URGENSI GRAMATIKAL BAHASA ARAB TERHADAP PENAFSIRAN AL-QUR’AN
Oleh: Sitti Rahmah Syarifuddin
PENDAHULUAN
Bahasa
memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena ia
merupakan media yang dipergunakan manusia untuk berkomunikasi satu sama lain.
Keberadaan bahasa sebagai media komunikasi memungkinkan manusia dapat
berinteraksi dengan sesamanya sehingga terjadilah dinamika kehidupan yang
mengantarkan tegaknya peradaban manusia di berbagai belahan dunia.
Selain
manusia sebagai makhluk sosial, ia juga sebagai makhluk religius yang tidak
dapat dipisahkan dengan persoalan-persoalan ketuhanan mengingat besarnya
ketergantungan manusia dengan Tuhan maka ia dituntut pula untuk memahami bahasa
Tuhan, baik yang tampak di alam jagat raya ini (ayat-ayat kauniyah)
maupun yang termaktub dalam kitab Alquran (ayat-ayat qauliyah).[1]
Keberadaan
Alquran sebagai bahasa Tuhan selalu relevan dengna kondisi sosial umat manusia
di setiap zaman.[2] Hal ini terbukti dengan
keberadaan Alquran yang bersifat universal, kondusif, dan fleksibel. Hal ini
menunjukkan kekomunikatifan Alquran dalam menerima berbagai interpretasi,
sehingga bisa tetap eksis di tengah perubahan dan perkembangan zaman yang
berjalan secara dinamis.
Salah
satu aspek kebahasaan yang terpenting dalam penafsiran Alquran adalah aspek qawaid
atau gramatikal kebahasaan, yang meliputi kaidah qur’aniyah[3] dan
kaidah bahasa Arab.[4] Terabaikannya kedua aspek
gramatikal kebahasaan dalam penafsiran tersebut, akan berimplikasi terhadap
keliberalan interpretasi, sehingga cenderung bernuansa pemikiran yang hampa
dari nuansa tafsir, bahkan bisa lepas dari makna nash syar’iy secara
keseluruhan. Oleh karena itu penafsiran hendaknya berawal dari analisis
kebahasaan sebagai dasar untuk melangkah kepada analisis dan interpretasi ayat
yang lebih kompleks.
Salah
satu aspek qawaid yang banyak
terdapat dalam Alquran adalah: الضمير , التذكير , التأنيث , الإتصال , الإنتصال , المستتير .
Setiap aspek qawaid tersebut tentunya mengandung makna yang berbeda
sehingga berimplikasi terhadap pemaknaan ayat yang berbeda pula.
Peranan
gramatikal bahasa yang demikian penting dalam penafsiran mengharuskan para
mufassir untuk menekuni pesoalan-persoalan kebahasaan, sebab dalam aturan
kebahasaan tersebut terkandung tata cara pemaknaan lafaz-lafaz Alquran yang
sangat berpengaruh terhadap penafsiran ayat-ayat Alquran. Urgensi gramatikal
bahasa Arab dalam menafsirkan Alquran mengingat bahwa gramatikal merupakan hal
terpenting dalam memahami ayat-ayat Alquran secara komprehensif dalam proses
penginterpretasian atau penafsiran pesan-pesan Alquran.
Mencermati
persoalan gramatikal bahasa Arab sebagai salah satu aspek terpenting dalam
penerjemahan dan penafsiran Alquran, maka dalam makalah ini akan dibahas.
II. PEMBAHASAN
A.
Tinjauan Umum
tentang Gramatikal Bahasa Alquran
Alquran
mengandung kedalaman makna bahasa dalam menyampaikan pesan-pesan Ilahiyah kepada
umat manusia kedalaman makna bahasa itu terungkap melalui berbagai sistem
kebahasaan, termasuk di antaranya ketepatan makna kosakata dalam setiap konteks
ayat, keteraturan gramatikal bahasa serta keindahan uslub yang
digunakannya. Semua itu memungkinkan manusia untuk dapat berkomunikasi dengan
Alquran melalui pemahaman terhadap sistem kebahasaan yang dimaksud. Inilah
dimensi kekomunikatifan Alquran sebagai pedoman hidup umat manusia.
Hal
lain yang menjadi kekomunikatifan Alquran adalah diturunkannya Alquran dalam
bahasa Arab di negeri Arab sebagai objek dakwah Islam pada awal penyiarannya.
Kondisi ini memungkinkan pula umat Islam Arab dapat melakukan eksplorasi
terhadap ayat-ayat Alquran, termasuk menelusuri gejala-gejala keteraturan
kaidah kebahasaan yang berlaku padanya. Sebagai hasil dari eksplorasi itu,
salah seorang penemu qawaid ternama yang dikenal dalam sejarah peletakan
dasar ilmu nahwu yaitu Abu al-Aswad al-Diwali (w. 67 H). Beliau
memberikan harakat bagi huruf terakhir setiap kosakata dalam Alquran. Hal
tersebut dimaksudkan untuk menghindari kesalahan umat Islam dalam membaca
Alquran.
Penemuan
Abu al-Aswad al-Diwali tersebut selanjutnya diteruskan oleh ulama generasi
sesudahnya dengan menyusun kaidah nahwu berdasarkan indikator-indikator
kaidah kebahasaan umum yang berlaku dalam Alquran. Rumusan ini kemudian disebut
dengan nahwu (gramatikal) bahasa Arab sebagai bahasa Alquran.
Adapun
pengecualian dari indikator-indikator kaidah kebahasaan yang dimaksud, dikenal
oleh kalangan mufassirin sebagai kaidah (gramatikal) bahasa Alquran,
yaitu kaidah-kaidah bahasa Alquran yang tidak tercover dalam bahasa Arab,
karena keunikannya dari indikator-indikator kebahasaan yang berlaku pada
umumnya. Itulah salah satu aspek kemukjizatan Alquran. Dengan demikian, para
mufassir mengenal kedua pengklasifikasian gramatikal bahasa Arab dan gramatikal
bahasa Alquran.
B. Aspek-aspek kebahasaan dalam Alquran
Sebagaimana
yang dijelaskan sebelumnya bahwa Alquran adalah bahasa Arab yang memiliki nilai
sastra yang sangat tinggi dan tak tertandingi oleh siapapun dan sampai
kapanpun. Olehnya itu, aspek kebahasaan
yang dimaksud di sini adalah aspek bahasa Arab yang menjadi bahasa
Alquran. Diantara aspek tersebut adalah:
- Aspek nahwu (tata bahasa). Aspek ini menentukan posisi kata dalam suatu kalimat. Penentuan posisi kata tersebut terbagi kepada empat tanda i’rab yakni: marfu’, mansub, majrur, majzum. Keempat tanda i’rab tersebut menentukan harakat terakhir pada setiap kata dalam suatu kalimat. Dengan demikian, aspek ini merupakan suatu disiplin ilmu dalam bahasa Arab yang menentukan objek kajiannya pada penentuan posisi kata dalam harakat terakhir pada setiap kata dalam suatu kalimat (jumlah).
- Aspek saraf (morfologi), aspek ini mempelajari perubahan kata dari suatu bentuk ke bentuk yang lain. Perubahan tersebut berimplikasi pada perubahan makna. Kalau pada fiil, maka penekanannya ada pada dimensi waktu pelaksanaannya sementara pada isim, penekanannya ada pada keragaman makna benda itu. Dengan demikian, morfologi ini merupakan satu disiplin ilmu dalam bahasa Arab yang menekankan obyek kajiannya pada perubahan bentuk kata.
- Aspek Balagah (Stilistika), aspek ini mempelajari tentang using-using bahasa Arab, makna yang tersirat di balik yang tersurat pada ungkapan-uangkapan yang berbahasa Arab. Dengan demikian aspek ini merupakan satu disiplin ilmu dalam bahasa Arab yang menekankan obyek kajiannya pada bahasa dalam bahasa Arab.
- Aspek Harf (Kata Depan), aspek ini mempelajari tentang penggunaan kata depan dalam bahasa Arab yang membawa pada keragaman kesan makna yang termuat pada satu kalimat. Dengan demikian aspek ini merupakan satu disiplin ilmu dalam bahasa Arab yang menekankan obyek kajiannya pada Harf (kata depan) untuk tercapainya ketepatan makna dan kecocokan uslub bahasa.
- Aspek Qira’ah (Cara Baca), aspek ini mempelajari tentang kemungkinan keragaman bacaan Alquran. Oleh ulama Qiraah menyebutnya ada tujuh bacaan yang dinilai Qiraat Sahihah dan bahkan ada sepuluh yang populer. Keragaman bacaan ayat Alquran sudah pasti berakibat pada keragaman makna daan interpretasi. Dengan demikian aspek ini merupakan satu disiplin ilmu dalam bahasa Arab yang menekankan obyek kajiannya pada sebab terjadinya keragaman bacaan dan segala permasalahan yang terkait dengannya. Keragaman bacaan tersebut lebih difokuskan pada naskah Alquran.
- Aspek Dalalah ( Semantik), aspek ini mempelajari tentang maksud yang dapat dipahami dari satu kalimat. Oleh karena terkadang satu lafaz itu mempunyai arti lebih dari satu dan bahkan ada diantaranya memuat dua arti yang saling berlawanan, padahal berasal dari satu kata. Kemungkinan tersebut membawa pada perselisihan pendapat dalam memahami satu kata yang memiliki makna yang beragam. Dengan demikian, aspek ini merupakan satu displin ilmu dalam bahasa Arab yang menekankan obyek kajiannya pada maksud yaang termuat dalam redaksi bahasa Arab.
- Struktur kata dalam kalimat, aspek ini juga merupakan satu disiplin ilmu dalam bahsa Arab yang menekankan obyek kajiannya pada susunan kata dalam kalimat yang memungkinkan berbeda dengan kalimat yang lain tanpa perubahan komponen lafaz yang digunakannya yang nampak berbeda dengan yang lain. Akan tetapi, perbedaan letak lafaz tersebut berimplikasi pada penekanan maksud yang diinginkan kalimat itu.[5]
- Aspek Interpretasi (المفهوم والمنطوق), aspek ini juga merupakan satu disiplin ilmu dalam bahasa Arab yang secara tersendiri memfokuskan objek kajiannya pada pemaknaan redaksi kalimat yang sering diistilahkan dengan interpretasi tekstual dan kontekstual.
Contoh-contohnya:
1.
دخل محمد في الفصل , kata الفصل diberi
garis kasrah oleh karena dimasuki amil jar (huruf jar).
2.
Yang terjadi pada isim, فَعْلاً → فَاعِلٌ → مَفْعُوْلٌ → مَفْعَلٌ → مِفعَلٌ
Yang
terjadi pada fi’il, فعل → يفعل → افعل
Dari
delapan bentuk lafaz tersebut semuanya bersumber dari satu akar kata yaitu فعل
3. Alquran mengatakan إياك نعبد dan tidak mengatakan نعبدك , dan semua sama karena pengabdian hamba itu hanya terpusat kepada
Zat yang Maha Esa sehingga bentuk pertamalah yang lebih tepat menyampaikan
maksud tersebut.
4. تب عليكم dan كتب إليكم untuk maksud “diwajibkan atas kamu sekalian”, maka penggunaan huruf
jar على lebih tepat dan lebih sesuai dengan kaedah bahasa.
5. Lafaz
ملك pada ayat ملك يوم الدين terkadang
diperselisihkan bacaannya. Ada yang mebaca مَلِكِ yang berarti raja dan ada pula yang membaca مالك yang berarti menguasai.
Keduanya adalah bacaan yang dibenarkan oleh ulama.
6.
Alquran mengatakan بأنفسهن ثلاثة قروء والمطلقات يتربصن . Kata قروء kadang berarti الحيض juga berarti الطهور . Sementara kedua makna tersebut
saling kontradiktif.
7.
Alquran mengatakan إن الله خبير بما تعملون . Lalu di ayat yang lain mengatakan إن الله بما تعملون خبير . Keduanya memberi penekanan pada bahagian yang tidak sama. Potongan
ayat yang pertama menekankan maksud pada sifat Kemahatahuan-Nya, sedangkan yang
kedua menekankan pada perbuatan hamba-Nya.
B. Pengaruh Aspek Kebahasaan dalam Menafsirkan Alquran
Dari
semua aspek kebahasaan Alquran, masing-masing memiliki pengaruh yang signifikan
dalam hal menafsirkan ayat-ayat Alquran. Ilmu nahwu misalnya, yang
mencoba menentukan posisi kata dalam kalimat. Perubahan posisi atau status kata
pada kalimat sudah pasti berimplikasi pada perubahan maksud pada kalimat itu.
Dalam konteks ini ayat yang sering dicontohkan adalah: إنما يخشى الله من عباده العلماء , pada ayat ini terdapat tiga
kemungkinan bacaan, yaitu:
- إنما يخشى الله ُمن عباده العلماءَ
- إنما يخشى الله ُمن عباده العلماءِ
- إنما يخشى الله َمن عباده العلماءُ
Pada bacaan pertama, lafaz الله berposisi sebagai فاعل (subjek), maka hukumnya مرفوع بالضمة , sementara lafaz العلماء berposisi sebagai مفعول به , maka hukumnya منصوب
بالفته . Sehingga
arti dari bacaan tersebut adalah “Sesungguhnya Allah hanya takut kepada ulama
dari hamba-hamba-Nya.”
Pada bacaan kedua, lafaz الله seperti semula, sementara العلماء berposisi sebagai sifat,
maka hukumnya مجرور بالكسرة . sehingga arti dari bacaan
tersebut adalah “Sesungguhnya Allah hanya takut kepada sebahagian
hamba-hamba-Nya yang ulama”.
Pada bacaan ketiga, lafaz الله berposisi sebagai مفعول به maka hukumnya منصوب بالفتحة , sementara العلماء berposisi sebagai فاعل
مؤخر , maka
hukumnya مرفوع بالضمة , sehingga arti dari bacaan tersebut adalah “Sesungguhnya
hanya ulamalah dari hamba-hamba Allah yang takut/bertakwa kepada-Nya”.[6]
Dari ketiga bacaan
tersebut, dua yang pertama “bacaan satu dan dua” adalah bacaan yang sesat, bagi
yang membaca seperti itu akan berimplikasi kepada kekufuran. Hanya bacaan
pertamalah yang benar dan lebih selamat dari perbuatan yang berimplikasi kepada
kekufuran dan semacamnya.
Dari
contoh yang sederhana ini, dapat memberi gambaran kepada kita betapa urgennya
gramatikal “tata bahasa” Arab dalam memberi penafsiran ayat-ayat Alqur’an.
Kemudian
ilmu saraf (morfologi) yang mempelajari perubahan bentuk kata dari suatu
bentuk ke bentuk yang lain yang bersumber dari satu akar yang sama juga
memiliki peranan yang signifikan. Di antara contoh yang paling sering
ditampilkan adalah perbedaan kata مالك dengan ملك yang bersumber dari akar kata مَلَكَ , yang pertama berarti pemilik dan yang kedua berarti raja (penguasa).
Kedua
bacaan tersebut, jika dikaitkan dengan QS. al-Fatihah (1): 4 ملك يوم الدين , maka terdapat dua persepsi bacaan. Sebagian ulama membaca مالك (ada alif setelah mim). Sementara ulama yang lain
membacanya ملك (tanpa alif setelah mim).
Ulama
yang pertama berpendapat bahwa penggunaan lafaz مالك berarti memiliki kekuasaan untuk bertindak sepenuhnya tanpa ada sesuatu
yang bisa merintanginya. Kemudian Allah swt sendiri berfirman dalam QS. Ali
Imran (3): 26 yang berbunyi:
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ
الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ
وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى
كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (26)
Berbeda dengan kata ملك yang berarti raja, tidak mutlak menguasai sepenuhnya semua komponen
dalam wilayah kekuasaannya, seperti dalam penggunaan ملك الروم yang berarti raja Romawi. Dengan demikian, mereka berpendapat bahwa
bacaan مالك lebih tepat dari ملك.
Ulama
yang kedua berpendapat bahwa, bacaan ملك lebih tepat
dari مالك, oleh karena bacaan ملك lebih
menyatakan kemahaagungan Allah dan kemahakuasaan-Nya terhadap segala yang ada. الملك berarti raja di antara semua raja yang menguasai segala-galanya. Abu Ali
al-Fadl ibn al-Hasan al-Tabarsi lebih jelas menguraikan dalam tafsirnya.[7]
Dari
gambaran tersebut, terlihat pula dengan jelas signifikansi morfologi bahasa
Arab dalam mempengaruhi penafsiran ayat Alquran.
Selain
dari aspek nahwu dan saraf, aspek lain yang juga penting menjadi
karakteristik bahasa Arab adalah al-Muradif wa al-Musytarak. Lafaz yang
memiliki sinonim satu atau lebih disebut murodif al-Ma’na seperti lafaz العسل memiliki 80 sinonim, الثعبان memiliki 200 sinonim, lafaz الأسد memiliki 500
sinonim, lafaz السيف memiliki paling kurang 1000
sinonim, dan kata الجمل memiliki 5644 sinonim.[8]
Adapun
kata yang memiliki arti lebih dari satu disebut musytarak al-Ma’na seperti
قروء yang terkadang diartikan الحيض seperti pada hadis Nabi saw دعى الصلاة أيام أقرائك artinya “Tinggalkan shalat pada saat hari-hari haidmu”. Juga
terkadang diartikan الطهور seperti pada ayat ثلاثة قروء terjemahannya “tiga kali suci”. Termasuk semua istilah dalam
Alquran dan al-Sunnah memiliki dua arti yakni secara etimologi dan terminologi,
seperti lafaz العقيقة secara etimologi berarti rambut
yang tumbuh di kepala bayi yang baru dilahirkan.[9] Namun
pada perkembangan selanjutnya lafaz itu mengalami pergeseran makna secara
terminologi yakni do’a syukuran atas kelahiran seorang bayi yang dirangkaikan
dengan penyembelihan hewan, pengguntingan rambut dan pemberian nama kepada bayi
tersebut.[10]
Dengan
demikian, kejelian seorang mufassir atau mustanbith dalam memaknai
teks/nash Alquran untuk menentukan kesesuaian makna sangat dituntut. Masih banyak aspek-aspek
kebahasaan yang patut dikuasai oleh seorang mufassir yang belum termuat dalam
makalah ini.
III. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pembahasan di atas maka
dapatlah ditarik tiga aspek kesimpulan yang dapat mewakili keseluruhan aspek
yang termuat dalam makalah ini. Ketiga aspek tersebut adalah sebagai berikut:
- Aspek kebahasaan dalam Alquran adalah serangkaian aspek-aspek bahasa Arab yang memiliki objek kajian secara terpisah antara satu dengan yang lain. Aspek-aspek tersebut antara lain: Ilmu Nahwu, Ilmu Saraf, Balaghah, Manthuq, Ulum al-Urudh.
- Aspek kebahasaan memiliki pengaruh yang signifikan dalam menafsirkan Alquran, dengan demikian perbedaan penafsiran ayat Alquran kerap kali disebabkan oleh perbedaan dalam menggunakan pendekatan aspek kebahasaan (al-Qawa’id al-Lughah).
[1]Agus Fahri
Husein, 1989: 145.
[2]H.M. Quraish
Shihab, 1994: 44.
[3]Kaidah qur’aniyah
adalah kaidah-kaidah kebahasaan dalam Alquran yang tidak tercakup dalam
kaidah-kaidah karena keunikannya, seperti fi’il madhi menerangkan
kontinuitas suatu peristiwa, sebaliknya fi’il mudhari menerangkan
peristiwa masa lampau, dsb)
[4]Kaidah bahasa
Arab adalah kaidah-kaidah baku yang disusun berdasarkan frekuensi keterulangan
makna tertentu yang terkandung dalam lafaz Alquran. Penyusunan kaidah-kaidah
tersebut pada prinsipnya dimaksudkan untuk mempermudah pengkaji bahasa Arab
dalam memberikan pemaknaan terhadap lafaz-lafaz Alquran. Kaidah bahasa Arab ini
terbagi dalam dua kelompok pembahasan, yaitu ilmu nahwu yang
membicarakan i’rab al-kalimah dalam
jumlah dan ilmu sarf yang khusus membahas tentang perubahan
bentuk kata. Dalam linguistik umum, kedua bidang kajian ini disebut morfosintactic
yaitu gabungan antara sintaksis dan marfologi. David
Crystian, 1984: 201.
[5]Keterangan
tersebut dari aspek 1-7 dapat dibandingkan dengan penjelasan Ahmad Thib Raya,
“Aspek-aspek Kebahasaan di dalam Alquran dan Pengaruhnya Terhadap Penafsiran
dan Istimbath Hukum”, Makalah, disampaikan
pada Orasi Ilmiah dalam rangka Pembukaan Kuliah PPS IAIN Alauddin Makassar, h.
3-5.
[7]al-Tabarsi, 1986:
25-6.
[8]Ali Abd
al-Wahid Wafi, 1962: 162-3.
[9]Ahmad Thib
Raya, op. cit: 9.
[10]Arti العقيقة
secara syar’iy dapat ditelusuri lebih lanjut pada kitab-kitab fikih seperti
Wahbah al-Zuhaili, 1989: 636-43. untuk telaah lebih lengkap mengenai lafaz musytarak
al-Ma’na dapat dijumpai pada kitab seperti Mustafa Ibrahim al-Zulmi,
Asbab Ikhtilaf al-Fuqaha, h. 150.
السلام عليك
BalasHapusلو سمحت، أستأذن يا صاحب المقالة، أريد استخدام مقالتك في الندوةعن أهمية القواعد في فهم كتاب الله
شكرا جزاك الله خيرا وبرك لكم