dalam memahami Islam menggunakan cara berfikir deduktif, yaitu berawal dari keyakinan benar dan mutlak adanya, selanjutnya diperkuat oleh dalil-dalil dan argumentasi. Kekurangan pendekatan ini adalah bersifat eksklusif, dogmatis tidak mau mengakui kebenaran agama lain. Namun kelebihannya adalah melalui pendekatan teologi normatif seseorang memiliki sikap militansi dalam beragama.
            Pendekatan teologis normatif memandang agama dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan yang di dalamnya belum terdapat pemikaran manusia. Agama dilihat sebagai suatu kebenaran mutlak dari Tuhan, tidak ada kekurangan sedikitpun dan nampak bersikap ideal. Agama tampil sangat prima dengan seperangkat cirinya yang khas.
2. Pendekatan Saintifik
Pengetahuan saintifik dalam arti luas dapat dipandang memberi suatu paradigma kepada dunia modern dan berbagai pengetahuan yang saling berhubungan. Pengetahuan saintifik berdasar pada pandangan yang menitikberatkan pada tesis:
-          Sains berdasarkan pada fakta sensorik, materialistik, dan fisik yang sudah memiliki  kepastian arti.
-          Teori ilmu pengetahuan dijabarkan dari fakta dan data melalui metode induktif, deduktif, atau hipotetik deduktif. Kriteria diterima atau ditolaknya hanya berdasarkan pada kesahihan pengujian empiriknya.
-          Perkembangan konsep dan teori terjadi berdasarkan hasil akumulasi fakta secara bertahap.
Pandangan ini memberi distingsi yang jelas antara ilmu pengetahuan dan agama yang menunjukkan bahwa ilmu harus objektif, bersifar sensorik, memiliki nilai yang dapat dikuantifikasi, milik publik, dapat diukur dan dapat direpleksikan. Sedangkan agama memfokuskan pada moral, bersifat subyektif, bercorak pribadi, kualitatif, tidak dapat diukur, dan berlaku hanya pada tingkat personal sehingga tidak perlu dibuktikan kepada orang banyak.
            Seperti yang dikemukakan sebelumnya bahwa santifik ini bertolak pada positivisme yang beranggapan bahwa sains hanya berurusan dengan gejala-gejala atau pengalaman-pengalaman yang dapat diamati. Dari pengalaman muncul teori, yaitu teori yang sudah dibuktikan yaitu melalui pengamatan yang sistematis. Positivisme dengan konsepnya yang kental berasumsi bahwa satu-satunya sumber pengetahuan adalah pengalaman yang ditangkap dengan indera, yang kemudian dikenal dengan term empirisme.
            Penganut positivisme ilmu pengetahuan hanya mengakui satu kebenaran, yaitu kebenaran inderawi, yang dapat teramati dan terukur, yang dapat diulang buktikan oleh siapapun. Di luar itu tidak diakuinya sebagai kebenaran. Mengembangkan metodologi berpikir seperti ini akan berdampak pada erosi iman.
            Dapat dibayangkan pecahnya kepribadian seseorang atau suatu masyarakat, yang disatu sisi diajarkan ilmu yang filsafatnya diajarkan positivistik dan di sisi lain diajarkan agama yang padat dengan kebenaran transendental. Kehidupan masyarakat dunia yang lebih berorientasi kepada kehidupan sekuler akan berkembang. Kelompok ini tidak mengakui kebenaran di luar empiris sensual. Begitupun ilmu pengetahuan akan dikembangkan hanya berdasar kebenaran tersebut.
3. Pendekatan Fenomenologi
            Fenomenologi dari bahasa Yunani yaitu dari kata phainestai, artinya menunjukkan menampakkan dirinya sendiri. Tokohnya adalah Edmund Husserl (1859-1938) menyatakan bahwa tugas utama fenomenologi adalah keterkaitan manusia dengan realitas. Realitas itu tampil dalam kesadaran dan membiarkan termanifestasi apa adanya tanpa dicampurkan dengan kategori presdisposisi seseorang.
            Interpretasi feneomenologi cukup positif dalam studi agama, atas prinsip  bahwa seseorang harus memahami agama lain seperti  yang dipahami oleh penganut agama itu, menghindari  presdisposisi  tertentu  mencoba menangkap esensi agama secara holistik, fenomenologi agama sangat menolak reduksionisme dan sikap bias dalam mengamati fenomena keagamaan. Sarjana Barat di bidang studi Islam yang menggunakan fenomenologi disebut ”Islamologi”, bukan Orientalis meskipun pendapat ini masih kontroversial.
            Di antara Sarjana Barat melihat Nabi Muhammad saw, secara fenomenologi, adalah Maurica Bucaille. Bucaille dengan tegas menyatakan bahwa Muhammad benar-benar seorang Nabi dan Alqur’an adalah wahyu Tuhan. 
Husserl menggunakan istilah fenomenologi untuk menunjukkan apa yang nampak dalam kesadaran seseorang dengan membiarkannya termanifestasi apa adanya tanpa memasukkan kategori pikiran orang lain padanya. Seperti  ungkapan Husserl ”kembalilah kepada realitas itu sendiri”.  Berbeda dengan Kant, Husserl menyatakan bahwa apa yang disebut fenomena adalah realitas itu sendiri yang nampak setelah kesadaran cair dengan realitas.
Fenomenologi agama adalah reaksi terhadap pendekatan historis (sejarah agama). Menurut W.B. Kristense bahwa pendekatan historis tidak dapat memahami karekteristik yang absolut terhadap data-data keagamaan. Karena dalam pendekatan historis terdapat jarak antara penelitian dengan obyek yang diteliti sehingga tidak dapat mengidentifika data keagamaan sebgaimana  yang dihayati oleh orang-orang yang mengimani. Pendekatan fenomenologi pada suatu penelitian tak lain adalah menyatukan dengan objek yang diteliti. Seperti ungkapan Poesprojo bahwa dalam fenomenologi manusia menyatu dengan dunia.
Fenomenologi menekankan upaya penelitian esensi dan makna  keagamaan dan mengelompokkan fenomena itu dalam cara tipologis lepas dari ruang dan waktu. Seperti telah diketahui bahwa fenomenologi berusaha mencari esensi yang diamati. Esensi merupakan statement empirik yang terjadi melalui abstraksi. Abstraksi diperoleh tergantung dari deskripsi empirik dari kasus-kasus khusus. Dari pandangan ini, maka fenomenologi merupakan ilmu empirik.
Untuk menjadikan fenomena agama sebagai ilmu empirik, maka fenomenologi agama perlu ditambahkan unsur ilmu empirik. Misalnya; Psokologi agama, sosiologi agama, antropologi dan sebagainya. Di sini Dhavamony ingin memilah fenomenologi agama yang deskriptif-empirik. Menurut Pettazzoni, fenomenologi agama tidak dapat berbuat tanpa etnologi, filologi, disiplin ilmu sejarah dan lain-lain.
Dari urain di atas dapat diketahui bahwa pendekatan fenomenologi murni, penyajiannya akan bersifat normatif bila tidak disertai dengan fakta-fakta empirik yang bisa menciptakan fenemenologi diskriptif empirik. Tujuan fenomenologi agama adalah meneliti pola dan struktur agama atau meneliti esensi agama di balik manifestasinya yang beragam atau memahami sifat-sifat yang unik dari pada fenomena keagamaan serta untuk memahami peranan agama dalam sejarah dan budaya manusia.
            Terlepas dari beberapa pendekatan yang telah dikemukakan tersebut, pemahaman terhadap Islam tentunya tidak dapat dilepaskan dari sumber ajaran utamanya, yakni Alqur’an dan Hadis/Sunnah Rasulullah Saw. Ali Syari’ati, seorang pemikir Iran bahkan mengatakan bahwa jika ingin memahami Islam maka pelajarilah sejarah hidup Muhammad. Dialah manusia paripurna/insan kamil yang diutus untuk menyempurnakan akhlak dalam berbagai aspek kehidupan manusia, Nabi yang memiliki otoritas penuh sebagai bayan al-Qur’an (penjelas Alqur’an), dan akhlaknya adalah Alqur’an. Nabi adalah sosok ideal yang representatif dalam kapasitasnya sebagai uswah al-hasanah (teladan yang baik), sebab sunnah-sunnahnya adalah refleksi kenabian yang wa ma yantiqu ‘an al-hawa in huwa illa wahy y­ha  (pikiran, perkataan, dan perbuatan yang bukan dilandasi hawa nafsu, melainkan wahyu yang diwahyukan) dalam persentuhan antara realitas budaya manusia dan nilai-nilai Ilahiyah.
            Salah satu pendekatan yang juga dapat dipertimbangkan dalam memahami islam adalah dengan pendekatan filsafat yang mengacu pada tiga basis filsafat yakni aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Dengan tiga basis filsafat tersebut, pemahaman tentang Islam akan dimulai secara ontologis pada pemaknaan ajaran-ajarannya berdasarkan arti lughawi/leksikal dan kemudian dikembangkan dalam pemaknaan etimologis.
            Pada tahap kedua, pemahaman tersebut dikembangkan secara epistemologis yang melihat pada dimensi ruang lingkup atau batasan-batasan yang mengitarinya, baik bersumber dari dalil-dalil/nash, pengembangan ijtihad, rukun atau syarat sahnya suatu perbuatan, maupun status hukum suatu perintah dan larangan.
            Pada ketiga, pemahaman terhadap ajaran Islam diarahkan pada aspek aksiologi yang dimaksudkan untuk mengkaji dan melihat maksud-maksud Tuhan dalam menetapkan hukum (maqa¡id al-syariah), atau membedah dimensi Ilahiyah berbagai bentuk ibadah/perintah ataupun larangan. Penelusuran melalui ketiga aspek tersebut diupayakan dapat lebih melihat sisi rasional kebenaran Islam sebagai agama.
            Muhammadiyah sebagai organisasi yang menghendaki terwujudnya masyarakat Islam kemudian menawarkan suatu bentuk pemahaman ajaran Islam yang berupaya mengkaji berbagai aspek ajaran akidah, ibadah, muamalah, maupun akhlak dengan melakukan tarjih. Hal ini dapat dilihat pada buku Himpunan Putusan Tarjih yang menjadi pedoman bagi warga Muhammadiyah dalam agenda tajdid atau purifikasi ajaran Islam. Tarjih  adalah suatu bentuk upaya melakukan seleksi yang ketat terhadap nash atau dalil-dalil Alqur’an maupun hadis untuk diyakini ke-sahih-annya sehingga dapat dijadikan hujjah/sandaran bagi akidah, ibadah, muamalah, maupun akhlak. Begitupula dengan munculnya istilah takhayyul, bid’ah, khurafat, merupakan implikasi dari metode tarjih yang menghendaki pemurnian/purifikasi terhadap ajaran Islam.
            Oleh karena itu, dakwah atau setiap ajakan kepada tanha ‘an al-fahsya’ wa al-munkar sesungguhnya adalah suatu upaya islamisasi dan rasionalisasi ajaran Islam, yakni usaha rekonstruksi masyarakat yang masih mengandung unsur-unsur jahili agar menjadi masyarakat yang islami, yakni proses pembebasan manusia (tahrir al-nas) dari segenap tradisi yang bersifat magis, mitologis, animistis, dan budaya yang irasional.
            Seiring dengan itu, rasionalisasi juga diarahkan kepada penjabaran nilai-nilai tauhid dan rekonstruksi akidah bahwa Tuhan adalah pusat dari segala sesuatu, sebagaimana dilansir dalam QS. Al-Ikhlas (112): 2, Allahu al-¡amad (Allah tempat bergantung segala sesuatu), dan manusia harus mengabdikan diri sepenuhnya kepada-Nya. Seiring dengan itu, rasionalisasi juga diarahkan kepada penjabaran nilai-nilai tauhid dan rekonstruksi akidah bahwa Tuhan adalah pusat dari segala sesuatu, sebagaimana dilansir dalam QS. al-Ikhlas (112): 2, Allahu al-¡amad (Allah tempat bergantung segala sesuatu), dan manusia harus mengabdikan diri sepenuhnya kepada-Nya.
Selanjutnya, tolak ukur dari pandangan teosentris ini adalah keyakinan religius yang ditindaklanjuti dengan amalan dan pola pikir yang Allah-sentris pula. Sehingga dengan aktualisasi iman dan amal yang tak terpisahkan, maka kebudayan dan peradaban yang dihasilkan manusia juga akan berkiblat kepada paradigma Allah-sentris, yakni kebudayaan dan peradaban yang tidak terjebak pada belenggu-belenggu budaya yang irasional.
       

[2]Perangkat itu berupa para Nabi dan Rasul dan Kitab-kitabnya, serta ajaran doktrinal yang terkodifikasi dalam rukun iman dan rukun Islam.
[3]Tuhan dengan t kecil, bukan Tuhan dengan T besar.
[4]Metode diartikan sebagai cara kerja yang untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Lihat, Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan R.I. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. IV; Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 414. Dalam dunia keilmuan metode diartikan sebagai cara kerja untuk dapat memahami obyek menjadi sasaran ilmu yang sedang dikaji. Lihat, Ibid., h.581.
[5]Pendekatan adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutanya digunakan dalam memahami agama. Lihat, Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Cet. V; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), h. 28.
[6]Lihat, Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz I, (Cet. III; Beirut: Dar al-Fikr, 1394 H/1974 M), h. 35.
[7]Misalnya oleh Abuddin Nata dengan bukunya Metodologi Studi Islam, Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (ed.) dalam Metodologi Penelitian Agama, Mudjahid Abdul Manaf dalam Sejarah Agama-Agama, Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarak dalam  Metodologi Studi Islam, Ahmad  Norma Permata dalam Metodologi Studi Agama, Natsir Mahmud dalam Epistimologi dan Studi Islam Kontemporer, Mulyanto Sumardi dkk, dalam Penelitian Agama: Masalah dan Pemikiran, M. Atho Mudzhar dalam Pendekatan Studi Islam, serta Syauqi Nawawi dkk. dalam Metodologi Psikologi Agama.    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar