Jumat, 21 Februari 2014

JABARIAH (Pengaruh Sosiologis Masyarakat serta Dalil-dalil yang Mendukung Faham dan Ajarannya)



JABARIAH
(Pengaruh Sosiologis Masyarakat serta
Dalil-dalil yang Mendukung Faham dan Ajarannya)

Oleh: Muh. Ghazali Rahman

A. Pendahuluan                   
            Ada dua tantangan besar yang menjadi masalah penting dan menuntut pemecahan bagi cendekiawan muslim pada abad ini. Pertama, pentingnya mengenal dan mengetahui secara benar ajaran Islam yang murni sebagai bentuk filsafat sosial dan keyakinan ketuhanan, aturan pola pikir, dan kepercayaan yang konstruktif, komprehensif, dan akan mengantar manusia kepada kebahagiaan. Kedua, pentingnya mengenal dan mengetahui kondisi dan tuntutan zaman. Demikian pula halnya dengan kemampuan membedakan dan memisahkan produk pemikiran dari fenomena-fenomena degresi yang memicu tumbuh dan berkembangnya segala bentuk dekadensi.

Salah satu hal yang bisa menyesatkan akal manusia dan menyeretnya dalam kesalahan ialah sejarah kehidupan orang-orang saleh. Tentang hal itu pula Francis Bacon seperti yang dikutip Muthahhari mengatakan bahwa salah satu hal yang bisa menipu akal ialah sejarah perjalanan orang-orang dahulu. Bahkan ia menggambarkannya sebagai berhala. Mereka adalah berhala-berhala yang menyesatkan dan menipu manusia, karena ketika manusia melihat apa yang telah dilakukan kedua orang tuanya, ia pun melaksanakan persis apa yang mereka lakukan. Jalan dan sejarah orang-orang dahulu tidak memberikan kesempatan kepada pewarisnya untuk berpikir bebas, bahkan menghalangi untuk menggunakan pikiran bebasnya.
Sejalan dengan itu, Islam sebagai agama wahyu yang diturunkan kepada umat manusia melalui utusan-Nya dapat disebut bersifat historikal, yakni menyatu dengan pengalaman hidup manusia yang direfleksikan dalam sejarah. Kenyataan ini terbukti dengan jelas dalam pertumbuhan historis faham keagamaan Islam. Masalah pemahaman keagamaan atau teologis pertama yang muncul dalam Islam justru merupakan kelanjutan langsung dari peristiwa politik dan historis.
Bagaimanapun, bagi seseorang yang ingin memberikan pandangan ke dalam bentuk dan pertumbuhan sikap serta ide religiusitas dalam islam, itu lebih menguntungkan untuk memulainya dari permulaan dengan mengikuti sejarah yang terbentang. Ini akan menempatkan masing-masing masalah pada tempatnya yang tepat dan membantu mengangkat kepentingan historis dan religius ke dalamnya untuk kemudian memberikan kemungkinan penilaian secara keseluruhan.
Suatu faham keagamaan dalam dialektika tentang atribut ketuhanan yang diformulasikan sebagai sebuah doktrin, bukan lagi sebuah persoalan tentang sikap yang lebih praktis, bahkan dapat menjadi suatu yang ekstrem untuk dipertahankan. Hal inilah yang menjadi diskursus berlarut-larut dalam sejarah Islam dari masa ke masa. Seperti halnya faham jabariah yang akan dibahas dalam makalah ini merupakan bagian dari alur sejarah teologi Islam yang muncul dalam perjalanan sejarah setelah masa kenabian.
Namun demikian, perbedaan mazhab-mazhab di bidang akidah tidak sampai menyentuh inti akidah itu sendiri, tetapi hanya mengenai masalah-maslah filosofis di luar persoalan keesaan Allah, keimanan kepada para Rasul, para malaikat, hari akhir, dan berbagai ajaran Nabi yang tidak mungkin lagi ada peluang untuk memperdebatkannya. Persoalan-persoalan khilafiyah hanya berputar di sekitar kebebasan dan keterpaksaan manusia, pelaku dosa besar dan hukumnya, serta apakah Alqur’an makhluk atau bukan makhluk.
B. Pembahasan
Jabariyah secara harfiah berasal dari lafaz al-Jabr, yang berarti paksaan. Lafaz ini merupakan antonim lafaz al-Qadr (kemampuan, kekuasaan). Secara terminologis, jabariah berarti menyandarkan perbuatan manusia kepada Allah, yaitu mazhab kalam yang menafikan perbuatan manusia secara hakiki dan menisbatkannya kepada Allah semata. Faham jabariah mulai berkembang pada awal masa pemerintahan Bani Umayyah. Meskipun sebagian sejarahwan merasa kesulitan untuk mengetahui siapa yang pertama-tama melahirkan faham jabariah yang kemudian berkembang menjadi sebuah mazhab, namun lebih banyak yang meriwayatkan bahwa faham ini awalnya dibawa oleh al-Ja’d ibn Dirham yang kemudian dikembangkan oleh muridnya yaitu Jahm ibn Shafwan.
Faham jabariah yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah fatalisme atau predestination ini, memahami bahwa nasib manusia dalam segala bentuknya di dunia dan di akhirat telah ditentukan langsung oleh Tuhan sejak semula. Manusia dalam pandangan aliran ini banyak bersifat pasif, menyerahkan segala-galanya kepada nasib dan untung yang langsung ditentukan oleh Tuhan, dan usaha manusia untuk menentukan nasib dan untungnya dipandang tidak bermanfaat. Faham jabariah juga beralasan bahwa seandainya manusia bebas berbuat, berarti ia menjadi sekutu Allah, atau sekurang-kurangnya bisa mengadakan perbuatan yang mungkin tidak tunduk kepada kehendak Allah. Hal ini dinilai bertentangan dengan sifat kekuasaan Allah yang mutlak.
Mengenai faham jabariyah ini, antara lain dapat diuraikan sebagai berikut:
1.      Manusia tidak dapat menciptakan perbuatannya. Oleh karena itu, apapun perbuatan yang menimpa dan berasal dari manusia tidak dapat dinisbatkan kepadanya. Sebab, manusia tidak mempunyai kemampuan (istitha’ah). Sebaliknya, manusia terpaksa untuk melakukan perbuatan tersebut dan juga tidak mempunyai kemampuan, kehendak, serta pilihan.
2.      Menafikan akal secara hakiki dari manusia, dan menisbatkannya kepada Allah Swt.
3.      Pahala dan dosa semuanya merupakan paksaan dari Allah tanpa disertai alternatif yang diberikan kepada manusia.
4.      Masuk surga dan neraka juga merupakan paksaan Allah Swt. Dan manusia tidak dapat menentukan apa-apa.
5.      Tugas dan tanggung jawab syar’i merupakan tanggungjawab yang dipaksakan oleh Allah kepada manusia.
6.      Allah tidak dapat dideskripsikan dengan sifat-sifat ciptaan-Nya. Sebab, deskripsi itu akan menyebabkan terjadinya duplikasi.
7.      Ilmu Allah diakui sebagai sifat baru dan tidak tetap.
8.      Aktivitas penghuni surga dan neraka adalah terbatas. Surga dan neraka akan hancur setelah penghuninya memasuki keduanya. Ini berdasarkan konsepsi literal bahwa Tuhan adalah Zat yang Maha Pertama dan Terakhir.
9.      Kekufuran dan keimanan berhubungan dengan ma’rifah kepada Allah semata. Iman tidak dapat dibagi menjadi pembenaran kalbu, pernyataan lisan dan tindakan fisik. Karena itu, siapa saja yang lisannya menyatakan penolakan, sebenarnya tidak dapat dituduh kafir.
Oleh Harun Nasution, faham ini dipertegas dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1.Kedudukan akal yang rendah.
2.Ketidakbebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan.
3.Kebebasan berpikir yang diikat dengan banyak dogma
4.Ketidakpercayaan kepada sunnatullah dan kausalitas.
5.Terikat kepada arti tekstual dari Al-Qur’an dan Hadis.
6.Statis dalam sikap dan berpikir.
Faham Jabariyah ini kemudian diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
1.   Jabariyah khalisah (jabariyah murni); yaitu kelompok yang berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kekuatan apapun. Manusia diilustrasikan oleh Harun Nasution sebagai wayang yang digerakkan dalang. Ini merupakan pandangan kelompok Jahm ibn Shafwan (Jahmiyah).
2.   Jabariyah mutawassitah (jabariah moderat); yaitu kelompok yang berpendapat bahwa manusia mempunyai kemampuan, namun tidak mempunyai pengaruh.
            Adapun di antara sekian banyak dalil-dalil yang menjadi rujukan faham jabariah ini antara lain yaitu;
مَآاَصَابَ مِنْ مُصِيْبَةٍ في اْلأَرْضِ وَلاَفي اَنْفُسِكُمْ اِلاَّ في كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ اَنْ نَبْرَاَهَا .
اِنَّ ذَالِكَ عَلي اللهِ يَسِيْرٌ (22)
Artinya:
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh al-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”
... فَيَغْفِرُ لِمَنْ يَشَآءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَآءُ وَالله ُعَلَي كُلِّ شَيْءًٍقَدِيْرٌ (284)
Artinya:
“… Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah maha kuasa atas segala sesuatu.”
...قُلْ اِنَّ الْفَضْلَ بِيَدِ الله ِيُؤْتِيْهِ مَنْ يَشَآء ُ... (73)
يَخْتَصُّ بِرَحْمَتِهِ مَنْ يَشَآء ُ... (74)
            Artinya:
“… Katakanlah: “sesungguhnya karunia itu di tangan Allah, Allah memberikan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya…”. “Allah menentukan rahmat-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya…”
... اِنَّ الحُكْمُ إلاَّ للهِ يَقُصُّ الحَقَّ وَهُوَ خَيْرُالفَصِلِيْنَ (57)
            Artinya:
“…Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik”.
وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ... (61)
Artinya:
“Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya…”
... قُلْ اِنَّ الأَمْرَكُلَّهُ لِلَّهِ ... قُلْ لَوْكُنْتُمْ فيِْ بُيُوْتِكُمْ لَبَرَزَ الَّذِيْن كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقَتْلُ اِليَ مَضَاجِعِهِمْ... (154)           
Artinya:
“… katakanlah: “sesungguhnya urursan itu seluruhnya di tangan Allah”…katakanlah: “sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu ke luar juga ke tempat mereka terbunuh”.
اَوَلَمْ يَرَوْااَنَّ الله َيَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَآءُ وَيَقْدِرَ...(37)
Artinya:
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendakinya…”
وَلاَتَقُوْلَنَّ لِشَايْءٍ اِنّيْ فَاعِلٌ ذَلِكَ غَدًا (23) اِلآّاَنْ يَشَآءَ الله ُوَزْكُرْرَبَّكَ اِذَانَسِيْتَ وَقُلْ عَسَى اَنْ يَهْدِيَنِ رَبِّيْ لأَِقْرَبَ مِنْ هَذَارَشَدًا (24)
Artinya:
“Dan janganlah sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu: “sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi” (23) “Kecuali (dengan menyebut) “Insya Allah”. Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah: “mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini”(24).
... وَلاَ تُطِعْ مَنْ اَغْفَلْنَاقَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَاوَتَّبَعَ هَوَىْهُ وَكَانََ اَمْرُهُ فُرُطًا (28)
Artinya:
 “… dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan melampaui batas”.
فَمَنْ يُرِدِالله ُاَنْ يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإسْلَمِ وَمَنْ يُرِدْ اَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا.. (125)
Artinya:
 “Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk Islam. Dan barangsipa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit”.
وَالله ُخَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُوْنَ (96)
Artinya:
“Allah yang menjadikan kamu sekalian dan apa-apa yang kamu kerjakan”.
خَتَمَ الله ُعَلَي قُلُوْبِهِمْ وَعَلَي سَمْعِهِمْ وَعَلَي أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ ...(7)
Artinya:
“Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka dan penglihatan mereka ditutup…”.

            Demikianlah beberapa dari dalil-dalil yang menjadi sandaran dan rujukan faham jabariyah dalam mempertahankan pendapat mereka sehingga dapat dilihat suatu sikap yang fatalis dari penganut faham ini. Dalil-dalil ini membingkai pemahaman mereka dengan berpendapat bahwa apapun yang menimpa pada dunia dan pada diri seorang manusia, termasuk tindakannya, adalah pelaksanaan dari ketentuan Allah dalam catatan sejak zaman azali, dan manusia tidak sedikitpun dapat mengubahnya.
            Begitu pula masalah pahala dan dosa bukanlah kompetisi manusia untuk memahami, dan hanya menjadi wewenang Allah semata. Allah memberikan pahala kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya, dan menyiksa siapa saja yang dikehendakinya pula. Pemberian pahala, kebahagiaan, termasuk surga kepada hamba-Nya adalah semata-mata karena kemurahan Allah saja, bukan karena kebaikan dari tindakan manusia. Meskipun manusia berusaha dengan berbuat baik untuk mendapatkan kebahagiaan, namun Allah jualah yang menentukan apakah perbuatan baiknya itu membawa kebahagiaan atau tidak, sebab segala keputusan hanya ada di tangan Allah.
            Faham keagamaan yang dikembangkan oleh penganut jabariah ini dipandang absurd oleh Nurcholish, apalagi jika dihubungkan dengan konsep pahala dan dosa yang sangat sentral dan esensial dalam agama. Namun menurut Cak Nur kemudian, pada dasarnya faham ini memiliki konsistensi yang tinggi dalam suatu inti faham ketuhanan dalam Islam, yakni Keemahakuasaan Allah. Kemahakuasaan Allah dalam kerangka pikir jabariah dapat dipahami hanya jika tidak ada suatu kekuasaan atau kemampuan lain di luar Allah. Allah dengan sifat-Nya yang mutlak tak tertandingi akan nampak ambivalen jika manusia memiliki kemampuan yang independen.
            Di lain pihak, jika Mu’tazilah ataupun Qadariah dikenal dengan rasionalitasnya, maka sungguh menarik ketika ternyata yang pertama kali benar-benar menggunakan unsur-unsur filsafat Yunani dalam penalaran keagamaan adalah seorang Jahm ibn Shafwan yang justru penganut faham jabariah. Jahm mendapatkan bahan untuk penalaran jabariahnya dari Aristotelianisme. Aristotelianisme adalah faham Aristoteles yang mengatakan bahwa Tuhan adalah suatu kekuatan yang serupa dengan kekuatan alam yang hanya mengenal keadaan-keadaan umum (universal) tanpa mengenal keadaan-keadaan khusus (parsial). Oleh karenanya, maka Tuhan tidak mungkin memberi pahala dan dosa, dan segala sesuatu yang terjadi, termasuk pada manusia adalah dinamika hukum alam.
            Meninjau faham ini pada dinamika sosio-kultural pada masa awal perkembangannya, dapat dipastikan bahwa ekspansi Islam ke Barat maupun Timur telah membawa dampak yang cukup signifikan bagi pluralitas pemahaman keberagaman umat Islam. Ekspansi ini tidak hanya membawa kepada asimilasi budaya, tetapi juga kepada asimilasi ilmu pengetahuan. Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya bahwa unsur-unsur filsafat Yunani sudah menjadi alat untuk membangun argumen-argumen yang banyak menyentuh kepada atribut ketuhanan.
            Berdasarkan itu pula, maka berbagai hal yang menjadi kemungkinan melatarbelakangi timbulnya faham jabariah ini yaitu; pertama, bahwa faham ini murni menjadi kerangka pikir umat Islam pada masa itu karena adanya benturan peradaban Arab dan Yunani. Benturan ini nampaknya mencoba menafsirkan suatu bentuk pemahaman keagamaan yang dibangun atas dasar metode filsafat yang memang telah mereka miliki sebelumnya, (terutama Aristotelianisme) yang kemudian dielaborasi ke dalam pemahaman terhadap nash (Al-Qur’an dan Hadis).
            Kedua, bahwa faham ini sengaja dikembangkan untuk menjadi alat justifikasi dan legitimasi politis kekuasaan pada masa itu, bahkan melakukan mihnah (pemeriksaan faham pribadi, inquisition), dan menyiksa serta menjebloskan siapa saja yang tidak sefaham dengan penguasa. Masyarakat masa itu nampak dibiarkan untuk memahami bahwa apa yang terjadi pada mereka adalah sebuah takdir, sehingga sikap apatis ini tidak lagi dikhawatirkan dapat mengguncang kekuasaan. Diskursus teologis ini juga dibiarkan oleh penguasa agar masyarakat hanya disibukkan dengan masalah khilafiyah serta melupakan masalah-masalah politik.
Di sisi lain, kemelut politik yang berlarut-larut dan meminta banyak korban jiwa telah memunculkan perasaan traumatis dan menggiring sebagian kaum muslimin untuk bersikap pragmatis. Lambat laun masyarakat Islam pada masa itu menerima secara penuh kekuasaan Dinasti Umayyah dan mendukung program-programnya. Mereka memandang bahwa ekspansi militer dan politik dalam semangat pembebasan bangsa-bangsa tertindas yang telah dimulai sejak kekhalifahan sebelumnya perlu dilanjutkan demi kejayaan Islam sendiri, sementara pergolakan politik tentang siapa yang harus menjadi pemimpin dan penguasa hanya akan menghabiskan energi. Sikap defensif inilah yang nampaknya ikut pula mewarnai pemahaman keagamaan umat Islam masa itu sehingga berkembang menjadi faham teologi.

C. Penutup
            Islam dalam diskursus teologisnya hampir tidak henti-hentinya untuk diperbincangkan. Namun tidak jarang pemahaman terhadap normativitas dan historisitas agama menimbulkan kekerasan dan radikalisme atas nama agama, terlebih lagi jika diboncengi dengan kepentingan-kepentingan politis untuk dapat mengabsahkan tindakan dan kekuasaan. Pemandangan seperti ini telah sering ditemukan dalam bentangan panjang sejarah Islam dalam bentuk pluralistik pemahaman keagamaan.
            Bagaimanapun juga, corak-corak pemahaman keagamaan ini telah membawa bias panjang kepada sikap personal dari penganutnya. Jika jabariah yang menjadi dasar pemahamannya, maka yang muncul selanjutnya adalah ekspresi keterpaksaan dalam berbuat dan bertindak. Akibatnya, kepasifan dan jiwa apatis ini menghilangkan produktifitas akal dan nilai-nilai progresifitas yang sebenarnya perlu hidup dan dihidupkan dalam mengemban amanah kekhalifahan di muka bumi.

DAFTAR PUSTAKA


Abu Zahrah, Muhammad. Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah, diterjemahkan oleh Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib dalam judul Aliran Politik dan ‘Aqidah dalam Islam .Cet. I; Jakarta: Logos, 1996.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1971.
Intire, MC. “Free Will and Predestination” The Encyclopedia of Religion, volume 16 Cet. X; New York: Macmillan Publishing Company, 1993.
Jahja, Zurkani. Teologi Al-Ghazali; Pendekatan Metodologi Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban; Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, kemanusiaan, dan Kemoderenan. Cet. II; Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992.
Maghfur W, Muhammad. Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam .Cet. I; Bangil: al-Izzah, 2002.
Nasution, Harun. Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran. Cet. V; Bandung: Mizan, 1998.
__________ .Teologi Islam; Aliran-aliran, Sejarah Analisa dan Perbandingan. Cet. V; Jakarta: UI Press, 1986.
Rahman, Jalaluddin. Konsep Perbuatan Manusia Menurut Quran; Suatu Kajian Tafsir Tematik .Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Rakhmat, Jalaluddin. Reformasi Sufistik; „Halaman Akhir“ Fikri Yathir. Cet. III; Bandung: Pustaka Hidayah, 2002.
Rusyadi, Hafifi. Kamus Arab-Inggris-Indonesia .Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1994.]
al-Syak’ah, Mustofa Muhammad. Islam bi la Mazahib, diterjemahkan oleh Basalamah dengan judul Islam tidak Bermazhab. Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1994.
Ya’qub, Hamzah. Filsafat Agama; Titik Temu Akal dengan Wahyu. Cet. I; Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar