TAFSIR, TA’WIL DAN
TA’LIL
Oleh: Moh. Gazali Rahman
Pendahuluan
Alqur’an sebagai bahasa Tuhan sekaligus bahasa agama
diakui oleh setiap orang beriman sebagai petunjuk, hidayah, dan mukjizat yang
pada dasarnya datang untuk berdialog dengan setiap umat yang ditemuinya. Tuhan kepada hamba-Nya yang
dihidangkan dengan berbagai variasi menu dan bumbu. Wacana dan karakteristik
teks yang terkandung di dalamnya telah menjadi diskursus para pengkajinya di
tiap zaman dan generasi.
Sampai saat ini, makna universal yang dikandungnya
memancing kajian kritis kontemporer seputar perdebatan interpretasi terhadap
makna tekstual dan kontekstual. Hal ini dipandang penting karena yang
membedakan antara teks yang berwatak murni informatif dengan teks sastra
terletak pada kemampuan teks sastra menciptakan sistem semantiknya yang unik di
tengah sistem semantik umum pada kebudayaan yang relevan dengan teks itu
sendiri.
Berangkat dari itu, tataran bahasa Alqur’an dapat
ditemukan dalam corak informatif yang secara otentik menguraikan aneka pesan
serta corak bahasa sastra yang penuh dengan makna kreatifitas Ilahy dan
dengan mekanismenya yang khas. Basis pemahaman ini mengasumsikan bahwa bahasa
Alqur’an merupakan suatu elaborasi antara nilai ilahiah dengan nilai peradaban,
yaitu peradaban Tuhan dan peradaban manusia, yang tidak hanya menggambarkan
peta geografi dunia semata, tetapi juga menggambarkan peta geografi akhirat.
Sejalan dengan itu maka makalah ini mencoba untuk
memaparkan perluasan makna teks yang menjadi tolak ukur ortodoksi hukum sebagai
salah satu masalah yang banyak dibicarakan oleh Alqur’an. Bahkan, dalam satu ayatnya
Alqur’an menyebut dirinya sebagai hukum[1] meskipun pendapat yang banyak
dianut oleh para ulama menyebutkan bahwa kandungan hukum menempati proposi yang
sedikit dari keseluruhan isi Alqur’an. Dalam hal inilah tafsir, ta’wil dan
ta’lil menjadi alternatif metodologis untuk dapat melakukan elaborasi
kritis terhadap makna-makna hukum dan interpretasi yuridis yang dapat
melahirkan konsepsi legal dalam penetapan hukum.
Pembahasan
- Tafsir
Keberadaan kitab-kitab tafsir di tengah-tengah umat
Islam merupakan realitas yang tidak dipungkiri untuk membuktikan eksistensi
metode tafsir sebagai suatu ilmu, begitupula terhadap hal-hal yang telah
dihasilkannya adalah suatu yang urgen. Hal ini juga dibuktikan oleh kenyataan
bahwa penafsiran ayat-ayat Alqur’an sangat membantu dalam memahami
kandungannya. Oleh karena itu maka signifikansi metode pendekatan ini perlu
untuk dipaparkan dalam uraian definisinya.
Pengertian tafsir secara leksikal
adalah kalimat yang menunjukkan penjelasan terhadap sesuatu,[2] penjelasan atau pengungkapan makna
yang tersembunyi,[3] mengkonkritkan suatu makna yang
abstrak.[4] Manna al-Qattan sebagaimana dikutip
oleh Thameen Ushama mengungkapkan pengertian tafsir secara bahasa yang berarti clarification,
explanation, and illustration.[5]
Adapun pengertiannya secara etimologi diungkapkan oleh
beberapa pendapat, antara lain oleh Imam al-Zarkasyi dikatakan bahwa tafsir
adalah suatu ilmu yang berfungsi memaknakan kitab Allah yang diturunkan melalui
Nabi Saw., dan berfungsi menjelaskan makna dan memunculkan hukum-hukum dan
hikmah-hikmahnya.[6]
Al-Jurjani dalam Ta’rifat-nya
sebagaimana dikutip oleh Hasbi al-Shiddieqy memaparkan bahwa tafsir pada
asalnya adalah “membuka” dan “menjelaskan”. Pada istilah syara’ adalah
menjelaskan makna ayat, keadaannya, kisahnya dan sebab yang karenanya ayat
diturunkan dengan lafaz yang menunjukkan kepadanya secara jelas.[7]
Oleh Abd. Muin Salim dirumuskan empat
konsep yang termuat dalam kata tafsir berdasarkan definisi-definisi tersebut,
yaitu;[8]
1)
Tafsir sebagai kegiatan ilmiah yang berfungsi memahami
kandungan Alqur’an.
2)
Tafsir sebagai kegiatan ilmiah untuk menjelaskan
kandungan Alqur’an.
3)
Tafsir sebagai pengetahuan yang diperlukan untuk
memahami Alqur’an.
4)
Tafsir sebagai pengetahuan yang diperoleh melalui
kegiatan memahami Alqur’an.
Mengacu kepada beberapa definisi tersebut maka
dipahami bahwa tafsir merupakan suatu metode untuk menjelaskan makna yang
terkandung di dalam Alqur’an sehingga sesuai dengan apa yang sebenarnya
dikehendaki oleh kandungan ayat tersebut. Dengan demikian, istilah tafsir dalam
operasionalnya diartikan sebagai suatu upaya pengkajian atau penelitian
terhadap kandungan Alqur’an, sehingga tafsir dapat dipandang sebagai metode
ilmu, yakni suatu cara manusia untuk menghadapi lingkungan hidup dan
masalahnya.[9]
Penafsiran terhadap ayat-ayat Alqur’an dalam
hubungannya dengan ushul al-Fiqh berfungsi untuk menentukan maksud dari
penetapan hukum / kandungan hukum suatu ayat, yakni maqashid al-Tasyri’ atau
makna Ilahiah yang dikehendaki dari penetapan hukum. Penafsiran ini juga
bertujuan untuk makna dalil yang tidak jelas dalam rangka menetapkan keabsahan
suatu perbuatan yang mengandung nilai-nilai hukum. Oleh karena itu pula
sehingga ulama ushul tidak dibenarkan berijtihad dalam penafsirannya terhadap
masalah yang sudah diketahui dengna jelas nashnya.
Dengan dasar ini, ayat-ayat hukum yang telah jelas
atau tidak mengandung sesatu yang perlu penafsiran, maka seorang mujtahid tidak
memiliki jalan untuk melakukan interpretasi terhadap ayat tersebut.[10]
Dengan demikian, eorang mujtahidhanya dapat emberikan
interpretasinya terhadap ayat yang belum memberikan pemahaman yang jelas
terhadap makna-makna atau hukum-hukum yang dikandungnya, sehingga dengan
penjelasan tersebut dapat diketahui makna, hukum, dan petunjuknya dengan cara
yang tepat bagi yang mempelajari atau mempertanyakannya.
- Ta’wil
Menurut bahasa, “ta’wil” diambil dari kata “aul” yang
berarti kembali.[11] Sedangkan menurut istilah (menurut
ulama ushul) sebagaimana diungkap oleh Wahbah al-Zuhaili adalah memalingkan
lafaz dari maknanya yang zahir ke makna lain yang tidak zahir disertai dengan
beberapa kemungkinan makna dan ditunjang dengan suatu dalil.[12] Oleh Al-Jurjani sebagaimana dikutip
oleh Muslim Abdullah dikatakan bahwa ta’wil adalah membawa lafaz yang bermakna
zahir kepada kemungkinan makna lain yang disepakati oleh dalil (Alqur’an dan
Hadis) lain.[13]
Berdasar pada definis tersebut, pada umumnya ulama
ushul mendefinisikan ta’wil dalam arti berpaling dari makna yang tampak (zahir)
dari suatu nash kepada makna lain ketika terdapat dalil lain yang membenarkannya.
Oleh karena itu, dalam penta’wilan perlu diperhatikan beberapa hal pokok,
yaitu:[14]
a.
Ta’wil harus berdasarkan dalil syara’, baik nash qiyas
(Alqur’an dan Hadis) maupun jiwa syari’at (hikmah al-Tasyri’) dan
dasar-dasar yang umum. Jika dalil tersebut berupa qiyas, maka qiyas tersebut
harus jelas illat-nya.
b.
Ta’wil harus sesuai dengan penggunaan bahasa dan
kebiasaan syari’at.
- Ta'lil
Kata ta’lil merupakan pengembangan dari dasar kata عل dan علة yang berarti menerangkan sebab.[15] Sedangkan kata illat menurut
ushuliyah adalah sesuatu yang menjadi sebab disyaratkannya suatu hukum untuk
merealisasikan kemashlahatan.[16]
Berpijak
pada terminologi tersebut maka dipahami bahwa yang dimaksud dengan ta’lil
adalah mencari dan menjelaskan sesuatu yang menjadi prasyarat dibenarkannya
suatu hukum untuk direalisasikan dalam kerangka mashlahah. Untuk itu, upaya
mencari dan menjelaskan illat dalam teks-teks hukum memerlukan syarat-syarat
illat yang disepakati ulama ushul, yaitu:[17]
- Illat tersebut jelas dan dapat dijangkau oleh indera secara lahir.
- Illat tersebut pasti dan terbatas, serta dapat dibuktikan secara definitif atau karena adanya perbedaan.
- Illat tersebut sesuai dengan asumsi untuk mewujudkan hikmah hukum.
4.
Illat
tersebut dapat diwujudkan pada beberapa karakteristik selain bentuk asalnya.
Penutup
Mengacu
pada ketiga metode yang telah diuraikan tersebut, seorang mujtahid hendaknya
selalu memperhatikan hikmah dari hukum-hukum yang keseluruhannya berorientasi
kepada kemashlahatan dan motivasi pembentukan hukum yang tidak lepas dari upaya
menghindari misunderstanding terhadap kehendak penetapan suatu hukum
(makna Ilahiah) yang terkadang hikmahnya hanya ditemukan dalam kesadaran
ilahiah pula.
Di
sisi lain, eksistensi tafsir, ta’wil dan ta’lil secara metodologis membuka
ruang yang lebar bagi interpretasi Alqur’an sebagai sebuah keniscayaan dalam
menjawab tantangan zaman dan berbagai dinamika keumatan. Sehingga konsep-konsep Alquran
sebagai kreatifitas Ilahi yang dikaji melalui penalaran yang dilakukan oleh
para pakarnya tetap dirasakan sebagai alternatif yang signifikan untuk
dijadikan pedoman dalam kehidupan manusia khususnya umat Islam.
[1]Lihat,
QS. al-Ra’ad (13): 37.
[2]Lihat,
Ibn Faris Ibn Zakariyyah, 1972: 636.
[3]Ibn
Manzhur, t.th.: 55.
[4]al-Raghib,
t.th.: 55.
[5]al-Qattan,
1988: 323. Lihat pula, Thameen Ushama, 1995: 5.
[6]al-Zarkasyi,
t.th.: 13. Bandingkan, al-Sabuni, 1982: 61.
[7]Lihat,
al-Shiddieqy, 1997: 179.
[8]Lihat,
Abd. Muin Salim, 1999, h. 7.
[10]Khallaf,
1978: 168.
[12]al-Zuhaili,
1989: 313.
[13]Muslim
Abdullah, 1983: 49.
[14]al-Dariyniy,
1997: 164.
[15]Khallaf,
op. cit: 111.
[16]al-Zuhaili,
op. cit: 646.
[17]Khallaf, op. cit: 119.
Petunjuk tentang prasyarat tersebut beserta contohnya dapat dilihat lebih
lanjut pada; Muhammad Syarif, 1987: 57-79.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar