Sabtu, 22 Februari 2014

Tafsir Ayat Jilbab



TAFSIR QS AL-NUR/24: 30-31
dan QS AL-AHZAB/33: 59
 Oleh: Muhammad Gazali Rahman

PENDAHULUAN
            “Tampil seksi itu indah, bukan porno”. Tidak jarang ungkapan ini terdengar meluncur tanpa beban dari mulut seseorang. Gejala primitif-modern muncul seiring dengan kemajuan zaman yang menampilkan fenomena aurat terbuka sebagai bentuk kewajaran. Indikator lain dari “era transparansi” ini dapat dilihat pada gambar-gambar seronok yang tiap hari dapat ditemukan pada berbagai iklan komersil-sensual di televisi, majalah ataupun koran. Di plaza, terminal, pasar, kampus, terlebih lagi di tempat-tempat wisata, begitu banyak perempuan yang tidak risih lagi berpakaian seadanya. Rok di atas lutut, celana ketat, baju ketat dan sudah jelas tanpa jilbab. Belum lagi, ditambah make-up, pemerah bibir, parfum, dan segala macam aksesoris kecantikan.

            Sangatlah tepat jika Allah membuat perumpamaan wanita itu sebagai perhiasan. Ibarat perhiasan, wanita adalah qurrata a’yun yang diciptakan dalam bentuk terindah secara fisik. Sehingga tanpa dipolespun, wanita telah memiliki daya tarik seksual bagi laki-laki yang memandangnya. Daya tarik ini selanjutnya akan memberi pengaruh pula terhadap tumbuhnya gairah birahi laki-laki yang terkadang diaplikasikan dalam berbagai bentuk penyimpangan nilai-nilai normatif sekaligus merusak tatanan norma-norma kehidupan sosial, meskipun pada fitrahnya relasi keduanya yang berorientasi seksual adalah kecenderungan normal dan wajar.
            Sepanjang sejarahnya, hubungan antara laki-laki dan perempuan selalu menyimpan misteri dan kekuatan yang tak terduga. Misalnya saja, sejarah dibangunnya Taj Mahal di India yang amat indah dan monumental, berbagai peperangan yang menelan jutaan jiwa, kesemuanya itu tidak jarang bermula dari dinamika gejolak dan misteri yang muncul dari kompleksitas relasi antara laki-laki dan perempuan. Bahkan dalam kitab suci Alquran terdapat kisah konflik antara Habil dan Qabil yang dipicu oleh persaingan dan perebutan cinta.
Secara manusiawi, kisah ini setidaknya menunjukkan bahwa hubungan antara laki-laki dan perempuan menyimpan kekuatan terpendam yang sewaktu-waktu dapat memicu dan memacu tindakan-tindakan spektakuler yang tak terduga. Kisah-kisah klasik dari legenda seputar tragedi cinta ala Romeo dan Yuliet, Laila Majnun, dan sederet kisah legenda lain, kesemuanya mendeskripsikan adanya kekuatan dahsyat yang terpendam dan bersumber dari energi daya tarik antara laki-laki dan perempuan untuk saling mengisi dan menguasai, saling memberi, dan menuntut. Begitu rumitnya relasi ini bahkan cenderung mengeksploitasi rasa benci dan cinta yang berdinamika sepanjang sejarah peradaban manusia.
Siapapun yang memiliki sensitivitas normatif, tentu akan melihat realitas sosial ini sungguh-sungguh menggelisahkan. Ikatan-ikatan aturan fikih untuk menjaga kehormatan perempuan mulai dilepas satu persatu dan semakin membuka pintu yang lebar ke arah pergaulan bebas. Lebih parah lagi, zina yang merupakan virus sosial yang sangat ganas semakin hari tidak semakin berkurang. Negara Barat yang menjadi kiblat dan rujukan peradaban telah membuktikan betapa banyak pasangan kumpul kebo, betapa banyak anak yang lahir tak berayah, betapa banyak calon anak yang digugurkan sebelum lahir, betapa banyak manusia yang terinveksi virus HIV (AIDS) mematikan. Sungguh ironi jika standar-standar kepantasan harus didasarkan atas norma-norma yang ditentukan oleh Barat. “Demikianlah pria terhormat, wanita terhormat, pemuda terhormat, gadis terhormat” adalah terhormat karena telah mempertunjukkan norma kehormatan Barat dalam sopan santun mereka.
            Deskripsi terhadap realitas yang “timpang” itu tentu tidak dapat dibebankan sepenuhnya terhadap perempuan sebagai objek yang “salah”. Sebab, relasi laki-laki dan perempuan adalah ibarat dua sisi mata uang yang saling mempengaruhi satu sama lain. Oleh karena itu maka Alquran diturunkan sebagai “furqan” yang secara tegas membedakan dimensi-dimensi kehidupan yang ha>q dan yang ba>¯il. Fungsi ini mengasumsikan suatu eksistensi tak terbantahkan dari “natural human potention” dalam sistem sosial yang kompleks untuk tetap dielaborasi dalam kehendak dan manajemen peradaban Tuhan melalui konstruk syari’at yang tentu saja mengandung banyak muatan moral meskipun terkadang kontroversi dengan libido manusia.
            Bertolak dari itu, tiga ayat yang akan dikupas dalam makalah ini merupakan aturan dari sekian banyak ketentuan-ketentuan agama yang mengatur privasi laki-laki dan perempuan serta relasi biologis antar keduanya secara dinamis. Hipotesa awal untuk masalah ini adalah kedudukan Alquran sebagai respon sosial yang mengkompromikan antara potensi yang merusak kemanusiaan dan potensi yang lebih memanusiakan manusia.

II. PEMBAHASAN
A. Tafsir QS al-Nur/24: 30-31

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ (30)
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ ولاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَائِهِنَّ أَوْ ءَابَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي اْلإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلاَ يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (31)
Terjemahan:
Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (30)
Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain (kudung) ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (31)[1]

1. Analisis Semantik
            Melalui analisis semantik, pada ayat ini menggunakan kata “ المؤمنون ” dan berbeda dengan “ ياآيها الذين ءامنوا “ yang digunakan pada ayat sebelumnya (ayat 27) ketika memaparkan tentang perizinan masuk rumah. Perbedaan tersebut menurut al-Qurthubi terletak pada makna kata المؤمنون yang lebih menekankan sisi kemantapan iman obyek yang bersangkutan.[2] Sedangkan al-Biqa’i menilai bahwa hal ini menjadi indikator sulitnya menghindarkan mata di tempat umum, dan hanya dapat diaplikasikan secara baik oleh mereka yang telah mantap iman dalam kalbunya (الراسخون في الإيمان), sebab konsekuensi terhadap hal ini tidak setegas pada konsekuensi ketika memasuki rumah tanpa izin.[3]
            Adapun kata يغضّوا yang berasal dari kata غضّ berarti menundukkan, lebih rendah atau merendahkan, dan juga berarti mengurangi.[4] Berpijak pada makna awal tersebut maka غضّ البصر dalam ayat ini bermakna menahan pandangan, bukan melindungi atau menutup mata. Ibnu Katsir dalam tafsirnya memaknai kata غضّ ini dengan kata yang senada (sinonim) seperti صرفاطرق (mengalihkan).[5] Frase ini senada dengan pernyataan. وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ pada QS Luqman/31: 19 yang berarti “rendahkanlah suaramu”. Ungkapan ini bukan berarti harus diam tanpa suara, melainkan bersuara dengan volume yang sedang saja. Demikian pula “menahan pandangan” berarti mengalihkan pandangan atau tidak menfokuskan pandangan dengan tajam dalam waktu yang lama.[6]
            Sedangkan fungsi “ من ” dalam kalimat tersebut adalah sebagai (صلة وزائد) kata penghubung-tambahan[7] yang bermakna (التبعيد) “sebagian” (من التبعيضية)[8]. Sebab tidak semua pandangan harus dibatasi, melainkan hanya pada hal-hal tertentu yang terlarang dan kurang baik. Jadi, fungsi من ini mengandung makna menahan pandangan dari sesuatu yang tersembunyi sekaligus menegaskan batasan sesuatu yang boleh dipandang.[9]
            Kata فروج sebagai bentuk jamak dari kata فرج pada mulanya berarti celah di antara dua sisi.[10] Penggunaan kata ini menggambarkan pengungkapan yang sangat halus dalam Alquran terhadap sesuatu yang sangat rahasia bagi manusia, yakni alat kelamin. Berbeda dengan ayat sebelumnya ketika berbicara tentang غضّ البصر , maka ketika berbicara tentang فروج tidak menggunakan kata من sebagaimana dipahami dalam arti “sebagian”. Hal ini tentu karena tidak benarnya jika kemaluan” hanya ditutup sebagian saja. Di sisi lain, agama memang memberi toleransi bagi mata dalam pandangan pertama namun tidak pada pandangan kedua. Dalam hal ini ulama sepakat tentang bolehnya melihat wajah dan telapak tangan wanita yang bukan mahram, tetapi secara tegas tidak memberi peluang bagi “kemaluan” selain pada wilayah privasi yang bersangkutan.[11]
            Dalam memahami makna وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ , Ibnu Katsir menilai kalimat tersebut senada dengan ungkapan والذيى هم لفروجهم حافظون [12] yang bermakna larangan zina.[13] Berbeda dengan itu, Abu al-Aliyah memaparkan bahwa setiap tema dalam Alquran yang menyangkut tentang الفرج merujuk kepada zina (الزنى), terkecuali pada ayat ini (QS al-Nur/24: 30-31). Menurut beliau, tema dalam ayat ini lebih menekankan pada makna tertutupnya kemaluan dalam arti الستر والعفاف .[14] Pendapat ini tampaknya tidak ingin melepaskan relevansi makna ayat dari fungsi من التبعيضية pada kalimat yang mendahuluinya serta relevansi terhadap ayat sebelumnya yang memaparkan larangan memasuki rumah. Perbedaan alasan ini tidaklah signifikan jika dipahami bahwasanya dengan menundukkan pandangan dan menutup kemaluan berarti menutup rapat-rapat pintu ke arah penyimpangan seksual (zina).
2. Asbab al-Nuzul
Latar historis turunnya ayat (sabab al-Nuzul), QS al-Nur/24: 30 ini turun berkenaan dengan peristiwa seorang laki-laki yang lewat di salah satu jalan di kota Madinah, ia lantas melihat seorang perempuan dan begitu pula sebaliknya (saling menatap). Lalu syaithan menggoda sehingga keduanya saling memandang dengan rasa simpati satu sama lain. Pada saat yang sama, laki-laki itu berjalan di sisi dinding/tembok seraya tetap menatap kepada perempuan tersebut, tiba-tiba laki-laki itu menabrak dinding dan menyebabkan hidungnya luka. Ia lalu berkata: “Demi Allah, saya tidak akan mencuci darah ini sampai saya datang kepada Rasulullah dan menceritakan kejadian ini”. Maka ia datang kepada Rasul dan menceritakan kejadian itu, Rasulullah lantas bersabda: “Itulah konsekuensi dari dosamu”, kemudian turunlah ayat tersebut.[15]
          Adapun turunnya ayat pada QS al-Nur/24: 31 tersebut berkenaan dengan peristiwa Asma’ binti Murs\id pemilik kebun kurma yang sering dikunjungi wanita-wanita di kebunnya tanpa berkain panjang sehingga kelihatan gelang-gelang kakinya, demikian juga dada dan sanggul-sanggul mereka dan Asma’ berkata: “Alangkah buruknya (pemandangan) ini”, maka turunlah ayat tersebut.[16]
            Kelanjutan ayat ini (QS al-Nur/24: 31) dari “wala> yadribna bi arjulihinna” hingga akhir ayat, turun berkenaan dengan seorang wanita yang membuat dua kantong perak untuk diisi untaian batu-batu manikam sebagai perhiasan kakinya. Apabila ia berlalu di hadapan sekelompok orang, ia memukul-mukulkan kakinya ke tanah sehingga dua gelang kakinya bersuara merdu, lalu turunlah ayat tersebut.[17]
3. Analisis Ayat
Meskipun sebab turunnya ayat ini terjadi secara kasuistik, namun perintah di dalamnya tentu berlaku umum bagi setiap laki-laki dan perempuan yang beriman. Sebab, rasa simpati, kagum, dan berbagai variabel “cinta” lainnya yang memang terkadang menenggelamkan dan memabukkan manusia merupakan potensi yang dapat dikatakan normal dan wajar, sebagaimana dijelaskan pula dalam QS Ali Imran/3: 14 yang berbunyi; زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاء...ِ (Dijadikan indah dalam diri manusia kecintaan -untuk memiliki- terhadap wanita...). Oleh karena itu maka dapat dipahami bahwa perintah ini merupakan tindakan preventif untuk menekan atau mengeliminir kehendak naluri dan nafsu yang berlebihan terhadap lawan jenis. Dalam arti lain, ayat tersebut bermaksud untuk mengatakan: “Katakanlah kepada orang-orang yang beriman (laki-laki dan perempuan) untuk tidak menatap atau bermain mata satu sama lain.”
             Selanjutnya pada ayat (31) terdapat ketentuan yang dikhususkan bagi kaum perempuan sebagaimana dinyatakan bahwa:
 وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ ولاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ...
Terjemahan:
“dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain (kudung) ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya...”

            Kata زينة (perhiasan) dalam pengertian leksikal terangkat dari kata زان- زينا yang berarti menghiasi atau mempercantik.[18] Dalam bahasa Inggris, zinat biasanya diterjemahkan dengan kata ornament, odornment atau embellishment. Maka dari itu yang dimaksud زينة adalah sesuatu yang ditampakkan oleh perempuan pada tubuhnya untuk mempercantik atau menghiasinya sehingga tampak indah dalam pandangan mata, seperti pakaian dan aksesoris lainnya.
            Meskipun demikian, para mufassir tetap berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud dengan zinat ini. Al-Mawardi membagi zinat/perhiasan ini dalam dua hal yaitu zinat z}a>hir dan zi>nat ba>t}in ظاهرة وباطنة . Zinat z}a>hir ini tidak wajib ditutup dan tidak diharamkan untuk memandangnya sebagaimana Allah berfirman:إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا. Namun ulama berbeda pendapat tentang perhiasan yang zahir dan ba>t}in tersebut. Ibnu Mas’ud berpendapat bahwa yang dimaksud perhiasan yang ditampakkan tersebut adalah pakaian, Ibnu Abbas mengikutkan celak dan cincin, sedangkan Hasan, Ibnu Jabir dan Atha’ berpendapat bahwa zinah z}a>hir tersebut adalah wajah dan telapak tangan.[19] Lebih dari itu, menurut sebagian mufassir, zinat juga mencakup keindahan tubuh. Abdullah Ibnu Yusuf misalnya mengatakan bahwa kata zinat mencakup natural beauty and artificial ornaments.[20]                        
            Terkait dengan itu pula, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Aisyah bahwa Asma’ binti Abu Bakar pernah mendatangi Rasulullah dengan pakaian yang minim, Rasulullah lantas menegurnya dengan mengatakan: “Hai Asma’, sesungguhnya seorang perempuan yang telah (mengalami) haid –masuk usia baligh- tidak pantas memperlihatkan tubuhnya selain ini” seraya menunjuk muka dan telapak tangan beliau.[21] Mengacu pada hadis tersebut maka batasan aurat perempuan yang boleh ditampakkan sebagai zi>nah z}a>hir adalah wajah dan telapak tangan, selain itu adalah zi>nah ba>t}in.
            Dalam ayat tersebut terdapat perintah yang berupa fi’il mud}a>ri’ yang didahului lam amar dengan bunyi walyad}ribna, yang dalam kaidah ushul dinyatakan bahwa “hukum asal pada perintah itu menunjukkan wajib” (الأصل في الأمر للوجوب). Al-T{abari mengatakan bahwa lafaz al-D{arb dalam ayat tersebut adalah lil muba>laghah terhadap perintah menjaga dan menutup aurat.[22] Adapun kata خمر sebagai bentuk jamak dari خمار adalah “penutup kepala yang panjang”.[23] Sedangkan kata جيوب adalah jamak dari جيب , yaitu “lubang di leher baju/kerah”.[24] Juga berarti sisi sepanjang baju yang dengan itu menampakkan sebagian anggota tubuh.[25] Namun yang dimaksud di sini adalah kain panjang yang menutupi leher sampai ke dada. Penggunaan kata ضرب yang biasa diartikan memukul atau meletakkan sesuatu secara cepat dan sungguh-sungguh, merupakan penempatan kata yang cukup unik menurut al-Biqa’i. Dengan kata tersebut, maka pemakaian kudung hendaknya diletakkan dengan sungguh-sungguh untuk tujuan menutupi.[26]
            Kembali kepada makna zinat/perhiasan yang mesti ditutup dengan kudung tersebut, maka jika menyimak teks ayat lebih jauh, kata zinat yang terulang sebanyak tiga kali dalam QS al-Nur: 31 ini pada dasarnya memiliki dua pengertian. Pertama, kata zinat ini merupakan kata personifikasi dari “keindahan atau kemolekan tubuh” karena ajaran Islam memang tidak membenarkan perempuan menampakkan atau mempertontonkan keindahan dan kemolekan bentuk tubuhnya sebagaimana diungkapkan dalam QS al-Ahzab/33: 33 dengan kata tabarruj.[27] Arti pertama ini terkandung dalam kalimat “Dan janganlah menampakkan keindahan tubuh mereka kecuali sebagian yang kelihatan daripadanya, yaitu muka dan telapak tangan sampai pergelangan.” Serta pada kalimat “Dan janganlah menampakkan keindahan tubuh mereka kecuali terhadap suami...”
            Adapun arti kedua dari zinat ini adalah memang berarti perhiasan lahir, yang dalam ayat ini dimaksudkan dengan berbagai aksesoris yang sering dipakai perempuan dalam adat istiadat mereka. Arti kedua ini terkandung dalam kalimat “Dan janganlah menghentakkan kakinya karena ingin diketahui perhiasan yang dikenakannya”, karena hanya dengan jalan membanting-bantingkan kaki maka perhiasan pada kaki dapat diketahui laki-laki melalui gemerincingnya.
            Jadi, kalimat وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا pada ayat tersebut berarti bahwa perempuan tidak dibolehkan untuk menampakkan perhiasan ba>t}in mereka selain wajah dan telapak tangan serta aksesoris yang terletak pada kedua tempat tersebut, seperti gelang, cincin dan celak sebagai perhiasan zahir. Berbeda dengan gelang kaki, kalung, dan anting-anting, semuanya dilarang untuk ditampakkan karena terletak pada anggota tubuh yang termasuk aurat perempuan. Seluruhnya tidak halal dilihat, kecuali oleh kelompok-kelompok yang disebutkan dalam teks kalimat selanjutnya.
Orang-orang yang dimaksud tersebut adalah suami, ayah, mertua, anak laki-laki dan perempuan mereka, anak laki-laki dan perempuan dari suami, saudara, keponakan, karena rapatnya pergaulan antara mereka dan jarangnya terjadi hal-hal yang tidak senonoh di antara mereka, atau perempuan yang menemani dan melayani mereka; atau budak-budak yang mereka miliki; atau laki-laki yang tidak memiliki hasrat terhadap wanita, baik karena umur yang lanjut atau karena telah dikebiri/impoten atau terpotong alat kelaminnya; dan anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan.[28]
Terkhusus kepada suami, maka diperbolehkan memandang atau melihat segala sesuatu dari isteri, baik dengan syahwat maupun tidak. Sebab secara syariat, ia telah halal untuk disentuh atau digauli, sebagaimana dalam QS al-Baqarah/2: 187 diungkapkan dengan kata-kata yang indah: “Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.” Beberapa kelompok di antaranya diperbolehkan melihat zinat atau keindahan tubuh seorang perempuan dikarenakan mereka adalah kelompok laki-laki yang tergolong mahram, baik mahram karena pertalian keturunan, maupun lantaran pertalian perkawinan. Namun tetap saja perlu penekanan sebagai catatan bahwa kebolehan bagi beberapa kelompok selain suami dalam melihat aurat perempuan adalah kebolehan memandang tanpa syahwat. Sebab, jika dengan syahwat maka mereka tidak dihalalkan untuk melihat keindahan perhiasan zahir dan batin wanita meskipun telah menjadi mahramnya. Dalam tolak ukur mas\la>hah, hal ini dimaksudkan dalam rangka menghindarkan diri dari penyimpangan “inhome seksual”. Terlebih lagi, sudah terlalu banyak bukti-bukti penyimpangan tersebut di tengah masyarakat, baik antara ayah terhadap anak, anak terhadap ibu, atau cucu terhadap nenek dan kakek terhadap cucu, serta perselingkuhan dengan pembantu.
Dalam beberapa pendapat terdapat perselisihan makna tentang posisi kata الا pada kalimat الا ما ظهر منها tersebut. Ada yang berpendapat bahwa “illa” adalah istisna’ muttashil yang berarti pengecualian dari apa yang telah disebutkan sebelumnya, dan yang dikecualikan dalam penggalan ayat ini adalah hiasan. Jika bertolak dari itu maka ayat ini berpesan: “Hendaknya janganlah para perempuan menampakkan hiasan (anggota tubuh) mereka, kecuali apa yang tampak.” Redaksi seperti ini tampak rancu karena apa yang tampak sudah tentu kelihatan, lantas apalagi yang mesti dilarang?. Oleh karena itu ada tiga pendapat lain yang diungkapkan M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah-nya guna meluruskan redaksi yang rancu itu.[29]
Pertama, memahami kata الا dalam arti “tetapi” (istisna munqathi’), maka kalimat tersebut bermakna: “Janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka sama sekali, tetapi apa yang tampak secara terpaksa/tanpa disengaja dapat dimaafkan”. Kedua, dengan menyisipkan penggalan kalimat pada ayat tersebut sehingga mengandung pesan lebih kurang: “Janganlah mereka menampakkan hiasan (badan mereka). Mereka berdosa jika melakukannya. Tetapi jika tanpa disengaja, maka mereka tidak berdosa.” Ketiga, memahami konteks ayat tersebut dalam arti “biasa dan dibutuhkan keterbukaannya sehingga memang harus tampak” kebutuhan di sini dalam arti menimbulkan kesulitan apabila bagian tersebut ditutup. Jika berdasar pada ketiga pendapat tersebut maka batasan aurat ini secara minimal maupun maksimalnya memiliki toleransi yang dikondisikan dengan keadaan yang dialami perempuan.
Sisi lain dari keseluruhan perintah itu adalah sebagaimana dinyatakan bahwa “yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka”, yakni dengan menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan adalah demi kehormatan, kesucian dan kebersihan hati serta memurnikan prinsip agama.[30] Apa yang diungkapkan melalui pernyataan ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ adalah dalam kerangka maslahah yang tidak berlaku temporal bagi dinamika sistem kehidupan yang lebih sehat secara biologis. Begitupula ketika perintah ini ditujukan terhadap kaum perempuan, maka ajakan Allah untuk bertaubat merupakan bukti bahwa Allah tetap membuka lebar pintu taubat kepada mereka yang tanpa sadar telah melakukan pelanggaran terhadap aturan yang telah ditetapkan pada ayat tersebut.
Apabila mengacu kepada sistematika ayat (munasabah), maka pembahasan ini merupakan rentetan dari ayat sebelumnya (ayat 29) yang menjelaskan tentang larangan memasuki rumah orang lain tanpa izin dan salam kepada penghuninya. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kecurigaan (su’u©a>n) dan untuk tidak melihat aurat serta rahasia orang lain. Dengan alasan itu pula maka pada ayat ini Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya untuk memberi petunjuk kepada orang mu’min (laki-laki dan perempuan) agar menahan pandangannya dari hal-hal yang diharamkan untuk dilihat dan dapat menjerumuskan ke dalam kerusakan.[31]
Tafsir QS al-Ah}z\a>b/33: 59
           
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (59)
Terjemahannya:

          Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[32]
           
1. Asba>b al-Nuzul
Ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa yang dialami Siti Saudah (isteri Rasulullah) ketika keluar rumah untuk suatu urusan setelah diturunkannya ayat hijab. Ia seorang wanita yang berbadan tinggi besar sehingga mudah dikenal. Pada waktu itu Umar ra. Melihatnya dan berkata: “Hai Saudah, demi Allah, bagaimanapun kami akan dapat mengenalmu. Karenanya cobalah pikir mengapa engkau keluar?” dengan tergesa-gesa ia (Saudah) pulang dan di saat itu Rasulullah berada di rumah Aisyah sedang memegang tulang saat makan. Ketika masuk ia berkata: “Ya Rasulullah, aku keluar untuk sesuatu urusan, dan Umar menegurku (karena ia masih mengenalku).” Maka turunlah ayat tersebut ketika tulang itu masih di tangan Rasulullah seraya bersabda: “Sesungguhnya Allah telah mengizinkan engkau keluar rumah untuk suatu keperluan”.[33]
            Dalam versi lain dikemukakan sebagaimana yang disebutkan oleh Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya bahwa para wanita biasa melakukan buang air besar di padang terbuka sebelum dikenalnya kakus. Di antara mereka itu dapat dibedakan antara budak dan wanita merdeka. Perbedaan itu bisa dikenali, yakni kalau wanita-wanita merdeka menggunakan hijab. Dengan begitu, para pemuda enggan mengganggunya. Sebelum turunnya ayat ini, wanita-wanita muslimah juga melakukan buang hajat di padang terbuka tersebut dan pada waktu itu orang-orang munafik mengganggu mereka. Hal ini diadukan kepada Rasulullah sehingga Rasul menegur orang-orang munafik itu. Namun mereka beralasan bahwa hanya mengganggu hamba sahaya. Maka turunlah ayat tersebut atas dasar peristiwa itu. [34]
            Latar historis turunnya ayat ini menegaskan bahwa wanita yang memamerkan auratnya, mempertontonkan kecantikan dan kemolekan tubuhnya kepada setiap orang meskipun ada yang tidak bermaksud seperti itu, akan lebih berpotensi untuk diganggu. Sebab dengan begitu, ia telah membangkitkan nafsu seksual yang terpendam. Di sisi lain, di kalangan bangsa Arab pada masa itu (berdasarkan konteks asbab al-Nuzul ayat setelah turunnya ayat hijab), pada umumnya perempuan yang berjilbab dipandang sebagai perempuan yang merdeka, sehingga mereka tidak akan diganggu oleh laki-laki yang mempunyai keinginan jahat. Begitu pula pada masa itu perempuan yang tidak mengenakan jilbab adalah perempuan budak atau bermartabat rendah, sehingga mudah dihina atau diperlakukan tidak senonoh oleh laki-laki. Sehingga tidak benar jika jilbab ini dinilai sebagai kebudayaan Arab yang dimaksudkan hanya untuk melindungi diri dari suhu udara yang panas maupun debu padang pasir.
2. Analisis Mufradat
Kembali kepada analisis leksikal ayat, beberapa kata kunci yang perlu dijabarkan antara lain;يبدين kata ini berakar dari دنا yang berarti mendekatkan,[35] mengulurkan dan menguraikan.[36] Ibn Asyur seperti dikutip oleh M. Quraish Shihab memberi arti dengan “memakai” atau “meletakkan”. Adapun kata جلباب dalam beberapa kamus berarti pakaian atau kain yang lapang dan luas;[37] selendang atau pakaian lebar yang dipakai perempuan untuk menutupi kepala, punggung, dan dada;[38] pakaian dalam (gamis), atau selendang (khimar), atau pakaian untuk melapisi segenap pakaian perempuan bagian luar untuk menutupi semua tubuh seperti halnya mantel;[39] garment, dress, gown; woman’s dress.[40]
Sementara ini makna jilbab masih diperselisihkan oleh para ulama. Ibnu Asyur misalnya memahami kata jilbab dalam arti pakaian yang lebih kecil dari jubah tetapi lebih besar dari kerudung atau penutup wajah. Ini diletakkan di atas kepala dan terulur hingga ke seluruh bahu dan belakangnya.[41] Al-Biqa’i menyebut beberapa pendapat tentang makna jilbab yang diperselisihkan tersebut, antara lain, baju longgar atau kerudung penutup kepala perempuan, atau pakaian yang menutupi baju dan kerudung, atau semua pakaian yang menutupi perempuan. Semua pendapat ini menurut Al-Biqa’i ada benarnya. Jika yang dimaksud dengannya adalah baju, maka ia menutupi tangan dan kakinya, jika kerudung, maka perintah mengulurkannya adalah menutup wajah dan lehernya. Sedangkan jika dimaknai dengan pakaian yang menutupi baju, maka perintah mengulurkannya adalah dengan membuat longgar sehingga menutupi semua badan dan pakaian.[42]
            Makna yang variatif dari jilbab tersebut mungkin saja ada yang tidak tepat, terutama ketika jilbab ini diidentikkan dengan kerudung, cadar atau tirai penutup muka, padahal kerudung tidak sama dengan jilbab. Selain itu, memang harus diakui bahwa tidak semua kata dari suatu bahasa dapat diterjemahkan dengan tepat sesuai dengan makna yang dikehendaki dalam bahasa aslinya karena latar belakang sosio-kultural pada masing-masing masyarakat pemakai bahasa itu memang berbeda-beda.
            Meskipun demikian, dari berbagai terjemahan yang telah diungkapkan, dapat ditarik benang merah bahwa yang dimaksud dengan jilbab tersebut adalah busana muslimah, yaitu suatu pakaian yang tidak ketat/longgar dengan ukuran yang lebih besar yang menutup seluruh tubuh perempuan, kecuali muka dan telapak tangan sampai pergelangan. Pakaian tersebut dapat berupa baju luar semacam mantel yang dipakai untuk menutupi pakaian dalam, tetapi juga dapat digunakan langsung tanpa menggunakan pakaian dalam[43], asalkan kainnya tidak tipis atau transparan. Sedangkan tentang bentuk atau modelnya tidak terdapat ketentuan khusus yang mengaturnya. Jadi tergantung kepada kehendak atau selera masing-masing pemakai, asalkan tetap memenuhi syarat dalam hal menutup aurat.

3. Kandungan Ayat
Pesan yang dapat diperoleh dari redaksi ayat pada QS al-Ahzab: 59 ini adalah adanya perintah untuk “mengulurkan jilbab” bagi para wanita mukmin disebabkan mereka memakai penutup kepala namun belum mengulurkan atau memanjangkannya untuk menutup bagian tertentu yang bisa memikat perhatian dan gairah birahi (nafsu syahwat) laki-laki. Dengan begitu maka mashlahah yang dikehendaki dari ayat ini adalah agar mereka dapat dikenal/dibedakan dari perempuan-perempuan lain di luar kelompok yang disebutkan pada teks ayat tersebut. Selanjutnya Allah menutup ayat ini dengan ungkapan yang memberi motivasi untuk bertaubat atas kesalahan masa lalu mereka yang sebelumnya mempertontonkan perhiasannya dan belum mengulurkan jilbabnya. Pengampunan Allah ini bahkan disertai dengan ungkapan yang memberi sugesti untuk mengejar kasih sayang Allah melalui pintu maafnya.
            Sejalan dengan semua ayat yang terangkat pada pembahasan ini, pakaian pada dasarnya adalah suatu cerminan dari identitas, jati diri, dan status seseorang, baik dari segi ekonomi maupun status sosial pemakainya. Selain itu dapat kita nilai citra estetika, kepribadian, dan kualitas moralnya. Tingkat ekonomi misalnya, tampak pada merek yang menempel pada pakaian dan aksesori-aksesori lain yang dipakai. Begitu pula citra estetika tampak dari mode, keserasian, keanggunan, bersih dan kotornya pakaian. Sedangkan kualitas moral akan tampak pada ukuran busana yang disandangnya, apakah pakaian tersebut menonjolkan lekuk-lekuk tubuh yang merangsang, atau apakah pakaian tersebut malah mencitrakan kesombongan dan keangkuhan, atau justru sebaliknya.
4. Korelasi Ayat
            Pada ayat ke-30 QS al-Nur/24, telah dijelaskan bahwa laki-laki yang beriman wajib menundukkan pandangannya dan menjaga kemaluannya. Perintah ini berkesinambungan dengan ayat selanjutnya yang juga memerintahkan hal itu kepada kaum perempuan. Logisnya, relasi laki-laki dan perempuan diibaratkan dua kutub yang berbeda dan memiliki daya magnetis yang mencoba tarik menarik satu sama lain. Oleh karena itu sangatlah tepat jika perintah menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan tersebut berlaku untuk kedua belah pihak, sebab terjadinya hal negatif seputar relasi tersebut dimungkinkan untuk terjadi apabila salah satu pihak tidak mampu menahan pandangan dan tidak menutup atau menjaga kemaluannya.
            Sejalan dengan itu, upaya aplikatif bagi perempuan sebagai bentuk preventif selain menahan pandangan dan menjaga kemaluan adalah dengan menggunakan penutup dada dan kepala yang dikenal dengan istilah jilbab, serta tidak menampakkan perhiasan mereka pada batas-batas tertentu.
Pada pembahasan ayat selanjutnya, (QS al-Ahzab/33: 59 menjelaskan ketentuan senada yang dikhususkan bagi perempuan untuk menggunakan jilbab. Meskipun perintah pada QS al-Ahzab/33 sebagai ayat yang lebih awal turun ini menghendaki perintah itu bermaksud untuk membedakan antara wanita mukmin dan dan non mukmin, namun perintah ini selanjutnya ditegaskan pada QS al-Nur/24 tersebut yang lebih menekan perintah dalam maksud yang lebih luas, yakni upaya menjaga diri dari zina. Relevansi yang lebih nyata dari ketiga ayat tersbut adalah bahwa pemeliharaan diri dari zina lahir dan zina batin tersebut adalah demi menjaga harga diri/kehormatan mereka.
C. Kesimpulan
Berdasar pada uraian pembahasan pada makalah ini, beberapa kesimpulan yang dapat diambil antara lain:
1.      Pada QS al-Nur/24: 30, secara eksplisit Allah memerintahkan kepada laki-laki beriman agar menundukkan pandangannya dari hal-hal yang dapat mengundang nafsu syahwatnya, yakni memandang kepada lawan jenisnya dengan pandangan yang berorientasi seksual. Terkait dengan itu, perintah tersebut disertai dengan perintah untuk memelihara kemaluannya, yakni menghindari perbuatan zina. Hal yang demikian tidak lain adalah demi mensucikan hati dan perbuatan mereka.
2.      Pada QS al-Nur/24: 31, menjelaskan tentang perintah yang senada dengan ayat sebelumnya, yakni perintah bagi para perempuan beriman untuk menundukkan pandangan dari memandang hal yang dapat mengotori hati dan perbuatan mereka, perintah ini dirangkaikan dengan perintah untuk memelihara kemaluan mereka, tidak menampakkan perhiasan baik yang zahir seperti aksesoris kecantikan dan juga perhiasan batin seperti aurat yang dapat memicu birahi bagi laki-laki yang melihatnya. Konsekuensi dari menutup ini maka perempuan mukmin harus menutup dirinya dengan mengulurkan kain yang menutup kepala dan dadanya atau memakai jilbab. Dalam ayat ini pula Allah memaparkan beberapa orang yang dibenarkan untuk melihat aurat perempuan dalam kondisi dan batasan tertentu.
  1. Pada QS al-Ahzab/33: 59, menjelaskan perintah yang juga tidak berbeda dengan perintah pada QS al-Nur/24: 31, yakni perintah bagi perempuan mukmin agar memakai jilbab. Jika pada ayat sebelumnya adalah perintah dalam orientasi menghindari zina, maka pada ayat ini secara tekstual hanyalah perintah yang berorientasi untuk membedakan antara perempuan mukmin dan yang non mukmin. Namun demikian, keduanya sama-sama bermaksud untuk menjaga kehormatan/harga diri perempuan.
  2. Jilbab bukanlah kebudayaan bangsa Arab yang secara geografis untuk menjaga diri dari debu dan panasnya suasana padang pasir, namun pada dasarnya jilbab adalah suatu bentuk preventif dan protektif bagi perempuan dari perilaku negatif laki-laki yang menjadikan mereka sebagai obyek seksual. Sejalan dengan itu maka yang boleh ditampakkan oleh perempuan berdasarkan hadis nabi hanyalah muka dan telapak tangan.
  3. Satu-satunya kekuatan moral-normatif yang bisa menjadi oposisi terhadap relasi manusiawi yang menyimpang adalah agama tentunya. Oleh karena itu pula maka kehadiran Alquran perlahan-lahan ingin membentuk tatanan peradaban yang lebih konstruktif dengan aturan-aturan yang lebih tegas tentang cara bersikap terhadap lawan jenis. Aturan-aturan tersebut adalah upaya preventif bagi orang-orang beriman untuk menjaga kehormatan diri dan privasi mereka, sekaligus memberikan kesadaran bahwa segala yang mereka miliki dalam bentuk “perhiasan” adalah amanah yang tidak boleh disalahgunakan.






[1]Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Intermasa, 1993), QS. al-Nur (24): 30-31.
[2]al-Qurthubi, 1993: 149. Lihat pula, M. Quraish Shihab, 2002: 324.
[3]al-Biqa’i, 1995: 255.
[4]Adib Bisri dan Munawwir, 1999: 543.
[5]Ibnu Katsir al-Dimsyaki, 1992: 272.
[6]Lihat, Ahmad Musthafa al-Maraghi, 1985: 97. M. Quraish Shihab, loc. cit.
[7]al-Mahalliy dan al-Suyuthi, 1995: 462.
[8]Al-Mawardi dalam tafsirnya mengungkapkan tiga pendapat yang berbeda tentang fungsi من dalam kalimat tersebut. Lihat, al-Mawardi, t.th.: 89. Bandingkan, Burhanuddin, loc. cit. dan Abu Abdullah, op. cit: 151.
[9]Abu Hasan, op. cit: 89. Lihat, Wahbah Zuhaily, 1991: 210, 213.
[10]Adib Bisri, op. cit: 561.
[11]Ibnu Katsir, loc. cit. Lihat pula, Abu Hasan, loc. cit.
[12]QS. Al-Mu’minun/23: 5.
[13]Ibnu Katsir, loc. cit.
[14]Abu Hasan, op. cit: 90.
[15]Wahbah Zuhaily, op. cit: 212. Diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih dari Ali bin Abi Thalib.
[16]Ibid. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Muqatil yang bersumber dari Jabir bin Abdullah.
[17]Ibid. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Hadrami.
[18]Adib Bisri, op. cit: 307.
[19]Ibid: 90-91. Bandingkan, Ibn Taimiyah, t.th.: 343.
[20]Abdullah Yusuf Ali, 1983), catatan no. 2985, h. 1012.
[21]Abu Abdullah, op. cit: 152.
[22]al-Thabari, 1992: 84.
[23]Abu Abdullah, op. cit: 153.
[24]Burhanuddin, op. cit: 258.
[25]Taqiyuddin: 344.
[26]Abu Abdullah, loc. cit.
[27]“Dan janganlah menampakkan keindahan tubuh kamu sebagaimana orang-orang jahiliah dahulu menampakkan itu.”
[28]Abu Hasan, op. cit: 95-96.
[29]M. Quraish Shihab, op. cit: 329.
[30]Wahbah Zuhaily, op. cit: 214.
[31]Burhanuddin, op. cit: 255. Lihat juga, Wahbah Zuhaily, op. cit: 213.
[32]Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Intermasa, 1993).
[33]Wahbah Zuhaily, Juz 22, op. cit: 106. Diriwayatkan oleh Bukhari yang bersumber dari Aisyah. Lihat pula, al-Wahidy, 1991: 377.
[34]Ibid: 107. Lihat pula, Abu Abdullah, op. cit., Juz 14, h. 123. Diriwayatkan oleh Ibn Sa’d di dalam al-Thabaqat yang bersumber dari Abi Malik..
[35]Adib Bisri, op. cit: 209.
[36]Ahmad Musthafa, op. cit., Juz 20, h. 36.
[37]Louis Ma’loef al-Yasu’i, 1984: 63.
[38]Ibn Manzhur, t.th.: 273.
[39]Ibrahim Anis, 1960: 128.
[40]Hans Wehr, 1971: 129.
[41]M. Quraish Shihab, op. cit: 320-321.
[42]Burhanuddin, op. cit., Juz 6, h. 135. Bandingkan dengan tiga pendapat ulama yang diungkapkan oleh Abi hasan dalam Tafsir al-Mawardi, op. cit: 423-424.
[43]“Pakaian dalam” yang dimaksud tentunya berbeda dengan istilah “pakaian dalam” dalam bahasa Indonesia atau underwear dalam bahasa Inggris. Karena jika istilah tersebut ditarik ke dalam kedua bahasa tersebut maka yang dimaksud adalah celana dan kaos dalam, singlet atau kutang (BH). Sedangkan yang dimaksud “pakaian dalam” dalam konteks surah al-Ahzab ini adalah pakaian seorang perempuan yang mengenakan blus dan rok (tentunya setelah mengenakan kutang -BH- dan celana dalam).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar