AL-MATURIDIYAH:
AL-BAZDAWI
dan Pengaruh
al-Maturidiyah dalam Dunia Islam
Oleh: St.
Rahmah Sy.
PENDAHULUAN
Problematika bermunculan setelah wafatnya
Rasulullah, karena salah satu nara sumber utama Islam pada tiap persoalan telah
berpulang ke-rahmatullah. Problema ini mencul karena latar belakang yang
berbeda-beda, baik itu politik, aqidah dan sebagainya. Akses dari problematika
ini melahirkan sekte-sekte, baik politik, aqidah maupun aliran-aliran
pemikiran.
Pergulatan aliran pemikiran di dunia
Islam menjadi aset utama dalam memperkaya corak pemikiran dan menambah khasanah
intelektual muslim didunia. Dari hasil pergulatan ini maka dikenallah
aliran-aliran teologi seperti Khawarij, Murjiah, Qadariah, Jabariah,
Mu’tazilah, dan Ahl-al-Sunnah wa al-Jama’ah (Asy’ariah dan Maturidiah).
Asy’ariah adalah aliran teologi
tradisional yang disusun dan dibangun oleh Abu Hasan Al-Asy’ari, yang merupakan
reaksi atas teologi Mu’tazilah yang rasional.[1]
Karena kerasionalan Mu’tazilah ini memberikan keluwesan akal yang
seluas-luasnya dalam berfikir-menjadi sebab timbulnya anggapan dikalangan
sebahagian umat Islam bahwa mereka lebih mengutamakan rasio dari pada wahyu.
Anggapan ini selanjutnya membawa kepada tuduhan bahwa kaum Mu’tazilah adalah
golongan Islam yang tersesat dari jalan yang lurus.[2]
Salah satu sakte aliran Ahl al-Sunnah wa
al-Jama’ah adalah al-Maturidiah (samarkand) yang diperoleh oleh Abu Mansur
al-Maturidiy tampil bersama al-Asy’ariah dalam menentang ajaran-ajaran
Mu’tazilah.[3]
Pada dasarnya aliran al-Maturidiah ini
berupaya mengambil jalan tengah antara Mu’tazilah dan al-Asy’ariah, namun pada
perkembangan selanjutnya al-Maturidiah cenderung mendekati pemikiran Mu’tazilah
meskipun tidak seekstrem dengan Mu’tazilah. Hal ini memunculkan perbedaan paham
pada penganut al-Maturidiah itu sendiri.
Salah satu pengikut al-Maturidiah yang
kontroversi adalah al-Bazdawi sehingga dapat dikatakan bahwa aliran
al-Maturidiyah terdapat dua golongan: Golongan al-Maturidiyah di Samarkand
yaitu pengikut-pengikut al-Maturidiyah itu sendiri, dan golongan di Bukharah
yaitu pengikut-pengikut Bazdawi.[4]
Golongan kedua ini cenderung kepada pendapat-pendapat al-Asy’ariah.
PEMBAHASAN
Untuk pembahasan makalah ini, penulis
memberikan batasan yang akan dipermasalahkan agar tidak terjadi kesalahpahaman
dalam seminar yaitu berkisar diseputar:
- Riwayat hidup al-Bazdawi,
- Pemikiran-pemikiran al-Bazdawi, dan
- Bagaimana pengaruh al-Maturidiyah dalam dunia Islam.
a.
riwayat hidup
Nama lengkap al-Bazdawi adalah Abu Yusr
Muhammad bin Muhammad bin Abd Karim al-Bazdawi, lahir pada tahun 421 H.[5]
nenek al-Bazdawi yaitu Abd, Karim, adalah salah seorang murid al-Maturidiy.
Al-Bazdawi memperoleh atau menerima ajaran-ajaran al-Maturidiyah dari orang
tuanya.[6]
Tokoh ini banyak berjasa dalam perkembangan aliran al-Maturidiyah. Meskipun demikian
tidak semua pendapatnya sejalan dengan al-Maturidiyah. Beberapa pendapatnya
justru lebih dekat kepada al-Asy’ari.[7]
Al-Bazdawi merupakan salah seorang pengikut penting al-Maturidiyah.
Selain belajar dikalangan keluarganya
beliau juga belajar pada tokoh-tokoh ulama Hanafi, selanjutnya beliau berpindah
kepada imam-imam yang lain, diantaranya ya’kub bin Yusuf bin Muhammad
Naisabury, Syekh Imam Abdul Khattab, dan juga beberapa ulama lainnya. Disamping
itu, al-Bazdawi juga menelaah buku-buku tafsir seperti kitab-kitab tafsir
karangan Ibnu Ibrahim bin al-Hindhali, Abd bin Hamid al-Hisy, Dahlan al-Hilali.
Adapun karangan-karangan al-Maturidi yang dipelajari oleh al-Bazdawi ialah
kitab tauhid dan kitab ta’wil al-Qur’an. Beliau juga mempelajari buku-buku filosof
seperti al-Kindi dan buku-buku Mu’tazilah seperti al-Razi, al-Jubbah’I,
Al-Ka’bi dan an-Nadzdzam.[8]
Al-Bazdawi selalu merujuk hadist yang
digunakan kepada jami’ al-Shaleh oleh Abi Muslim dan kitab al-Sunnah oleh Abi
Daud al-Sajastani. Aktifitas beliau sebagai qadhi (hakim) tidak menggangu
beliau sebagai ilmuan. Beliau mempelajari masala-masalah hukum, mengumpulkan
karya-karya ulama Hanafiyah, yang kemudian beliau telaah. Kitab-kitab penting
yang menjadi sandarannya seperti al-Saair kabir karya Muhammmad bin Hasan
al-Syaibany, Mukhtasar fikh karya Abi Ubaidillah Hasan al-Karafi, dan kitab
muntaqi oleh Muhammad bin Ahmad al-Maruji al-Hakim.[9]
Pemikiran-pemikiran al-Bazdawi tersebut
bukan hanya melalui bukunya tapi juga melalui murid-muridnya. Salah seorang muridnya
adalah najm al-Din Muhammad al-Nasafi (460-573 H) dengan karyanya al-Aqaid
al-Nasafiyah.[10]
Selain itu, Abdul Karim bin Muhammad al-Sinai al-Madani, Muhammad bin Thahir
al-Samarkandi, Abdul bin Muhammad al-Catmi dan lain-lain.[11]
Salah satu ungkapan muridnya Umar
al-Nasafi yang mengungkapkan tentang kehebatan beliau yang ditulis dalam kitab
Ushul al-Din, yaitu; Abu Yusr al-Bazdawi adalah syekh di abad kami, khususnya
di negeri Wara’ al-Nahr, beliau adalah imam dari imam-imam yang lain, didatangi
dari segala penjuru, serta karyanya dugunakan banyak orang baik di timur maupun
di barat.[12]
Al-Bazdawi wafat pada tahun 493 H di Bukhara.
b.
Aliran Pemikiran-Pemikirannya
1. Sifat-sifat Tuhan
Maturidiyah Bukharah ini merupakan bahwa
sifat-sifat Tuhan itu ada seperti sifat ilm, qudrah, hidup dan lain-lain. Dalam
hal ini pada dasarnya al-Bazdawi sepaham dengan pendapat Abu Mansur,
al-Baqillani dan al-Gazali yang pada umumnya mengatakan bahwa (لاهي هوولاهي غيره ) Allah mempunyai
sifat al-Ilm misalnya, karena alam yang diciptakn demikian teratur tidak
tercipta kecuali diciptakan oleh tuhan yang mempunyai sifat ilm, demikian pula
sifat-sifat yang lainnya.[13]
Menurut
mereka sifat-sifat Tuhan terdapat dalam zat-Nya bukan diluar zatnya karena
sifat Tuhan bukan sesuatu yang zatnya dan tidak diciptakan,[14]
dan bukan pula sifat-sifat itu berdiri pada zatnya atau terpisah dari zatnya
serta mempunyai esensi yang mandiri pada zatnya sehingga tidak dapat dikatakan
bahwa dengan berbilangnya sifat itu bukan kepada banyknya yang qadim (kekal).[15]
Dalam artian sifat Allah ada, sifat itu
bukan zatnya Tuhan melainkan terpisah dari zat Tuhan tapi sifat-sifat itu
berdiri sendiri. Sifat-sifatnya kekal melalui kekekalannya yang terdapat dalam
esensi dan bukan melalui kekekalan sifat-sifat itu sendiri.
2.
Perbuatan Manusia
al-Bazdawi membagi perbuatan manusia itu
kepada dua macam yaitu perbuatan Tuhan sebagai pencipta daya dan perbuatan
manusia sebagai pemakai daya.[16]
Kemauan manusia sebenarnya adalah kemauan Tuhan juga, akan tetapi semua perbuatan
manusia itu tidak kemauan dalam kerelaan Tuhan sebab Tuhan tidak menyukai
perbuatan buruk.[17]
Perbuatan manusia yang baik adalah atas kehendak Tuhan, sebaliknya perbuatan
jahat bukan keridhaan Tuhan.
Tuhan memberikan kemampuan (qudrah)
kepada manusia untuk melaksanakan keinginan dan perbuatannya, Tuhan memberikan
daya kepada manusia, kemampuan dan daya itu diciptakan oleh Tuhan bersamaan
dengan perbuatan manusia. Tapi Tuhan akan memberikan ganjaran dengan perbuatan
manusia yang dilaksanakan itu.
Atau dengan kata lain perbuatan jahat
itu adalah perbuatan manusia atas kehendak Tuhan, akan tetapi tidak dalam
keridhaan-Nya. Hal ini tidak boleh diindikasikan bahwa Tuhan tidak adil dengan
menghukum pelaku kejahatan karena terkait dengan kekuasaan dan kehendak mutlak
Tuhan, keadilan Tuhan terletak pada kekuasaan-Nya.
3.
Melihat Tuhan
Dalam persoalan melihat Tuhan di akhirat
kelak al-Maturidiah sepaham dengan al-Asy’ariah yang mengatakan bahwa segala
yang berwujud dapat dilihat, sedangkan Tuhan adalah berwujud walaupun wujudnya
itu mukhalakfatuh li al-hawadis, oleh karena itu dapat dilihat.[18]
Artinya dapat dilihat sungguhpun tidak mempunyai bentuk, tidak mengambil ruang
dan tempat yang terbatas, akan tetapi Tuhan tidak dapat dilihat di dunia karena
Tuhan tidak memperlihatkna zat-Nya di dunia.
4.
Konsep Iman
Al-Bazdawi berpendapat bahwa iman adalah
menerima dan membenarkan dalam hati dan mengucapkan dengan lidah, dalam arti tasdiq
yang mencakup keyakinan dengan hati dan pengakuan dengan lidah. Iman tidak bisa
mengambil bentuk amal tapi haruslah merupakan tasdiq saja. Iman menurut
beliau adalah jaminan untuk masuk surga bagi seseorang dan kepatuhan kepada
Tuhannyalah yang menentukan derajat yang akan diperoleh seseorang di dalamnya.
Oleh karena iman adalah kunci untuk masuk surga, sedangkan amal menentukan
tingkatan tempat seseorang didalamnya.
Konsep keimanan seseorang menurut
al-Bazdawi tetap/tidak bertambah dan tidak berkurang, karena tidak memasukkan
unsur amal, karena amal itu hanya menentukan tingkatan, bukan asas utama
penentuan beriman atau tidaknya seseorang.
5.
Akal dan Wahyu
Menurut al-Maturidiyah-Bazdawi akal
dapat mengetahui adanya Tuhan dan mengetahui yang baik dan buruk, akan tetapi
akal tidak dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan dan kewajiban
mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk.[19]
Dengan kata lain bahwa untuk mengetahui kewajiban itu diperlukan wahyu, akal
harus dapat bimbingan dari wahyu.[20]
Harun Nasution mengatakan bahwa wahtu
yang Bukhara dan mengetahui kewajiban-kewajiban. Aliran Maturidi Bukhara
memandang akal manusia lemah karena akal tidak dapat megetahui
kewajiban-kewajiban.[21]
Akal hanya dapat mengetahui sebab-sebab
yang membuat kewajiban-kewajiban menjadi kewajiban. Hal ini berarti behwa
mengetahui Tuhan dalam arti berterima kasih kepada Tuhan, sebelum turunnya
wahyu tidaklah wajib bagi manusia. Sebelum adanya rasul-rasul percaya kepada
Tuhan tidaklah diwajibkan dan ketidak percayaan kepada Tuhan bukanlah dosa.[22]
Kewajiban-kewajiban menurut al-Bazdawi
hanya ditentukan oleh Tuhan dan ketentuan-ketentuan Tuhan hanya diketahui
melalui wahyu. Maturidi Bukhara kedudukan wahyu sangat penting. Wahyu sangat
diperlukan untuk mengetahui kewajiban-kewajiban.
8.
Janji dan Ancaman
Al-Wa’du wa al-Wa’id berkaitan dengan
perbuatan manusia. Perbuatan baik dijanjikan oleh Tuhan dengan pahala,
sedangkan perbuatan jahat diancam dengan siksaan. Al-Bazdawi menjelaskan bahwa
Tuhan tidak akan mungkin melanggar janji-Nya tapi sebaliknya Tuhan mungkin saja
membatalkan ancaman-Nya.[23]
Karena Tuhan memiliki kekuasaan dan kehendak mutlak.
Golongan Maturidiah Bukhara berpandangan
bahwa balasan atas perbuatan manusia ditentukan oleh Tuhan. Orang yang berbuat
jahat mungkin saja masuk syurga jika Tuhan menghendaki karena rahmta-Nya tapi
Tuhan tidak mungkin melanggar janjin-Nya untuk memberi pahala bagi yang berbuat
baik. Ketika Tuhan membatalkan ancaman-Nya terhadap orang-orang yang berbuat
jahat maka tidaklah dikatakan Tuhan tidak adil karena Tuhan memiliki kekuasaan
dan kehendak mutlak. Tuhan berbuat dengan kehendak-Nya, dan keadilan Tuhan
terletak pada kekuasaan-Nya.
PENGARUH AL-MATURIDIYAH- DALAM DUNIA ISLAM
Al-Maturidi adalah pengikut mazhab
hanafi yang mempunyai karya dalam bidang ilmu fikih dan ushul fikih, disamping
sejumlah karyanya di bidang ushul al-Din.[24]
Diantaranya adalah Kitab Ta’wil al-Qur’an, al-Jadal, al-Ushul fi Ushul al-Din,
Ma’na al-Syar’I, al-Maqulat fii al-Kalam, al-Tauhid, dan lain.
Dari kalangan Maturidiah Bukhara
dikenallah karangan al-Bazdawi seperti kitab Ushul al-Din dan karangan Najm
al-Din Muhammad al-Nasafi dengan judul al-Aqaid al-Nasafiah, dan masih banyak
lagi karangan-karangan yang lain yang kesemuanya itu dapat menambah khsanah
kebudayaan Islam.
Al-Maturidiyah ini pada mulanya muncul
sebagai salah satu sekte dari ahl-al-Sunnah wa al-Jamaah, yaitu suatu aliran
yang berkembang dibawah sekte ahl al-Sunnah wa al-Jamaah bersama al-Asy’ariah.
Namun mereka muncul dalam tempat yang berbeda, al-Maturidiyah muncul dan
berkembang di Samarkand dan Bukhara dengan menganut mazhab Hanafi sedangkan
al-Asy’ari tumbuh dan berkembang di Basrah dengan manganut mazhab Syafi’i.
Sekte baru ini, disambut baik oleh
masyarakat Islam karena merupakan aliran yang mudah diterima sehingga dapat
dikatakan bahwa al-Maturidiyah sebagai salah satu aliran teologi Islam memiliki
pengaruh yang cukup besar dalam dunia pemikiran Islam.
KESIMPULAN
Al-Bazdawi adalah tokoh aliran yang
menganut teologi Maturidiyah. Beliau adalah pengikut Abu Mansur Al-Maturidiy di
Samarkand yang selanjutnya membuka cabang di Bukhara, walaupun beliau pengikut
Abu Mansur namun dia memiliki corak pemikiran yang berbeda dengan yang
diikutinya.
Corak pemikiran Abu Mansur al-Maturidiy
cenderung mendekati pemikiran rasional Mu’tazilah walaupun pemikirannya tidak
seekstrem dengan Mu’tazilah, sedangkan al-Bazdawi memiliki corak pemikiran yang
sama dengan al-Asy’ariah.
Aliran pemikiran al-Bazdawi ini sebagai
pengkanter pemikiran al-Maturidi yang sudah cenderung kepada pemikiran
Mu’tazilah atau dengan kata lain aliran ini berusaha mengembalikan dan
menghidupkan kembali aliran Asy’ariah tradisional, dengan memberikan
pemikiran-pemikiran yang lebih baru.
Al-Maturidiyah sebagai suatu aliran
tidak dapat ditentukan lagi di zaman sekarang ini, namun sebagai suatu paham
pemikiran Islam mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam dunia Islam. Dan
aliran ini pernah donatur dalam memperkaya khsanah kebudayaan Islam. Bukti
adanya pengaruh aliran ini yaitu dengan banyaknya peniggalan karya-karyanya
berupa buku-buku yang tak terhitung jumlahnya.
[1]Dalam
penggolongan teologi Islam, Asy’ariah dan Maturidiah keduanya disebut Ahl
al-Sunnah wal Jama’ah. Aliran Maturidiah banyak dianut oleh umat Islam yang
bermazhab Hanafi, sedangkan aliran Asy’ariah umumnya dianut oleh umat Islam
yang bermazhab Sunni. Lihat Ali Mudhofir, 1996: 17.
[2]Harun
Nasution, 1996: 129.
[3]Ahmad
Amin, 1965: 91-93.
[4]Harun
Nasution, 1986), h 77-78.
[5]al-Bazdawi,
1963: 10-13.
[6]Muhammad
Ahmad, 1998: 191. Lihat juga Harun Nasution, op. cit: 77.
[7]Yusran
Asmuni, 1996: 129. Lihat juga Harun Nasution, ibid: 78.
[8]al-Bazdawi,
loc cit.
[9]Ibid.:
12.
[10]Ibid:
14, juga Harun Nasution, loc. cit dan
Muhammad Ahmad, loc. cit.
[11]Ibid:
15.
[12]Ibid:
15.
[13]Abu
Hasan al-Asy’ari, 1985: 88-95.
[14]Harun
Nasution, Teologi…. Op.cit: 137.
[15]Abu
Zahrah, 1996: 209.
[16]Yusran
Asmuni, op. cit: 175.
[17]Ibid:
175. lihat juga Harun Nasution, Teologi …Op. Cit: 127.
[18]Abu
Zahra, op.cit: 220.
[19]Harun
Nasution, op.cit: 88.
[20]Al-Bazdawi,
op. cit: 209.
[21]
Harun Nasution, op.cit: 138.
[22]Harun
Nasution, Teologi…..op.cit: 91.
[23]Harun
Nasution, Teologi…..,op.cit: 133.
[24]Abu
Zahra, op.cit: 209.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar