Rabu, 01 Januari 2014

REKONSTRUKSI MANAJEMEN PENDIDIKAN



REKONSTRUKSI MANAJEMEN PENDIDIKAN

(Kritik Atas Kurikulum Pendidikan Nasional Dalam
Internalisasi Nilai Etika Ilmu Pengetahuan)
Oleh: St. Rahmah Syarifuddin

Pendahuluan
Adalah sebuah keniscayaan sejarah bahwa majunya suatu bangsa tergantung pada tingkat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Asumsi ini dapat kita benarkan. Misalnya dalam tarikh Islam yang dimulai dari pembentukan Negara Madinah oleh Nabi Muhammad saw. sampai pada zaman Dinasti Abbasiyyah terlihat betapa majunya negara-negara Islam pada saat itu. Hal ini disebabkan karena ilmu pengetahuan merupakan hal yang "wajib" untuk dimiliki oleh setiap orang. Bahkan seorang panglima perang Sultan Ma'mum mengatakan kepada anaknya "jikalau engkau ke pasar dan ingin berhenti, maka berhentilah di depan toko buku atau toko penjual senjata. Hal ini memberikan gambaran kepada kita betapa ilmu pengetahuan itu sangat penting.

Selanjutnya percepatan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut membawa manusia untuk memperoleh kemudahan dalam semua aktivitas kesehariannya. Bahkan perkembangan tersebut telah memicu terjadinya gerakan revolusi industri di Inggris dan revolusi politik di Perancis. Revolusi ini sekaligus merupakan babak baru terhadap perjalanan dunia ilmu pengetahun sampai sekarang ini.
Loncatan-loncatan berpikir manusia pasca revolusi telah memberikan peluang lebih banyak terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, menyebabkan pola hidup manusia bergeser dari kualitatif-spiritual menjadi kuantitatif-material. Lebih jauh manusia senantiasa diperhadapkan pada kebenaran-kebenaran praktis-pragmatis, di mana nilai sesuatu dilihat dari kegunaannya.
Nilai praktis-pragmatis selanjutnya terinternalisasi dalam dunia pendidikan, sehingga pola pendidikan cenderung mengarah kepada pembobotan kognitif dan psikomotorik belaka. Padahal konsepsi pendidikan tidak hanya bertumpu pada aspek kognitif dan psikomotorik, akan tetapi aspek afektif adalah hal yang cukup fundamental dalam membentuk sikap seseorang.

 

Kerangka Pikir

Filsafat sangat penting karena merupakan alat pertimbangan dalam mengambil keputusan tentang setiap aspek kurikulum. Hal ini disebabkan karena filsafat itu sebagaimana yang kita pahami memiliki tiga aspek paradigma ilmu pengetahuan, yaitu :

1.      Aspek ontologis.
2.      Aspek epistemologis.
3.      Aspek etis.
Ad. 1 Aspek ontologis.
Aspek ontologis merupakan jawaban atas pertanyaan apa dan mengapa ilmu pengetahuan itu ada. Oleh karena itu aspek ini bertitik sentral pada obyek, baik material maupun formal. Mengangkat obyek materi yaitu ilmu pengetahuan itu sendiri. Seperti diketahui bahwa filsafat mempunyai obyek materi segala sesuatu yang ada, bahkan yang adanya dalam kemungkinan sekalipun menjadi sasaran penyelidikan. Sedangkan ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang ada, maka wajarlah jika segala jenis dan bentuk ilmu pengetahuan menjadi obyek materi filsafat.
ad.2. Aspek epistemologi
Aspek ini merupakan jawaban dari pertanyaan bagaimanakah ilmu pengetahuan itu. Titik sentral persoalannya adalah apakah kebenaran dan bagaimana mengetahuinya, yang dapat diketahui melalui tiga teori kebenaran yaitu teori koheren, teori koresponden dan teori pragmatik.
ad.3. Aspek etis,
Aspek etis merupakan pertanggungjawaban atas kebenaran epistemologis ke dalam prilaku eksistensial, demi tujuan kehidupan manusia menurut dasar realita ontologis. Jadi aspek ini bersangkutan langsung dengan prilaku yaitu tanggungjawab ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap tujuan kehidupan yaitu kebahagiaan.[1]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa dengan pendekatan ketiga aspek paradigma filsafat ilmu pengetahuan, manusia diharapkan agar dapat mengerti dan mempunyai pandangan yang menyeluruh dan sistematis mengenai alam semesta tempat manusia berada, serta manusia menyadari bahwa dirinya merupakan bahagian dari alam semesta ini.[2]
Untuk mencapai pemahaman tersebut, dunia pendidikan menjadi sorotan yang cukup signifikan. Hal ini dimungkinkan karena dunia pendidikan adalah merupakan ujung-tombak untuk mensosialisasikannya melalui kurikulum. Kurikulum sebagai jantung hatinya pendidikan sesuai dengan asal pengertiannya, menurut bahasa Latin ialah suatu "landasan-terbang”, suatu arah yang dilalui seseorang untuk mencapai tujuan, seperti di dalam suatu perlombaan. Bentuk pelajaran ini dimasukkan di dalam istilah pendidikan sebagai kurikulum, atau kadang-kadang disebut bahan pelajaran. Apapun namanya, kurikulum itu menggambarkan landasan di atas, di mana murid dan guru berjalan mencapai tujuan pendidikan.[3]
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kurikulum adalah merupakan instrumen pendidikan yang dipergunakan oleh murid dan guru untuk mencapai tujuan pendidikan.
Oleh karena itu, rancang-bangun sebuah kurikulum dalam tulisan ini mengacu pada tiga aspek paradigma filsafat ilmu pengetahuan, yakni rancang-bangun kurikulum yang secara ontologis harus memperhatikan tentang hakikat manusia, khususnya hakikat anak dan sifat-sifatnya, secara epistemologis senantiasa memperhatikan sumber-sumber kebenaran, dan bagaimana mencapainya, dan secara etis harus memperhatikan tentang nilai-nilai yang hendaknya menjadi pegangan hidup kita, tentang apakah yang baik, apakah hidup yang baik, apakah yang sebaiknya diajarkan kepada anak-didik, apakah peranan sekolah dalam masyarakat, apakah peranan guru dalam proses belajar mengajar, dan lain-lain. Bahkan lebih jauh dapat memberikan pemahaman bahwa ilmu pengetahun yang ajarkan tidak terpisah dan terkotak-kotakkan antara satu dengan yang lainnya. Tetapi sebaliknya terkait secara interdisipliner dan bahkan multidisipliner.[4] Filsafat yang kabur akan menimbulkan kurikulum yang tidak menentu arahnya.[5]
            Oleh karena itu dapat dipahami bahwa rancang-bangun kurikulum pendidikan dalam tulisan ini adalah untuk menjadi landasan dalam memahami tentang hakikat manusia, khususnya hakikat anak dan sifat-sifatnya, sumber kebenaran dan nilai-nilai yang hendaknya menjadi pegangan hidup kita, tentang hidup yang baik, hal-hal yang sebaiknya diajarkan kepada anak-didik.

Kurikulum Pendidikan Nasional dalam Internalisasi Nilai Etis
Telah dimaklumi bersama bahwa salah satu tujuan nasional seperti telah digariskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah "mencerdaskan kehidupan bangsa" dan khusus mengenai pendidikan pada bab XIII pasal 31 ditetapkan bahwa "1) tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran; 2) pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistim pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang.
Dalam rangka melaksanakan amanat dan melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, maka Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) menetapkan bahwa pembangunan pendidikan nasional berdasarkan atas pancasila dan bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian, dan mempertebal semangat kebangsaan. Dengan demikian diusahakan agar pembangunan pendidikan dapat menumbuhkan manusia-manusia yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggungjawab terhadap pembangunan bangsa.[6]
Apabila kita mencermati pembangunan pendidikan di atas, dapat dipahami bahwa pembangunan pendidikan nasional bertujuan, 1) meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, 2) mencerdaskan, 3) meningkatkan keterampilan, 4) mempertinggi budi pekerti, 5) memperkuat kepribadian dan 6) mempertebal semangat kebangsaan.
 Namun demikian, setelah terjadinya perubahan kurikulum sedemikian rupa yang lebih condong kepada hal-hal yang kuantitatif, maka sistem yang terbangun adalah sistem pendidikan yang bermodel "pabrik". Pendidikan dengan model pabrik menekankan pada penetapan kurikulum semata-mata untuk menjawab setiap tahapan produksi. Dalam pekembangan selanjutnya, di mana tuntutan hidup yang semakin kompleks dan ukuran keberhasilan senantiasa bertumpu pada nilai material, maka orientasi dunia pendidikan pun mulai bergeser. Pengembangan kurikulum telah didekati dengan asumsi "bagaimana peserta didik dengan ilmunya dapat bekerja dengan cepat atau peserta didik siap pakai."[7] Hal ini sejalan dengan pendapat Dewey bahwa tujuan pendidikan adalah warga masyarakat yang demokratis. Isi pendidikannya lebih mengutamakan bidang-bidang studi seperti IPA, sejarah, keterampilan, serta hal-hal yang berguna atau yang langsung dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Metode saintifik lebih dipentingkan dan bukan metode memorisasi seperti pada esensialisme. Praktek kerja di laboratorium, bengkel, kebun percontohan merupakan kegiatan-kegiatan yang dianjurkan dalam rangka terlaksananya learning by doing. Pandangan Dewey tersebut berkaitan erat dengan progresivisme yang menolak otoritarianisme dan absolutisme dalam segala bentuk, misalnya terdapat dalam agama, politik, etika dan epistemologi. Aliran ini juga berkeyakinan bahwa tugas pendidikan sebenarnya tidak lain adalah meneliti sejelas-jelasnya kesanggupan-kesanggupan manusia itu dan menguji kesanggupan-kesanggupan itu dalam pekerjaan praktis yang berarti manusia hendaknya mengkaryakan ide-ide dan pikiran-pikirannya.[8]
Hal ini dapat disepakati. Oleh karena keberhasilan suatu sistem pendidikan ditentukan dari kompetensi keluarannya dalam menghadapi zamannya. Karenanya, kurikulum pendidikan pun disusun sedemikian rupa, sehingga beberapa materi mengalami pengurangan porsi waktu. Misalnya materi agama di sekolah-sekolah umum dan beberapa sekolah agama terpaksa "menjamak" beberapa materi ke dalam satu materi.
Akhirnya, pendidikan kita dewasa ini dengan pendekatan kurikulum yang mengarah kepada "siap pakai" tidak dapat menanamkan nilai-nilai moral-etika kepada peserta didik. Dalam hal ini aspek afektif tidak berjalan seimbang dengan aspek kognitif dan psikomotorik. Penulis ingin mengilustrasikan dunia pendidikan kita bahwa jikalau "si A secara kognitif telah memahami tentang teori "bom", kemudian secara psikomotorik ia terampil dalam memparktekkan/merakit bom, maka ia telah dianggap lulus. Tetapi karena nilai afektif (penghayatan akan nilai-nilai baik yang bersumber dari budaya maupun agama) tidak tertanam dengan baik, maka si A menggunakan ilmunya tentang bom itu tanpa memperhitungkan sekelilingnya. Contoh kasus yang masih hangat dalam ingatan kita adalah terdapatnya ancaman bom di mana-mana dan bahkan ada yang meledakkannya karena rupiah. Melihat fenomena tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kurikulum pendidikan nasional tidak sepenuhnya memberikan andil dalam internalisasi nilai moral-etis kepada anak didik.

Rancang-Bangun Kurikulum yang Efektif
            Pada pembahasan sebelumnya secara gamblang dapat dilihat bahwa kurikulum pendidikan tidak dapat mengakumulasi proses penanaman nilai-nilai moral kepada anak didik. Selanjutnya pada bagian ini membahas kurikulum yang efektif menurut paradigma filsafat ilmu pengetahuan, namun sebelumnya akan diuraikan aliran-aliran filsafat yang mendasari terbentuknya kurikulum, yakni :
1. Aliran Perenialisme
            Aliran ini bertujuan mengembangkan kemampuan intelektual anak melalui pengetahuan yang "abadi, universal dan absolute" atau "perennial". Kurikulum yang didinginkan oleh aliran ini adalah subjeck atau mata pelajaran yang terpisah sebagai disiplin ilmu dengan menolak penggabungan seperti IPA atau IPS. Aliran ini menganggap yang dapat mengembangkan intelektual seperti matematika, fisika, kimia, dan biologi. Sedangkan yang berkenaan emosi dan jasmani seperti seni rupa dan olah raga sebaiknya dikesampingkan.
2. Aliran Idealisme
            Aliran ini berpendapat bahwa kebenarana itu berasal dari "atas", dari dunia supranatural dari Tuhan. Kebenaran ini, termasuk dogma dan norma-normanya bersifat mutlak. Apa yang datang dari Tuhan baik dan benar. Tujuan hidup ialah memenuhi kehendak Tuhan.
            Umumnya teori ini diterapkan di sekolah yang berorientasi religius. Semua siswa diharuskan mengikuti pelajaran agama, menghadiri khotbah dan membaca kitab suci. Biasanya disiplin termasuk ketat, pelanggaran diberi hukukma yang setimpal bahkan dapat dikeluarkan dari sekolah. Namun pendidikan intelektual tetap diutamakan dengan menetukan standar mutu yang yang tinggi.
3. Aliran Realisme
            Aliran ini mencari kebenaran melalui pengamatan dan penelitian ilmiah dan menekankan bahwa tujuan hidup adalah memperbaiki kehidupan melalui penelitian ilmiah. Dalam sekolah yang beraliran realisme mengutamakan pengetahuan yang sudah mantap sebagai hasil penelitian ilmiah yang dituangkan secara sistematis dalam berbagai disiplin ilmu dan mata pelajaran, mulai dari teori dan prinsip yang fundamental sampai pada praktek dan aplikasinya. Karena mengutamakan pengetahuan yang esensial, maka pelajaran "embel-embel" seperti keterampilan dan kesenian dianggap tidak perlu.
4. Aliran Pragmatisme
            Aliran ini disebut juga aliran instrumentalisme atau utilitarianisme dan berpendapat bahwa kebenaran adalah buatan manusia berdasarkan pengalamannya. Tidak ada kebenaran mutlak, kebenaran adalah tentative dan dapat berubah. Dalam aliran ini tugas guru bukan mengajar dalam arti menyampaikan pengetahuan, melainkan memberi kesempatan kepada anak untuk malakukan berbagai kegiatan guna memecahkan masalah. Dengan dasar kepercayaan bahwa belajar itu hanya dapat dilakukan oleh anak sendiri, bukan karena "dipompakan ke dalam otaknya".
5. Aliran Eksistensialisme
            Aliran ini mengutamakan individu sebagai factor dalam menetukan apa yang baik dan benar. Norma-norma hidup berbeda secara individual dan ditentukan masing-masing secara bebas, namun dengan pertimbangan jangan menyinggung perasaan orang lain. Tujuan hidup adalah menyempurnakan diri, merealisasikan diri.
            Sekolah yang berdasarkan aliran ini mendidik anak agar ia menemtukan pilihan dan keputusan sendiri dengan menolak otoritas orang lain. Sekolah ini menolak segala kurikulum, pedoman, instruksi, buku wajib, dan lain-lain dari pihak luar. Anak harus mencari identitasnya sendiri, menentukan standarnya sendiri dan kurikulumnya sendiri. Dengan sendirinya mereka tidak dipersiapkan untuk menempuh ujian nasional. Pendidikan moral tidak diajarkan juga tidak ditetapkan aturan-aturan yang harus mereka patuhi. Bimbingan yang diberikan sering bersifat nondirektif, dimana guru banyak mendengarkan dan mengajukan pertanyaan tanpa mengingatkan apa yang harus dilakukan anak.[9]
            Aliran-aliran filsafat di atas masing-masing memiliki dasar pemikiran sendiri dan memiliki kelebihan dan kekurangan. Jikalau hanya salah satunya yang mendasari terbentuknya kurikulum pendidikan, jelas tidak akan representatif dalam mengakumulasi paradigma filsafat ilmu pengetahuan.
            Oleh karena itu, meninjau kembali rancang-bangun pendidikan nasional saat ini, dengan mengacu kepada kebutuhan masyarakat "global", maka restrukturisasi subtansi kurikulum dan konsistensi pelaksanaannya merupakan harapan semua pihak. Dengan demikian, menata kembali "paradigma lalu" merupakan pilihan utama, yakni dengan merestrukturisasi atau me-reshaping-kan kembali kurikulum pendidikan nasional dari aspek subtansial, ideal, agar relevan, dan mampu mengembangkan aspek kognitif, afektif dan psikomotor (pengetahuan, sikap dan keterampilan) anak didik.
            Dengan demikian satu-satunya jalan yang dianggap sebagai "saver" terhadap masa depan anak didik dan masa depan bangsa adalah dengan mereformasi pendidikan nasional, dengan menciptakan paradigma baru pendidikan nasional yang menekankan pada kurikulum yang ideal-subtansial dan aktual-operasional.[10]
            Selanjutnya dalam konteks filsafat ilmu pengetahuan paradigma baru pendidikan adalah memadukan antara subtansialisme dengan progresivisme. Di mana orientasi subtansialisme banyak menitikberatkan pada aspek kepribadian, nilai-nilai intrinsik, kualitatif dan primer. Sedangkan orientasi progresivisme banyak menekankan pada penampilan, nilai-nilai ekstrinsik, kuantitatif dan sekunder. Dengan demikian dari hasil perpaduan itu akan melahirkan paradigma baru dalam pendidikan yang disebut kostruktivisme. Paradigma inilah yang menjadi dasar dalam membuat rancang-bangun kurikulum pendidikan nasional. Rancang-bangun kurikulum pendidikan nasional inilah yang diharapkan menjadi solusi dalam memecahkan persoalan pendidikan di Indonesia dewasa ini. Hal ini dimungkinkan karena dengan kurikulum itu dapat menghasilkan anak didik yang memiliki kecerdasan intelektual dan bermoral yang tinggi, sehingga melahirkan kepribadian yang utuh.[11] Pada akhir tulisan ini penulis ingin menyatakan bahwa idealnya pendidikan Indonesia seperti bangsa Jepang yang mengusai sains dan teknologi canggih, tetapi mereka dikatakan pula agamis karena diilhami oleh ajaran Shinto. Atau dengan kata lain penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih oleh Negara Jepang tetap balance dengan nilai-nilai moralitasnya.

Kesimpulan
Berdasarkan dari uraian tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1.      Kurikulum pendidikan nasional banyak mengarah kepada pencerdasan dan penguasaan keterampilan, sehingga tidak representatif dalam menjembatani nilai-nilai moral terhadap anak didik.
2.      Rancang-bangun kurikulum pendidikan yang efektif dalam menginternalisasi nilai-nilai moralitas adalah rancang-bangun kurikulum konstruktifisme.



[1]Suparlan Suhartono, 1997: i
[2]Abdullah Idi, 1999: 57.
[3]Abdullah Idi, op. cit: 57.
[4]Suparlan Suhartono, op. cit: 3.
[5]Ibid.
[6]Imansyah Alipandie, 1984: 11.
[7]Lihat situs internet Email : info@mizan.com, Plong Hernowo, Tujuh Penyakit Pendidikan.
[8]Orientasi Jurnal Agama, Filsafat, dan Sosial, edisi I tahun 1997/Sya'ban 1418 : Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, h. 43.
[9]S. Nasution, op. cit: 23.
[10]Abdullah Idi, op.cit: 221.
[11]Suparlan Suhartono, Transparan Materi Kuliah PPs UNM, tanggal 1 Oktober 2001.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar