Jumat, 21 Februari 2014

KESENJANGAN CARA BERPIKIR GENERASI MUDA DAN GENERASI TUA



KESENJANGAN CARA BERPIKIR GENERASI MUDA DAN GENERASI TUA DALAM MENYIKAPI PERUBAHAN SOSIAL DI SEKITARNYA
Muh. Gazali Rahman

A. Pendahuluan
            Perubahan sosial atau yang kadang diistilahkan dengan social engineering atau social change adalah suatu keniscayaan bagi manusia dalam kapasitasnya sebagai makhluk sosial yang berinteraksi dalam bingkai ruang dan waktu. Aksioma ini lebih menegaskan lagi pada signifikansi suatu dinamika yang menuntut transformasi individu ke dalam masyarakat dalam berbagai pola interrelasi horizontal berdasarkan konstruk sosialnya.

Oleh karena itu tidak ada masyarakat yang statis, bahkan kajian tentang persoalan manusia sebagai objek yang bergerak dan berpikir, lebih bermanfaat dan realistis daripada semua upaya menelaah manusia dalam kondisi imaginer yang mandeg. Berbagai variabel yang mengitari, mempercepat ataupun memperlambat suatu perubahan sosial akan sangat dipengaruhi oleh responsibilitas individu dalam masyarakat terhadap kedinamisan interaksi mereka satu sama lain. Pada sisi lain, perubahan tersebut juga menuntut suatu reaksi atau sensitivitas personal sebagai bentuk kepedulian terhadap perubahan yang kemungkinan menyimpang dari alur norma-norma yang telah ada dan disepakati bersama.
            Salah satu variabel yang lebih tegas dalam hal ini adalah eksistensi sebuah generasi yang membingkai dan juga dibingkai oleh perubahan sosial itu sendiri. Terlepas dari itu, setiap generasi akan menampilkan eksistensinya secara khas dengan berbagai indikator untuk membedakannya dengan generasi sebelumnya. Hal inilah yang kemudian menimbulkan berbagai model kesenjangan, benturan, atau mungkin juga pertentangan tajam dalam kerangka penegasan eksistensi masing-masing. Dua model generasi yang diperbincangkan dalam pembahasan makalah ini adalah generasi muda dan generasi tua yang dispesifikkan pada kesenjangan pola pikir masing-masing dalam menyikapi tuntutan perubahan sosial.
B. Pembahasan
 1. Batasan antara Generasi Muda dan Generasi Tua
            Generasi secara general dipahami sebagai kesatuan individu-individu atau kolektivitas yang semasa pada angkatan dan turunan. Berpijak dari itu maka generasi muda adalah sekumpulan orang yang seangkatan atau semasa dalam menjalani hidup yang belum mencapai masa usia tua. Durasi waktu ini diawali dengan masa remaja, yaitu masa transisi antara masa kanak-kanak ke masa dewasa.
Masa transisi ini seringkali menghadapkan individu yang bersangkutan kepada situasi yang membingungkan dalam proses pencarian jati dirinya. Situasi semacam inilah sering menimbulkan aneka konflik yang tergambarkan dalam perilaku yang aneh, canggung dan brutal jika tidak dikontrol, yang biasa diistilahkan dengan “kenakalan remaja”. Dalam proses pencarian identitas diri, seorang remaja terkadang melakukan hal-hal yang bertentangan dengan “kelompok tua” karena ia merasa memiliki pendapat, cita-cita, dan nilai-nilai, sehingga mau tidak mau akan memunculkan kesenjangan antara anak muda dan orang tua.
            Dalam menentukan usia masa remaja, banyak pendapat yang diberikan oleh para pakar. Namun sehubungan dengan akil-balignya seseorang, para ulama memberi batasan sampai umur 15 tahun. Secara umum, usia masa remaja menurut Soerjono Soekanto adalah bagi kaum wanita berusia 13 sampai 17 tahun, dan bagi kaum pria berusia 14 sampai 17 tahun. Hal ini dilihat dari kematangan para remaja secara seksual, sehingga penyimpangan-penyimpangan secara kasuistik dapat saja terjadi.
            Pada tahap selanjutnya, proses yang akan dilalui adalah masa dewasa atau masa menuju kedewasaan bersikap, berpikir, dan berbuat. Masa dewasa adalah masa ketika tingkah laku merupakan sifat-sifat yang terorganisir dan selaras. Sifat-sifat itu timbul dalam berbagai cara sampai pada batas-batas tertentu disadari secara fungsional dan rasional. Dalam berbagai indikator kedewasaan, lazimnya pada individu yang normal akan mengerti atau menyadari apa yang dilakukannya dan mengapa sesuatu itu mesti dilakukan.
            Secara biologis, masa dewasa adalah masa pertumbuhan yang semakin matang dan menghampiri masa tua. Sedangkan secara sosiologis, masa dewasa adalah masa ketika seseorang telah siap memasuki jenjang perkawinan dan telah mampu menjadi orang tua bagi anak-anaknya, atau ketika ia belum berkeluarga dan masih bergantung kepada orang tuanya, namun ia sudah harus mempersiapkan diri untuk dapat hidup dan menjadi orang tua (berkeluarga), ia harus mulai bekerja dan membina karir.
            Secara psikologis, generasi muda juga terkadang digambarkan dalam fenomena yang penuh idealisme, dedikasi, cita dan cinta. Hal ini juga dipertegas oleh Soerjono Soekanto yang menguraikan indikator generasi muda secara umum dengan dua ciri yang berlawanan. Pertama, keinginan untuk melawan dalam bentuk radikalisme, delinkuensi dan sebagainya. Lebih lanjut menurut beliau bahwa sikap melawan dapat saja disertai dengan suatu rasa takut bahwa masyarakat akan hancur karena perbuatan-perbuatan yang menyimpang. Kedua, sikap apatis yang tampak pada penyesuaian membabi buta terhadap ukuran moral generasi tua dan biasanya disertai dengan rasa kecewa terhadap masyarakat.
Sedangkan generasi tua dipahami sebagai generasi yang telah melewati masa-masa remaja dan berbagai variabel lain yang telah disebutkan sebelumnya. Perbedaan yang tegas dalam hal ini adalah pada situasi dan kondisi serta masa yang telah dilewati oleh generasi tua, meskipun dalam bentuk yang sama dan berulang namun terdapat perbedaan kompleksitas dalam versi dan perspektifnya. Generasi tua ini terkadang pula digambarkan dalam kebijaksanaan serta kearifan dalam bersikap dan bertindak berdasarkan kekayaan pengalaman mereka.
Batasan-batasan lain yang membedakan antara generasi muda dan generasi tua ini juga dapat dideskripsikan dalam hal-hal berikut; generasi muda adalah generasi yang identik dengan vitalitas, progresivitas, semangat juang yang tinggi, dan sebagai harapan masa depan.  Sedangkan generasi tua adalah generasi yang telah berprestasi, berkarya, dan membutuhkan penerus dan pengembang dari apa yang telah mereka capai.
Generasi muda juga termasuk generasi yang “rawan”, sehingga sering mudah terprovokasi ataupun menerima pengaruh dari luar, yang terkadang mereka terima tanpa banyak pertimbangan. Namun tidak bisa dipungkiri juga juga bahwa generasi muda telah menjadi pioner dalam berbagai event dan peristiwa penting.
            Perbedaan generasi ini tampaknya akan rumit jika harus terjebak pada indikator tingkat kedewasaan remaja dan orang tua. Apabila seseorang mencapai usia remaja yang secara fisik telah matang, namun untuk dapat dikatakan dewasa dalam arti sosial masih diperlukan faktor-faktor lainnya. Faktor-faktor inilah yang kemudian akan lebih mendeskripsikan kesenjangan pola pikir generasi tua dan generasi muda dalam sensitivitasnya terhadap perubahan sosial dan sebagai keniscayaan suatu dinamika kemasyarakatan.
 2. Faktor-faktor kesenjangan pola pikir generasi muda dan generasi tua dalam menyikapi perubahan sosial
            Suatu pola pikir, secara aksiomatis tidak tumbuh dengan sia-sia atau independen dari kondisi objektif; sosiologis maupun politis yang mengitarinya. Pemikiran pada dasarnya merupakan jawaban atau solusi -baik untuk persoalan sosial maupun politis- yang mengkonstruk suatu perubahan sosial. Mengacu pada distingsi yang membedakan antara generasi muda dan generasi tua, maka beberapa faktor yang membentuk kesenjangan pola pikir tersebut antara lain yaitu:
1. Perbedaan usia
            Dalam hal ini, usia akan mempengaruhi psikologi seseorang dalam proses kematangan sikap dan pola pikir. Dalam pengertian lain, faktor usia akan ikut mempengaruhi tingkat kedewasaan seseorang. Tingkat kedewasaan antara generasi muda dan generasi tua akan berbeda berdasarkan perjalanan hidup yang dialami dan kekayaan pengalaman. Meskipun generasi muda secara umum merasa dirinya telah dewasa secara biologis, tetapi secara sosial belum tampak. Di sisi lain, konstruk masyarakat sederhana memberi acuan pada peningkatan usia yang berarti meningkatnya kebijaksanaan seseorang dengan ukuran pengalaman-pengalamannya. Sedangkan dalam masyarakat yang sudah kompleks, kemajuan seseorang ditentukan oleh potensi diri, bukan pada senioritas.
            Implikasi lebih jauh dari faktor usia ini adalah kesenjangan psikologi generasi muda dan generasi tua. Generasi muda pada umumnya memiliki tingkat emosional dan semangat yang lebih tinggi. Sehingga dalam menyikapi berbagai persoalan yang muncul, sering terjadi sikap generasi muda yang lebih menonjolkan emosional mereka ketimbang pertimbangan rasional. Sehingga terkadang ketika mereka menginginkan sesuatu, ingin secara serentak dan cepat, atau dengan kata lain terkadang mereka ingin perubahan secara drastis dan bombastis. Adapun generasi tua, yang telah banyak makan asam garam kehidupan, umumnya berpikir lebih arif dan cenderung lebih mengutamakan pertimbangan rasional yang lebih matang dalam menyikapi perubahan sosial yang muncul di sekitarnya.
            Masa muda adalah masa yang penuh kompleksitas. Terkadang suatu saat para pemuda sangat sensitif dalam menyikapi suatu persoalan, namun terkadang juga muncul sifat ketidakpedulian. Sehingga dengan demikian, mereka selalu membutuhkan bimbingan dan pengarahan dari generasi yang lebih tua, untuk mengarahkan sifat emosional, sensitifitas, ataupun ketakpedulian mereka ke arah yang positif.
2. Perbedaan zaman
            Setiap generasi tentunya akan menghadapi suatu zaman yang masing-masing berbeda secara sosial dan budaya dengan generasi sebelum maupun generasi berikutnya yang berimplikasi pula pada sikap dan pola pikir mereka dalam tarik-ulur pengaruh zaman tersebut. Perbedaan zaman ini juga terkadang mempertentangkan antara generasi muda yang digambarkan sebagai kelompok modernis dan generasi tua sebagai kelompok konservatis.
            Berpijak dari itu, perbedaan kultur –sosial dan politis- zaman masing-masing akan berpengaruh pada bentuk-bentuk responsibilitas dan sensitivitas masing-masing generasi dalam menyikapi perubahan sosial yang terjadi di sekitarnya. Pada generasi muda, setiap gagasan mereka biasanya tidak berangkat dari kepentingan tertentu (vested interst) yang sudah mapan, namun lebih sering didasarkan pada kerangka berpikir yang idealistis, walaupun mungkin tidak terlalu realistis dan cenderung utopis. Namun tidak dapat dipungkiri kemungkinan generasi muda yang oleh Amin Rais dikatakan “tidak normal” dan “tukang pukul” akibat dari kooptasi iklim sosial politik yang tidak wajar.
            Lebih jauh dari itu, hal yang perlu dihindari adalah kekecewaan generasi muda terhadap sistem dan proses sosial-politik yang kurang terbuka dan demokratis, sehingga mereka cenderung apatis terhadap perubahan sosial. Dalam batas tertentu, kekecewaan generasi muda terhadap realitas yang dihadapinya adalah sehat dan alamiah, asalkan tidak menjurus pada frustasi. Rasa puas generasi muda dengan warisan pendahulunya justru akan berarti titik nadir dari kemajuan sekaligus merupakan gejala dekadensi yang perlu dihindari.
Sehingga sangat wajar jika kekecewaan itu tergambarkan dalam berbagai bentuk rasa melawan, militansi, kesadaran kultural dan kehendak revivalis dalam tuntutan kapasitas mereka sebagai “agent of social change” dan “social of historical change” yang menginvestasikan progresivitas dan jiwa revolusioner. Upaya ini juga adalah bentuk counter terhadap kemapanan dan status quo yang terkadang dibangun dan dipertahankan oleh generasi tua.
3. Perbedaan tingkat pendidikan (pengetahuan)
            Faktor ini secara parsial dan sporadis nmempengaruhi tumbuhnya kecenderungan tertentu dalam etos kerja dan etos hasil yang sering kali memaksa untuk berpikir lebih kompleks ketika kondisi suatu generasi dibenturkan oleh berbagai problematika dan dinamika yang dihasilkan dari perubahan sosial. Gencarnya arus globalisasi dan modernisasi menuntut kontribusi teoritis dan filosofis dari generasi muda yang akan berbeda dengan generasi tua berdasarkan tingkat pengetahuan mereka terhadap penguasaan sains dan tekhnologi baru yang selalu mengalami inovasi dan modifikasi.
            Pada sisi lain, tingkat pengetahuan ini juga berpengaruh pada inklusivitas generasi muda terhadap berbagai hambatan yang bersifat ideologis dan budaya baru yang dibawa oleh globalisasi dan modernisasi, Sedangkan generasi tua yang lebih tradisional akan eksklusif terhadap hal-hal baru dan asing akibat dari adanya vested interst serta rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan dan norma-norma yang telah mapan.
            Namun bagi generasi muda, inklusivitas ini kemungkinan berdampak pada merosotnya integritas mereka dalam sikap mental konsumtif, materialistik dan toleransi yang terlalu berlebihan terhadap perbuatan-perbuatan menyimpang dalam masyarakat yang terkontaminasi oleh proses globalisasi, sehingga berdampak pula pada perubahan tatanan nilai pada masyarakat. Terlebih lagi bila format pendidikan sekarang hampir tidak selalu mengusahakan integritas yang runtut dengan permasalahan yang terus berkembang dalam kehidupan masyarakat. Berbeda dengan generasi dahulu (tua) yang format pendidikannya tidak berorientasi pada upaya pemenuhan tuntutan material serta masih dibingkai oleh etika agama atau moral religius. Sehingga tidak jarang bila ditemukan bentuk respon generasi muda terhadap perubahan sosial bukannya menjadi solusi melainkan menjadi bahagian dari masalah.
4. Kurangnya komunikasi
            Komunikasi memiliki signifikansi yang mendalam dalam membentuk mainstream dan persepsi suatu generasi dalam orientasi mereka terhadap masa depan. Tanpa komunikasi, generasi muda dan generasi tua tidak dapat menyamakan persepsi dan menyatukan visi, misi dan kepentingan mereka terhadap masa depan perubahan sosial. Dengan komunikasi pula, akan disepakati kerangka rujukan dalam mengantisipasi dan menyikapi setiap perubahan sosial yang terjadi di sekitarnya. Dalam arti lain, komunikasi ini adalah interaksi yang membentuk dialektika secara inheren dengan kondisi-kondisi internal (kepedulian sosial) dan eksternal (menerima perbedaan sifat, watak, dan karakter serta moral, intelektual dan spiritual) satu sama lain untuk berbagi pengalaman.
            Lebih jauh lagi, interaksi tersebut akan membentuk jalinan sosial yang mengeliminir kendala-kendala tradisional. Dalam waktu bersamaan juga melakukan privatisasi sistem-sistem religius dan moral, serta membuka suatu kawasan netral bagi sikap toleransi, objektivitas, rasa hormat dan menjunjung tinggi kebebebasan untuk memilih dan menentukan arah masa depan masing-masing.
C. Penutup
            Uraian panjang tentang kesenjangan cara berfikir antara generasi muda dan generasi tua dalam menyikapi perubahan sosial memberikan asumsi yang tegas bahwa manusia dengan kolektivitasnya yang hidup dalam zaman ke zaman, generasi ke generasi yang berubah dan berkembang secara cepat, tidak terlepas dari kemampuan rekayasa manusia yang jauh melampaui batas dan kontrol perhitungan manusia itu sendiri. Perubahan dan perkembangan di satu pihak membawa kemajuan, tetapi di pihak lain membawa kegelisahan dan kekhawatiran manusia sendiri.
            Begitu pula kesenjangan antar generasi pada dasarnya lebih pada perbedaan pola pikir dan ketidak-pahaman manusia terhadap batas-batas kemanusiaannya yang otonom dalam bingkai kesemestaan yang dinamis. Sehingga yang terjadi sesungguhnya adalah konflik antara manusia-manusia -secara individu maupun kolektif- dengan keseluruhan sistem-sistem, hubungan-hubungan kultural-psikologis yang mereka ciptakan sendiri.
Sebaliknya, dengan mengacu pada perangkat pola pikir dan pola perilaku dalam upaya untuk tetap eksis dalam pasang surut perubahan sosial, sangat bergantung pada alur kronik yang bersumber pada sesuatu yang lebih besar, yaitu sistem nilai, baik sistem nilai induktif yang secara empirik ditarik dari pengalaman hidup yang berkesinambungan dari suatu generasi ke generasi lainnya maupun secara deduktif yang ditarik dari prinsip-prinsip dan ketetapan norma transendental.
                                   



Daftar Pustaka
Ahmadi, Abu. Psikologi Sosial. Cet. II; Jakarta: Rineka Cipta, 1999.
_________ .Psikologi Perkembangan. Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1991.
Daryanto, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Cet. I; Surabaya: Apollo, 1998.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet.XI; Jakarta: Balai Pustaka, 1994.
Muhyidin, Muhammad. Bijak Mendidik Anak dan Cerdas Memahami Orang Tua. Cet. I; Jakarta: Lentera, 2003.
Rais, Amin. Cakrawala Islam; Antara Cita dan Fakta. Cet. III; Bandung: Mizan, 1991.
Rakhmat, Jalaluddin. Rekayasa Sosial; Revormasi, Revolusi atau Manusia Besar ?. Cet. II, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000.
Sarwono, Sarlito Wirawan. Psikologi Remaja. Cet. XVI; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi; Suatu Pengantar. Cet. 33; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
_________. Sosiologi Keluarga; Tentang Ikhwal Keluarga, Remaja dan Anak. Cet. II; Jakarta: Rineka Cipta, 1992.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar