Kamis, 02 Januari 2014

Problematika Penegakan Syariat Islam (Studi terhadap Eksistensi KPPSI di Sulawesi Selatan)



PROPOSAL TESIS

Nama               : Muhammad Ghazali Rahman
NIM                : P0100203021
Konsentrasi     : Syari’ah / Hukum Islam
Judul Tesis      : Problematika Penegakan Syariat Islam (Studi terhadap Eksistensi KPPSI di Sulawesi Selatan)

A. Latar Belakang Masalah
Hadirnya kelompok-kelompok dan gerakan-gerakan, biasanya ditampilkan dalam bentuk gerakan pembela hak asasi atau perbaikan harkat kaum lemah dan tersisih. Kehendak seperti ini dengan sendirinya menegaskan suatu klaim moral, yakni humanitas universal. Dalam bentuknya yang lain, gerakan moral ini boleh jadi berdiri tegak sebagai oposisi terhadap pemerintah dengan melakukan check and balance dalam bingkai demokratisasi. Kehadiran tersebut juga merupakan suatu bentuk keprihatinan, responsibilitas dan juga suatu kesadaran kolektif atas berbagai krisis kemanusiaan.

            Dalam konteks berbangsa dan bernegara di Indonesia, setidaknya sejak negara Indonesia berdiri, kesadaran semacam itu telah mengental di kalangan umat Islam. Sebab disadari bahwa agama pada dasarnya mempunyai peran strategis dalam mengembangkan etika sosial, ekonomi dan politik. Persoalan kemudian adalah, apakah proses artikulasi nilai-nilai Islam yang mesti diperjuangkan itu perlu melibatkan institusionalisasi agama dalam praksis sosial-politik yang bersifat formalistik atau tidak ?
            Sampai saat ini, polemik seputar penegakan syari’at Islam misalnya, masih menjadi isu yang hangat untuk tetap diperbincangkan. Diskursus ini mengkristal sedemikian rupa dalam tesa dan antitesa yang secara tidak langsung mendeskripsikan suatu polarisasi umat Islam Indonesia bahkan dunia. Upaya kelompok-kelompok tertentu untuk mengaktualisasikan syari’at Islam di Indonesia bukanlah tidak menghadapi tantangan. Aspirasi ini dapat dilihat sejak awal kemerdekaan melalui konsep Piagam Jakarta yang dengan alasan tertentu pada akhirnya harus dihapus.[1]
            Kehendak untuk mengembalikan konsep Piagam Jakarta tersebut kembali bergulir pasca reformasi, sebagaimana diketahui bahwa iklim reformasi telah membuka lebar kebebasan berpendapat yang selama Orde Baru selalu dikekang. Seiring itu pula, menciutnya sentralisasi kekuasaan pusat melalui perluasan otonomi daerah ikut memberi peluang bagi daerah-daerah tertentu yang memiliki basis keislaman yang kuat secara historis untuk  kembali mencoba mengaspirasikan ide penegakan syari’at Islam.[2]
            Ada beberapa asumsi yang bisa lahir atas dasar fenomena tersebut. Tumbuhnya kegairahan untuk menegakkan syari’at Islam boleh jadi sebagai suatu bentuk respon terhadap krisis multidimensi yang melanda dunia, khususnya bangsa Indonesia. Berbagai penyimpangan moral di berbagai aspek kehidupan masyarakat, bahkan di lingkungan birokrasi / pemerintahan yang sering dikenal dengan istilah KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) menjadi stimulus reaktif untuk mencari alternatif format baru sistem hukum dan kenegaraan di Indonesia. Terlebih lagi jika menelusuri sejarah pahit perjalanan hukum di Indonesia yang hingga kini belum mampu menjamin ditegakkannya tujuan hukum, apalagi untuk tercapainya rasa keadilan.
            Salah satu kesimpulan awal  atas dasar gejala tersebut adalah dengan melihatnya sebagai indikasi munculnya "Islam Politik", meskipun istilah Islam Politik dalam pandangan umum lebih dimaknai sebagai Islam yang ditampilkan atau diaktualisasikan dalam kekuasaan, khususnya pada bidang eksekutif dan legislatif.[3] Tetapi lebih dari itu, Islam Politik tentunya tidak bisa dilepaskan dari upaya ataupun bentuk ideologisasi Islam ke dalam kekuasaan politik. Oleh sebagian yang lain memandang fenomena tersebut sebagai ekspresi-ekspresi yang akrab dengan istilah-istilah simbolik seperti halnya dengan istilah revivalisme Islam, bangkitnya kembali Islam, revolusi Islam, mempertegas kembali Islam, atau juga Islam fundamentalis. Meskipun ekspresi-ekspresi itu mengandung motivasi yang baik, namun hal itu masih dinilai sebagai bentuk apologetis dari dominasi dan hegemoni komunitas Islam yang memang mayoritas.[4]
Secara kilas balik dapat dilihat kembali bahwa sejarah politik Islam di Indonesia  lebih diwarnai oleh cerita-cerita muram. Dalam sejarahnya, pemerintah selalu menganggap Islam politik sebagai fenomena yang membahayakan. Hal ini tidak hanya dalam konteks persaingan kekuasaan, tetapi juga dikaitkan dengan ideologi dan dasar negara. Karena itulah maka pemerintahan selalu berusaha untuk melemahkan dan menjinakkan Islam politik. Sikap dasar ini ikut mempengaruhi kegagalan politik Islam dalam memperjuangkan aspirasi ideologisnya, bahkan yang lebih menyedihkan, seluruh kegiatan politik Islam tetap dicurigai sebagai manifestasi keinginan, baik terbuka maupun tidak, untuk mengganti Pancasila dengan Islam sebagai dasar  negara. Hal ini menjadi sangat ironis jika argumen ini diteruskan, sebab bagaimana mungkin dalam sebuah negara yang mayoritas penduduknya muslim, keterkaitan antara Islam dan politik yang berkembang di dalamnya tidak dapat diciptakan secara lebih baik.
            Seperti halnya sebuah konstalasi, hal ini menjadi sangat krusial ketika perkembangannya mengarah kepada antagonisme yang bersifat timbal balik. Jika dari pemerintah mengembangkan rasa curiga terhadap Islam politik sebagai kekuatan yang membahayakan ideologi negara, maka sebaliknya komunitas Islam juga melakukan hal yang sebanding, yakni pemerintah dianggap berusaha mengembangkan sekularisme politik sebagai bagian dari apa yang sering disebut dengan “islamophobia”.[5]
            Situasi yang tidak kondusif inilah yang mendorong sejumlah aktivis dan pemikir Islam “generasi kedua” untuk mengembangkan format baru politik Islam. Meskipun pergulatannya mengambil bentuk-bentuk percaturan politik, namun akar persoalannya juga tetap bersifat teologis. Ini dalam pengertian bahwa setiap interpretasi terhadap Islam akan mempengaruhi dan membentuk pemikiran dan aktivitas politik komunitas Islam. Maka dalam kerangka seperti itu, kaitan antara Islam dan politik merupakan bagian penting dari upaya melahirkan jalan keluar atas benturan-benturan ideologis sekaligus mencari rumusan format-format politik baru yang bisa lebih sesuai dengan konteks temporal keindonesiaan.
Sehingga pada dasarnya,  epistem teologis dari politik Islam yang ingin dikembangkan adalah bagaimana menampilkan Islam dalam bentuknya yang paling objektif ketika berhadapan dengan lingkungan sosial keagamaan Indonesia yang sudah terlanjur heterogen. Sebab, walaupun Islam oleh pemeluknya dipercaya sebagai agama pembawa rahmat bagi alam semesta, dalam rumusannya yang subjektif ia akan dianggap sebagai sesuatu yang bersifat mengancam dan eksklusif.
Dengan begitu, bentuk integratif transformasi subjektivisme  Islam yang partikularistik ke dalam wilayah plural itu diupayakan dengan menetralisir nuansa ancamannya. Bagaimanapun juga, penting untuk dicatat bahwa usaha ini tidak hanya sekedar panggilan religio-politik untuk menciptakan suatu simbolisme Islam di dalam kancah politik nasional Indonesia. Melainkan secara subtantif hal ini dimaksudkan untuk memberlakukan nilai-nilai yang tercakup dalam Islam yang “harus” membimbing norma-norma masyarakat.
Hal ini cukup beralasan, sebab agama, sebagaimana banyak dikemukakan orang mungkin dilihat sebagai sesuatu instrumen yang baik untuk memahami dunia.[6] Dalam hal ini, Islam mungkin saja adalah satu agama dengan tingkat kesulitan paling sedikit untuk menerima premis semacam itu dibandingkan dengan agama lain. Alasan yang yang menjadi dasar mengapa Islam memiliki sifat yang paling jelas  adalah karena “kemahakuasaan”-Nya. Ini adalah gagasan yang menyatukan bahwa di manapun Islam hadir akan memberikan sikap moral yang baik bagi bangsa manusia.
Lebih dari itu, gagasan ini sekaligus telah menjadi pedoman sebagian besar pemeluknya bahwa Islam adalah jalan hidup yang lengkap, yakni suatu yang menawarkan jalan keluar terhadap segala persoalan hidup. Gambaran yang paling utuh direpresentasikan melalui syari’at (hukum Islam) yang mencakup tiga hal: agama (al-din), dunia (al-dunya), dan negara (dawlah).[7] Dengan paradigma seperti itu maka -bagi kelompok ini- Islam harus diterima apa adanya dan segalanya, harus diterapkan dalam keluarga dan seluruh aspek kehidupan lainnya untuk membentuk wujud masyarakat Islam yang ditandai dengan berdirinya negara Islam yang secara ideologis didasarkan pada penyelenggaraan Islam secara “kaffah”.
Dalam perjalanannya, diskursus tentang syari’at Islam tidak lepas dari cara pandang terhadap bagaimana syari’at itu dipahami. Sebab, ada sejumlah faktor yang dapat mempengaruhi dan menentukan hasil dari pemahaman orang Islam atas syari’at. Persoalan sosiologis, budaya, dan intelektual menjadi bagian yang ikut menentukan bentuk-bentuk dan substansi penafsiran. Kecenderungan intelektual yang berbeda dalam usaha memahami syari’at tertentu mungkin mendasari perbedaan penafsiran terhadap suatu doktrin tertentu. Dengan demikian, ketika menerima prinsip umum tentang syari’at, orang Islam tidak hanya mengikuti interpretasi yang tunggal.[8]
Oleh karena itu, pada dasarnya polemik ini kembali menyangkut masalah penafsiran terhadap syari’at. Perbedaan sejumlah aliran dalam hukum Islam atau berbagai aliran teologi dan filsafat menunjukkan bahwa ajaran Islam adalah multi tafsir. Atas dasar sifat majemuk penafsiran dari Islam telah berfungsi sebagai basis dari fleksibilitas Islam dalam sejarah sekaligus memperkuat pluralisme dalam tradisi Islam. Sehingga sebagaimana banyak dikatakan orang, Islam tidak dan tidak mungkin akan diterima secara monolitik. Dalam waktu yang sama, karena potensi Islam terhadap perbedaan tafsir, maka tidak ada gagasan tunggal yang bersifat kesatuan tentang bagaimana Islam dan politik seharusnya dihubungkan.
Pada fenomena ini, Bahtiar Effendy misalnya melihat adanya dua arus besar intelektual dalam pemikiran politik Islam kontemporer. Karena keduanya mengakui pentingnya prinsip Islam dalam seluruh lapangan kehidupan, maka mereka dibedakan secara garis besar dalam tafsir, kecocokannya, dan penerapannya dalam dunia nyata. Dalam satu ujung spektrum, adalah mereka yang menyatakan bahwa Islam hendaknya sebagai dasar negara, bahwa syariah harus diadopsi sebagai konstitusi negara, bahwa kemerdekaan politik berada di tangan Tuhan, bahwa ide tentang negara-bangsa modern dianggap bertentangan dengan konsep ummah yang menganggap tidak ada batas politik. Sejalan dengan itu,  prinsip syura (konsultasi) merupakan salah satu bagian konsepsi yang mereka tawarkan, tetapi penerapannya berbeda dari gagasan demokrasi kontemporer. Dalam perspektif demikian maka sistem politik modern yang diusung oleh Barat ditempatkan sebagai posisi yang bertentangan dengan ajaran Islam. [9]
Kemudian pada ujung spektrum yang lain, adalah mereka yang meyakini bahwa Islam tidak memberikan dasar yang jelas dan bentuk definitif yang siap pakai menyangkut teori negara atau teori politik yang harus diikuti oleh umat. Seperti itu pula argumentasi yang melihat Islam sebagai sebuah agama tanpa memiliki sistem pemerintahan yang khas, yang lahir dari logika agama yang sesuai dengan segala zaman dan tempat, yang selalu berubah dengan kekuatan evolusi yang tidak selalu mengikuti pemikiran rasional manusia, mampu memaksakan kondisi menurut kepentingan umum dan di dalam kerangka kerja persepsi umum menurut kehendak agama.[10]
Bagi alur teoretis ini, Alquran bukanlah risalah tentang ilmu politik. Bahkan istilah negara (dawlah) menurut mereka tidak dapat dibangun di dalam Alquran. Walaupun memang ada sejumlah ekspresi di dalam Alquran yang merujuk pada kekuasaan dan otoritas politik, namun ekspresi ini adalah kata-kata yang bersifat kebetulan dan tidak memiliki konsekuensi teoritis tentang politik.[11]
Tanpa harus terjebak pada diskursus tersebut, berbagai aspek baik historis, yuridis, maupun sosiologis tampaknya memang sedikit memberi ruang gerak bagi kelompok atau gerakan tertentu yang memiliki basis pemikiran fundamental untuk tegaknya hukum Tuhan di muka bumi. Hal itu bisa jadi diupayakan dalam mengedepankan bentuk Islam struktural atau mungkin Islam kultural. Dalam formatnya yang berbeda, KPSI (Komite Penegakan Syari’at Islam) merupakan salah satu contoh kasus yang hendak penulis angkat dan kaji pada tesis ini. Keberadaan kelompok atau organisasi ini dapat dikatakan menjadi salah satu bukti bahwa kehendak untuk menegakkan syari’at Islam masih menjadi harapan banyak orang.
B. Rumusan Masalah
            Beberapa rumusan masalah yang akan penulis angkat atas dasar latar belakang tersebut antara lain yaitu:
  1. Bagaimana upaya KPSI untuk mencapai visi dan misi penegakan syari’at Islam ?
  2. Bagaimana peran KPSI sebagai wadah yang diharapkan mampu menjadi ujung tombak penegakan syari’at Islam ?
  3. Bagaimana prospek tegaknya syari’at Islam yang ingin diperjuangkan oleh KPSI ?
C. Pengertian Judul
            Sebagaimana lazimnya, pengertian judul yang dimaksud dalam hal ini adalah dimaksudkan untuk memberikan batasan operasional judul. Adapun KPSI yang dimaksudkan dalam judul tesis ini adalah singkatan dari Komite Penegakan Syari’at Islam. Dengan itu maka yang dimaksudkan melalui judul “Eksistensi KPSI dan Cita-cita Penegakan Syari’at Islam” adalah upaya menggambarkan keberadaan Komite Penegakan Syari’at Islam (KPSI) yang dibatasi pada wilayah Sulawesi Selatan serta bagaimana kontribusinya dalam cita-cita penegakan syari’at Islam. “Komite Penegakan Syari’at Islam” dalam tulisan ini selanjutnya akan lebih banyak disingkat dengan “KPSI”.
D. Tinjauan Pustaka
            Beberapa literatur yang menjadi rujukan dalam penulisan tesis ini yakni berupa  buku-buku yang diedarkan dan ditulis sendiri oleh Komite Penegakan Syari’at Islam  Sulawesi Selatan. Buku-buku tersebut merupakan beberapa panduan yang sengaja disosialisasikan untuk lebih memperkenalkan KPSI di masyarakat luas. Selain itu penulis juga mengacu pada beberapa “Surat Keputusan” yang dikeluarkan oleh KPSI melalui acara-acara resmi seperti Milad KPSI maupun yang dihasilkan melalui Kongres Umat Islam.
            Salah satu buku yang secara jelas telah memaparkan dan memperkenalkan KPSI sekaligus menjadi buku pertama yang diedarkan oleh KPSI dalam rangka sosialisasinya yaitu buku “Ikhtiar Menuju Darussalam; Perjuangan Menegakkan Syari’at Islam di Sulawesi Selatan” yang disusun oleh beberapa aktivis KPSI. Buku yang diberi pengantar langsung oleh H. A. M. Fatwa dan Abd. Aziz Qahhar Muzakkar ini banyak memaparkan derap langkah perjuangan KPSI, urgensi penerapan syari’at Islam serta gambaran idealisme, realitas dan peluang KPSI.
            Adapun buku-buku menyangkut syari’at Islam secara umum yang menjadi acuan penulis telah banyak ditulis oleh beberapa pakar. Tulisan-tulisan tersebut merupakan pandangan-pandangan mereka dalam beberapa aspek tentang syari’at Islam, baik yang setuju/pro maupun mereka yang tidak setuju/kontra.
Yusuf Qardhawi dalam bukunya Membumikan Syari’at Islam menjelaskan tentang kelebihan, kepraktisan, dan keuniversalan syari’at Islam dibandingkan hukum produk  manusia. Beliau juga menjelaskan syarat-syarat yang harus dimiliki dalam menerapkan syari’at Islam di zaman sekarang.
Dalam buku Hukum Islam di Indonesia oleh Rifyal Ka’bah dijelaskan tentang hasil pengkajian keputusan-keputusan menyangkut hukum Islam yang dikeluarkan oleh Lajnah Tarjih Muhammadiyah Lajnah Bahsul   Nahdatul Ulama.
Menegakkan Syari’at Islam dalam Konteks ke Indonesiaan; Proses perubahan Nilai-nilai Islam dalam Aspek Hukum, Politik dan Lembaga Negara yang ditulis oleh Hartono Marjono menjelaskan tentang kandungan-kandungan Alquran, dalam bentuk pemikiran manusia, khususnya dalam bidang hukum, dan umumnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Membumikan Hukum Pidana Islam (Penegakan Syari,at Islam dalam Wacana dan Agenda) oleh Topo Santoso, dijelaskan tentang potret hukum pidana Islam secara utuh dan efektifitas penerapan syari’at Islam untuk membentuk Non criminal society ‘masyarakat antikriminal’ serta agenda dan tantangan untuk membumikan hukum Islam.
Daud Rasyid dalam buku Islam Dalam Berbagai Dimennsi, dijelaskan tentang keberadaan syari’at dalam melihat berbagai fenomena-fenomena atau peristiwa-peristiwa yang terjadi dewasa ini untuk menjadi bahan renungan dan pelajaran bagi umat Islam.
Dalam buku Hukum dan Konstitusi; Sistem Politik Islam oleh Abul A’la Al-Maududi dijelaskan tentang aspek-aspek hukum Islam, yang meliputi legislasi ijtihad dalam Islam serta upaya-upaya konstruktif penegakan hukum Islam dalam suatu negara, juga membahas pemikiran politik dan konstitusi Islam, yang meliputi pembahasan teori politik Islam, konsep politik Alquran, prinsip-prinsip dasar pemerintahan Islam, landasan konstitusi Islam menurut Alquran dan Sunnah, dan terakhir membahas mengenai hak-hak non Muslim di suatu negara Islam.
Beberapa literatur tersebut merupakan bahan analisis komparatif bagi penulis untuk melihat setiap paradigma pikir para pakar terhadap syari’at Islam yang kemudian membawanya pada konsep syari’at Islam yang ditawarkan oleh KPSI. Sehingga  dengan itu dapat dilihat sejauhmana eksistensi KPSI dapat menjadi pionir bagi upaya penegakan syari’at Islam di Sulawesi Selatan.
E. Metode Penelitian
            Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) yang akan dianalisis secara deskriptif-kualitatif. Beberapa pendekatan yang penulis gunakan dalam analisis tersebut yakni:
1.        Historis, dengan pendekatan ini penulis akan memaparkan secara kronologis latar belakang lahirnya KPSI di Sulawesi Selatan.
2.        Sosiologis, pendekatan ini dimaksudkan untuk menganalisa kondisi objektif masyarakat yang mendorong KPSI bermaksud  untuk menegakkan syari’at Islam di Sulawesi Selatan.
3.        Politik, yakni melihat prospek eksistensi KPSI secara organisatoris  di tengah situasi politik bangsa, hal ini menyangkut tanggapan atau respon pemerintah terhadap KPSI serta peluang dan tantangannya ke depan dalam mencapai cita-cita penegakan syari’at Islam.
Dengan pendekatan tersebut, maka pengumpulan data secara teknis diperoleh melalui wawancara terhadap tokoh-tokoh KPSI maupun dari pihak pemerintah dan beberapa dokumentasi kegiatan KPSI sejak awal berdirinya.
F. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penelitian ini merupakan syarat penyelesaian akhir studi penulis pada program pascasarjana yang secara akademis (academic significance) bertujuan untuk menambah informasi dan memperkaya khazanah ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu keislaman pada khususnya, sekaligus menjadi sarana sosialisasi terhadap eksistensi KPSI di Sulawesi Selatan. Dengan itu maka hasil penelitian ini diharapkan mempunyai arti kemasyarakatan (social significance), khususnya bagi masyarakat muslim yang mempunyai kepedulian terhadap perlunya syari’at Islam ditegakkan.
G. Garis-garis Besar Isi
            Bab pertama, sebagai bab pendahuluan yang menguraikan latar belakang masalah, yakni hadirnya KPSI sebagai wadah penegakan syari’at Islam dan pandangan umum terhadap urgensitas syari’at Islam; rumusan masalah; pengertian judul yang dimaksudkan untuk mengetahui definisi  operasional dari ruang lingkup pembahasan; tinjauan pustaka, dengan tujuan untuk mengetahui orisinalitas penelitian tesis ini; metode penelitian; serta tujuan dan kegunaan penelitian secara teoritis maupun praktis.
            Bab kedua, dalam bab ini penulis akan memaparkan tentang kondisi umum KPSI secara organisatoris, baik menyangkut awal eksisnya, visi dan misi, serta konsep gerakannya atau arah perjuangannya.
            Bab ketiga, melalui bab ini penulis akan memaparkan strategi KPSI dalam menegakkan syari’at Islam, yakni menyangkut sosialisasi dan percontohan daerah penrapan syari’at  Islam serta upaya alternatif melalui Peraturan Daerah (PERDA Syari’at) di Sulawesi Selatan.
            Bab keempat, bab ini akan menguraikan peran dan prospek KPSI secara organisatoris bagi upaya penegakan syari’at Islam di Sulawesi Selatan. Dalam hal ini adalah menyangkut tantangan dan peluangnya secara politis serta respon pemerintah terhadap sepak terjang KPSI Sulawesi Selatan.
            Bab kelima, merupakan bab penutup yang akan menguraikan beberapa kesimpulan dan saran berdasarkan hasil penelitian penulis menyangkut eksistensi KPSI dan cita-cita penegakan syari’at Islam di Sulawesi Selatan.


KOMPOSISI BAB

BAB I             PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
B.     Rumusan Masalah
C.     Pengertian Judul
D.    Tinjauan Pustaka
E.     Metode Penelitian
F.      Tujuan dan Kegunaan
G.    Garis Besar Isi

BAB II            MENGENAL KPSI
A.    Latar Belakang Lahirnya KPSI
B.     Konsep Gerakan KPSI

BAB III          STRATEGI KPSI DALAM MENEGAKKAN SYARI’AT ISLAM DI SULAWESI SELATAN
                        A.  Maksimalisasi Daerah Percontohan Pemberlakuan Syari’at
B.   Alternatif Pemberlakuan Peraturan Daerah (PERDA Syari’at)
                       
BAB IV          PERAN DAN PROSPEK KPSI DALAM MENEGAKKAN SYARI’AT  ISLAM DI SULAWESI SELATAN
                        A. Kontribusi KPSI Bagi Penegakan Syari’at Islam
B. Prospek KPSI Secara Organisatoris Dalam Tantangan dan Peluang Penegakan Syari’at Islam
C. Respon Pemerintah Terhadap Perjuangan KPSI Di Sulawesi Selatan

BAB V            PENUTUP
A.    Kesimpulan
B.     Saran-saran
                                   
                       
Daftar Pustaka

Amal, Taufik Adnan dan Samsu Rizal Panggabean, Politik Syari’at Islam ,dari indonesia hingga Nigeria, Cet. I; Jakarta: Pustaka Advokat, 2004.
Arifin, Busthanul. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia; Sejarah, Hambatan, dan Prosepeknya. Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Ayudi, Nazih. Political Islam; Religion and Politic in The Arab World. Cet. I; New York: Routledge, 1991.
Azra, Azyumardi. “Islam di Tengah Arus Transisi Menuju Demokrasi” dalam Abdul Mu’nim D.Z., (ed.) Islam di Tengah Arus Transisi Menuju Demokrasi. Cet. I; Jakarta: Kompas, 2000.
Bellah, Robert N. Beyond Belief; Essays on Religion in a Post-Tradisionalist World. Cet. I; Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1991.
Do’i. A. Rahman. Syari'ah The Islamic Law, diterjemahkan oleh Zainuddin dan Rusydi Sulaiman dalam judul Syari'a II; Hudud dan Kewarisan, Ed. I, Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.
Effendy, Bahtiar. Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan; Perbincangan Mengenai Islam, Masyarakat Madani dan Etos Kewirausahaan. Cet. I; Yogyakarta: Galang Press, 2001.
Haq, Hamka. Syari’at Islam; Wacana dan Penerapannya. Cet. I; Ujung Pandang: Yayasan al-Ahkam, 2001.
KPSI Sulawesi Selatan, “Laporan Hasil Musyawarah Kerja KPSI Sulawesi Selatan” pada tanggal; 23-24 Rabiul Akhir 1425H/12-13 Juni 2004M, bertempat di Pondok Madinah Makassar, Makassar: KPSI SulSel, 2004.
________________, Dakwah dan Jihad KPSI Sulawesi Selatan, Makassar: KPSI SulSel, 2003.
________________, Tiga Tahun (21 Oktober 2000-2003) KPSI Sulawesi Selatan,”Otonomi Khusus Daerah Sulawesi Selatan untuk Tegaknya Syari’at Islam”, Makassar: KPSI SulSel, 2003.
KPPSI, Ikhtiar Menuju Darussalam; Perjuangan Menegakkan Syari’at Islam di Sulawesi Selatan. Cet. I; Jakarta: Mitra Sukses Billah, 2005.
Lindrung, Tamsil. “Peran dan stategi Pemda dalam membumikan Syari’at Islam”, Makalah, disampaiakan dalam seminar pada Kongres III Umat Islam di Bulukumba.
Mahrus. A. H.A. Patabai Pabokori; Mengawal Bulukumba Ke Gerbang Syari’at Islam. Cet. I; Makassar: Karier Utama, 2005.
Mardjono, Hartono. Menegakkan Syari'at Islam dalam Konteks Keindonesiaan; Proses Penerapan Nilai-nilai Islam dalam Aspek Hukum , Politik, dan Lembaga Negara. Cet. I; Bandung: Mizan, 1997.
Al-Maududi, Abu A’la. The Islamic Law and Contitusion, ed. 5. Lahore (Pakistan): Islamic Publication, 1975).  Diterjemahkan oleh Asep Hikmat, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam. Cet. VI; Bandung: Mizan, 1998.
Minhajuddin. Sistematika Filsafat Hukum Islam. Cet. I; Ujung Pandang: AHKAM, 1999
Muchsin. H.  Masa depan Hukum Islam di Indonesia. Cet. I; Jakarta: Badan Penerbit IBLAM, 2004.
Muslehuddin, Muhammad, Philosophy of Islamic Law and The Orientalist; A Comparative Study of Islamic Legal System. Diterjemahkan oleh Yudian Wahyudi Asmin, et. al., dalam judul Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis; Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam. Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997.
Qardhawi, Yusuf. Madkhal Li Diasah Al-Syari’ah Al-Islamiyyah, terjemahannya; Membumikan Syari’at Islam, Keluwesan Aturan Ilahi Untuk Manusia. Cet. I; Bandung: Mizan, 2003.
Santoso, Topo. Membumikan Hukum Pidana Islam; Penegakan Syari’at Islam Dlam Wacana dan Agenda. Cet. I; Jakarta: Gema Insani, 2003.
Shihab, Alwi. “Piagam Jakarta; Kisah Tujuh Kata Sakral” dalam A. Syafi’I Ma’arif, et. al., Syari'at Islam Yes Syari'at Islam No; Dilema Piagam Jakarta dalam Amandemen UUD 1945. Cet. I; Jakarta: Paramadina, 2001.


                   


[1]Lihat, Alwi Shihab, “Piagam Jakarta; Kisah Tujuh Kata Sakral” dalam A. Syafi’I Ma’arif, et. al., Syari'at Islam Yes Syari'at Islam No; Dilema Piagam Jakarta dalam Amandemen UUD 1945 (Cet. I; Jakarta: Paramadina, 2001), h. 3-7.
[2]Gejolak tersebut dapat dilihat misalnya di Aceh dan Sulawesi Selatan.
[3]Lihat, Azyumardi Azra, “Islam di Tengah Arus Transisi Menuju Demokrasi” dalam Abdul Mu’nim D.Z., (ed.), Islam di Tengah Arus Transisi Menuju Demokrasi (Cet. I; Jakarta: Kompas, 2000), h. xxiii.
[4]Lihat, Bahtiar Effendy, Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan; Perbincangan Mengenai Islam, Masyarakat Madani dan Etos Kewirausahaan (Cet. I; Yogyakarta: Galang Press, 2001), h. 167.
[5]Lihat, Hadimulyo “Islamofobia “ dalam A. Syafi’i Ma’arif, et. al., Syari'at Islam Yes…h. 51-55.
[6]Alasan tersebut merupakan argumen yang dipertahankan oleh Robert N. Bellah. Lihat, “Islamic Transition and the Problems of Modernization”, dalam Beyond Belief; Essays on Religion in a Post-Tradisionalist World (Cet. I; Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1991), h. 146.
[7]Nazih Ayudi, Political Islam; Religion and Politic in The Arab World (Cet. I; New York: Routledge, 1991), h. 63-64.
[8]Lihat, Bahtiar Effendy, Masyarakat Agama… h. 169.
[9]Ibid., h. 170.
[10]Ibid., h. 171.
[11]Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar