TAFSIR QS
AL-NUR/24: 30-31
dan QS
AL-AHZAB/33: 59
Oleh: Muhammad Gazali
Rahman
PENDAHULUAN
“Tampil
seksi itu indah, bukan porno”. Tidak jarang ungkapan ini terdengar meluncur
tanpa beban dari mulut seseorang. Gejala primitif-modern muncul seiring dengan
kemajuan zaman yang menampilkan fenomena aurat terbuka sebagai bentuk
kewajaran. Indikator lain dari “era transparansi” ini dapat dilihat pada
gambar-gambar seronok yang tiap hari dapat ditemukan pada berbagai iklan
komersil-sensual di televisi, majalah ataupun koran. Di plaza, terminal, pasar,
kampus, terlebih lagi di tempat-tempat wisata, begitu banyak perempuan yang
tidak risih lagi berpakaian seadanya. Rok di atas lutut, celana ketat, baju
ketat dan sudah jelas tanpa jilbab. Belum lagi, ditambah make-up,
pemerah bibir, parfum, dan segala macam aksesoris kecantikan.
Sangatlah
tepat jika Allah membuat perumpamaan wanita itu sebagai perhiasan. Ibarat
perhiasan, wanita adalah qurrata a’yun yang diciptakan dalam bentuk
terindah secara fisik. Sehingga tanpa dipolespun, wanita telah memiliki daya
tarik seksual bagi laki-laki yang memandangnya. Daya tarik ini selanjutnya akan
memberi pengaruh pula terhadap tumbuhnya gairah birahi laki-laki yang terkadang
diaplikasikan dalam berbagai bentuk penyimpangan nilai-nilai normatif sekaligus
merusak tatanan norma-norma kehidupan sosial, meskipun pada fitrahnya relasi
keduanya yang berorientasi seksual adalah kecenderungan normal dan wajar.
Sepanjang
sejarahnya, hubungan antara laki-laki dan perempuan selalu menyimpan misteri
dan kekuatan yang tak terduga. Misalnya saja, sejarah dibangunnya Taj Mahal di
India yang amat indah dan monumental, berbagai peperangan yang menelan jutaan
jiwa, kesemuanya itu tidak jarang bermula dari dinamika gejolak dan misteri
yang muncul dari kompleksitas relasi antara laki-laki dan perempuan. Bahkan
dalam kitab suci Alquran terdapat kisah konflik antara Habil dan Qabil yang
dipicu oleh persaingan dan perebutan cinta.
Secara manusiawi, kisah ini setidaknya
menunjukkan bahwa hubungan antara laki-laki dan perempuan menyimpan kekuatan
terpendam yang sewaktu-waktu dapat memicu dan memacu tindakan-tindakan
spektakuler yang tak terduga. Kisah-kisah klasik dari legenda seputar tragedi
cinta ala Romeo dan Yuliet, Laila Majnun, dan sederet kisah legenda lain,
kesemuanya mendeskripsikan adanya kekuatan dahsyat yang terpendam dan bersumber
dari energi daya tarik antara laki-laki dan perempuan untuk saling mengisi dan
menguasai, saling memberi, dan menuntut. Begitu rumitnya relasi ini bahkan cenderung mengeksploitasi
rasa benci dan cinta yang berdinamika sepanjang sejarah peradaban manusia.
Siapapun yang memiliki sensitivitas
normatif, tentu akan melihat realitas sosial ini sungguh-sungguh
menggelisahkan. Ikatan-ikatan aturan fikih untuk menjaga kehormatan perempuan
mulai dilepas satu persatu dan semakin membuka pintu yang lebar ke arah
pergaulan bebas. Lebih parah lagi, zina yang merupakan virus sosial yang sangat
ganas semakin hari tidak semakin berkurang. Negara Barat yang menjadi kiblat
dan rujukan peradaban telah membuktikan betapa banyak pasangan kumpul kebo,
betapa banyak anak yang lahir tak berayah, betapa banyak calon anak yang
digugurkan sebelum lahir, betapa banyak manusia yang terinveksi virus HIV
(AIDS) mematikan. Sungguh ironi jika standar-standar kepantasan harus
didasarkan atas norma-norma yang ditentukan oleh Barat. “Demikianlah pria
terhormat, wanita terhormat, pemuda terhormat, gadis terhormat” adalah
terhormat karena telah mempertunjukkan norma kehormatan Barat dalam sopan
santun mereka.
Deskripsi
terhadap realitas yang “timpang” itu tentu tidak dapat dibebankan sepenuhnya
terhadap perempuan sebagai objek yang “salah”. Sebab, relasi laki-laki dan
perempuan adalah ibarat dua sisi mata uang yang saling mempengaruhi satu sama
lain. Oleh karena itu maka Alquran diturunkan sebagai “furqan” yang secara
tegas membedakan dimensi-dimensi kehidupan yang ha>q dan yang ba>¯il.
Fungsi ini mengasumsikan suatu eksistensi tak terbantahkan dari “natural
human potention” dalam sistem sosial yang kompleks untuk tetap dielaborasi
dalam kehendak dan manajemen peradaban Tuhan melalui konstruk syari’at yang
tentu saja mengandung banyak muatan moral meskipun terkadang kontroversi dengan
libido manusia.
Bertolak
dari itu, tiga ayat yang akan dikupas dalam makalah ini merupakan aturan dari
sekian banyak ketentuan-ketentuan agama yang mengatur privasi laki-laki dan
perempuan serta relasi biologis antar keduanya secara dinamis. Hipotesa awal
untuk masalah ini adalah kedudukan Alquran sebagai respon sosial yang
mengkompromikan antara potensi yang merusak kemanusiaan dan potensi yang lebih
memanusiakan manusia.
II.
PEMBAHASAN
A.
Tafsir QS al-Nur/24: 30-31
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ
وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
(30)
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ
وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ ولاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ
لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَائِهِنَّ أَوْ ءَابَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ
أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ
بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ
غَيْرِ أُولِي اْلإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا
عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلاَ يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ
مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ (31)
Terjemahan:
Katakanlah kepada laki-laki yang
beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya,
yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (30)
Katakanlah kepada wanita yang beriman:
“Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak dari
padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain (kudung) ke dadanya, dan
janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah
mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera
suami mereka, atau saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara
laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita
Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang
tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah,
hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (31)[1]
1. Analisis Semantik
Melalui
analisis semantik, pada ayat ini menggunakan kata “ المؤمنون ” dan berbeda dengan “ ياآيها الذين ءامنوا “ yang digunakan pada ayat sebelumnya
(ayat 27) ketika memaparkan tentang perizinan masuk rumah. Perbedaan tersebut
menurut al-Qurthubi terletak pada makna kata المؤمنون yang lebih menekankan sisi kemantapan iman obyek yang
bersangkutan.[2]
Sedangkan al-Biqa’i menilai bahwa hal ini menjadi indikator sulitnya
menghindarkan mata di tempat umum, dan hanya dapat diaplikasikan secara baik
oleh mereka yang telah mantap iman dalam kalbunya (الراسخون في الإيمان), sebab konsekuensi terhadap hal ini tidak setegas
pada konsekuensi ketika memasuki rumah tanpa izin.[3]
Adapun
kata يغضّوا yang
berasal dari kata غضّ berarti menundukkan, lebih rendah atau
merendahkan, dan juga berarti mengurangi.[4]
Berpijak pada makna awal tersebut maka غضّ البصر dalam ayat ini bermakna menahan
pandangan, bukan melindungi atau menutup mata. Ibnu Katsir dalam tafsirnya
memaknai kata غضّ ini
dengan kata yang senada (sinonim) seperti صرف – اطرق (mengalihkan).[5] Frase
ini senada dengan pernyataan. وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ pada QS Luqman/31: 19 yang berarti “rendahkanlah
suaramu”. Ungkapan ini bukan berarti harus diam tanpa suara, melainkan
bersuara dengan volume yang sedang saja. Demikian pula “menahan pandangan”
berarti mengalihkan pandangan atau tidak menfokuskan pandangan dengan tajam
dalam waktu yang lama.[6]
Sedangkan
fungsi “ من ” dalam
kalimat tersebut adalah sebagai (صلة وزائد) kata penghubung-tambahan[7] yang bermakna (التبعيد) “sebagian”
(من التبعيضية)[8]. Sebab tidak semua pandangan harus dibatasi, melainkan hanya pada hal-hal
tertentu yang terlarang dan kurang baik. Jadi, fungsi من ini mengandung makna menahan pandangan
dari sesuatu yang tersembunyi sekaligus menegaskan batasan sesuatu yang boleh
dipandang.[9]
Kata فروج sebagai bentuk jamak dari kata فرج pada mulanya berarti celah di antara dua sisi.[10] Penggunaan kata ini menggambarkan pengungkapan yang sangat halus dalam
Alquran terhadap sesuatu yang sangat rahasia bagi manusia, yakni alat kelamin.
Berbeda dengan ayat sebelumnya ketika berbicara tentang غضّ البصر , maka ketika berbicara tentang فروج tidak menggunakan kata من sebagaimana dipahami dalam arti “sebagian”. Hal ini
tentu karena tidak
benarnya jika “kemaluan”
hanya ditutup sebagian saja. Di sisi lain, agama
memang memberi toleransi bagi mata dalam pandangan pertama namun tidak pada
pandangan kedua. Dalam hal ini ulama sepakat tentang bolehnya melihat wajah dan
telapak tangan wanita yang bukan mahram, tetapi secara tegas tidak memberi
peluang bagi “kemaluan” selain pada wilayah privasi yang bersangkutan.[11]
Dalam
memahami makna وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ , Ibnu
Katsir menilai kalimat tersebut senada dengan ungkapan والذيى هم لفروجهم حافظون [12] yang bermakna larangan zina.[13]
Berbeda dengan itu, Abu al-Aliyah memaparkan bahwa setiap tema dalam Alquran
yang menyangkut tentang الفرج merujuk kepada zina (الزنى),
terkecuali pada ayat ini (QS al-Nur/24: 30-31). Menurut beliau, tema dalam ayat
ini lebih menekankan pada makna tertutupnya kemaluan dalam arti الستر والعفاف .[14]
Pendapat ini tampaknya tidak ingin melepaskan relevansi makna ayat dari fungsi من التبعيضية pada kalimat yang mendahuluinya serta
relevansi terhadap ayat sebelumnya yang memaparkan larangan memasuki rumah.
Perbedaan alasan ini tidaklah signifikan jika dipahami bahwasanya dengan
menundukkan pandangan dan menutup kemaluan berarti menutup rapat-rapat pintu ke
arah penyimpangan seksual (zina).
2. Asbab al-Nuzul
Latar historis turunnya ayat (sabab
al-Nuzul), QS al-Nur/24: 30 ini turun berkenaan dengan peristiwa seorang
laki-laki yang lewat di salah satu jalan di kota Madinah, ia lantas melihat
seorang perempuan dan begitu pula sebaliknya (saling menatap). Lalu syaithan
menggoda sehingga keduanya saling memandang dengan rasa simpati satu sama lain.
Pada saat yang sama, laki-laki itu berjalan di sisi dinding/tembok seraya tetap
menatap kepada perempuan tersebut, tiba-tiba laki-laki itu menabrak dinding dan
menyebabkan hidungnya luka. Ia lalu berkata: “Demi Allah, saya tidak akan
mencuci darah ini sampai saya datang kepada Rasulullah dan menceritakan
kejadian ini”. Maka ia datang kepada Rasul dan menceritakan kejadian itu,
Rasulullah lantas bersabda: “Itulah konsekuensi dari dosamu”, kemudian
turunlah ayat tersebut.[15]
Adapun turunnya ayat pada QS al-Nur/24: 31 tersebut berkenaan dengan peristiwa Asma’ binti Murs\id pemilik
kebun kurma yang sering dikunjungi wanita-wanita di kebunnya tanpa berkain
panjang sehingga kelihatan gelang-gelang kakinya, demikian juga dada dan
sanggul-sanggul mereka dan Asma’ berkata: “Alangkah buruknya (pemandangan)
ini”, maka turunlah ayat tersebut.[16]
Kelanjutan
ayat ini (QS al-Nur/24: 31) dari “wala> yadribna bi arjulihinna”
hingga akhir ayat, turun berkenaan dengan seorang wanita yang membuat dua kantong
perak untuk diisi untaian batu-batu manikam sebagai perhiasan kakinya. Apabila
ia berlalu di hadapan sekelompok orang, ia memukul-mukulkan kakinya ke tanah
sehingga dua gelang kakinya bersuara merdu, lalu turunlah ayat tersebut.[17]
3. Analisis Ayat
Meskipun sebab turunnya ayat ini
terjadi secara kasuistik, namun perintah di dalamnya tentu berlaku umum bagi
setiap laki-laki dan perempuan yang beriman. Sebab, rasa simpati, kagum, dan
berbagai variabel “cinta” lainnya yang memang terkadang menenggelamkan dan
memabukkan manusia merupakan potensi yang dapat dikatakan normal dan wajar,
sebagaimana dijelaskan pula dalam QS Ali Imran/3: 14 yang berbunyi; زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ
النِّسَاء...ِ (Dijadikan indah
dalam diri manusia kecintaan -untuk memiliki- terhadap wanita...). Oleh karena
itu maka dapat dipahami bahwa perintah ini merupakan tindakan preventif untuk
menekan atau mengeliminir kehendak naluri dan nafsu yang berlebihan terhadap
lawan jenis. Dalam arti lain, ayat tersebut bermaksud untuk mengatakan: “Katakanlah
kepada orang-orang yang beriman (laki-laki dan perempuan) untuk tidak menatap
atau bermain mata satu sama lain.”
Selanjutnya pada ayat (31) terdapat ketentuan
yang dikhususkan bagi kaum perempuan sebagaimana dinyatakan bahwa:
وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ
عَلَى جُيُوبِهِنَّ ولاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ...
Terjemahan:
“dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak dari padanya. Dan hendaklah mereka
menutupkan kain (kudung) ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya...”
Kata زينة (perhiasan)
dalam pengertian leksikal terangkat dari kata زان-
زينا yang berarti menghiasi atau mempercantik.[18]
Dalam bahasa Inggris, zinat biasanya diterjemahkan dengan kata ornament,
odornment atau embellishment. Maka dari itu yang dimaksud زينة adalah sesuatu yang
ditampakkan oleh perempuan pada tubuhnya untuk mempercantik atau menghiasinya
sehingga tampak indah dalam pandangan mata, seperti pakaian dan aksesoris
lainnya.
Meskipun demikian, para mufassir
tetap berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud dengan zinat ini. Al-Mawardi
membagi zinat/perhiasan ini dalam dua hal yaitu zinat z}a>hir dan
zi>nat ba>t}in ظاهرة
وباطنة . Zinat z}a>hir ini tidak wajib ditutup dan tidak
diharamkan untuk memandangnya sebagaimana Allah berfirman:إِلاَّ
مَا ظَهَرَ مِنْهَا. Namun ulama berbeda pendapat tentang perhiasan yang zahir
dan ba>t}in tersebut. Ibnu Mas’ud berpendapat bahwa yang dimaksud
perhiasan yang ditampakkan tersebut adalah pakaian, Ibnu Abbas mengikutkan
celak dan cincin, sedangkan Hasan, Ibnu Jabir dan Atha’ berpendapat bahwa zinah
z}a>hir tersebut adalah wajah dan telapak tangan.[19]
Lebih dari itu, menurut sebagian mufassir, zinat juga mencakup keindahan
tubuh. Abdullah Ibnu Yusuf misalnya mengatakan bahwa kata zinat mencakup
natural beauty and artificial ornaments.[20]
Terkait
dengan itu pula, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Aisyah
bahwa Asma’ binti Abu Bakar pernah mendatangi Rasulullah dengan pakaian yang
minim, Rasulullah lantas menegurnya dengan mengatakan: “Hai Asma’,
sesungguhnya seorang perempuan yang telah (mengalami) haid –masuk usia baligh-
tidak pantas memperlihatkan tubuhnya selain ini” seraya menunjuk muka dan
telapak tangan beliau.[21]
Mengacu pada hadis tersebut maka batasan aurat perempuan yang boleh ditampakkan
sebagai zi>nah z}a>hir adalah wajah dan telapak tangan, selain itu adalah zi>nah ba>t}in.
Dalam
ayat tersebut terdapat perintah yang berupa fi’il mud}a>ri’ yang
didahului lam amar dengan bunyi walyad}ribna, yang dalam kaidah
ushul dinyatakan bahwa “hukum asal pada perintah itu menunjukkan wajib” (الأصل في الأمر للوجوب). Al-T{abari
mengatakan bahwa lafaz al-D{arb dalam
ayat tersebut adalah lil muba>laghah
terhadap perintah menjaga dan menutup aurat.[22]
Adapun kata خمر sebagai
bentuk jamak dari خمار adalah
“penutup kepala yang panjang”.[23] Sedangkan kata جيوب adalah jamak dari جيب , yaitu “lubang di leher baju/kerah”.[24]
Juga berarti sisi sepanjang baju yang dengan itu menampakkan sebagian anggota
tubuh.[25]
Namun yang dimaksud di sini adalah kain panjang yang menutupi leher sampai ke
dada. Penggunaan kata ضرب yang biasa diartikan memukul atau meletakkan sesuatu secara cepat dan
sungguh-sungguh, merupakan penempatan kata yang cukup unik menurut al-Biqa’i.
Dengan kata tersebut, maka pemakaian kudung hendaknya diletakkan dengan
sungguh-sungguh untuk tujuan menutupi.[26]
Kembali
kepada makna zinat/perhiasan yang mesti ditutup dengan kudung tersebut,
maka jika menyimak teks ayat lebih jauh, kata zinat yang terulang
sebanyak tiga kali dalam QS al-Nur: 31 ini pada dasarnya memiliki dua
pengertian. Pertama, kata zinat ini merupakan kata personifikasi
dari “keindahan atau kemolekan tubuh” karena ajaran Islam memang tidak
membenarkan perempuan menampakkan atau mempertontonkan keindahan dan kemolekan
bentuk tubuhnya sebagaimana diungkapkan dalam QS al-Ahzab/33: 33 dengan kata tabarruj.[27]
Arti pertama ini terkandung dalam kalimat “Dan janganlah menampakkan
keindahan tubuh mereka kecuali sebagian yang kelihatan daripadanya, yaitu muka
dan telapak tangan sampai pergelangan.” Serta pada kalimat “Dan
janganlah menampakkan keindahan tubuh mereka kecuali terhadap suami...”
Adapun
arti kedua dari zinat ini adalah memang berarti perhiasan lahir,
yang dalam ayat ini dimaksudkan dengan berbagai aksesoris yang sering dipakai
perempuan dalam adat istiadat mereka. Arti kedua ini terkandung dalam kalimat “Dan
janganlah menghentakkan kakinya karena ingin diketahui perhiasan yang
dikenakannya”, karena hanya dengan jalan membanting-bantingkan kaki maka
perhiasan pada kaki dapat diketahui laki-laki melalui gemerincingnya.
Jadi,
kalimat وَلاَ يُبْدِينَ
زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا pada ayat tersebut berarti bahwa
perempuan tidak dibolehkan untuk menampakkan perhiasan ba>t}in mereka
selain wajah dan telapak tangan serta aksesoris yang terletak pada kedua tempat
tersebut, seperti gelang, cincin dan celak sebagai perhiasan zahir.
Berbeda dengan gelang kaki, kalung, dan anting-anting, semuanya dilarang untuk
ditampakkan karena terletak pada anggota tubuh yang termasuk aurat perempuan.
Seluruhnya tidak halal dilihat, kecuali oleh kelompok-kelompok yang disebutkan
dalam teks kalimat selanjutnya.
Orang-orang yang dimaksud tersebut
adalah suami, ayah, mertua, anak laki-laki dan perempuan mereka, anak laki-laki
dan perempuan dari suami, saudara, keponakan, karena rapatnya pergaulan antara
mereka dan jarangnya terjadi hal-hal yang tidak senonoh di antara mereka, atau
perempuan yang menemani dan melayani mereka; atau budak-budak yang mereka
miliki; atau laki-laki yang tidak memiliki hasrat terhadap wanita, baik karena
umur yang lanjut atau karena telah dikebiri/impoten atau terpotong alat
kelaminnya; dan anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan.[28]
Terkhusus kepada suami, maka
diperbolehkan memandang atau melihat segala sesuatu dari isteri, baik dengan
syahwat maupun tidak. Sebab secara syariat, ia telah halal untuk disentuh atau
digauli, sebagaimana dalam QS al-Baqarah/2: 187 diungkapkan dengan kata-kata
yang indah: “Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi
mereka.” Beberapa kelompok di antaranya diperbolehkan melihat zinat atau
keindahan tubuh seorang perempuan dikarenakan mereka adalah kelompok laki-laki
yang tergolong mahram, baik mahram karena pertalian keturunan, maupun lantaran
pertalian perkawinan. Namun tetap saja perlu penekanan sebagai catatan bahwa
kebolehan bagi beberapa kelompok selain suami dalam melihat aurat perempuan
adalah kebolehan memandang tanpa syahwat. Sebab, jika dengan syahwat maka
mereka tidak dihalalkan untuk melihat keindahan perhiasan zahir dan batin
wanita meskipun telah menjadi mahramnya. Dalam tolak ukur mas\la>hah,
hal ini dimaksudkan dalam rangka menghindarkan diri dari penyimpangan “inhome
seksual”. Terlebih lagi, sudah terlalu banyak bukti-bukti penyimpangan
tersebut di tengah masyarakat, baik antara ayah terhadap anak, anak terhadap
ibu, atau cucu terhadap nenek dan kakek terhadap cucu, serta perselingkuhan
dengan pembantu.
Dalam beberapa pendapat terdapat
perselisihan makna tentang posisi kata الا pada kalimat الا ما ظهر منها tersebut.
Ada yang berpendapat bahwa “illa” adalah istisna’ muttashil yang
berarti pengecualian dari apa yang telah disebutkan sebelumnya, dan yang
dikecualikan dalam penggalan ayat ini adalah hiasan. Jika bertolak dari itu
maka ayat ini berpesan: “Hendaknya janganlah para perempuan menampakkan
hiasan (anggota tubuh) mereka, kecuali apa yang tampak.” Redaksi seperti
ini tampak rancu karena apa yang tampak sudah tentu kelihatan, lantas apalagi
yang mesti dilarang?. Oleh karena itu ada tiga pendapat lain yang diungkapkan
M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah-nya guna meluruskan redaksi
yang rancu itu.[29]
Pertama, memahami kata الا dalam
arti “tetapi” (istisna munqathi’), maka kalimat tersebut bermakna: “Janganlah
mereka menampakkan perhiasan mereka sama sekali, tetapi apa yang tampak secara
terpaksa/tanpa disengaja dapat dimaafkan”. Kedua, dengan menyisipkan
penggalan kalimat pada ayat tersebut sehingga mengandung pesan lebih kurang: “Janganlah
mereka menampakkan hiasan (badan mereka). Mereka berdosa jika melakukannya.
Tetapi jika tanpa disengaja, maka mereka tidak berdosa.” Ketiga, memahami
konteks ayat tersebut dalam arti “biasa dan dibutuhkan keterbukaannya sehingga
memang harus tampak” kebutuhan di sini dalam arti menimbulkan kesulitan apabila
bagian tersebut ditutup. Jika berdasar pada ketiga pendapat tersebut maka
batasan aurat ini secara minimal maupun maksimalnya memiliki toleransi yang
dikondisikan dengan keadaan yang dialami perempuan.
Sisi lain dari keseluruhan perintah itu
adalah sebagaimana dinyatakan bahwa “yang demikian itu adalah lebih suci
bagi mereka”, yakni dengan menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan
adalah demi kehormatan, kesucian dan kebersihan hati serta memurnikan prinsip
agama.[30]
Apa yang diungkapkan melalui pernyataan ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ adalah dalam kerangka maslahah yang
tidak berlaku temporal bagi dinamika sistem kehidupan yang lebih sehat secara
biologis. Begitupula ketika perintah ini ditujukan terhadap kaum perempuan,
maka ajakan Allah untuk bertaubat merupakan bukti bahwa Allah tetap membuka lebar
pintu taubat kepada mereka yang tanpa sadar telah melakukan pelanggaran
terhadap aturan yang telah ditetapkan pada ayat tersebut.
Apabila mengacu kepada sistematika ayat
(munasabah), maka pembahasan ini merupakan rentetan dari ayat sebelumnya
(ayat 29) yang menjelaskan tentang larangan memasuki rumah orang lain tanpa
izin dan salam kepada penghuninya. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari
terjadinya kecurigaan (su’u©a>n) dan untuk tidak melihat aurat serta
rahasia orang lain. Dengan alasan itu pula maka pada ayat ini Allah
memerintahkan kepada Rasul-Nya untuk memberi petunjuk kepada orang mu’min
(laki-laki dan perempuan) agar menahan pandangannya dari hal-hal yang
diharamkan untuk dilihat dan dapat menjerumuskan ke dalam kerusakan.[31]
Tafsir
QS al-Ah}z\a>b/33: 59
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأَزْوَاجِكَ
وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيبِهِنَّ
ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (59)
Terjemahannya:
Hai Nabi
katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri
orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.”
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka
tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[32]
1. Asba>b al-Nuzul
Ayat ini turun berkenaan dengan
peristiwa yang dialami Siti Saudah (isteri Rasulullah) ketika keluar rumah
untuk suatu urusan setelah diturunkannya ayat hijab. Ia seorang wanita yang berbadan
tinggi besar sehingga mudah dikenal. Pada waktu itu Umar ra. Melihatnya dan
berkata: “Hai Saudah, demi Allah, bagaimanapun kami akan dapat mengenalmu.
Karenanya cobalah pikir mengapa engkau keluar?” dengan tergesa-gesa ia
(Saudah) pulang dan di saat itu Rasulullah berada di rumah Aisyah sedang
memegang tulang saat makan. Ketika masuk ia berkata: “Ya Rasulullah, aku
keluar untuk sesuatu urusan, dan Umar menegurku (karena ia masih mengenalku).” Maka
turunlah ayat tersebut ketika tulang itu masih di tangan Rasulullah seraya
bersabda: “Sesungguhnya Allah telah mengizinkan engkau keluar rumah untuk
suatu keperluan”.[33]
Dalam
versi lain dikemukakan sebagaimana yang disebutkan oleh Imam al-Qurthubi dalam
tafsirnya bahwa para wanita biasa melakukan buang air besar di padang terbuka
sebelum dikenalnya kakus. Di antara mereka itu dapat dibedakan antara budak dan
wanita merdeka. Perbedaan itu bisa dikenali, yakni kalau wanita-wanita merdeka
menggunakan hijab. Dengan begitu, para pemuda enggan mengganggunya. Sebelum
turunnya ayat ini, wanita-wanita muslimah juga melakukan buang hajat di padang
terbuka tersebut dan pada waktu itu orang-orang munafik mengganggu mereka. Hal
ini diadukan kepada Rasulullah sehingga Rasul menegur orang-orang munafik itu.
Namun mereka beralasan bahwa hanya mengganggu hamba sahaya. Maka turunlah ayat
tersebut atas dasar peristiwa itu. [34]
Latar
historis turunnya ayat ini menegaskan bahwa wanita yang memamerkan auratnya,
mempertontonkan kecantikan dan kemolekan tubuhnya kepada setiap orang meskipun
ada yang tidak bermaksud seperti itu, akan lebih berpotensi untuk diganggu.
Sebab dengan begitu, ia telah membangkitkan nafsu seksual yang terpendam. Di
sisi lain, di kalangan bangsa Arab pada masa itu (berdasarkan konteks asbab
al-Nuzul ayat setelah turunnya ayat hijab), pada umumnya perempuan yang
berjilbab dipandang sebagai perempuan yang merdeka, sehingga mereka tidak akan
diganggu oleh laki-laki yang mempunyai keinginan jahat. Begitu pula pada masa
itu perempuan yang tidak mengenakan jilbab adalah perempuan budak atau
bermartabat rendah, sehingga mudah dihina atau diperlakukan tidak senonoh oleh
laki-laki. Sehingga tidak benar jika jilbab ini dinilai sebagai kebudayaan Arab
yang dimaksudkan hanya untuk melindungi diri dari suhu udara yang panas maupun
debu padang pasir.
2. Analisis Mufradat
Kembali kepada analisis leksikal ayat,
beberapa kata kunci yang perlu dijabarkan antara lain;يبدين kata ini berakar dari دنا yang berarti mendekatkan,[35]
mengulurkan dan menguraikan.[36]
Ibn Asyur seperti dikutip oleh M. Quraish Shihab memberi arti dengan “memakai”
atau “meletakkan”. Adapun kata جلباب dalam beberapa kamus berarti pakaian atau kain
yang lapang dan luas;[37]
selendang atau pakaian lebar yang dipakai perempuan untuk menutupi kepala,
punggung, dan dada;[38]
pakaian dalam (gamis), atau selendang (khimar), atau pakaian untuk melapisi
segenap pakaian perempuan bagian luar untuk menutupi semua tubuh seperti halnya
mantel;[39]
garment, dress, gown; woman’s dress.[40]
Sementara ini makna jilbab masih
diperselisihkan oleh para ulama. Ibnu Asyur misalnya memahami kata jilbab dalam
arti pakaian yang lebih kecil dari jubah tetapi lebih besar dari kerudung atau
penutup wajah. Ini diletakkan di atas kepala dan terulur hingga ke seluruh bahu
dan belakangnya.[41]
Al-Biqa’i menyebut beberapa pendapat tentang makna jilbab yang
diperselisihkan tersebut, antara lain, baju longgar atau kerudung penutup
kepala perempuan, atau pakaian yang menutupi baju dan kerudung, atau semua
pakaian yang menutupi perempuan. Semua pendapat ini menurut Al-Biqa’i ada
benarnya. Jika yang dimaksud dengannya adalah baju, maka ia menutupi tangan dan
kakinya, jika kerudung, maka perintah mengulurkannya adalah menutup wajah dan
lehernya. Sedangkan jika dimaknai dengan pakaian yang menutupi baju, maka
perintah mengulurkannya adalah dengan membuat longgar sehingga menutupi semua
badan dan pakaian.[42]
Makna
yang variatif dari jilbab tersebut mungkin saja ada yang tidak tepat, terutama
ketika jilbab ini diidentikkan dengan kerudung, cadar atau tirai penutup muka,
padahal kerudung tidak sama dengan jilbab. Selain itu, memang harus diakui bahwa
tidak semua kata dari suatu bahasa dapat diterjemahkan dengan tepat sesuai
dengan makna yang dikehendaki dalam bahasa aslinya karena latar belakang
sosio-kultural pada masing-masing masyarakat pemakai bahasa itu memang
berbeda-beda.
Meskipun
demikian, dari berbagai terjemahan yang telah diungkapkan, dapat ditarik benang
merah bahwa yang dimaksud dengan jilbab tersebut adalah busana muslimah, yaitu
suatu pakaian yang tidak ketat/longgar dengan ukuran yang lebih besar yang
menutup seluruh tubuh perempuan, kecuali muka dan telapak tangan sampai
pergelangan. Pakaian tersebut dapat berupa baju luar semacam mantel yang
dipakai untuk menutupi pakaian dalam, tetapi juga dapat digunakan langsung
tanpa menggunakan pakaian dalam[43],
asalkan kainnya tidak tipis atau transparan. Sedangkan tentang bentuk atau
modelnya tidak terdapat ketentuan khusus yang mengaturnya. Jadi tergantung
kepada kehendak atau selera masing-masing pemakai, asalkan tetap memenuhi
syarat dalam hal menutup aurat.
3. Kandungan Ayat
Pesan yang dapat diperoleh dari redaksi
ayat pada QS al-Ahzab: 59 ini adalah adanya perintah untuk “mengulurkan jilbab”
bagi para wanita mukmin disebabkan mereka memakai penutup kepala namun belum
mengulurkan atau memanjangkannya untuk menutup bagian tertentu yang bisa
memikat perhatian dan gairah birahi (nafsu syahwat) laki-laki. Dengan begitu
maka mashlahah yang dikehendaki dari ayat ini adalah agar mereka dapat
dikenal/dibedakan dari perempuan-perempuan lain di luar kelompok yang
disebutkan pada teks ayat tersebut. Selanjutnya Allah menutup ayat ini dengan
ungkapan yang memberi motivasi untuk bertaubat atas kesalahan masa lalu mereka
yang sebelumnya mempertontonkan perhiasannya dan belum mengulurkan jilbabnya.
Pengampunan Allah ini bahkan disertai dengan ungkapan yang memberi sugesti
untuk mengejar kasih sayang Allah melalui pintu maafnya.
Sejalan
dengan semua ayat yang terangkat pada pembahasan ini, pakaian pada dasarnya
adalah suatu cerminan dari identitas, jati diri, dan status seseorang, baik
dari segi ekonomi maupun status sosial pemakainya. Selain itu dapat kita nilai
citra estetika, kepribadian, dan kualitas moralnya. Tingkat ekonomi misalnya,
tampak pada merek yang menempel pada pakaian dan aksesori-aksesori lain yang
dipakai. Begitu pula citra estetika tampak dari mode, keserasian, keanggunan, bersih
dan kotornya pakaian. Sedangkan kualitas moral akan tampak pada ukuran busana
yang disandangnya, apakah pakaian tersebut menonjolkan lekuk-lekuk tubuh yang
merangsang, atau apakah pakaian tersebut malah mencitrakan kesombongan dan
keangkuhan, atau justru sebaliknya.
4. Korelasi Ayat
Pada
ayat ke-30 QS al-Nur/24, telah dijelaskan bahwa laki-laki yang beriman wajib
menundukkan pandangannya dan menjaga kemaluannya. Perintah ini berkesinambungan
dengan ayat selanjutnya yang juga memerintahkan hal itu kepada kaum perempuan.
Logisnya, relasi laki-laki dan perempuan diibaratkan dua kutub yang berbeda dan
memiliki daya magnetis yang mencoba tarik menarik satu sama lain. Oleh karena
itu sangatlah tepat jika perintah menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan
tersebut berlaku untuk kedua belah pihak, sebab terjadinya hal negatif seputar
relasi tersebut dimungkinkan untuk terjadi apabila salah satu pihak tidak mampu
menahan pandangan dan tidak menutup atau menjaga kemaluannya.
Sejalan
dengan itu, upaya aplikatif bagi perempuan sebagai bentuk preventif selain
menahan pandangan dan menjaga kemaluan adalah dengan menggunakan penutup dada
dan kepala yang dikenal dengan istilah jilbab, serta tidak menampakkan
perhiasan mereka pada batas-batas tertentu.
Pada pembahasan ayat selanjutnya, (QS
al-Ahzab/33: 59 menjelaskan ketentuan senada yang dikhususkan bagi perempuan
untuk menggunakan jilbab. Meskipun perintah pada QS al-Ahzab/33 sebagai ayat
yang lebih awal turun ini menghendaki perintah itu bermaksud untuk membedakan
antara wanita mukmin dan dan non mukmin, namun perintah ini selanjutnya
ditegaskan pada QS al-Nur/24 tersebut yang lebih menekan perintah dalam maksud
yang lebih luas, yakni upaya menjaga diri dari zina. Relevansi yang lebih nyata
dari ketiga ayat tersbut adalah bahwa pemeliharaan diri dari zina lahir dan
zina batin tersebut adalah demi menjaga harga diri/kehormatan mereka.
C. Kesimpulan
Berdasar pada uraian pembahasan pada
makalah ini, beberapa kesimpulan yang dapat diambil antara lain:
1.
Pada QS
al-Nur/24: 30, secara eksplisit Allah memerintahkan kepada laki-laki beriman agar
menundukkan pandangannya dari hal-hal yang dapat mengundang nafsu syahwatnya,
yakni memandang kepada lawan jenisnya dengan pandangan yang berorientasi
seksual. Terkait dengan itu, perintah tersebut disertai dengan perintah untuk
memelihara kemaluannya, yakni menghindari perbuatan zina. Hal yang demikian
tidak lain adalah demi mensucikan hati dan perbuatan mereka.
2.
Pada QS
al-Nur/24: 31, menjelaskan tentang perintah yang senada dengan ayat sebelumnya,
yakni perintah bagi para perempuan beriman untuk menundukkan pandangan dari
memandang hal yang dapat mengotori hati dan perbuatan mereka, perintah ini
dirangkaikan dengan perintah untuk memelihara kemaluan mereka, tidak
menampakkan perhiasan baik yang zahir seperti aksesoris kecantikan dan juga
perhiasan batin seperti aurat yang dapat memicu birahi bagi laki-laki yang
melihatnya. Konsekuensi dari menutup ini maka perempuan mukmin harus menutup
dirinya dengan mengulurkan kain yang menutup kepala dan dadanya atau memakai
jilbab. Dalam ayat ini pula Allah memaparkan beberapa orang yang dibenarkan
untuk melihat aurat perempuan dalam kondisi dan batasan tertentu.
- Pada QS al-Ahzab/33: 59, menjelaskan perintah yang juga tidak berbeda dengan perintah pada QS al-Nur/24: 31, yakni perintah bagi perempuan mukmin agar memakai jilbab. Jika pada ayat sebelumnya adalah perintah dalam orientasi menghindari zina, maka pada ayat ini secara tekstual hanyalah perintah yang berorientasi untuk membedakan antara perempuan mukmin dan yang non mukmin. Namun demikian, keduanya sama-sama bermaksud untuk menjaga kehormatan/harga diri perempuan.
- Jilbab bukanlah kebudayaan bangsa Arab yang secara geografis untuk menjaga diri dari debu dan panasnya suasana padang pasir, namun pada dasarnya jilbab adalah suatu bentuk preventif dan protektif bagi perempuan dari perilaku negatif laki-laki yang menjadikan mereka sebagai obyek seksual. Sejalan dengan itu maka yang boleh ditampakkan oleh perempuan berdasarkan hadis nabi hanyalah muka dan telapak tangan.
- Satu-satunya kekuatan moral-normatif yang bisa menjadi oposisi terhadap relasi manusiawi yang menyimpang adalah agama tentunya. Oleh karena itu pula maka kehadiran Alquran perlahan-lahan ingin membentuk tatanan peradaban yang lebih konstruktif dengan aturan-aturan yang lebih tegas tentang cara bersikap terhadap lawan jenis. Aturan-aturan tersebut adalah upaya preventif bagi orang-orang beriman untuk menjaga kehormatan diri dan privasi mereka, sekaligus memberikan kesadaran bahwa segala yang mereka miliki dalam bentuk “perhiasan” adalah amanah yang tidak boleh disalahgunakan.
[1]Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta:
Intermasa, 1993), QS. al-Nur
(24): 30-31.
[3]al-Biqa’i,
1995: 255.
[4]Adib
Bisri dan Munawwir, 1999: 543.
[5]Ibnu
Katsir al-Dimsyaki, 1992: 272.
[6]Lihat,
Ahmad Musthafa al-Maraghi, 1985: 97. M. Quraish Shihab, loc. cit.
[7]al-Mahalliy
dan al-Suyuthi, 1995: 462.
[8]Al-Mawardi
dalam tafsirnya mengungkapkan tiga pendapat yang berbeda tentang fungsi من dalam kalimat
tersebut. Lihat, al-Mawardi, t.th.: 89. Bandingkan, Burhanuddin, loc. cit.
dan Abu Abdullah, op. cit:
151.
[9]Abu
Hasan, op. cit: 89. Lihat, Wahbah Zuhaily, 1991: 210, 213.
[10]Adib
Bisri, op. cit: 561.
[11]Ibnu
Katsir, loc. cit. Lihat pula, Abu Hasan, loc. cit.
[12]QS.
Al-Mu’minun/23: 5.
[13]Ibnu
Katsir, loc. cit.
[14]Abu
Hasan, op. cit: 90.
[15]Wahbah
Zuhaily, op. cit: 212. Diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih dari Ali bin Abi
Thalib.
[16]Ibid. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim
dari Muqatil yang bersumber dari Jabir bin Abdullah.
[18]Adib
Bisri, op. cit: 307.
[19]Ibid:
90-91. Bandingkan, Ibn Taimiyah, t.th.: 343.
[20]Abdullah
Yusuf Ali, 1983), catatan no. 2985, h. 1012.
[21]Abu Abdullah, op. cit: 152.
[22]al-Thabari,
1992: 84.
[23]Abu Abdullah, op. cit: 153.
[24]Burhanuddin,
op. cit: 258.
[25]Taqiyuddin:
344.
[26]Abu Abdullah, loc. cit.
[27]“Dan
janganlah menampakkan keindahan tubuh kamu sebagaimana orang-orang jahiliah
dahulu menampakkan itu.”
[28]Abu
Hasan, op. cit: 95-96.
[29]M.
Quraish Shihab, op. cit: 329.
[30]Wahbah
Zuhaily, op. cit: 214.
[31]Burhanuddin,
op. cit: 255. Lihat juga, Wahbah Zuhaily, op. cit: 213.
[32]Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta:
Intermasa, 1993).
[33]Wahbah
Zuhaily, Juz 22, op. cit: 106. Diriwayatkan oleh Bukhari yang bersumber dari Aisyah. Lihat pula, al-Wahidy,
1991: 377.
[34]Ibid: 107. Lihat pula, Abu Abdullah, op. cit.,
Juz 14, h. 123. Diriwayatkan oleh Ibn Sa’d di dalam al-Thabaqat yang bersumber dari
Abi Malik..
[35]Adib
Bisri, op. cit: 209.
[36]Ahmad
Musthafa, op. cit., Juz 20, h. 36.
[37]Louis
Ma’loef al-Yasu’i, 1984: 63.
[38]Ibn
Manzhur, t.th.: 273.
[39]Ibrahim
Anis, 1960: 128.
[40]Hans
Wehr, 1971: 129.
[41]M.
Quraish Shihab, op. cit: 320-321.
[42]Burhanuddin,
op. cit., Juz 6, h. 135. Bandingkan dengan tiga pendapat ulama yang
diungkapkan oleh Abi hasan dalam Tafsir al-Mawardi, op. cit: 423-424.
[43]“Pakaian
dalam” yang dimaksud tentunya berbeda dengan istilah “pakaian dalam” dalam
bahasa Indonesia atau underwear dalam bahasa Inggris. Karena jika
istilah tersebut ditarik ke dalam kedua bahasa tersebut maka yang dimaksud
adalah celana dan kaos dalam, singlet atau kutang (BH). Sedangkan yang dimaksud
“pakaian dalam” dalam konteks surah al-Ahzab ini adalah pakaian seorang
perempuan yang mengenakan blus dan rok (tentunya setelah mengenakan kutang -BH-
dan celana dalam).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar