Sabtu, 22 Februari 2014

TAFSIR, TA’WIL DAN TA’LIL



TAFSIR, TA’WIL DAN TA’LIL
Oleh: Moh. Gazali Rahman

Pendahuluan
Alqur’an sebagai bahasa Tuhan sekaligus bahasa agama diakui oleh setiap orang beriman sebagai petunjuk, hidayah, dan mukjizat yang pada dasarnya datang untuk berdialog dengan setiap umat yang ditemuinya. Tuhan kepada hamba-Nya yang dihidangkan dengan berbagai variasi menu dan bumbu. Wacana dan karakteristik teks yang terkandung di dalamnya telah menjadi diskursus para pengkajinya di tiap zaman dan generasi.

Sampai saat ini, makna universal yang dikandungnya memancing kajian kritis kontemporer seputar perdebatan interpretasi terhadap makna tekstual dan kontekstual. Hal ini dipandang penting karena yang membedakan antara teks yang berwatak murni informatif dengan teks sastra terletak pada kemampuan teks sastra menciptakan sistem semantiknya yang unik di tengah sistem semantik umum pada kebudayaan yang relevan dengan teks itu sendiri.
Berangkat dari itu, tataran bahasa Alqur’an dapat ditemukan dalam corak informatif yang secara otentik menguraikan aneka pesan serta corak bahasa sastra yang penuh dengan makna kreatifitas Ilahy dan dengan mekanismenya yang khas. Basis pemahaman ini mengasumsikan bahwa bahasa Alqur’an merupakan suatu elaborasi antara nilai ilahiah dengan nilai peradaban, yaitu peradaban Tuhan dan peradaban manusia, yang tidak hanya menggambarkan peta geografi dunia semata, tetapi juga menggambarkan peta geografi akhirat.
Sejalan dengan itu maka makalah ini mencoba untuk memaparkan perluasan makna teks yang menjadi tolak ukur ortodoksi hukum sebagai salah satu masalah yang banyak dibicarakan oleh Alqur’an. Bahkan, dalam satu ayatnya Alqur’an menyebut dirinya sebagai hukum[1] meskipun pendapat yang banyak dianut oleh para ulama menyebutkan bahwa kandungan hukum menempati proposi yang sedikit dari keseluruhan isi Alqur’an. Dalam hal inilah tafsir, ta’wil dan ta’lil menjadi alternatif metodologis untuk dapat melakukan elaborasi kritis terhadap makna-makna hukum dan interpretasi yuridis yang dapat melahirkan konsepsi legal dalam penetapan hukum.
Pembahasan
  1. Tafsir
Keberadaan kitab-kitab tafsir di tengah-tengah umat Islam merupakan realitas yang tidak dipungkiri untuk membuktikan eksistensi metode tafsir sebagai suatu ilmu, begitupula terhadap hal-hal yang telah dihasilkannya adalah suatu yang urgen. Hal ini juga dibuktikan oleh kenyataan bahwa penafsiran ayat-ayat Alqur’an sangat membantu dalam memahami kandungannya. Oleh karena itu maka signifikansi metode pendekatan ini perlu untuk dipaparkan dalam uraian definisinya.
          Pengertian tafsir secara leksikal adalah kalimat yang menunjukkan penjelasan terhadap sesuatu,[2] penjelasan atau pengungkapan makna yang tersembunyi,[3] mengkonkritkan suatu makna yang abstrak.[4] Manna al-Qattan sebagaimana dikutip oleh Thameen Ushama mengungkapkan pengertian tafsir secara bahasa yang berarti clarification, explanation, and illustration.[5]
Adapun pengertiannya secara etimologi diungkapkan oleh beberapa pendapat, antara lain oleh Imam al-Zarkasyi dikatakan bahwa tafsir adalah suatu ilmu yang berfungsi memaknakan kitab Allah yang diturunkan melalui Nabi Saw., dan berfungsi menjelaskan makna dan memunculkan hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya.[6]
          Al-Jurjani dalam Ta’rifat-nya sebagaimana dikutip oleh Hasbi al-Shiddieqy memaparkan bahwa tafsir pada asalnya adalah “membuka” dan “menjelaskan”. Pada istilah syara’ adalah menjelaskan makna ayat, keadaannya, kisahnya dan sebab yang karenanya ayat diturunkan dengan lafaz yang menunjukkan kepadanya secara jelas.[7]
          Oleh Abd. Muin Salim dirumuskan empat konsep yang termuat dalam kata tafsir berdasarkan definisi-definisi tersebut, yaitu;[8]
1)      Tafsir sebagai kegiatan ilmiah yang berfungsi memahami kandungan Alqur’an.
2)      Tafsir sebagai kegiatan ilmiah untuk menjelaskan kandungan Alqur’an.
3)      Tafsir sebagai pengetahuan yang diperlukan untuk memahami Alqur’an.
4)      Tafsir sebagai pengetahuan yang diperoleh melalui kegiatan memahami Alqur’an.
Mengacu kepada beberapa definisi tersebut maka dipahami bahwa tafsir merupakan suatu metode untuk menjelaskan makna yang terkandung di dalam Alqur’an sehingga sesuai dengan apa yang sebenarnya dikehendaki oleh kandungan ayat tersebut. Dengan demikian, istilah tafsir dalam operasionalnya diartikan sebagai suatu upaya pengkajian atau penelitian terhadap kandungan Alqur’an, sehingga tafsir dapat dipandang sebagai metode ilmu, yakni suatu cara manusia untuk menghadapi lingkungan hidup dan masalahnya.[9]
Penafsiran terhadap ayat-ayat Alqur’an dalam hubungannya dengan ushul al-Fiqh berfungsi untuk menentukan maksud dari penetapan hukum / kandungan hukum suatu ayat, yakni maqashid al-Tasyri’ atau makna Ilahiah yang dikehendaki dari penetapan hukum. Penafsiran ini juga bertujuan untuk makna dalil yang tidak jelas dalam rangka menetapkan keabsahan suatu perbuatan yang mengandung nilai-nilai hukum. Oleh karena itu pula sehingga ulama ushul tidak dibenarkan berijtihad dalam penafsirannya terhadap masalah yang sudah diketahui dengna jelas nashnya.
Dengan dasar ini, ayat-ayat hukum yang telah jelas atau tidak mengandung sesatu yang perlu penafsiran, maka seorang mujtahid tidak memiliki jalan untuk melakukan interpretasi terhadap ayat tersebut.[10]
Dengan demikian, eorang mujtahidhanya dapat emberikan interpretasinya terhadap ayat yang belum memberikan pemahaman yang jelas terhadap makna-makna atau hukum-hukum yang dikandungnya, sehingga dengan penjelasan tersebut dapat diketahui makna, hukum, dan petunjuknya dengan cara yang tepat bagi yang mempelajari atau mempertanyakannya.
  1. Ta’wil
Menurut bahasa, “ta’wil” diambil dari kata “aul” yang berarti kembali.[11] Sedangkan menurut istilah (menurut ulama ushul) sebagaimana diungkap oleh Wahbah al-Zuhaili adalah memalingkan lafaz dari maknanya yang zahir ke makna lain yang tidak zahir disertai dengan beberapa kemungkinan makna dan ditunjang dengan suatu dalil.[12] Oleh Al-Jurjani sebagaimana dikutip oleh Muslim Abdullah dikatakan bahwa ta’wil adalah membawa lafaz yang bermakna zahir kepada kemungkinan makna lain yang disepakati oleh dalil (Alqur’an dan Hadis) lain.[13]
Berdasar pada definis tersebut, pada umumnya ulama ushul mendefinisikan ta’wil dalam arti berpaling dari makna yang tampak (zahir) dari suatu nash kepada makna lain ketika terdapat dalil lain yang membenarkannya. Oleh karena itu, dalam penta’wilan perlu diperhatikan beberapa hal pokok, yaitu:[14]
a.    Ta’wil harus berdasarkan dalil syara’, baik nash qiyas (Alqur’an dan Hadis) maupun jiwa syari’at (hikmah al-Tasyri’) dan dasar-dasar yang umum. Jika dalil tersebut berupa qiyas, maka qiyas tersebut harus jelas illat-nya.
b.    Ta’wil harus sesuai dengan penggunaan bahasa dan kebiasaan syari’at.
  1. Ta'lil
Kata ta’lil merupakan pengembangan dari dasar kata عل dan علة yang berarti menerangkan sebab.[15] Sedangkan kata illat menurut ushuliyah adalah sesuatu yang menjadi sebab disyaratkannya suatu hukum untuk merealisasikan kemashlahatan.[16]
Berpijak pada terminologi tersebut maka dipahami bahwa yang dimaksud dengan ta’lil adalah mencari dan menjelaskan sesuatu yang menjadi prasyarat dibenarkannya suatu hukum untuk direalisasikan dalam kerangka mashlahah. Untuk itu, upaya mencari dan menjelaskan illat dalam teks-teks hukum memerlukan syarat-syarat illat yang disepakati ulama ushul, yaitu:[17]
  1. Illat tersebut jelas dan dapat dijangkau oleh indera secara lahir.
  2. Illat tersebut pasti dan terbatas, serta dapat dibuktikan secara definitif atau karena adanya perbedaan.
  3. Illat tersebut sesuai dengan asumsi untuk mewujudkan hikmah hukum.
4.   Illat tersebut dapat diwujudkan pada beberapa karakteristik selain bentuk asalnya.
Penutup
          Mengacu pada ketiga metode yang telah diuraikan tersebut, seorang mujtahid hendaknya selalu memperhatikan hikmah dari hukum-hukum yang keseluruhannya berorientasi kepada kemashlahatan dan motivasi pembentukan hukum yang tidak lepas dari upaya menghindari misunderstanding terhadap kehendak penetapan suatu hukum (makna Ilahiah) yang terkadang hikmahnya hanya ditemukan dalam kesadaran ilahiah pula.
          Di sisi lain, eksistensi tafsir, ta’wil dan ta’lil secara metodologis membuka ruang yang lebar bagi interpretasi Alqur’an sebagai sebuah keniscayaan dalam menjawab tantangan zaman dan berbagai dinamika keumatan. Sehingga konsep-konsep Alquran sebagai kreatifitas Ilahi yang dikaji melalui penalaran yang dilakukan oleh para pakarnya tetap dirasakan sebagai alternatif yang signifikan untuk dijadikan pedoman dalam kehidupan manusia khususnya umat Islam.


[1]Lihat, QS. al-Ra’ad (13): 37.
[2]Lihat, Ibn Faris Ibn Zakariyyah, 1972: 636.
[3]Ibn Manzhur, t.th.: 55.
[4]al-Raghib, t.th.: 55.
[5]al-Qattan, 1988: 323. Lihat pula, Thameen Ushama, 1995: 5.
[6]al-Zarkasyi, t.th.: 13. Bandingkan, al-Sabuni, 1982: 61.
[7]Lihat, al-Shiddieqy, 1997: 179.
[8]Lihat, Abd. Muin Salim, 1999, h. 7.
[9]Ibid: 8.
[10]Khallaf, 1978: 168.
[11]Ibn Manzhur, op. cit: 34.
[12]al-Zuhaili, 1989: 313.
[13]Muslim Abdullah, 1983: 49.
[14]al-Dariyniy, 1997: 164.
[15]Khallaf, op. cit: 111.
[16]al-Zuhaili, op. cit: 646.
[17]Khallaf, op. cit: 119. Petunjuk tentang prasyarat tersebut beserta contohnya dapat dilihat lebih lanjut pada; Muhammad Syarif, 1987: 57-79.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar