AKULTURASI
ISLAM DENGAN BUDAYA LOKAL
Oleh:
Muhammad
Gazali Rahman
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia dihadirkan di muka bumi, lahir, hidup,
dan berkembang menjadi makhluk duniawi yang sekaligus berperan sebagai
khalifah.[1]
Sebagai makhluk duniawi, sudah tentu bergumul dan bergulat dengan dunia,
terhadap segala segi, masalah dan tantangannya, dengan menggunakan segala
potensi kemanusiaan dan ketuhanannya. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan
manusia dengan dunia tidaklah selalu diwujudkan dalam sikap pasif, pasrah, dan
menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungannya. Tetapi justru diwujudkan dalam
sifat aktif, memanfaatkan lingkungan untuk kepentingan hidup dan kehidupannya.
Sementara itu, sejalan dengan perkembangan
akal pikiran dan budi daya manusia, Allah menunjuk manusia-manusia pilihan di
antara kelompok atau masyarakat tersebut untuk menyampaikan petunjuk dan
peringatan tentang “siapa sebenarnya kekuatan mutlak yang objektif dan
rasional” yang mereka cari, dan yang sebenarnya mereka persaksikan sebelum
menyempurnakan pertumbuhan dan perkembangan potensi fitrah manusianya.[2]
Hadirnya para utusan Tuhan tersebut, kembali meluruskan budaya masyarakat yang
menyimpang dan membentuk budaya “khas” dalam wujud agama samawi. Dengan sentuhan
Ilahi, agama samawi ini menyebar dan memasuki lingkungan budaya bangsa-bangsa,
serta tumbuh dan berkembang bersama budaya bangsa-bangsa tersebut, mewujudkan
sistem budaya universal dan menjadi rahmatan li al-‘alamin.
Hadirnya agama, dalam pengertiannya yang umum
dimaknai sebagai kepercayaan terhadap kekuatan/kekuasaan supranatural yang
menguasai dan mengatur kehidupan manusia, yang menimbulkan sikap
bergantung/pasrah pada kehendak dan kekuasaanya dan menimbulkan perilaku dan
perbuatan tertentu secara cara berkomunikasi dengan “Sang Mahadahsyat” dan
memohon pertolongan untuk mendatangkan kehidupan yang selamat dan sejahtera.
Ajaran agama diwahyukan Tuhan untuk
kepentingan manusia, dan manusia tidak diciptakan untuk kepentingan agama. Dengan
bimbingan agama, diharapkan manusia mendapatkan pegangan yang pasti dan benar
dalam menjalani hidup dan membangun peradabannya. Dengan paradigma ini maka
agama adalah jalan, bukan tujuan. Agama membimbing manusia berjalan mendekati
Tuhan dan mengharap rida-Nya melalui amal kebaikan yang berdimensi vertikal
(ritual keagamaan) dan horizontal (pengabdian sosial).
Tidak ada satu agama pun yang bebas dari
tradisi panjang yang dihasilkan oleh bangsa atau masyarakat yang warganya
menjadi pemeluknya. Oleh karena itu, Islam yang dipahami dan dijalankan oleh
suatu etnis atau suku pada batas tertentu bisa jadi tidak sama dengan Islam
yang dipahami dan dihayati oleh suku lainnya. Begitupula kemudian dalam wilayah
yang lebih luas, Islam yang dihayati orang-orang Timur Tengah, sampai batas
tertentu, berbeda dengan Islam yang dihayati bangsa Indonesia. Meskipun diakui
bahwa terdapat persamaan dalam kesemua varian Islam terkait dengan
prinsip-prinsip dasarnya, namun dalam praktiknya terdapat banyak variasi oleh
karena adanya sentuhan budaya masing-masing wilayah.
Baik kehidupan agama maupun kehidupan budaya,
keduanya berasal dari sumber yang sama, yaitu merupakan potensi fitrah manusia,
tumbuh dan berkembang secara terpadu bersama-sama dalam proses kehidupan
manusia secara nyata di muka bumi dan secara bersama pula menyusun suatu sistem
budaya dan peradaban suatu masyarakat.
Namun demikian keduanya memiliki sifat dasar
yang berbeda, yaitu bahwa agama memiliki sifat dasar “ketergantungan dan
kepasrahan”, sedangkan kehidupan budaya mempunyai sifat dasar “keaktifan dan
kemandirian”. Oleh karena itu, dalam setiap fase pertumbuhan dan
perkembangannya menunjukkan adanya gejala, variasi, dan irama yang berbeda
antara lingkungan masyarakat yang satu dengan lainnya.
Membaca berbagai dokumen sosial-agama, transendensi
Islam dengan nilai-nilai universalnya senantiasa berhadapan dengan
ketegangan-ketegangan dialektis, antara implikasi-implikasi akulturasi dengan
keharusan agama untuk tetap mempertahankan aspek transendental. Akulturasi
menimbulkan perubahan-perubahan dan problem-problem baru yang berpengaruh
terhadap kehidupan pemeluk agama. Akan tetapi agama akan tetap eksis dan
dinamis berperan dalam berbagai bidang kehidupan.
II. PEMBAHASAN
A. Ontologi Interaksi Agama dan Budaya
Kalangan ahli-ahli agama (Islam) banyak
menggunakan definisi agama yang lebih menekankan aturan (fiqh oriented),
sehingga peran manusia sebagai pemeluk agama kurang mendapatkan posisi yang
kuat. Pengertian agama sebagai seperangkat aturan yang mengatur hubungan antara
manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungannya,
berimplikasi pada kehidupan keberagamaan manusia yang kurang mendapatkan
sentuhan memadai. Seperti berkurang atau bertambahnya keyakinan, rasa berdosa,
rasa terpilih, perasaan damai setelah berzikir, dan sebagainya, tidak ditemukan
dalam definisi tersebut.
Agama, Religi, dan Din (pada
umumnya) adalah satu sistem kredo atas adanya zat yang Mahamutlak, yang
disertai sistem ritus kepada yang Mahamutlak tersebut, serta diikuti dengan
sistem norma yang mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia dan hubungan
manusia dengan alam lainnya, sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata
peribadatan yang transendental.
Konsepsi yang berbeda, mendefinisikan agama
sebagai suatu simbol yang bertindak untuk memantapkan perasaan-perasaan dan
motivasi-motivasi secara kuat, menyeluruh, bertahan lama pada diri manusia.
Jadi, agama adalah sistem simbol yang berfungsi menguatkan dan memberi motivasi
pada diri seseorang melalui pola tindakan berupa konsepsi-konsepsi mengenai
aturan (hukum) dan kemudian mencerminkan pola tindakan yang mencerminkan
kenyataan-kenyataan. Konsepsi inilah yang digunakan oleh Geertz ketika
mempetakan keberagamaan masyarakat Jawa dengan membaginya ke dalam tiga model;
abangan, santri, dan priyayi.
Adapun kebudayaan adalah seperangkat
pengetahuan manusia yang dijadikan sebagai pedoman atau menginterpretasikan
keseluruhan tindakan manusia. Kebudayaan adalah pedoman bagi kehidupan
masyarakat yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat tersebut. Sebagai pola
bagi tindakan, kebudayaan berisi seperangkat pengetahuan yang dimiliki oleh
manusia sebagai makhluk sosial, yang isinya adalah perangkat-perangkat,
model-model pengetahuan yang secara selektif digunakan untuk memahami dan
menginterpretasikan lingkungan yang dihadapi dan untuk mendorong dan
menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukan. Sedangkan sebagai pola dari
tindakan, kebudayaan adalah apa yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat yang berdasar pada pedoman yang diyakini kebenarannya.
Kebudayaan dalam definisi yang semakna adalah
hasil pengolahan, pengerahan, dan pengarahan terhadap alam oleh manusia dengan
kekuatan jiwa (pikiran, perasaan, kemauan, intuisi, imajinasi, dan berbagai
dimensi ruhaniah lainnya) dan raganya, yang terwujudkan dalam berbagai segi
kehidupan (ruhaniah) dan penghidupan (lahiriah) manusia. Hal ini merupakan
jawaban atas segala tantangan, tuntutan, dan dorongan dari dalam atau luar diri
manusia, demi terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan (spiritual dan
material) manusia, baik sebagai pribadi, masyarakat, maupun bangsa.
Suatu kebudayaan, dalam tataran praksisnya
diungkapkan dengan upacara-upacara yang merupakan perilaku pemujaan atau
ketaatan yang dilakukan untuk menunjukkan komitmen terhadap suatu kepercayaan
yang dianut. Dengan upacara-upacara tersebut, orang di bawah keadaan dimana
getaran-getaran jiwa terhadap keyakinan mereka menjadi lebih kuat dari dalam.
Dengan demikian, upacara tradisonal pada dasarnya berfungsi sebagai media
komunikasi antara manusia dengan kekuatan lain yang ada di luar diri manusia.
Merujuk dari uraian tersebut perlu dipahami
bahwa untuk menghadapi tahap pertumbuhannya yang baru, maka dalam lingkaran
hidupnya manusia juga memerlukan "regenerasi" semangat kehidupan
sosial. Oleh karena itu, rangkaian ritus dan upacara sepanjang tahap-tahap
pertumbuhan oleh banyak kebudayaan sangatlah penting, misalnya dalam upacara
hamil tua, upacara saat anak tumbuh, upacara memotong rambut pertama, upacara
keluar gigi yang pertama, upacara penyentuhan si bayi untuk pertama kali,
upacara sunatan, upacara perkawinan, upacara kematian dan sebagainya.
Sebagai serangkaian ajaran atau doktrin, kebudayaan juga bukan sesuatu
yang stagnan, karena ia diwariskan dari satu orang atau generasi kepada orang
lain atau generasi berikutnya. Akibatnya, akan terdapat perubahan-perubahan,
baik dalam skala besar maupun kecil. Dengan kata lain, bahwa kebudayaan tidak hanya diwariskan
tetapi juga dikonstruksikan atau invented. Proses pewarisan tersebut
melahirkan ide atau gagasan-gagasan baru yang dikembangkan dengan berpijak pada
medan budaya setempat. Sehingga pemaknaan terhadap hakekat suatu benda dan perilaku yang dirituskan menghasilkan
modifikasi baru terhadap budaya. Hal ini terjadi oleh
karena dalam invented culture, kebudayaan dinilai sebagai serangkaian
tindakan yang ditujukan untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma melalui
pengulangan (repetition) sehingga pada akhirnya menjadi tradisi,
yang secara otomatis mengacu kepada kesinambungan dengan masa lalu.
Sebagian upacara adat tidak dipungkiri
merupakan hasil kebudayaan yang diciptakan oleh umat muslim sendiri, sementara
sebagian lain tidak jelas asalnya tetapi semuanya bernuansa Islam. Aktivitas
lainnya mengacu kepada upacara adat yang bukan berasal dari Islam tetapi
ditolerir dan dipertahankan setelah mengalami proses modifikasi islamisasi dari
bentuk aslinya. Ritual-ritual adat dalam bentuknya yang sekarang tidak
membahayakan keyakinan Islam, bahkan telah digolongkan sebagai manifestasi
keyakinan itu sendiri dan digunakan sebagai syiar Islam khas daerah tertentu.
Budaya yang teraktualisasi dalam wujud adat
mulai dipahami sebagai fenomena alam yang kehadirannya secara umum dan inheren
memberi kontribusi terhadap perilaku manusia, hingga yang berkenaan dengan cara
melakukan sesuatu, seperti menjalankan kewajiban agama dan perilaku sosial.
Beberapa bentuk adat merupakan kreasi asli daerah, sedangkan yang lain mungkin
berasal dari luar. Sebagian bersifat ritual, dan sebagian lain seremonial. Dari
sudut pandang agama, ada adat yang baik (‘urf sahih) dan ada adat yang
jelek (‘urf fasid); sebagian sesuai dengan syariat dan dinyatakan dalam
kaidah fikih, sebagian lagi sesuai dengan semangat tata susila menurut Islam. Oleh
karena itu, dalam suatu perayaan religius, paling tidak ada tiga elemen yang
terkombinasi bersamaan: perayaan itu termasuk adat karena dilaksanakan
secara teratur; juga bersifat ibadah karena seluruh yang hadir
memanfaatkannya untuk mengungkapkan identitas kemuslimannya; dan juga pemuliaan
pemikiran tentang umat di mana ikatan sosial internal di dalam komunitas
pemeluk lebih diperkuat lagi.
Hal ini menjadi menarik karena ada praktek
yang dicontohkan Nabi saw. yang melegalisasikan kebiasaan-kebiasaan purwa
Islam menjadi sebuah sistem hukum. Hukum Islam selalu mengalami perkembangan
dan perubahan sesuai dengan tuntutan dan peluangnya. Peluang transformasi ini
sekalipun terbuka lebar namun kendali efektif berjalan ketat sehingga keragaman
interpretasi menjadi fenomena yang konfiguratif dalam wacana pemikiran hukum
Islam tetap terjaga.
Mengambil kasus pada ranah keindonesiaan,
tradisi yang dalam hal ini juga dimaknai sebagai adat memiliki sejarah
pergulatan dalam teori-teori keberlakuan hukum Islam di Indonesia sejak masa
kolonial. Hal ini dapat dilihat dari adanya perdebatan sengit dalam konsep penerapan beberapa teori pemberlakukan hukum Islam yang satu sama
lain saling membantah, yaitu: teori receptio in
complexu; teori antagonis/reseptie; teori receptie exit/teori receptio a
contrario, dan teori existensi.
Kuntowijoyo dalam Paradigma Islam;
Interpretasi untuk Aksi, telah memaparkan bagaimana Islam sebagai sistem
nilai yang berpijak pada konsep tauhid dapat mempengaruhi sistem simbol
kebudayaan apapun dan mewarnai kebudayaan tersebut. Kuntowijoyo kemudian
membahasakan format akulturasi tersebut dalam istilah asimilasi kultural,
asimilasi struktural, dan asimilasi agama. Ketika mengangkat kasus keturunan
Tionghoa, tanpa meninggalkan kultur khas yang melekat pada tradisi mereka,
etnis Tionghoa yang ada di Indonesia misalnya, telah melebur dalam asimilasi
kultural melalui berbagai jalan, yaitu etnisisasi, Indonesianisasi, dan
massifikasi. Pluralisme budaya yang mereka hadapi ketika berhadapan dengan
asimilasi agama menjadikan etnis Tionghoa yang memeluk agama Islam tidak lagi
dikatakan memeluk agama mayoritas ataupun dianggap sebagai kemenangan ideologi
mayoritas, tetapi bagaimana mencairkan kebekuan tradisi mereka untuk bisa
saling mewarnai dengan ideologi lainnya.
Salah satu teori yang membahas tentang
akulturasi telah dijelaskan oleh J. Powel yang mengungkapkan bahwa akulturasi
dapat diartikan sebagai masuknya nilai-nilai budaya asing ke dalam budaya lokal
tradisional. Budaya yang berbeda itu bertemu, yang luar mempengaruhi yang telah
mapan untuk menuju suatu keseimbangan. Koentjaraningrat juga mengartikan
akulturasi sebagai suatu kebudayaan dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh
suatu kebudayaan asing yang demikian berbeda sifatnya, sehingga unsur-unsur
kebudayaan asing tadi lambat laun diakomodasikan dan diintegrasikan ke dalam
kebudayaan itu sendiri tanpa kehilangan kepribadian dan kebudayaannya.
Akulturasi antar suku yang berhubungan dan
berbeda kebudayaan biasanya salah satunya menduduki posisi yang dominan.
Begitupula yang terjadi dalam akulturasi sistem kepercayaan, salah satunya
memungkinkan untuk menghegemoni sistem kepercayaan lainnya. Dalam sejarah
perkembangannya, kebudayaan masyarakat di berbagai wilayah mengalami akulturasi
dengan berbagai bentuk kultur yang ada. Oleh karena itu, corak dan bentuknya
diwarnai oleh berbagai unsur budaya yang bermacam-macam, seperti animisme,
dinamisme, hinduisme, budhisme, dan islamisme. Maka ketika Islam dipeluk oleh
masyarakat suatu wilayah, kebudayaan dari mereka masih tetap melestarikan
unsur-unsur kepercayaan lama dalam berbagai wujud ritus atau upacara.
Malinowski dalam bukunya yang berjudul The
Dinamic of Culture Change mengemukakan teori untuk meneliti suatu proses
akulturasi dengan pendekatan fungsional terhadap akulturasi (fungsional
approach to acculturation). Merupakan suatu kerangka yang terdiri dari tiga
kolom; pertama, menjelaskan tentang keterangan mengenai kebutuhan,
maksud, kebijaksanaan, dan cara-cara yang dilakukan oleh agen atau ulama Islam
yang didukung oleh pemerintah, untuk memasukkan pengaruh kebudayaan asing ke
dalam suatu kebudayaan tradisional. Kedua, menjelaskan tentang jalannya
proses akulturasi dalam suatu kebudayaan tradisional. Ketiga, menjelaskan
tentang reaksi masyarakat terhadap pengaruh kebudayaan Islam yang keluar dalam
bentuk usaha atau gerakan untuk menghindari pengaruh tadi, atau sebaliknya
untuk menerima dan menyesuaikan unsur-unsur kebudayaan asing dengan unsur-unsur
kebutuhan mereka sendiri.
Sebagai sistem yang menata kehidupan manusia,
Islam bersikap terbuka terhadap budaya lokal. Alquran sendiri turun dengan
asbab al-nuzulnya yang tidak lepas dari kerangka budaya Arab. Nilai-nilai moral
dan tata pergaulan Arab banyak yang dipertahankan, seperti karim atau
kedermawanan, muru>’ah atau keperwiraan, wafa’ atau kesetiaan
pada janji, dan ‘iffah atau memelihara kehormatan diri. Cara berpakaian,
sebagian dari hukum keluarga dan sebagian dari tradisi berpolitik bangsa Arab
pun tidak dibuang, bahkan sistem politik Islam diadopsi dari filosofi politik
Arab, seperti akidah, kabilah, dan ganimah. Muhammad saw. tidak datang
dengan suatu peradaban lengkap yang sama sekali baru, tetapi melengkapi
peradaban yang sudah ada dan mendorong untuk berkembang dengan semangat dan
orientasi baru. Hal-hal yang telah ada sebelumnya ada yang dibuang, ada yang
diubah, dan ada yang dibiarkan berjalan sebagaimana adanya. Berdasarkan hal
itu, sikap Islam terhadap budaya lokal yang ditemuinya dapat dipilah menjadi
tiga, yaitu:
1)
Menerima dan mengembangkan
budaya yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam dan berguna bagi pemuliaan
kehidupan umat manusia. Misalnya, tradisi belajar dan mengembangkan ilmu
pengetahuan yang ditemui pada bangsa Persi dan Yunani. Para khalifah muslimin
bahkan mendorong ilmuwan untuk menggalakkan penelitian dan penemuan baru.
2)
Menolak tradisi dan
unsur-unsur budaya yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Sebagai
contoh, kebiasaan minum khamar dan beristri banyak pada bangsa Arab dan
berbagai bangsa lainnya.
3)
Membiarkan saja, seperti
pada cara berpakaian sepanjang tidak melanggar prinsip-prinsip dasar Islam,
yaitu menutup aurat dan tidak membahayakan pemakainya. Masalah model, corak,
dan variasinya diberikan kebebasan untuk memilihnya.
Relasi antara Islam sebagai agama dengan adat dan
budaya lokal sangat jelas dalam kajian antropologi agama. Dalam perspektif ini,
diyakini bahwa agama merupakan penjelmaan dari sistem budaya. Berdasarkan teori
ini, Islam sebagai agama samawi dianggap merupakan penjelmaan dari sistem
budaya suatu masyarakat Muslim. Teori ini kemudian dikembangkan pada
aspek-aspek ajaran Islam, termasuk aspek hukumnya. Para pakar antropologi dan
sosiologi mendekati hukum Islam sebagai sebuah institusi kebudayaan Muslim.
Pada konteks kekinian, pengkajian hukum dengan pendekatan sosiologis dan
antrologis sudah dikembangkan oleh para ahli hukum Islam yang peduli terhadap
nasib syariah. Dalam pandangan mereka, jika syariah tidak didekati secara
sosio-historis, maka yang terjadi adalah pembakuan terhadap norma syariah yang
sejatinya bersifat dinamis dan mengakomodasi perubahan masyarakat.
Persoalan interaksi agama dengan budaya pada
intinya melibatkan suatu pertarungan atau setidaknya ketegangan antara doktrin
agama -yang dipercaya bersifat absolut karena berasal dari Tuhan- dengan
nilai-nilai budaya, tradisi, adat istiadat produk manusia yang tidak selalu
selaras dengan ajaran-ajaran ilahiah. Dengan kata lain, agama memberikan kepada
manusia sejumlah konsepsi mengenai konstruksi realitas yang didasarkan bukan
pada pengetahuan dan pengalaman empiris kemanusiaan itu sendiri, melainkan dari
otoritas ketuhanan. Tetapi konstruksi realitas yang bersifat transenden ini
tidak dapat sepenuhnya dipahami dan diwujudkan manusia karena tidak jarang
konsepsi yang diberikan Tuhan itu disampaikan melalui simbolisme dan
ambiguitas, yang pada gilirannya menciptakan perbedaan-perbedaan interpretasi
dan pemahaman di antara individu-individu atau kelompok-kelompok manusia.
Sementara itu, konstruksi realitas transenden
itu bukan pula satu-satunya paradigma yang membentuk atau mempengaruhi manusia.
Melalui kemampuan nalar manusia yang menghasilkan pengetahuan atau bahkan dari
pengalaman empirisnya, membangun konstruksi realitasnya sendiri, yang mungkin
khas dan berbeda dengan agama yang dipahami secara umum. Konstruksi realitas
yang bersifat kemanusiaan inilah yang kemudian dikenal sebagai tradisi, adat,
atau secara umum sebagai budaya kemanusiaan. Tradisi atau adat berkaitan dengan
kenyataan bahwa mayoritas Muslim memang memerlukan kepastian terutama dalam dua
hal: pertama, dalam bidang hukum atau aspek eksoteris Islam; kedua, dalam
bidang batin atau esoteris Islam.
Persentuhan Islam dengan budaya lokal tidak menafikan
adanya akulturasi timbal-balik atau saling mempengaruhi satu sama lain. Namun
Harun Nasution menegaskan, jika agama mempengaruhi kebudayaan, maka agama yang
dimaksud ialah dalam arti ajaran-ajaran dasar yang diwahyukan Tuhan.
Ajaran-ajaran dasar itulah yang mempengaruhi kebudayaan umat yang menganut
agama bersangkutan. Sebaliknya, jika dikatakan kebudayaan mempengaruhi agama,
maka agama yang dimaksud ialah dalam arti ajaran-ajaran yang dihasilkan
pemikiran manusia tentang perincian dan pelaksanaan ajaran-ajaran dasar. Dalam
menentukan ajaran-ajaran yang bukan dasar ini manusia dipengaruhi oleh
kebudayaan sendiri.
Disadari kemudian bahwa Islam sebagai agama
tidak datang kepada komunitas manusia dalam kondisi yang hampa budaya. Islam
hadir kepada suatu masyarakat yang sudah sarat dengan keyakinan, tradisi, dan
praktek-praktek kehidupan sesuai dengan budaya yang membingkainya. Konteks
sosiologis yang dihadapi Islam membuktikan bahwa agama yang beresensi
kepasrahan dan ketundukan secara total kepada Tuhan dengan berbagai ajaran-Nya,
keberadaannya tidak dapat dihindarkan dari kondisi sosial yang memang telah ada
dalam masyarakat. Meskipun dalam perjalanannya, Islam selalu berdialog dengan
fenomena dan realitas budaya di mana Islam itu hadir. Kehadiran agama telah
merambah ke berbagai dimensi budaya manusia; mulai dari tradisi bahasa,
pakaian, pergaulan, pola penyembahan, falsafah kearifan lokal, ritual
kebahagiaan dan rasa syukur, prosesi kelahiran dan kematian, pernikahan dan
warisan, dan lain-lain sampai kepada hal yang bersifat privat seperti etika
hubungan seksual.
Kesediaan Islam berdialog dengan budaya lokal
masyarakat, selanjutnya mengantarkan diapresiasinya secara kritis nilai-nilai
lokalitas dari budaya masyarakat beserta karakteristik yang mengiringi
nilai-nilai itu. Selama nilai tersebut
sejalan dengan semangat yang dikembangkan oleh Islam, selama itu pula
diapresiasi secara positif namun kritis.
Sadar
atau tidak sadar, manusia secara individu maupun kolektif (masyarakat) akan
terpengaruh dan menerima berbagai warisan, ajaran, kepercayaan, dan ideologi
tertentu dari hasil komunitasnya melalui internalisasi dan sosialisasi sejak ia
lahir dari rumah tangga, serta pengaruh dari lingkungan hidupnya tempat manusia
itu tumbuh. Jika tradisi budaya masyarakat telah diresapi oleh setiap orang,
maka perilaku yang dibingkai dalam bentuk tradisi itu hampir menjadi otomatis
dan tanpa disadari sudah diterima secara sosial pula.
Kontak
antara budaya masyarakat yang diyakini sebagai suatu bentuk kearifan lokal
dengan ajaran dan nilai-nilai yang dibawa oleh Islam tak jarang menghasilkan
dinamika budaya masyarakat setempat. Kemudian, yang terjadi ialah akulturasi
dan mungkin sinkretisasi budaya, seperti praktek meyakini iman di dalam ajaran
Islam akan tetapi masih mempercayai berbagai keyakinan lokal.
Dengan
demikian, tradisi lokal diposisikan berlawanan dengan tradisi purifikasi
dilihat dari perspektif pola pengamalan dan penyebaran ajaran keagamaan di
antara keduanya. Tradisi Islam lokal sebagai pengamalan keagamaan yang
memberikan toleransi sedemikian rupa terhadap praktek-praktek keyakinan
setempat, sedangkan tradisi purifikasi menekankan pada pengamalan keagamaan
yang dianggap harus bersumber dan sama dengan tradisi besar Islam. Tidak
dipungkiri pula, berbagai perbedaan ini berakibat terhadap persoalan interaksi
di antara mereka dalam bingkai sosial, budaya, dan politik.
Di
bidang interaksi sosial jelas kelihatan bahwa perbedaan tradisi dan paham
keagamaan tersebut berakibat adanya identifikasi sebagai “orang NU” dan “orang
Muhammadiyah”. Identifikasi seperti ini berdampak terhadap sekat-sekat
interaksi bahkan tak jarang berubah menjadi halangan berkomunikasi.
Dalam
spektrum yang berbeda, kajian terhadap pertautan agama dan budaya juga dapat
dilihat dengan cara pandang lokalisasi untuk menolak konsep sinkretisasi.
Dengan menggunakan cara pandang lokalisasi, maka yang terjadi adalah agama yang
telah mengalami proses lokalisasi, yaitu pengaruh kekuatan budaya lokal
terhadap agama yang datang kepadanya. Artinya, Islamlah yang kemudian menyerap
tradisi atau budaya lokal dan bukan sebaliknya budaya lokal yang menyerap
nilai-nilai Islam.
Di
dalam proses lokalisasi, unsur Islam yang diposisikan sebagai pendatang harus
menemukan lahannya di dalam budaya lokal. Pencangkokan ini terjadi dengan
bertemunya nilai-nilai yang dianggap serasi satu sama lain dan meresap
sedemikian jauh dalam tradisi yang terbentuk. Inilah sebabnya, berbagai tradisi
yang ada pada hakikatnya adalah Islam yang telah menyerap tradisi lokal,
sehingga meskipun kulitnya Islam namun ternyata di dalamnya ialah keyakinan lokal.
Dalam
lanskap pertautan antara nilai-nilai Islam dengan budaya lokal inilah ditemukan
suatu perubahan yang signifikan, yaitu bergesernya tradisi lokal menjadi
tradisi Islam lokal atau tradisi Islam dalam konteks lokalitasnya. Perubahan
ini mengarah kepada proses akulturasi dan bukan adaptasi, sebab di dalam
perubahan itu tidak terjadi proses saling meniru atau menyesuaikan, akan tetapi
mengakomodasi dua elemen menjadi satu kesatuan yang baru. Tentunya ada unsur
yang dimasukkan dan ada unsur yang dibuang. Salah satu yang tampak jelas
merepresentasikan nilai-nilai Islam misalnya berupa pembacaan ayat-ayat suci
Alquran, shalawat, serta doa dalam berbagai variasinya.
Sejalan
dengan itu, arti penting kehadiran Islam pada suatu tempat atau negeri
sesungguhnya memiliki peran dalam mengeliminir unsur jahiliah setiap masyarakat
yang senantiasa ada dan dimiliki oleh rumpun bangsa manapun yang sebanding
dengan jahiliah yang pernah terjadi di tanah Arab.
B.
Wujud dan
Tantangan Akulturasi Islam dengan Budaya Lokal
Seperti juga agama lain, Islam adalah kekuatan
spiritual dan moral yang mempengaruhi, memotivasi, dan mewarnai tingkah laku
individu. Menguraikan Islam yang tumbuh di kelompok masyarakat tertentu adalah
menelusuri karakteristik Islam yang terbentuk dalam budaya atau tradisi yang populer
di tengah masyarakat. Dengan asumsi bahwa, suatu budaya atau unsur tradisi
bersifat islami ketika pelakunya bermaksud atau mengaku bahwa tingkah lakunya
sesuai dengan jiwa Islam.
Berangkat dari itu, tampak adanya pengaruh tertentu
lingkungan budaya dalam ekspresi keagamaan seseorang. Begitupula tentang adanya
kaitan antara kondisi geografis, klimatologis, dan subur-tandusnya suatu daerah
dengan watak para penghuninya. Kajian tentang hal ini telah dilakukan oleh Ibnu
Khaldu>n dalam bukunya yang masyhur, Muqaddimah. Ia bahkan memaparkan
teori tentang pengaruh keadaan udara suatu daerah terhadap akhlak serta tingkah
laku orang-orang setempat. Begitupula dengan Syahristani yang menyinggung
tentang teori peradaban manusia yang dipengaruhi oleh letak daerah huniannya,
kemiripan antara satu bangsa dengan bangsa lainnya berdasarkan jasmani dan
tabiatnya. Semua itu ia tuangkan dalam kitabnya yang terkenal, al-Milal wa
al-Nihal. Jika penelitian Ibnu Khaldu>n dan al-Syahrastani benar, maka
patut diduga bahwa ada pengaruh-pengaruh tertentu lingkungan hidup sekelompok
manusia terhadap keagamaannya. Namun ini bukan berarti pembatalan segi
universalitas suatu agama, apalagi agama Islam. Hal itu hanya membawa akibat
adanya realitas keragaman penerapan prinsip-prinsip umum dan universal suatu
agama, yaitu keanekaragamaan berkenaan dengan tata cara (technicalities).
Selain pada tingkat yang diabstraksikan oleh
oleh Ibnu Khaldu>n dan al-Syharastani tersebut, akulturasi timbal balik
antara Islam dengan budaya lokal juga ditemukan dalam hal-hal praktis dan
kongkret terkait dengan ekspresi keagamaan maupun budaya. Sarung, songkok,
sejadah, dan tasbih misalnya, merupakan contoh nyata yang dapat ditunjuk dengan
mudah. Tidak ada universalitas dalam penggunaan sarung dan songkok, namun
secara kultural lokal, keduanya telah menjadi lambang keislaman.
Kompromi Islam dengan budaya lokal juga banyak
terbantu oleh penyebaran Islam yang dibawa oleh para sufi. Sufisme (tasawuf)
dapat dikatakan mewakili segi paling intelektual agama Islam dibandingkan
dengan fikih yang berpandangan lebih praktis dan kalam yang cenderung
defensif. Dalam masa-masa kemunduran politik dan militer Islam, kaum Sufi
berjasa menjaga eksistensi dan elan (semangat perjuangan) agama Islam,
untuk kemudian menyebarkannya ke daerah-daerah lain tanpa penaklukan militer.
Pengaruh ajaran sufi inilah yang juga dialami pada Islam Jawa yang dikenal dengan
istilah Islam ”kejawen” sebagai bias dari pengislaman mistisisme Jawa meskipun
oleh sebagian orang menilainya sebagai bentuk sinkretisme.
Kajian tentang Islam oleh para ahli dari
Barat, khususnya Amerika, cenderung menganggap tidak begitu penting unsur
keislaman dalam budaya Indonesia. Sikap ini disebabkan oleh banyaknya kompromi
antara ajaran-ajaran Islam dengan unsur-unsur budaya lokal yang membuat Islam
Indonesia berbeda daripada Islam di wilayah lainnya. Selain secara geografis
Indonesia adalah negeri Muslim yang paling jauh dari dari pusat-pusat Islam di
Timur Tengah, Indonesia adalah negeri Muslim yang paling sedikit mengalami
Arabisasi. Ditambah lagi oleh adanya serangan imperialis dengan jargon
nasionalisme dan demokratisasinya ikut menghambat intensifikasi pengislamannya.
Kondisi inilah yang menjadikan Islam di Indonesia sering dipandang belum
bersifat Islam sebenarnya, dengan akibat diabaikannya unsur Islam dalam
memahami budaya Indonesia.
Di luar lingkaran spiritualisme dan kesufian,
serta berbagai bidang lain, Islam sangat kuat mempengaruhi budaya Indonesia di
bidang kemasyarakatan dan kenegaraan. Jika hanya dibatasi pada perumusan
nilai-nilai Pancasila saja, maka unsur-unsur Islam itu akan segera tampak dalam
konsep-konsep tentang adil, adab, rakyat, hikmat, musyawarah, dan wakil. Lebih
dari itu, dapat disebutkan bahwa rumusan sila keempat Pancasila sangat mirip
dalam ungkapan bahasa Arab yang sering dijadikan dalil dan pegangan oleh para
ulama, ra’sul hikmah al-masyurah (pangkal kebijaksanaan ialah
musyawarah).
Kutipan Bill Dalton yang ditulis oleh
Nurcholish Madjid juga layak untuk disimak. Dalam buku Indonesian Handbook, Dalton
mengatakan bahwa daya tarik utama Islam bersifat psikologis. Islam secara
radikal bersifat egaliter dan mempunyai semangat keilmuan yang kedatangannya ke
Nusantara menjadi konsep revolusioner yang sangat kuat. Sebelum Islam datang,
Raja adalah seorang penguasa mutlak, yang dapat merampas tanah rakyatnya,
bahkan istrinya, kapan saja ia mau. Kedatangan Islam telah membebaskan banyak
orang dari belenggu feodal Hindu dengan mengajarkan bahwa semua orang di mata
Allah adalah sama, tak seorang pun dibenarkan untuk diistimewakan sebagai lebih
unggul. Tidak ada sakramen ataupun acara-acara inisiasi yang misterius, juga tidak
ada kelas pendeta/ulama dalam Islam. Islam memiliki kesederhanaan yang hebat
dengan hubungannya yang langsung antara pribadi manusia dengan Tuhan.
Studi
terhadap sejarah teori hukum Islam dalam dunia intelektual Islam selalu berkaitan dengan pergulatan hukum dan tradisi yang
seiring dengan islamisasi. Hal ini disebabkan oleh aktualisasi ajaran yang
mengalami pengembangan ruang geografis yang menembus sekat tradisi masyarakat.
Tradisi yang merupakan sebuah interpretasi budaya menjadi sesuatu yang amat
diperhatikan dalam penetapan hukum.
Persentuhan
antara Islam dengan budaya lokal kemudian juga disikapi secara epistemologis
oleh ilmu usul fikih dengan lahirnya kaidah yang menyatakan bahwa “adat dapat
menjadi hukum (al-adah muhakkamah)” yang oleh Nurcholish Madjid dimaknai
bahwa budaya lokal adalah sumber hukum dalam Islam. Meskipun lahirnya kaidah
ini bisa dianggap sebagai wujud rekonsiliasi Islam dengan budaya lokal untuk
menghindari terjadinya penolakan dalam proses islamisasi, namun wujud
rekonsiliasi tersebut banyak ditemukan dalam filosofi beberapa wilayah
nusantara yang mengalami islamisasi secara top down.
Sejalan dengan itu, penelitian tentang sejarah
perjalanan hukum Islam menemukan bahwa faktor sosial budaya mempunyai pengaruh
penting dalam mewarnai produk-produk pemikiran hukum Islam dalam bentuk kitab
fikih, peraturan perundang-undangan di negeri Muslim, keputusan pengadilan, dan
fatwa-fatwa ulama. ‘Abd al-Wahhab Khallaf juga menguraikan bahwasanya para
pembangun mazhab dahulu juga tidak menafikan unsur-usnur tradisi dalam sisitem
hukum yang mereka kembangkan. Imam Malik membangun banyak hukum-hukumnya atas
dasar praktek penduduk Madinah. Abu> Hanifah dan para pendukungnya beraneka
ragam dalam hukum-hukum mereka berdasarkan aneka ragamnya adat kebiasaan
mereka. Imam al-Syafi’i setelah berdiam di Mesir merubah sebagian hukum-hukum
perubahan adat kebiasaan (dari Irak ke Mesir) sehingga ia mempunyai dua
pandangan hukum (qawl al-qadim dan qawl al-jadid).
Dalam skala yang
berbeda, dan dengan pengaruh yang lebih mendalam, akomodasi dan akulturasi juga
terwujud dalam bentuk pengaruh budaya Arab dan Persia. Deskripsi ini
diungkapkan oleh Nurcholish Madjid dengan kembali mengingatkan kepada kaum
Muslim untuk mampu mengidentifikasi antara apa yang benar-benar Islam yang
universal, dan apa yang Arab lokal. Meskipun dalam prakteknya selalu ditemukan
kesulitan dan berbagai kontroversi untuk membedakan mana yang Islamisasi dan
mana yang Arabisasi.
Berbeda dengan Persia, meskipun termasuk
wilayah yang paling awal diislamkan oleh bangsa Arab, namun Persia dan daerah
pengaruhnya, tidak berhasil di-Arab-kan. Murtad}a Mut}tahhari dalam nada
pembelaannya yang sangat substantif, menolak dengan tegas tuduhan bahwa bangsa
Iran memilih paham Syi’ah adalah sebagai cara mempertahankan diri terhadap
serbuan budaya Arab atas nama Islam, karena paham Syi’ah dalam kenyataannya
banyak mengandung unsur Persianisme dan Aryanisme. Kasus yang sama ditemukan
pula pada sejarah islamisasi di Sulawesi Selatan, perlawanan raja Bone terhadap
agresi raja Gowa bukanlah penolakan terhadap islamisasi, melainkan sebagai
pertahanan diri dari hegemoni politik Gowa yang mengatasnamakan Islam. Terlepas
dari pembelaan tersebut, semuanya semakin mendukung pandangan adanya akulturasi
antara Islam dengan budaya lokal.
Melihat Islam di Indonesia dalam skema Robert
N. Bellah sebagaimana dikutip oleh Nurcholish Madjid, bahwa Islam datang ke
Indonesia juga melewati proses akulturasi dengan warisan budaya Persia
(Iran/Arya). Terlepas dari kontroversi sekitar kapan, dari mana, dan bagaimana
Islam masuk ke Indonesia, tapi pengaruh unsur-unsur budaya Persia dalam Islam
di Indonesia dapat dilihat dalam bidang bahasa. Diketahui, hampir semua kata Arab
dalam bahasa Indonesia diadopsi melalui bahasa Persia. Ini dibuktikan dari
contoh ta’ marbut}ah, huruf ”t” yang jika berhenti, berubah ejaannya
menjadi huruf ”h”, dan jika disambung dengan huruf hidup tetap dieja dengan
”t”. Hampir semua kata Arab dalam bahasa Indonesia dengan akhiran ta’
marbut}ah dibaca (dalam wakaf) sebagai ”t”, seperti kata adat, berkat,
dawat, hajat, jemaat, kalimat, masyarakat, niat, rahmat, sifat, tobat, warkat,
zakat, dan lain-lain. Kemudian setelah itu menyusul adopsi langsung dari bahasa
Arab, dengan ciri-ciri akhiran ta’ marbut}ah dieja sebagai ”h” pada wakaf,
seperti jerapah, gairah, makalah, mahkamah, muamalah, usrah, zarrah, dan
lain-lain.
Begitupula pada sistem stratafikasi
sosial-politik, unsur Aryanisme telah ikut mengukuhkan sistem masyarakat Islam
yang hirarkis warisan Bani Umayyah yang sesungguhnya menjadi polusi ke dalam
sistem dan prinsip-prinsip Islam klasik. Jadi, sistem yang bertingkat-tingkat
pada masyarakat Islam Indonesia yang tidak egaliter sepenuhnya, seperti pada
masyarakat Islam klasik, sebagian adalah akibat faktor-faktor historis
tersebut. Sebagian lagi adalah akibat interaksi ajaran Islam dengan budaya
setempat yang diketahui telah terlebih dahulu mengalami Aryanisasi melalui
agama-agama india (Hindu dan Budha). Beberapa bentuk unsur luar yang sempat
masuk ke dalam praktek-praktek Islam itu mengalami banyak penyimpangan dari
norma-norma ajaran Islam yang kemudian menjadi sasaran empuk gerakan pembaruan
kaum purifikasi.
Jadi, kedatangan Islam selalu mengakibatkan adanya
perombakan masyarakat baru atau transformasi sosial menuju ke arah “yang lebih
baik”. Namun hal itu tidak berarti bahwa kedatangan Islam memotong masyarakat
dari masa lampaunya, melainkan juga dapat ikut melestarikan apa saja yang baik
dan benar dari masa lampau yang pada akhirnya juga akan teruji oleh modernisasi
dan globalisasi.
Perubahan
tersebut tetap berpijak pada asas tadarruj (bertahap). Sehingga dalam upaya rekonstruksi baru perubahan dari ‘urf
fasid menjadi urf s}ahih, maka pendekatan dakwah kultural menjadi
pilihan solusi terbaik untuk tidak membenturkan terlalu jauh antara Islam dan
tradisi lokal masyarakat yang sudah terlanjur mengakar. Dalam hal ini,
islamisasi yang dilakukan adalah suatu bentuk konversi dari ‘urf fasid menjadi
urf s}ahih yang berlangsung secara adhesi dari kepercayaan lama
kepada ajaran tauhid.
Strategi
dakwah kultural yang dimaksud adalah bagaimana melakukan rasionalisasi terhadap
medan budaya yang terjebak pada sakralisasi, mistifikasi, dan mitologi yang
dianut oleh masyarakat. Sebab dakwah sesungguhnya adalah usaha rekonstruksi
masyarakat yang masih mengandung unsur-unsur jahili agar menjadi masyarakat
yang islami, yakni proses pembebasan manusia dari segenap tradisi yang bersifat
magis, mitologis, animistis, dan budaya yang irasional.
Meskipun kemudian, persentuhan Islam dengan
budaya dalam perspektif purifikasi, juga sempat mendapat kritik dan tantangan
dari cendekiawan pemerhati budaya dan seni. Hilangnya tradisi bedug pada
sebagian masjid tidak lepas dari peran kelompok purifikasi ini yang menganggap
hal itu sebagai bid’ah. Sekiranya hal itu cukup dipahami sebagai bagian dari
syiar persentuhan Islam dengan budaya, tentunya Islam tidak akan sunyi dari
nilai-nilai estetika.
Layak untuk dipertimbangkan rumusan
Koentjaraningrat yang merumuskan prinsip-prinsip dalam berakulturasi
sebagaimana dikutip oleh Syamzan Syukur dalam disertasinya tentang Islamisasi
Kedatuan Luwu pada Abad XVII. Menurutnya, agar Islam dan kebudayaan lokal
dapat berakulturasi, maka diperlukan beberapa syarat atau prinsip-prinsip
berikut:
1) Principle of unitility; unsur-unsur kebudayaan harus dapat
dimanfaatkan untuk menggantikan unsur-unsur kebudayaan lama. Misalnya, tradisi
selamatan dalam Islam dapat menggantikan tradisi kurban atau sesaji.
2) Principle of function; unsur kebudayaan baru itu harus mampu
menggantikan fungsi kebudayaan lama. Misalnya, tradisi ziarah makam dalam Islam
menggantikan tradisi pemujaan arwah leluhur.
3) Principle of concretness; unsur kebudayaan baru harus dapat dipergunakan
dengan konkrit dalam masyarakat. Misalnya, salat sebagai pengganti selamatan
untuk menghormati arwah leluhur dan penyembahan kepada dewa dan roh.
4) Principle of early learning, unsur-unsur kebudayaan baru itu sesuai dengan
budaya yang pertama kali dipelajari dalam proses sosialiasi masyarakat yang
didatangi itu. Misalnya, penghormatan Islam terhadap bangsa Indonesia yang
sejak dulu menghormati para kepala suku, para dukun, serta para pendeta.
5)
Principle of integration; unsur-unsur
kebudayaan baru itu dapat diintegrasikan dengan pola-pola kebudayaan yang
didatanginya. Misalnya, unsur kekeluargaan, unsur demokrasi, unsur sosial
dengan sedekah maupun ibadah dari ajaran Islam dapat diintegrasikan dengan
pola-pola kehidupan lokal.
Dalam wujud praksisnya, pengaruh Islam
kemudian juga dirasakan dalam upacara-upacara sosial budaya. Di Sumatera
terdapat upacara ”tabut” untuk memperingati mawlid (kelahiran) Nabi saw. yang
di Jawa dikenal dengan ”sekaten” dan di Takalar dikenal dengan ”maudu’ lompoa”.
Dalam pertunjukan-pertunjukan kesenian populer tradisional juga tak luput
mendapat pengaruh Islam. Mulai dari seni tari (Jipen, Zaman, Seudati,
Srandul, Kuntulan, Emprak, dan Badui), seni musik (gambus dan
kasidah), kaligrafi, sastra, arsitektur, hingga seni bela diri dan
pedukunan/santet, tidak dapat disangkal adanya pengaruh Islam yang sangat kuat.
Tradisi tahlil, barzanji, dan upacara
peringatan untuk orang-orang yang baru meninggal, merupakan bentuk konversi
dari budaya masa lalu yang mungkin lebih jahiliah. Islamisasi yang dilakukan
oleh para penyebar Islam awal sesungguhnya mencoba untuk mencarikan alternatif
budaya pengganti terhadap tradisi-tradisi yang merupakan sisa-sisa peninggalan
animisme dan dinamisme sebelumnya (‘urf fasid). Sebab, bisa jadi,
sebelum Islam datang, upacara kelahiran, kematian diperingati oleh masyarakat
dengan bentuk-bentuk yang menyimpang dari fitrah manusia itu sendiri.
Untuk itu, kiranya patut dipertimbangkan
ajakan untuk secara kritis membedakan mana yang tradisi dan mana tradisionalitas.
Sebab, sebuah tradisi belum tentu semua unsurnya tidak baik, sehingga perlu
dilihat dan diteliti mana yang baik untuk dipertahankan dan diikuti. Sedangkan
tradisionalitas adalah pasti tidak baik, karena ia merupakan sikap eksklusif
akibat pemutlakan tradisi secara keseluruhan, tanpa sikap kritis untuk
memisahkan mana yang baik dan mana yang buruk. Jika hal ini dipahami dengan
baik, maka tidak perlu ada pertentangan secara dikotomis antara tradisi dan
modernitas. Artinya, tradisi tidak harus dipandang sebagai penghambat
modernitas.
Kenyataan tersebut semakin menegaskan bahwa Islam secara
teologis, merupakan sistem nilai dan ajaran yang bersifat Ilahiah dan
transenden. Sedangkan dari aspek sosiologis, Islam merupakan fenomena
peradaban, kultural dan realitas sosial dalam kehidupan manusia. Dialektika
Islam dengan realitas kehidupan sejatinya merupakan realitas yang terus menerus
menyertai agama ini sepanjang sejarahnya. Sejak awal kelahirannya, Islam tumbuh
dan berkembang dalam suatu kondisi yang tidak hampa budaya. Realitas kehidupan
ini memiliki peran yang cukup signifikan dalam mengantarkan Islam menuju
perkembangannya yang aktual sehingga sampai pada suatu peradaban yang mewakili
dan diakui okeh masyarakat dunia.
Persentuhan Islam dan budaya secara akomodatif
dan fleksibel membentuk spektrum Islam yang kolaboratif,
yaitu corak hubungan antara Islam dengan budaya lokal
yang bercorak inkulturatif sebagai hasil konstruksi bersama antara agen
(elit-elit lokal) dengan masyarakat dalam sebuah proses dialektika yang terjadi
secara terus menerus. Ciri-ciri Islam kolaboratif adalah bangunan Islam yang
bercorak khas, mengadopsi unsur lokal yang tidak bertentangan dengan Islam dan
menguatkan ajaran Islam melalui proses transformasi secara terus menerus
dengan melegitimasinya berdasarkan atas teks-teks Islam yang dipahami atas
dasar interpretasi elit-elit lokal. Islam yang bernuansa lokalitas tersebut
hadir melalui tafsiran agen-agen sosial yang secara aktif berkolaborasi dengan
masyarakat luas dalam kerangka mewujudkan Islam yang bercorak khas, yaitu Islam
yang begitu menghargai terhadap tradisi-tradisi yang dinilai absah/sahih.
Berbagai medan budaya yang diwarnai ataupun
disentuhkan dengan Islam pada akhirnya berorientasi secara konseptual untuk memperoleh
“berkah” sebagai suatu yang sakral, mistis, dan magis. Dengan demikian, genuinitas atau lokalitas Islam
hakikatnya adalah hasil konstruksi sosial masyarakat lokal terhadap Islam yang
memang datang kepadanya ketika di wilayah tersebut telah terdapat budaya yang
bercorak mapan. Islam memang datang ke suatu wilayah
yang tidak vakum budaya. Makanya, ketika Islam datang ke wilayah tertentu maka
konstruksi lokal pun turut serta membangun Islam sebagaimana yang ada sekarang.
Dengan demikian, Islam yang bercampur dengan budaya
lokal adalah gejala normal dari dinamika umat Islam. Pergumulan dan interaksi
umat Islam dengan beraneka macam budaya akan mengondisikan munculnya karakter
yang lebih akomodatif. Sebaliknya, semakin minim interaksi umat Islam dengan kebudayaan
lokal, akan semakin miskin apresiasinya terhadap budaya lokal. Oleh
penentangnya, budaya lokal dianggap sebagai sesuatu di luar Islam, yang tidak
sesuai dengan nilai-nilai transenden. Budaya adalah karya manusia, sedangkan
Islam adalah karya Tuhan. Jadi penolakan terhadap budaya lokal disebabkan oleh
pendasaran agama pada sesuatu yang transenden secara keseluruhan.
Sejatinya, Islam adalah agama yang lahir dari hasil
dialektika antara kehendak Allah dan kebudayaan manusia, atau lebih khusus lagi
tradisi lokal Arab pra-Islam. Oleh karena itu, wajar jika kenyataan tersebut
kemudian mendorong sebagian kalangan menghendaki agar dimensi partikular yang
ada dalam Islam dibedakan dari dimensi universalitasnya. Meskipun demikian ini
bukan berarti tidak menghormati satu tradisi yang telah memoles tampilan Islam,
tetapi tentu akan lebih bijak jika tradisi yang telah memberikan kontribusi
bagi peradaban Islam itu dibaca kembali dengan menggunakan perspektif kekinian.
Sebab, bagaimanapun juga perubahan waktu dan tempat pasti menghendaki
pembaharuan cara pandang terhadap agama, tanpa menghilangkan semangat dan nilai
moral yang dikandungnya.
III. PENUTUP
Seluruh hasil budaya suatu suku bangsa ataupun
kelompok masyarakat adalah sosok dari jati diri pemilikinya. Namun, jati diri tersebut
bukanlah sesuatu yang harus statis. Ungkapan-ungkapan budaya dapat mengalami
perubahan, fungsi-fungsi dalam berbagai pranata dapat pula mengalami perubahan.
Perubahan itu dapat terjadi oleh rangsangan atau tarikan dari gagasan-gagasan
baru yang datang dari luar masyarakat yang bersangkutan. Pada satu titik,
rangsangan dan tarikan dari luar itu bisa amat besar tekanannya sehingga yang
terjadi bisa bukan saja pengayaan budaya, melainkan justru pencerabutan akar
budaya untuk diganti dengan isi budaya yang sama sekali baru dan tak terkait
dengan aspek tradisi mana pun. Jika itu yang terjadi, warisan budaya sudah
tidak memiliki kekuatan lagi untuk membentuk jati diri bangsa. Situasi yang
lebih lunak dapat terjadi, yaitu jati diri budaya lama berubah oleh
pengambilalihan unsur-unsur budaya lain secara besar-besaran (sebagaimana yang
dikenal sebagai akulturasi), yang pada gilirannya membentuk suatu sosok baru,
namun masih membawa serta sebagian warisan budaya lama yang dapat berfungsi
sebagai ciri identitas yang berlanjut.
Islam, di manapun, adalah agama wahyu yang
mengklaim diri sebagai penerus dan penyempurna tradisi Judeo-Kristiani. Pada
gilirannya, Islam membangun tradisi baru yang berintikan jalinan tiga sendi,
yaitu iman (percaya), Islam (berserah diri), dan ihsan
(berbuat baik). Dari sini berkembang seperangkat sistem kepercayaan, ritual,
dan etik behavioral yang kompleks namum penerapannya bisa lentur sehingga dalam
batas-batas tertentu ada ruang yang cukup bagi terjadinya proses adopsi,
adaptasi, dan akomodasi secara jenius dengan budaya lokal. Dengan demikian,
walau inti ajaran Islam sama (universal) namun artikulasinya bisa beragam
sesuai dengan konteks lokal dan sosial di mana pemeluknya berada. Berbagai
tradisi lokal yang telah mengalami persentuhan Islam yang pada akhirnya diklaim
sebagai budaya Islam hampir semuanya berakar pada wahyu atau mendapatkan pembenaran
di dalam sumber hukum Islam yang paling mendasar, Alquran dan hadis. Terlepas
apakah dasar pembenaran tersebut dapat diterima atau sesuai dengan kaum Muslim
lainnya, hal tersebut lebih merupakan debat teologi internal di dalam tubuh
masyarakat Muslim daripada subyek penilaian pengamat.
Melalui proses panjang dan berliku, Islam
telah diterima oleh sejumlah besar penduduk dunia. Namun setelah diadopsi dan
dan diakomodasi, wajah Islam yang tampil dalam bingkai budaya lokal sering
tidak dikenali bahkan disalahpahami oleh banyak orang. Bahkan, tidak jarang
(untuk kasus Indonesia), orang luar lebih bisa memahami Islam Indonesia
daripada orang Indonesia sendiri. Persentuhan Islam dengan budaya lokal juga
ditemukan dalam wujud pewarnaan Islam terhadap tradisi ataupun dalam wujud me-nasakh
sebagian atau keseluruhan dari ritus atau upacara siklus hidup dalam kebudayaan
suatu masyarakat. Intinya, proses panjang islamisasi di berbagai belahan dunia
tidak menafikan adanya interaksi timbal-balik dalam bentuk dan model yang
beragam: resistensi, adhesi, dan purifikasi; adaptasi, konversi, dan
sinkretisasi; maupun akomodasi, asimilasi dan unifikasi.
Banyak hal dari perbendaharaan budaya yang
tidak bertentangan dengan ajaran agama atau bahkan mendukungnya. Di antaranya
memang ada yang memerlukan pengubahsuaian, memerlukan reorientasi untuk dapat
sesuai dengan ajaran Islam, namun ini akan lebih baik dan lebih mudah dilakukan
daripada membuat atau mendatangkan hal-hal yang baru. Menggali untuk
menemukannya dan menggarapnya agar sesuai dengan ajaran Islam merupakan suatu
tugas mulia bagi generasi muda Islam. Dengan demikian, Islam menjadi sesuatu
yang menyatu dengan tradisi, sehingga tidak ada kakagetan atau keterkejutan
budaya. Selain itu, Islam kemudian dapat ditampilkan sebagai suatu tradisi
budaya yang membawa arah baru dengan bahan yang sebenarnya sudah dikenal, tidak
membawa keterasingan, sehingga mudah diterima. Berangkat dari itu, setiap
kabajikan yang dilakukan seorang muslim sesungguhnya adalah perwujudan sikap ihsan
yang merupakan hasil kreasi dari buah iman dan Islam yang
dimilikinya. Sikap ihsan tersebut diaktualisasikan dalam budaya tutur, sikap
dan perilaku yang mencerminkan Islam yang rahmatan li al-alamin.
DAFTAR
PUSTAKA
Arif,
Syaiful. Deradikalisasi Islam; Paradigma dan Strategi Islam Kultural. Cet.
I; Jakarta: Koekoesan, 2010.
Arifin, Busthanul. Pelembagaan Hukum Islam di
Indonesia; Sejarah, Hambatan, dan Prospeknya. Cet. I; Jakarta: Gema Insani
Press, 1996.
Azra,
Azyumardi. Islam Reformis; Dinamika Intelektual dan Gerakan. Cet. I;
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999.
Bisri,
Cik Hasan (ed.) Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia. Cet. I;
Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998.
Geertz,
Clifford. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta:
Pustaka Jaya, 1981.
Hallaq, Wael B. A History of Islamic Legal Theories yang
diterjamahkan oleh Kusnadiningrat dan Abdul Haris dengan Judul Sejarah Teori
Hukum Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000.
Haq, Hamka. Syari’at
Islam; Wacana dan Penerapannya. Makassar: Yayasan al-Ahkam, 2003.
Hodgson,
Marshall G.S. The Venture of Islam, Jilid II. Chicago: The
University of Chicago Press, 1974.
Al-Khallaf,
‘Abd al-Wahhab. ‘Ilm Us}u>l al-Fiqh. Kuwait: Dar al-Kuwaytiyah, 1968.
Khaldu>n,
Ibnu. Muqaddimah. Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
Koentjaraningrat.
Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Cet: III; Jakarta: Dian Jakarta,
1990.
Kuntowijoyo.
Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi. Cet. VIII; Bandung: Mizan,
1998.
Machasin.
Islam Dinamis Islam Harmonis; Lokalitas, Pluralisme, Terorisme. Cet. I;
Yogyakarta: LkiS Group, 2012.
Madjid,
Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban; Sebuah Telaah Kritis Tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan. Cet. I; Jakarta: Paramadina,
2000.
_________.
Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Cet. XI; Bandung: Mizan, 1998.
Muhaimin
dkk. Kawasan dan Wawasan Studi Islam. Cet. II; Jakarta: Kencana, 2007.
Muhaimin.
Islam dalam Bingkai Budaya Lokal; Potret dari Cirebon. Cet. I; Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 2001.
Nasution,
Harun. Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran. Cet. V; Bandung: Mizan,
1998.
Rais. M.
Amin (ed.). Islam di Indonesia; Suatu Ikhtiar Mengaca Diri. Cet; IV;
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994.
__________. Cakrawala Islam; Antara Cita dan Fakta.
Cet. III; Bandung: Mizan, 1991.
Sewang,
Ahmad M. Islamisasi Kerajaan Gowa; Abad XVI sampai Abad XVII. Cet. II;
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.
Suparlan,
Parsuadi. “Kata Pengantar” dalam Bryan S. Turner, Agama dalam Perspektif dan
Analisis Sosiologis. Jakarta: Rajawali Press, 1994.
Al-Syahrastani,
al-Milal wa al-Nihal. Beirut: Dar al-Fikr, 1975.
Syam, Nur. Islam Pesisir. Cet. I; Yogyakarta: LkiS
Group, 2005.
________.
Tantangan Multikulturalisme Indonesia; dari Radikalisme Menuju Kebangsaan. Cet.
I; Yogyakarta: Kanisius, 2009.
Syukur,
Syamzan. Islamisasi Kedatuan Luwu pada Abad XVII. Cet. I; Jakarta: Badan
Litbang dan Diklat Puslitbang Lektur Keagamaan, 2009.
Tuloli, Nani dkk., (ed.) Membumikan Islam; Seminar
Nasional Pengembangan Kebudayaan Islam Kawasan Timur Indonesia. Cet. I; Gorontalo: Grafika Karya, 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar