By. Muh.
Gazali Rahman
Pendahuluan
Pemahaman tentang Islam pada
dasarnya tidak lepas dari pondasi bangunan tauhid seorang muslim. Artinya, hal
itu mesti dimulai terlebih dahulu dengan keyakinan dan kesadaran tentang
kebenaran adanya Tuhan semesta alam beserta perangkat-perangkat emanasi-Nya[2] di
muka bumi dan juga kebenaran tentang adanya kehidupan setelah kehidupan dunia,
yaitu kehidupan akhirat yang lebih kekal. Oleh karena itu, memahami Islam
sesungguhnya terkait dengan adanya tiga hubungan yang erat antara Tuhan sebagai
Khalik, manusia sebagai makhluk, serta alam semesta. Hubungan antara Tuhan dan
manusia biasa dikenal dengan istilah habl min Allah dan hubungan manusia
dengan sesamanya yang dikenal dengan istilah habl min al-nas. Hal ini
terkait dengan doa popular yang senantiasa dibaca: rabbana atina…
Kesadaran yang perlu dibangun
selanjutnya adalah bahwa sesungguhnya penciptaan manusia dan alam semesta oleh
Allah bukanlah suatu yang aksidental, tiba-tiba. Melainkan memiliki target,
tujuan yang tidak main-main dalam sistem dan dimensi Ilahiyah. Sebab,
alam semesta dan manusia adalah medan
kreativitas Tuhan yang terhebat untuk mendeskripsikan ke-Mahakuasaan-Nya.
Kesadaran ini kemudian berimplikasi kepada pengakuan transendental tentang
adanya kekuatan “Maha Dahsyat” di luar dimensi kemanusiaan. Dengan demikian,
setiap perjalanan spiritual manusia pada dasarnya adalah perjalanan transkosmik
menuju Tuhan.
Pada spektrum yang lain, tindak
lanjut penciptaan manusia itu sendiri adalah menghendaki emplementasi dari
eksistensi manusia sebagai khalifah fi al-ar« (khalifah Allah di muka
bumi), yakni menjadi wakil Tuhan di muka bumi yang dalam pengertian luasnya
adalah menjadi “tuhan di muka bumi”.[3] Hal
ini secara tegas telah dilansir dalam Alqur’an yang mengatakan inni ja’ilun
fi al-ardh khalifah. Aplikasi kekhalifahan tersebut dalam arti luasnya
adalah bagaimana manusia berupaya untuk berakhlak sebagai akhlaknya Allah Swt,
sebagaimana hadis nabi mengatakan takhallaqu bi akhlaq Allah, yaitu akhlak
Allah yang dikenal melalui asma al-husna-Nya.
Demikianlah hal tersebut perlu
menjadi mainstream, paradigma dasar bagi seorang muslim sebagai langkah
awal untuk memahami Islam sebagai agama yang rahmatan li al-alamin.
Pembahasan
Suatu pemahaman yang diawali dengan
“metode”[4]
tentunya sangat terkait dengan “pendekatan”[5] atau
“teknik”. Penggunaan hal tersebut merupakan bagian dari pengembangan strategi
ilmu filsafat yang menghendaki suatu pola pikir yang lebih komprehensif dan
sistematis. Artinya, dengan metode atau pendekatan, pemahaman atau pemikiran
seseorang tentang susuatu dapat lebih ilmiah dan rasional.
Di sisi lain, hal ini memberikan
indikasi adanya perbedaan mendasar antara pemahaman Islam awam dan pemahaman
Islam terpelajar. Sebab salah satu karakteristik kemahasiswaan sebagai insan
intelek, di samping keharusan untuk berpikir kritis, juga dibingkai dengan
nilai-nilai ilmiah melalui penguasaan metodologi keilmuan.
Lebih dari itu, suatu metode dan
pendekatan juga dimaksudkan agar rasionalisasi yang dilakukan mampu membuka
cakrawala pikir dan secara fleksibel menerima pendapat dan ide-ide lain yang
lebih argumentatif. Lebih dari itu agar pemahaman yang terbangun tidak
subyektif, apologis, dan taklid/ikut-ikutan terhadap pendapat yang tidak diketahui
dasar hukumnya.
Dengan perangkat metodologi itu
pula, kebenaran ajaran Islam sebagai al-haq wa la rayba fih (kebenaran
yang tidak ada keraguan di dalamnya) dapat dibuktikan secara lebih
ilmiah/rasional berdasarkan kategori-kategori kebenaran ilmiah. Sebagaimana
diketahui ada beberapa jalan menuju kebenaran, beberapa diantaranya masih dalam
kategori kebenaran relatif, yaitu:
-
Kebenaran yang diperoleh melalui panca indera, hal ini akan menjadi
relatif bagi mereka yang memiliki keterbatasan alat indera.
-
Kebenaran yang diperoleh melalui akal, namun menjadi relatif ketika
akal didominasi oleh ide-ide spekulatif.
-
Kebenaran yang diperoleh melalui proses berpikir filsafat, proses ini
tidak semata-mata melibatkan kerja dan proyeksi akal, tetapi juga melalui perenungan
mendalam tentang hakikat sesuatu.
-
Kebenaran yang diperoleh melalui ilham atau intuisi. Hal ini biasanya
ditempuh melalui jalur tasawuf atau tarekat.
-
Kebenaran yang diperoleh melalui wahyu.[6]
Jika
ditelusuri dalam beberapa kajian pustaka, pada dasarnya telah banyak
karya-karya penting yang ditulis oleh ulama dan cendekiawan muslim tentang
metode pemahaman Islam.[7]
Dalam garis besarnya, beberapa
pendekatan yang digunakan dalam memahami Islam atau pengkajian Islam sebagai
agama adalah:
1. Pendekatan Normatif
Islam dipahami memiliki
dua aspek yaitu aspek historis dan aspek normatif. Aspek historis menjadi obyek
penilitian sejarah kehadiran Islam secara fenomenologi-historis, sedangkan
aspek normatif muncul sebagai kekuatan batin yang memberikan pengakuan akan ”kebenaran”
untuk mengatur kehidupan individu dan sosial. Aspek normatif tersebut
merupakan bagian pengkajian teologi.
Pendekatan teologi
dalam pemahaman Islam adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk formal atau
simbol-simbol keagamaan yang doctrinal. Berkenaan dengan pendekatan teologis
ini, Amin Abdullah mengemukakan bawah pendekatan ini semata-mata tidak dapat
memecahkan masalah esensial pluralitas pemahaman teks-teks agama saat ini.
Terlebih lagi bahwa doktrin agama itu pada dasarnya tidak pernah
berdiri sendiri, ia tidak terlepas dari institusi atau kelembagaan sosial
kemasyarakatan yang mendukung keradaannya.
Pendekatan teologis
dalam memahami Islam menggunakan cara berfikir deduktif, yaitu berawal dari
keyakinan benar dan mutlak adanya, selanjutnya diperkuat oleh dalil-dalil dan
argumentasi. Kekurangan pendekatan ini adalah bersifat eksklusif, dogmatis
tidak mau mengakui kebenaran agama lain. Namun kelebihannya adalah melalui
pendekatan teologi normatif seseorang memiliki sikap militansi dalam beragama.
Pendekatan teologis
normatif memandang agama dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan
yang di dalamnya belum terdapat pemikaran manusia. Agama dilihat sebagai suatu
kebenaran mutlak dari Tuhan, tidak ada kekurangan sedikitpun dan nampak
bersikap ideal. Agama tampil sangat prima dengan seperangkat cirinya yang khas.
2. Pendekatan Saintifik
Pengetahuan
saintifik dalam arti luas dapat dipandang memberi suatu paradigma kepada dunia
modern dan berbagai pengetahuan yang saling berhubungan. Pengetahuan saintifik
berdasar pada pandangan yang menitikberatkan pada tesis:
-
Sains berdasarkan pada fakta sensorik,
materialistik, dan fisik yang sudah memiliki
kepastian arti.
-
Teori ilmu pengetahuan dijabarkan dari fakta
dan data melalui metode induktif, deduktif, atau hipotetik deduktif. Kriteria
diterima atau ditolaknya hanya berdasarkan pada kesahihan pengujian empiriknya.
-
Perkembangan konsep dan teori terjadi
berdasarkan hasil akumulasi fakta secara bertahap.
Pandangan ini memberi distingsi yang jelas antara
ilmu pengetahuan dan agama yang menunjukkan bahwa ilmu harus objektif, bersifar
sensorik, memiliki nilai yang dapat dikuantifikasi, milik publik, dapat diukur
dan dapat direpleksikan. Sedangkan agama memfokuskan pada moral, bersifat subyektif,
bercorak pribadi, kualitatif, tidak dapat diukur, dan berlaku hanya pada
tingkat personal sehingga tidak perlu dibuktikan kepada orang banyak.
Seperti yang dikemukakan sebelumnya
bahwa santifik ini bertolak pada positivisme yang beranggapan bahwa sains hanya
berurusan dengan gejala-gejala atau pengalaman-pengalaman yang dapat diamati.
Dari pengalaman muncul teori, yaitu teori yang sudah dibuktikan yaitu melalui
pengamatan yang sistematis. Positivisme dengan konsepnya yang kental berasumsi
bahwa satu-satunya sumber pengetahuan adalah pengalaman yang ditangkap dengan
indera, yang kemudian dikenal dengan term empirisme.
Penganut positivisme ilmu
pengetahuan hanya mengakui satu kebenaran, yaitu kebenaran inderawi, yang dapat
teramati dan terukur, yang dapat diulang buktikan oleh siapapun. Di luar itu
tidak diakuinya sebagai kebenaran. Mengembangkan metodologi berpikir seperti
ini akan berdampak pada erosi iman.
Dapat dibayangkan pecahnya
kepribadian seseorang atau suatu masyarakat, yang disatu sisi diajarkan ilmu
yang filsafatnya diajarkan positivistik dan di sisi lain diajarkan agama yang
padat dengan kebenaran transendental. Kehidupan masyarakat dunia yang lebih
berorientasi kepada kehidupan sekuler akan berkembang. Kelompok ini tidak
mengakui kebenaran di luar empiris sensual. Begitupun ilmu pengetahuan akan
dikembangkan hanya berdasar kebenaran tersebut.
3. Pendekatan
Fenomenologi
Fenomenologi dari bahasa Yunani
yaitu dari kata phainestai, artinya menunjukkan menampakkan dirinya
sendiri. Tokohnya adalah Edmund Husserl (1859-1938) menyatakan bahwa tugas
utama fenomenologi adalah keterkaitan manusia dengan realitas. Realitas itu
tampil dalam kesadaran dan membiarkan termanifestasi apa adanya tanpa
dicampurkan dengan kategori presdisposisi seseorang.
Interpretasi feneomenologi cukup
positif dalam studi agama, atas prinsip
bahwa seseorang harus memahami agama lain seperti yang dipahami oleh penganut agama itu,
menghindari presdisposisi tertentu
mencoba menangkap esensi agama secara holistik, fenomenologi agama
sangat menolak reduksionisme dan sikap bias dalam mengamati fenomena keagamaan.
Sarjana Barat di bidang studi Islam yang menggunakan fenomenologi disebut ”Islamologi”,
bukan Orientalis meskipun pendapat ini masih kontroversial.
Di antara Sarjana Barat melihat Nabi
Muhammad saw, secara fenomenologi, adalah Maurica Bucaille. Bucaille dengan
tegas menyatakan bahwa Muhammad benar-benar seorang Nabi dan Alqur’an adalah
wahyu Tuhan.
Husserl
menggunakan istilah fenomenologi untuk menunjukkan apa yang nampak dalam
kesadaran seseorang dengan membiarkannya termanifestasi apa adanya tanpa
memasukkan kategori pikiran orang lain padanya. Seperti ungkapan Husserl ”kembalilah kepada
realitas itu sendiri”. Berbeda
dengan Kant, Husserl menyatakan bahwa apa yang disebut fenomena adalah realitas
itu sendiri yang nampak setelah kesadaran cair dengan realitas.
Fenomenologi
agama adalah reaksi terhadap pendekatan historis (sejarah agama). Menurut W.B.
Kristense bahwa pendekatan historis tidak dapat memahami karekteristik yang
absolut terhadap data-data keagamaan. Karena dalam pendekatan historis terdapat
jarak antara penelitian dengan obyek yang diteliti sehingga tidak dapat
mengidentifika data keagamaan sebgaimana
yang dihayati oleh orang-orang yang mengimani. Pendekatan fenomenologi
pada suatu penelitian tak lain adalah menyatukan dengan objek yang diteliti.
Seperti ungkapan Poesprojo bahwa dalam fenomenologi manusia menyatu dengan
dunia.
Fenomenologi
menekankan upaya penelitian esensi dan makna
keagamaan dan mengelompokkan fenomena itu dalam cara tipologis lepas
dari ruang dan waktu. Seperti telah diketahui bahwa fenomenologi berusaha
mencari esensi yang diamati. Esensi merupakan statement empirik yang terjadi
melalui abstraksi. Abstraksi diperoleh tergantung dari deskripsi empirik dari
kasus-kasus khusus. Dari pandangan ini, maka fenomenologi merupakan ilmu
empirik.
Untuk
menjadikan fenomena agama sebagai ilmu empirik, maka fenomenologi agama perlu
ditambahkan unsur ilmu empirik. Misalnya; Psokologi agama, sosiologi agama,
antropologi dan sebagainya. Di sini Dhavamony ingin memilah fenomenologi agama
yang deskriptif-empirik. Menurut Pettazzoni, fenomenologi agama tidak dapat
berbuat tanpa etnologi, filologi, disiplin ilmu sejarah dan lain-lain.
Dari
urain di atas dapat diketahui bahwa pendekatan fenomenologi murni, penyajiannya
akan bersifat normatif bila tidak disertai dengan fakta-fakta empirik yang bisa
menciptakan fenemenologi diskriptif empirik. Tujuan fenomenologi agama adalah
meneliti pola dan struktur agama atau meneliti esensi agama di balik
manifestasinya yang beragam atau memahami sifat-sifat yang unik dari pada
fenomena keagamaan serta untuk memahami peranan agama dalam sejarah dan budaya
manusia.
Terlepas dari beberapa pendekatan
yang telah dikemukakan tersebut, pemahaman terhadap Islam tentunya tidak dapat
dilepaskan dari sumber ajaran utamanya, yakni Alqur’an dan Hadis/Sunnah
Rasulullah Saw. Ali Syari’ati, seorang pemikir Iran bahkan mengatakan bahwa jika
ingin memahami Islam maka pelajarilah sejarah hidup Muhammad. Dialah manusia
paripurna/insan kamil yang diutus untuk menyempurnakan akhlak dalam
berbagai aspek kehidupan manusia, Nabi yang memiliki otoritas penuh sebagai bayan
al-Qur’an (penjelas Alqur’an), dan akhlaknya adalah Alqur’an. Nabi adalah sosok
ideal yang representatif dalam kapasitasnya sebagai uswah al-hasanah (teladan
yang baik), sebab sunnah-sunnahnya adalah refleksi kenabian yang wa ma
yantiqu ‘an al-hawa in huwa illa wahy yha
(pikiran, perkataan, dan perbuatan yang bukan dilandasi hawa nafsu,
melainkan wahyu yang diwahyukan) dalam persentuhan antara realitas budaya
manusia dan nilai-nilai Ilahiyah.
Salah satu pendekatan yang juga
dapat dipertimbangkan dalam memahami islam adalah dengan pendekatan filsafat
yang mengacu pada tiga basis filsafat yakni aspek ontologis, epistemologis,
dan aksiologis. Dengan tiga basis filsafat tersebut, pemahaman tentang
Islam akan dimulai secara ontologis pada pemaknaan ajaran-ajarannya berdasarkan
arti lughawi/leksikal dan kemudian dikembangkan dalam pemaknaan
etimologis.
Pada tahap kedua, pemahaman
tersebut dikembangkan secara epistemologis yang melihat pada dimensi ruang
lingkup atau batasan-batasan yang mengitarinya, baik bersumber dari
dalil-dalil/nash, pengembangan ijtihad, rukun atau syarat sahnya suatu
perbuatan, maupun status hukum suatu perintah dan larangan.
Pada ketiga, pemahaman
terhadap ajaran Islam diarahkan pada aspek aksiologi yang dimaksudkan untuk
mengkaji dan melihat maksud-maksud Tuhan dalam menetapkan hukum (maqa¡id
al-syariah), atau membedah dimensi Ilahiyah berbagai bentuk
ibadah/perintah ataupun larangan. Penelusuran melalui ketiga aspek tersebut
diupayakan dapat lebih melihat sisi rasional kebenaran Islam sebagai agama.
Muhammadiyah sebagai organisasi yang
menghendaki terwujudnya masyarakat Islam kemudian menawarkan suatu bentuk
pemahaman ajaran Islam yang berupaya mengkaji berbagai aspek ajaran akidah,
ibadah, muamalah, maupun akhlak dengan melakukan tarjih. Hal ini dapat
dilihat pada buku Himpunan Putusan Tarjih yang menjadi pedoman bagi warga
Muhammadiyah dalam agenda tajdid atau purifikasi ajaran Islam. Tarjih
adalah suatu bentuk upaya melakukan
seleksi yang ketat terhadap nash atau dalil-dalil Alqur’an maupun hadis untuk
diyakini ke-sahih-annya sehingga dapat dijadikan hujjah/sandaran
bagi akidah, ibadah, muamalah, maupun akhlak. Begitupula dengan munculnya
istilah takhayyul, bid’ah, khurafat, merupakan implikasi dari metode tarjih
yang menghendaki pemurnian/purifikasi terhadap ajaran Islam.
Oleh karena itu, dakwah atau setiap
ajakan kepada tanha ‘an al-fahsya’ wa al-munkar sesungguhnya adalah suatu
upaya islamisasi dan rasionalisasi ajaran Islam, yakni usaha rekonstruksi masyarakat
yang masih mengandung unsur-unsur jahili agar menjadi masyarakat yang
islami, yakni proses pembebasan manusia (tahrir
al-nas) dari segenap tradisi yang bersifat magis, mitologis, animistis, dan budaya
yang irasional.
Seiring dengan itu,
rasionalisasi juga diarahkan kepada penjabaran nilai-nilai tauhid dan
rekonstruksi akidah bahwa Tuhan adalah pusat dari segala sesuatu, sebagaimana
dilansir dalam QS. Al-Ikhlas (112): 2, Allahu al-¡amad (Allah tempat
bergantung segala sesuatu), dan manusia harus mengabdikan diri sepenuhnya
kepada-Nya. Seiring dengan itu, rasionalisasi juga diarahkan kepada penjabaran
nilai-nilai tauhid dan rekonstruksi akidah bahwa Tuhan adalah pusat dari segala
sesuatu, sebagaimana dilansir dalam QS. al-Ikhlas (112): 2, Allahu al-¡amad (Allah
tempat bergantung segala sesuatu), dan manusia harus mengabdikan diri
sepenuhnya kepada-Nya.
Selanjutnya, tolak ukur dari
pandangan teosentris ini adalah keyakinan religius yang ditindaklanjuti dengan
amalan dan pola pikir yang Allah-sentris pula. Sehingga dengan aktualisasi iman
dan amal yang tak terpisahkan, maka kebudayan dan peradaban yang dihasilkan
manusia juga akan berkiblat kepada paradigma Allah-sentris, yakni kebudayaan
dan peradaban yang tidak terjebak pada belenggu-belenggu budaya yang irasional.
[2]Perangkat
itu berupa para Nabi dan Rasul dan Kitab-kitabnya, serta ajaran doktrinal yang
terkodifikasi dalam rukun iman dan rukun Islam.
[3]Tuhan dengan t kecil, bukan Tuhan dengan T besar.
[4]Metode diartikan sebagai cara kerja yang
untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan dalam mencapai tujuan yang
diinginkan. Lihat, Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan R.I.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. IV; Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h.
414. Dalam dunia keilmuan metode
diartikan sebagai cara kerja untuk dapat memahami obyek menjadi sasaran ilmu
yang sedang dikaji. Lihat, Ibid., h.581.
[5]Pendekatan adalah cara pandang atau
paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutanya digunakan
dalam memahami agama. Lihat, Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Cet.
V; Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2000), h. 28.
[6]Lihat,
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz I, (Cet. III; Beirut:
Dar al-Fikr, 1394 H/1974 M), h. 35.
[7]Misalnya
oleh Abuddin Nata dengan bukunya Metodologi Studi Islam, Taufik Abdullah
dan M. Rusli Karim (ed.) dalam Metodologi Penelitian Agama, Mudjahid
Abdul Manaf dalam Sejarah Agama-Agama, Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarak
dalam Metodologi Studi Islam, Ahmad Norma Permata dalam Metodologi Studi
Agama, Natsir Mahmud dalam Epistimologi dan Studi Islam Kontemporer, Mulyanto
Sumardi dkk, dalam Penelitian Agama: Masalah dan Pemikiran, M. Atho
Mudzhar dalam Pendekatan Studi Islam, serta Syauqi Nawawi dkk. dalam
Metodologi Psikologi Agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar