JABARIAH
(Pengaruh Sosiologis Masyarakat
serta
Dalil-dalil yang Mendukung Faham dan
Ajarannya)
Oleh: Muh. Ghazali Rahman
A. Pendahuluan
Ada
dua tantangan besar yang menjadi masalah penting dan menuntut pemecahan bagi
cendekiawan muslim pada abad ini. Pertama, pentingnya mengenal dan
mengetahui secara benar ajaran Islam yang murni sebagai bentuk filsafat sosial
dan keyakinan ketuhanan, aturan pola pikir, dan kepercayaan yang konstruktif,
komprehensif, dan akan mengantar manusia kepada kebahagiaan. Kedua,
pentingnya mengenal dan mengetahui kondisi dan tuntutan zaman. Demikian pula
halnya dengan kemampuan membedakan dan memisahkan produk pemikiran dari
fenomena-fenomena degresi yang memicu tumbuh dan berkembangnya segala bentuk
dekadensi.
Salah satu hal yang bisa
menyesatkan akal manusia dan menyeretnya dalam kesalahan ialah sejarah
kehidupan orang-orang saleh. Tentang hal itu pula Francis Bacon seperti yang
dikutip Muthahhari mengatakan bahwa salah satu hal yang bisa menipu akal ialah
sejarah perjalanan orang-orang dahulu. Bahkan ia menggambarkannya sebagai
berhala. Mereka adalah berhala-berhala yang menyesatkan dan menipu manusia,
karena ketika manusia melihat apa yang telah dilakukan kedua orang tuanya, ia
pun melaksanakan persis apa yang mereka lakukan. Jalan dan sejarah orang-orang
dahulu tidak memberikan kesempatan kepada pewarisnya untuk berpikir bebas,
bahkan menghalangi untuk menggunakan pikiran bebasnya.
Sejalan dengan itu, Islam
sebagai agama wahyu yang diturunkan kepada umat manusia melalui utusan-Nya
dapat disebut bersifat historikal, yakni menyatu dengan pengalaman hidup
manusia yang direfleksikan dalam sejarah. Kenyataan ini terbukti dengan jelas
dalam pertumbuhan historis faham keagamaan Islam. Masalah pemahaman keagamaan
atau teologis pertama yang muncul dalam Islam justru merupakan kelanjutan
langsung dari peristiwa politik dan historis.
Bagaimanapun, bagi seseorang
yang ingin memberikan pandangan ke dalam bentuk dan pertumbuhan sikap serta ide
religiusitas dalam islam, itu lebih menguntungkan untuk memulainya dari
permulaan dengan mengikuti sejarah yang terbentang. Ini akan menempatkan
masing-masing masalah pada tempatnya yang tepat dan membantu mengangkat
kepentingan historis dan religius ke dalamnya untuk kemudian memberikan
kemungkinan penilaian secara keseluruhan.
Suatu faham keagamaan dalam
dialektika tentang atribut ketuhanan yang diformulasikan sebagai sebuah
doktrin, bukan lagi sebuah persoalan tentang sikap yang lebih praktis, bahkan
dapat menjadi suatu yang ekstrem untuk dipertahankan. Hal inilah yang menjadi
diskursus berlarut-larut dalam sejarah Islam dari masa ke masa. Seperti halnya
faham jabariah yang akan dibahas dalam makalah ini merupakan bagian dari alur
sejarah teologi Islam yang muncul dalam perjalanan sejarah setelah masa
kenabian.
Namun demikian, perbedaan
mazhab-mazhab di bidang akidah tidak sampai menyentuh inti akidah itu sendiri,
tetapi hanya mengenai masalah-maslah filosofis di luar persoalan keesaan Allah,
keimanan kepada para Rasul, para malaikat, hari akhir, dan berbagai ajaran Nabi
yang tidak mungkin lagi ada peluang untuk memperdebatkannya.
Persoalan-persoalan khilafiyah hanya berputar di sekitar kebebasan dan
keterpaksaan manusia, pelaku dosa besar dan hukumnya, serta apakah Alqur’an
makhluk atau bukan makhluk.
B. Pembahasan
Jabariyah secara harfiah
berasal dari lafaz al-Jabr, yang berarti paksaan. Lafaz ini merupakan
antonim lafaz al-Qadr (kemampuan, kekuasaan). Secara terminologis, jabariah
berarti menyandarkan perbuatan manusia kepada Allah, yaitu mazhab kalam yang
menafikan perbuatan manusia secara hakiki dan menisbatkannya kepada Allah
semata. Faham jabariah mulai berkembang pada awal masa pemerintahan Bani
Umayyah. Meskipun sebagian sejarahwan merasa kesulitan untuk mengetahui siapa
yang pertama-tama melahirkan faham jabariah yang kemudian berkembang menjadi
sebuah mazhab, namun lebih banyak yang meriwayatkan bahwa faham ini awalnya
dibawa oleh al-Ja’d ibn Dirham yang kemudian dikembangkan oleh muridnya yaitu
Jahm ibn Shafwan.
Faham jabariah yang dalam
bahasa Inggris dikenal dengan istilah fatalisme atau predestination ini,
memahami bahwa nasib manusia dalam segala bentuknya di dunia dan di akhirat
telah ditentukan langsung oleh Tuhan sejak semula. Manusia dalam pandangan
aliran ini banyak bersifat pasif, menyerahkan segala-galanya kepada nasib dan
untung yang langsung ditentukan oleh Tuhan, dan usaha manusia untuk menentukan
nasib dan untungnya dipandang tidak bermanfaat. Faham jabariah juga beralasan
bahwa seandainya manusia bebas berbuat, berarti ia menjadi sekutu Allah, atau
sekurang-kurangnya bisa mengadakan perbuatan yang mungkin tidak tunduk kepada
kehendak Allah. Hal ini dinilai bertentangan dengan sifat kekuasaan Allah yang
mutlak.
Mengenai faham jabariyah ini,
antara lain dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Manusia tidak dapat menciptakan perbuatannya. Oleh karena itu, apapun
perbuatan yang menimpa dan berasal dari manusia tidak dapat dinisbatkan
kepadanya. Sebab, manusia tidak mempunyai kemampuan (istitha’ah).
Sebaliknya, manusia terpaksa untuk melakukan perbuatan tersebut dan juga tidak
mempunyai kemampuan, kehendak, serta pilihan.
2. Menafikan akal secara hakiki dari manusia, dan menisbatkannya kepada Allah
Swt.
3. Pahala dan dosa semuanya merupakan paksaan dari Allah tanpa disertai
alternatif yang diberikan kepada manusia.
4. Masuk surga dan neraka juga merupakan paksaan Allah Swt. Dan manusia tidak
dapat menentukan apa-apa.
5. Tugas dan tanggung jawab syar’i merupakan tanggungjawab yang
dipaksakan oleh Allah kepada manusia.
6. Allah tidak dapat dideskripsikan dengan sifat-sifat ciptaan-Nya. Sebab,
deskripsi itu akan menyebabkan terjadinya duplikasi.
7. Ilmu Allah diakui sebagai sifat baru dan tidak tetap.
8. Aktivitas penghuni surga dan neraka adalah terbatas. Surga dan neraka akan
hancur setelah penghuninya memasuki keduanya. Ini berdasarkan konsepsi literal
bahwa Tuhan adalah Zat yang Maha Pertama dan Terakhir.
9. Kekufuran dan keimanan berhubungan dengan ma’rifah kepada Allah
semata. Iman tidak dapat dibagi menjadi pembenaran kalbu, pernyataan lisan dan
tindakan fisik. Karena itu, siapa saja yang lisannya menyatakan penolakan,
sebenarnya tidak dapat dituduh kafir.
Oleh Harun Nasution, faham ini
dipertegas dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1.Kedudukan akal yang rendah.
2.Ketidakbebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan.
3.Kebebasan berpikir yang diikat dengan banyak dogma
4.Ketidakpercayaan kepada sunnatullah dan kausalitas.
5.Terikat kepada arti tekstual dari Al-Qur’an dan Hadis.
6.Statis dalam sikap dan berpikir.
Faham Jabariyah ini kemudian
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
1. Jabariyah khalisah (jabariyah murni);
yaitu kelompok yang berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kekuatan apapun.
Manusia diilustrasikan oleh Harun Nasution sebagai wayang yang digerakkan
dalang. Ini merupakan pandangan kelompok Jahm ibn Shafwan (Jahmiyah).
2. Jabariyah mutawassitah (jabariah
moderat); yaitu kelompok yang berpendapat bahwa manusia mempunyai kemampuan,
namun tidak mempunyai pengaruh.
Adapun
di antara sekian banyak dalil-dalil yang menjadi rujukan faham jabariah ini
antara lain yaitu;
مَآاَصَابَ
مِنْ مُصِيْبَةٍ في اْلأَرْضِ وَلاَفي
اَنْفُسِكُمْ اِلاَّ في كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ اَنْ نَبْرَاَهَا .
اِنَّ ذَالِكَ عَلي اللهِ يَسِيْرٌ (22)
Artinya:
“Tiada suatu bencanapun yang
menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis
dalam kitab (Lauh al-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang
demikian itu adalah mudah bagi Allah.”
... فَيَغْفِرُ لِمَنْ يَشَآءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَآءُ وَالله ُعَلَي
كُلِّ شَيْءًٍقَدِيْرٌ (284)
Artinya:
“… Maka Allah mengampuni siapa
yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah maha
kuasa atas segala sesuatu.”
...قُلْ اِنَّ الْفَضْلَ بِيَدِ الله ِيُؤْتِيْهِ مَنْ يَشَآء ُ...
(73)
يَخْتَصُّ بِرَحْمَتِهِ مَنْ يَشَآء ُ...
(74)
Artinya:
“… Katakanlah: “sesungguhnya
karunia itu di tangan Allah, Allah memberikan karunia-Nya kepada siapa yang
dikehendaki-Nya…”. “Allah menentukan rahmat-Nya kepada siapa yang
dikehendaki-Nya…”
... اِنَّ الحُكْمُ إلاَّ للهِ يَقُصُّ الحَقَّ وَهُوَ خَيْرُالفَصِلِيْنَ
(57)
Artinya:
“…Menetapkan hukum itu
hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan
yang paling baik”.
وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ...
(61)
Artinya:
“Dan Dialah yang mempunyai
kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya…”
... قُلْ اِنَّ الأَمْرَكُلَّهُ لِلَّهِ ... قُلْ لَوْكُنْتُمْ فيِْ
بُيُوْتِكُمْ لَبَرَزَ الَّذِيْن كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقَتْلُ اِليَ مَضَاجِعِهِمْ...
(154)
Artinya:
“… katakanlah: “sesungguhnya
urursan itu seluruhnya di tangan Allah”…katakanlah: “sekiranya kamu berada di
rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu ke
luar juga ke tempat mereka terbunuh”.
اَوَلَمْ يَرَوْااَنَّ الله َيَبْسُطُ
الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَآءُ وَيَقْدِرَ...(37)
Artinya:
“Dan apakah mereka tidak
memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah melapangkan rezki bagi siapa yang
dikehendakinya…”
وَلاَتَقُوْلَنَّ لِشَايْءٍ اِنّيْ فَاعِلٌ
ذَلِكَ غَدًا (23) اِلآّاَنْ يَشَآءَ الله ُوَزْكُرْرَبَّكَ اِذَانَسِيْتَ وَقُلْ عَسَى
اَنْ يَهْدِيَنِ رَبِّيْ لأَِقْرَبَ مِنْ هَذَارَشَدًا (24)
Artinya:
“Dan janganlah sekali-kali
kamu mengatakan terhadap sesuatu: “sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok
pagi” (23) “Kecuali (dengan menyebut) “Insya Allah”. Dan ingatlah kepada
Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah: “mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku
petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini”(24).
... وَلاَ تُطِعْ مَنْ اَغْفَلْنَاقَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَاوَتَّبَعَ
هَوَىْهُ وَكَانََ اَمْرُهُ فُرُطًا (28)
Artinya:
“… dan janganlah kamu mengikuti orang yang
hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya
dan melampaui batas”.
فَمَنْ يُرِدِالله ُاَنْ يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ
صَدْرَهُ لِلإسْلَمِ وَمَنْ يُرِدْ اَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا.. (125)
Artinya:
“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan
memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk Islam. Dan
barangsipa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan
dadanya sesak lagi sempit”.
وَالله ُخَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُوْنَ
(96)
Artinya:
“Allah yang menjadikan kamu
sekalian dan apa-apa yang kamu kerjakan”.
خَتَمَ الله ُعَلَي قُلُوْبِهِمْ وَعَلَي
سَمْعِهِمْ وَعَلَي أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ ...(7)
Artinya:
“Allah telah mengunci mati
hati dan pendengaran mereka dan penglihatan mereka ditutup…”.
Demikianlah
beberapa dari dalil-dalil yang menjadi sandaran dan rujukan faham jabariyah
dalam mempertahankan pendapat mereka sehingga dapat dilihat suatu sikap yang
fatalis dari penganut faham ini. Dalil-dalil ini membingkai pemahaman mereka
dengan berpendapat bahwa apapun yang menimpa pada dunia dan pada diri seorang
manusia, termasuk tindakannya, adalah pelaksanaan dari ketentuan Allah dalam
catatan sejak zaman azali, dan manusia tidak sedikitpun dapat mengubahnya.
Begitu
pula masalah pahala dan dosa bukanlah kompetisi manusia untuk memahami, dan
hanya menjadi wewenang Allah semata. Allah memberikan pahala kepada siapa saja
yang dikehendaki-Nya, dan menyiksa siapa saja yang dikehendakinya pula.
Pemberian pahala, kebahagiaan, termasuk surga kepada hamba-Nya adalah
semata-mata karena kemurahan Allah saja, bukan karena kebaikan dari tindakan
manusia. Meskipun manusia berusaha dengan berbuat baik untuk mendapatkan
kebahagiaan, namun Allah jualah yang menentukan apakah perbuatan baiknya itu
membawa kebahagiaan atau tidak, sebab segala keputusan hanya ada di tangan
Allah.
Faham
keagamaan yang dikembangkan oleh penganut jabariah ini dipandang absurd oleh
Nurcholish, apalagi jika dihubungkan dengan konsep pahala dan dosa yang sangat
sentral dan esensial dalam agama. Namun menurut Cak Nur kemudian, pada dasarnya
faham ini memiliki konsistensi yang tinggi dalam suatu inti faham ketuhanan
dalam Islam, yakni Keemahakuasaan Allah. Kemahakuasaan Allah dalam kerangka
pikir jabariah dapat dipahami hanya jika tidak ada suatu kekuasaan atau
kemampuan lain di luar Allah. Allah dengan sifat-Nya yang mutlak tak
tertandingi akan nampak ambivalen jika manusia memiliki kemampuan yang
independen.
Di
lain pihak, jika Mu’tazilah ataupun Qadariah dikenal dengan rasionalitasnya,
maka sungguh menarik ketika ternyata yang pertama kali benar-benar menggunakan
unsur-unsur filsafat Yunani dalam penalaran keagamaan adalah seorang Jahm ibn
Shafwan yang justru penganut faham jabariah. Jahm mendapatkan bahan untuk
penalaran jabariahnya dari Aristotelianisme. Aristotelianisme adalah faham
Aristoteles yang mengatakan bahwa Tuhan adalah suatu kekuatan yang serupa
dengan kekuatan alam yang hanya mengenal keadaan-keadaan umum (universal) tanpa
mengenal keadaan-keadaan khusus (parsial). Oleh karenanya, maka Tuhan tidak
mungkin memberi pahala dan dosa, dan segala sesuatu yang terjadi, termasuk pada
manusia adalah dinamika hukum alam.
Meninjau
faham ini pada dinamika sosio-kultural pada masa awal perkembangannya, dapat
dipastikan bahwa ekspansi Islam ke Barat maupun Timur telah membawa dampak yang
cukup signifikan bagi pluralitas pemahaman keberagaman umat Islam. Ekspansi ini
tidak hanya membawa kepada asimilasi budaya, tetapi juga kepada asimilasi ilmu
pengetahuan. Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya bahwa unsur-unsur
filsafat Yunani sudah menjadi alat untuk membangun argumen-argumen yang banyak
menyentuh kepada atribut ketuhanan.
Berdasarkan
itu pula, maka berbagai hal yang menjadi kemungkinan melatarbelakangi timbulnya
faham jabariah ini yaitu; pertama, bahwa faham ini murni menjadi
kerangka pikir umat Islam pada masa itu karena adanya benturan peradaban Arab
dan Yunani. Benturan ini nampaknya mencoba menafsirkan suatu bentuk pemahaman
keagamaan yang dibangun atas dasar metode filsafat yang memang telah mereka
miliki sebelumnya, (terutama Aristotelianisme) yang kemudian dielaborasi ke
dalam pemahaman terhadap nash (Al-Qur’an dan Hadis).
Kedua,
bahwa faham ini sengaja dikembangkan untuk menjadi alat justifikasi dan
legitimasi politis kekuasaan pada masa itu, bahkan melakukan mihnah (pemeriksaan
faham pribadi, inquisition), dan menyiksa serta menjebloskan siapa saja
yang tidak sefaham dengan penguasa. Masyarakat masa itu nampak dibiarkan untuk
memahami bahwa apa yang terjadi pada mereka adalah sebuah takdir, sehingga
sikap apatis ini tidak lagi dikhawatirkan dapat mengguncang kekuasaan.
Diskursus teologis ini juga dibiarkan oleh penguasa agar masyarakat hanya
disibukkan dengan masalah khilafiyah serta melupakan masalah-masalah
politik.
Di sisi lain, kemelut politik
yang berlarut-larut dan meminta banyak korban jiwa telah memunculkan perasaan
traumatis dan menggiring sebagian kaum muslimin untuk bersikap pragmatis.
Lambat laun masyarakat Islam pada masa itu menerima secara penuh kekuasaan
Dinasti Umayyah dan mendukung program-programnya. Mereka memandang bahwa
ekspansi militer dan politik dalam semangat pembebasan bangsa-bangsa tertindas
yang telah dimulai sejak kekhalifahan sebelumnya perlu dilanjutkan demi
kejayaan Islam sendiri, sementara pergolakan politik tentang siapa yang harus
menjadi pemimpin dan penguasa hanya akan menghabiskan energi. Sikap defensif
inilah yang nampaknya ikut pula mewarnai pemahaman keagamaan umat Islam masa
itu sehingga berkembang menjadi faham teologi.
C. Penutup
Islam
dalam diskursus teologisnya hampir tidak henti-hentinya untuk diperbincangkan.
Namun tidak jarang pemahaman terhadap normativitas dan historisitas agama
menimbulkan kekerasan dan radikalisme atas nama agama, terlebih lagi jika
diboncengi dengan kepentingan-kepentingan politis untuk dapat mengabsahkan
tindakan dan kekuasaan. Pemandangan seperti ini telah sering ditemukan dalam
bentangan panjang sejarah Islam dalam bentuk pluralistik pemahaman keagamaan.
Bagaimanapun
juga, corak-corak pemahaman keagamaan ini telah membawa bias panjang kepada
sikap personal dari penganutnya. Jika jabariah yang menjadi dasar pemahamannya,
maka yang muncul selanjutnya adalah ekspresi keterpaksaan dalam berbuat dan
bertindak. Akibatnya, kepasifan dan jiwa apatis ini menghilangkan produktifitas
akal dan nilai-nilai progresifitas yang sebenarnya perlu hidup dan dihidupkan
dalam mengemban amanah kekhalifahan di muka bumi.
DAFTAR
PUSTAKA
Abu
Zahrah, Muhammad. Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah, diterjemahkan oleh
Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib dalam judul Aliran Politik dan ‘Aqidah
dalam Islam .Cet. I; Jakarta: Logos, 1996.
Departemen
Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1971.
Intire,
MC. “Free Will and Predestination” The Encyclopedia of Religion, volume
16 Cet. X; New York: Macmillan Publishing Company, 1993.
Jahja,
Zurkani. Teologi Al-Ghazali; Pendekatan Metodologi Cet. I;
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Madjid,
Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban; Sebuah Telaah Kritis tentang
Masalah Keimanan, kemanusiaan, dan Kemoderenan. Cet. II; Jakarta: Yayasan
Wakaf Paramadina, 1992.
Maghfur
W, Muhammad. Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam .Cet.
I; Bangil: al-Izzah, 2002.
Nasution,
Harun. Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran. Cet. V; Bandung:
Mizan, 1998.
__________ .Teologi Islam; Aliran-aliran, Sejarah Analisa dan Perbandingan. Cet.
V; Jakarta: UI Press, 1986.
Rahman,
Jalaluddin. Konsep Perbuatan Manusia Menurut Quran; Suatu Kajian Tafsir
Tematik .Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Rakhmat,
Jalaluddin. Reformasi Sufistik; „Halaman Akhir“ Fikri Yathir. Cet. III;
Bandung: Pustaka Hidayah, 2002.
Rusyadi,
Hafifi. Kamus Arab-Inggris-Indonesia .Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta,
1994.]
al-Syak’ah,
Mustofa Muhammad. Islam bi la Mazahib, diterjemahkan oleh Basalamah
dengan judul Islam tidak Bermazhab. Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press,
1994.
Ya’qub,
Hamzah. Filsafat Agama; Titik Temu Akal dengan Wahyu. Cet. I; Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya, 1992.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar