KESENJANGAN CARA BERPIKIR GENERASI MUDA DAN GENERASI TUA DALAM MENYIKAPI PERUBAHAN SOSIAL DI
SEKITARNYA
Muh. Gazali Rahman
A. Pendahuluan
Perubahan
sosial atau yang kadang diistilahkan dengan social
engineering atau social change adalah
suatu keniscayaan bagi manusia dalam kapasitasnya sebagai makhluk sosial yang
berinteraksi dalam bingkai ruang dan waktu. Aksioma ini lebih menegaskan lagi
pada signifikansi suatu dinamika yang menuntut transformasi individu ke dalam
masyarakat dalam berbagai pola interrelasi horizontal berdasarkan konstruk
sosialnya.
Oleh karena itu tidak ada masyarakat yang statis,
bahkan kajian tentang persoalan manusia sebagai objek yang bergerak dan
berpikir, lebih bermanfaat dan realistis daripada semua upaya menelaah manusia
dalam kondisi imaginer yang mandeg. Berbagai variabel yang mengitari,
mempercepat ataupun memperlambat suatu perubahan sosial akan sangat dipengaruhi
oleh responsibilitas individu dalam masyarakat terhadap kedinamisan interaksi
mereka satu sama lain. Pada sisi lain, perubahan tersebut juga menuntut suatu
reaksi atau sensitivitas personal sebagai bentuk kepedulian terhadap perubahan
yang kemungkinan menyimpang dari alur norma-norma yang telah ada dan disepakati
bersama.
Salah
satu variabel yang lebih tegas dalam hal ini adalah eksistensi sebuah generasi
yang membingkai dan juga dibingkai oleh perubahan sosial itu sendiri. Terlepas
dari itu, setiap generasi akan menampilkan eksistensinya secara khas dengan
berbagai indikator untuk membedakannya dengan generasi sebelumnya. Hal inilah
yang kemudian menimbulkan berbagai model kesenjangan, benturan, atau mungkin
juga pertentangan tajam dalam kerangka penegasan eksistensi masing-masing. Dua
model generasi yang diperbincangkan dalam pembahasan makalah ini adalah
generasi muda dan generasi tua yang dispesifikkan pada kesenjangan pola pikir masing-masing
dalam menyikapi tuntutan perubahan sosial.
B.
Pembahasan
1. Batasan antara Generasi Muda dan Generasi Tua
Generasi secara general
dipahami sebagai kesatuan individu-individu atau kolektivitas yang semasa pada
angkatan dan turunan. Berpijak dari itu maka generasi muda adalah sekumpulan
orang yang seangkatan atau semasa dalam menjalani hidup yang belum mencapai
masa usia tua. Durasi waktu ini diawali dengan masa remaja, yaitu masa transisi
antara masa kanak-kanak ke masa dewasa.
Masa transisi ini seringkali menghadapkan individu yang bersangkutan kepada
situasi yang membingungkan dalam proses pencarian jati dirinya. Situasi semacam
inilah sering menimbulkan aneka konflik yang tergambarkan dalam perilaku yang
aneh, canggung dan brutal jika tidak dikontrol, yang biasa diistilahkan dengan
“kenakalan remaja”. Dalam proses pencarian identitas diri, seorang remaja
terkadang melakukan hal-hal yang bertentangan dengan “kelompok tua” karena ia
merasa memiliki pendapat, cita-cita, dan nilai-nilai, sehingga mau tidak mau
akan memunculkan kesenjangan antara anak muda dan orang tua.
Dalam menentukan usia masa
remaja, banyak pendapat yang diberikan oleh para pakar. Namun sehubungan dengan
akil-balignya seseorang, para ulama memberi batasan sampai umur 15 tahun.
Secara umum, usia masa remaja menurut Soerjono Soekanto adalah bagi kaum wanita
berusia 13 sampai 17 tahun, dan bagi kaum pria berusia 14 sampai 17 tahun. Hal
ini dilihat dari kematangan para remaja secara seksual, sehingga
penyimpangan-penyimpangan secara kasuistik dapat saja terjadi.
Pada tahap selanjutnya,
proses yang akan dilalui adalah masa dewasa atau masa menuju kedewasaan
bersikap, berpikir, dan berbuat. Masa dewasa adalah masa ketika tingkah laku
merupakan sifat-sifat yang terorganisir dan selaras. Sifat-sifat itu timbul
dalam berbagai cara sampai pada batas-batas tertentu disadari secara fungsional
dan rasional. Dalam berbagai indikator kedewasaan, lazimnya pada individu yang
normal akan mengerti atau menyadari apa yang dilakukannya dan mengapa sesuatu
itu mesti dilakukan.
Secara biologis, masa
dewasa adalah masa pertumbuhan yang semakin matang dan menghampiri masa tua.
Sedangkan secara sosiologis, masa dewasa adalah masa ketika seseorang telah
siap memasuki jenjang perkawinan dan telah mampu menjadi orang tua bagi
anak-anaknya, atau ketika ia belum berkeluarga dan masih bergantung kepada
orang tuanya, namun ia sudah harus mempersiapkan diri untuk dapat hidup dan
menjadi orang tua (berkeluarga), ia harus mulai bekerja dan membina karir.
Secara psikologis,
generasi muda juga terkadang digambarkan dalam fenomena yang penuh idealisme,
dedikasi, cita dan cinta. Hal ini juga dipertegas oleh Soerjono Soekanto yang
menguraikan indikator generasi muda secara umum dengan dua ciri yang
berlawanan. Pertama, keinginan untuk melawan dalam bentuk radikalisme, delinkuensi
dan sebagainya. Lebih lanjut menurut beliau bahwa sikap melawan dapat saja
disertai dengan suatu rasa takut bahwa masyarakat akan hancur karena
perbuatan-perbuatan yang menyimpang. Kedua, sikap apatis yang tampak
pada penyesuaian membabi buta terhadap ukuran moral generasi tua dan biasanya
disertai dengan rasa kecewa terhadap masyarakat.
Sedangkan generasi tua dipahami sebagai generasi yang telah melewati
masa-masa remaja dan berbagai variabel lain yang telah disebutkan sebelumnya.
Perbedaan yang tegas dalam hal ini adalah pada situasi dan kondisi serta masa
yang telah dilewati oleh generasi tua, meskipun dalam bentuk yang sama dan
berulang namun terdapat perbedaan kompleksitas dalam versi dan perspektifnya.
Generasi tua ini terkadang pula digambarkan dalam kebijaksanaan serta kearifan
dalam bersikap dan bertindak berdasarkan kekayaan pengalaman mereka.
Batasan-batasan lain yang membedakan antara generasi muda dan generasi tua
ini juga dapat dideskripsikan dalam hal-hal berikut; generasi muda adalah
generasi yang identik dengan vitalitas, progresivitas, semangat juang yang
tinggi, dan sebagai harapan masa depan. Sedangkan generasi tua adalah
generasi yang telah berprestasi, berkarya, dan membutuhkan penerus dan
pengembang dari apa yang telah mereka capai.
Generasi muda juga termasuk generasi yang “rawan”, sehingga sering mudah
terprovokasi ataupun menerima pengaruh dari luar, yang terkadang mereka terima
tanpa banyak pertimbangan. Namun tidak bisa dipungkiri juga juga bahwa generasi
muda telah menjadi pioner dalam berbagai event dan peristiwa penting.
Perbedaan generasi ini
tampaknya akan rumit jika harus terjebak pada indikator tingkat kedewasaan
remaja dan orang tua. Apabila seseorang mencapai usia remaja yang secara fisik
telah matang, namun untuk dapat dikatakan dewasa dalam arti sosial masih diperlukan
faktor-faktor lainnya. Faktor-faktor inilah yang kemudian akan lebih
mendeskripsikan kesenjangan pola pikir generasi tua dan generasi muda dalam
sensitivitasnya terhadap perubahan sosial dan sebagai keniscayaan suatu
dinamika kemasyarakatan.
2. Faktor-faktor kesenjangan pola pikir
generasi muda dan generasi tua dalam menyikapi perubahan sosial
Suatu pola pikir, secara
aksiomatis tidak tumbuh dengan sia-sia atau independen dari kondisi objektif;
sosiologis maupun politis yang mengitarinya. Pemikiran pada dasarnya merupakan
jawaban atau solusi -baik untuk persoalan sosial maupun politis- yang
mengkonstruk suatu perubahan sosial. Mengacu pada distingsi yang membedakan
antara generasi muda dan generasi tua, maka beberapa faktor yang membentuk
kesenjangan pola pikir tersebut antara lain yaitu:
1. Perbedaan usia
Dalam hal ini, usia akan
mempengaruhi psikologi seseorang dalam proses kematangan sikap dan pola pikir.
Dalam pengertian lain, faktor usia akan ikut mempengaruhi tingkat kedewasaan
seseorang. Tingkat kedewasaan antara generasi muda dan generasi tua akan
berbeda berdasarkan perjalanan hidup yang dialami dan kekayaan pengalaman.
Meskipun generasi muda secara umum merasa dirinya telah dewasa secara biologis,
tetapi secara sosial belum tampak. Di sisi lain, konstruk masyarakat sederhana
memberi acuan pada peningkatan usia yang berarti meningkatnya kebijaksanaan
seseorang dengan ukuran pengalaman-pengalamannya. Sedangkan dalam masyarakat
yang sudah kompleks, kemajuan seseorang ditentukan oleh potensi diri, bukan
pada senioritas.
Implikasi lebih jauh dari
faktor usia ini adalah kesenjangan psikologi generasi muda dan generasi tua.
Generasi muda pada umumnya memiliki tingkat emosional dan semangat yang lebih
tinggi. Sehingga dalam menyikapi berbagai persoalan yang muncul, sering terjadi
sikap generasi muda yang lebih menonjolkan emosional mereka ketimbang
pertimbangan rasional. Sehingga terkadang ketika mereka menginginkan sesuatu,
ingin secara serentak dan cepat, atau dengan kata lain terkadang mereka ingin
perubahan secara drastis dan bombastis. Adapun generasi tua, yang telah banyak
makan asam garam kehidupan, umumnya berpikir lebih arif dan cenderung lebih
mengutamakan pertimbangan rasional yang lebih matang dalam menyikapi perubahan
sosial yang muncul di sekitarnya.
Masa muda adalah
masa yang penuh kompleksitas. Terkadang suatu saat para pemuda sangat sensitif
dalam menyikapi suatu persoalan, namun terkadang juga muncul sifat
ketidakpedulian. Sehingga dengan demikian, mereka selalu membutuhkan bimbingan
dan pengarahan dari generasi yang lebih tua, untuk mengarahkan sifat emosional,
sensitifitas, ataupun ketakpedulian mereka ke arah yang positif.
2. Perbedaan zaman
Setiap generasi tentunya
akan menghadapi suatu zaman yang masing-masing berbeda secara sosial dan budaya
dengan generasi sebelum maupun generasi berikutnya yang berimplikasi pula pada
sikap dan pola pikir mereka dalam tarik-ulur pengaruh zaman tersebut. Perbedaan
zaman ini juga terkadang mempertentangkan antara generasi muda yang digambarkan
sebagai kelompok modernis dan generasi tua sebagai kelompok konservatis.
Berpijak dari itu,
perbedaan kultur –sosial dan politis- zaman masing-masing akan berpengaruh pada
bentuk-bentuk responsibilitas dan sensitivitas masing-masing generasi dalam
menyikapi perubahan sosial yang terjadi di sekitarnya. Pada generasi muda,
setiap gagasan mereka biasanya tidak berangkat dari kepentingan tertentu (vested
interst) yang sudah mapan, namun lebih sering didasarkan pada kerangka
berpikir yang idealistis, walaupun mungkin tidak terlalu realistis dan
cenderung utopis. Namun tidak dapat dipungkiri kemungkinan generasi muda yang
oleh Amin Rais dikatakan “tidak normal” dan “tukang pukul” akibat dari kooptasi
iklim sosial politik yang tidak wajar.
Lebih jauh dari itu, hal
yang perlu dihindari adalah kekecewaan generasi muda terhadap sistem dan proses
sosial-politik yang kurang terbuka dan demokratis, sehingga mereka cenderung
apatis terhadap perubahan sosial. Dalam batas tertentu, kekecewaan generasi
muda terhadap realitas yang dihadapinya adalah sehat dan alamiah, asalkan tidak
menjurus pada frustasi. Rasa puas generasi muda dengan warisan pendahulunya
justru akan berarti titik nadir dari kemajuan sekaligus merupakan gejala
dekadensi yang perlu dihindari.
Sehingga sangat wajar jika kekecewaan itu tergambarkan dalam berbagai
bentuk rasa melawan, militansi, kesadaran kultural dan kehendak revivalis dalam
tuntutan kapasitas mereka sebagai “agent of social change” dan “social
of historical change” yang menginvestasikan progresivitas dan jiwa
revolusioner. Upaya ini juga adalah bentuk counter terhadap kemapanan
dan status quo yang terkadang dibangun dan dipertahankan oleh generasi
tua.
3. Perbedaan tingkat pendidikan (pengetahuan)
Faktor ini secara parsial
dan sporadis nmempengaruhi tumbuhnya kecenderungan tertentu dalam etos kerja
dan etos hasil yang sering kali memaksa untuk berpikir lebih kompleks ketika
kondisi suatu generasi dibenturkan oleh berbagai problematika dan dinamika yang
dihasilkan dari perubahan sosial. Gencarnya arus globalisasi dan modernisasi
menuntut kontribusi teoritis dan filosofis dari generasi muda yang akan berbeda
dengan generasi tua berdasarkan tingkat pengetahuan mereka terhadap penguasaan
sains dan tekhnologi baru yang selalu mengalami inovasi dan modifikasi.
Pada sisi lain, tingkat
pengetahuan ini juga berpengaruh pada inklusivitas generasi muda terhadap
berbagai hambatan yang bersifat ideologis dan budaya baru yang dibawa oleh
globalisasi dan modernisasi, Sedangkan generasi tua yang lebih tradisional akan
eksklusif terhadap hal-hal baru dan asing akibat dari adanya vested interst serta
rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan dan norma-norma
yang telah mapan.
Namun bagi generasi muda,
inklusivitas ini kemungkinan berdampak pada merosotnya integritas mereka dalam
sikap mental konsumtif, materialistik dan toleransi yang terlalu berlebihan
terhadap perbuatan-perbuatan menyimpang dalam masyarakat yang terkontaminasi
oleh proses globalisasi, sehingga berdampak pula pada perubahan tatanan nilai
pada masyarakat. Terlebih lagi bila format pendidikan sekarang hampir tidak
selalu mengusahakan integritas yang runtut dengan permasalahan yang terus
berkembang dalam kehidupan masyarakat. Berbeda dengan generasi dahulu (tua)
yang format pendidikannya tidak berorientasi pada upaya pemenuhan tuntutan material
serta masih dibingkai oleh etika agama atau moral religius. Sehingga tidak
jarang bila ditemukan bentuk respon generasi muda terhadap perubahan sosial
bukannya menjadi solusi melainkan menjadi bahagian dari masalah.
4. Kurangnya komunikasi
Komunikasi memiliki
signifikansi yang mendalam dalam membentuk mainstream dan persepsi suatu
generasi dalam orientasi mereka terhadap masa depan. Tanpa komunikasi, generasi
muda dan generasi tua tidak dapat menyamakan persepsi dan menyatukan visi, misi
dan kepentingan mereka terhadap masa depan perubahan sosial. Dengan komunikasi
pula, akan disepakati kerangka rujukan dalam mengantisipasi dan menyikapi
setiap perubahan sosial yang terjadi di sekitarnya. Dalam arti lain, komunikasi
ini adalah interaksi yang membentuk dialektika secara inheren dengan
kondisi-kondisi internal (kepedulian sosial) dan eksternal (menerima perbedaan
sifat, watak, dan karakter serta moral, intelektual dan spiritual) satu sama
lain untuk berbagi pengalaman.
Lebih jauh lagi, interaksi
tersebut akan membentuk jalinan sosial yang mengeliminir kendala-kendala
tradisional. Dalam waktu bersamaan juga melakukan privatisasi sistem-sistem
religius dan moral, serta membuka suatu kawasan netral bagi sikap toleransi,
objektivitas, rasa hormat dan menjunjung tinggi kebebebasan untuk memilih dan
menentukan arah masa depan masing-masing.
C. Penutup
Uraian panjang tentang
kesenjangan cara berfikir antara generasi muda dan generasi tua dalam menyikapi
perubahan sosial memberikan asumsi yang tegas bahwa manusia dengan kolektivitasnya
yang hidup dalam zaman ke zaman, generasi ke generasi yang berubah dan
berkembang secara cepat, tidak terlepas dari kemampuan rekayasa manusia yang
jauh melampaui batas dan kontrol perhitungan manusia itu sendiri. Perubahan dan
perkembangan di satu pihak membawa kemajuan, tetapi di pihak lain membawa
kegelisahan dan kekhawatiran manusia sendiri.
Begitu pula kesenjangan
antar generasi pada dasarnya lebih pada perbedaan pola pikir dan
ketidak-pahaman manusia terhadap batas-batas kemanusiaannya yang otonom dalam
bingkai kesemestaan yang dinamis. Sehingga yang terjadi sesungguhnya adalah
konflik antara manusia-manusia -secara individu maupun kolektif- dengan
keseluruhan sistem-sistem, hubungan-hubungan kultural-psikologis yang mereka
ciptakan sendiri.
Sebaliknya, dengan mengacu pada perangkat pola pikir dan pola perilaku
dalam upaya untuk tetap eksis dalam pasang surut perubahan sosial, sangat
bergantung pada alur kronik yang bersumber pada sesuatu yang lebih besar, yaitu
sistem nilai, baik sistem nilai induktif yang secara empirik ditarik dari
pengalaman hidup yang berkesinambungan dari suatu generasi ke generasi lainnya
maupun secara deduktif yang ditarik dari prinsip-prinsip dan ketetapan norma
transendental.
Daftar Pustaka
Ahmadi, Abu. Psikologi Sosial.
Cet. II; Jakarta: Rineka Cipta, 1999.
_________ .Psikologi Perkembangan. Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1991.
Daryanto, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Cet. I; Surabaya: Apollo, 1998.
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet.XI; Jakarta: Balai
Pustaka, 1994.
Muhyidin, Muhammad. Bijak
Mendidik Anak dan Cerdas Memahami Orang Tua. Cet. I; Jakarta: Lentera,
2003.
Rais, Amin. Cakrawala Islam;
Antara Cita dan Fakta. Cet. III; Bandung: Mizan, 1991.
Rakhmat, Jalaluddin. Rekayasa
Sosial; Revormasi, Revolusi atau Manusia Besar ?. Cet. II, Bandung: Remaja
Rosda Karya, 2000.
Sarwono, Sarlito Wirawan.
Psikologi Remaja. Cet. XVI; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi;
Suatu Pengantar. Cet. 33; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
_________. Sosiologi Keluarga; Tentang Ikhwal
Keluarga, Remaja dan Anak. Cet. II; Jakarta: Rineka Cipta, 1992.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar