Kamis, 20 Februari 2014

IBADAH HAJI PERSPEKTIF ALQURAN



IBADAH HAJI PERSPEKTIF ALQURAN
(Kajian Spiritual dan Sosial)
Oleh: Muhammad Gazali Rahman

I.   PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Salah satu hal yang melekat dan menjadi ciri khas suatu agama adalah hadirnya ritus-ritus formal yang melembaga dan menjadi media komunikasi secara vertikal kepada sang Khalik sekaligus komunikasi horizontal kepada sesama makhluk. Ritus formal tersebut kemudian dilegalkan secara doktrinal sebagai ibadah yang bernilai pahala dan dijanjikan dengan pahala di sisi-Nya. Keberadaan ritus formal dalam sebuah agama sekaligus juga membedakan satu agama dengan agama lainnya meskipun secara subtantif terdapat praktek yang dapat dinilai sama.
Terkait dengan itu, ibadah haji yang menjadi fokus pembahasan makalah ini juga merupakan salah satu bagian dari ibadah formal dalam Islam yang bersifat wajib bagi setiap muslim yang “mampu” menunaikannya. Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam yang dimensi vertikal dan horizontalnya memiliki makna yang tinggi. Artinya, dalam ibadah haji, habl min Allah dan habl min al-nas dapat dirasakan sebagai kesatuan kesadaran religius yang tinggi. Seorang yang sedang berhaji dapat menghayati perannya sebagai ‘abid Allah (dalam dimensi vertikal) dan sebagai khalifah (dalam dimensi horizontal).
Oleh karena itu, ibadah haji juga sering bermakna sebagai kegiatan transformatif. Pada awalnya yang mengalami transformasi adalah orang-orang yang menjalani ibadah haji itu sendiri. Tetapi pada proses selanjutnya masyarakat, yang dipimpin oleh mereka yang pernah beribadah haji ini, juga dapat mengalami transformasi. Pengalaman keagamaan individual dari pribadi yang pernah naik haji kemudian diproses menjadi milik sosial.
Dibanding dengan ibadah lainnya, ibadah haji relatif dapat mempengaruhi dan mengubah perilaku seseorang. Dalam arti positif, dapat meningkatkan kualitas pribadi manusia. Mereka yang dapat meningkatkan pribadinya dengan ibadah haji maka ibadah hajinya disebut haji mabrur. Selain itu, rangkaian rukun dalam ibadah haji juga secara simbolik memiliki makna sangat dalam yang juga relevan dengan kehidupan manusia. Mulai dari tawaf hingga wukuf di Arafah, merupakan pengalaman simbolik yang maknanya dapat digali dan direlevansikan dengan setiap aspek kehidupan manusia.
B.   Rumusan Masalah
Untuk membatasi uraian makalah ini maka masalah yang diangkat dirumuskan dalam beberapa poin berikut:
1.      Bagaimana Alquran menjelaskan kedudukan ibadah haji?
2.      Bagaimana aktualisasi makna simbolik ibadah haji dalam kehidupan spritual dan sosial?
C.   Metode yang Digunakan
Penelitian ini merupakan penelitian tematik (maudhu‘i), yakni metode tafsir yang dilakukan dengan cara mengeksplorasi ayat-ayat yang relevan dengan tema yang diangkat. tafsir yang membahas tentang masalah-masalah Alquran yang memiliki kesamaan makna atau tujuan dengan cara menghimpun ayat-ayatnya, untuk kemudian melakukan penalaran (analisis) terhadap isi kandungannya menurut cara-cara tertentu dan berdasarkan syarat-syarat tertentu untuk menjelaskan makna-maknanya dan mengeluarkan unsur-unsurnya serta menghubung-hubungkan antara yang satu dengan yang lain dengan korelasi yang bersifat komprehensif. Pengembangan interpretasi dalam kajian ini tidak menutup kemungkinan terlibatnya metode tahlili, ijmali, maupun muqarin. Untuk melacak ayat-ayat yang terkait dengan ibadah haji maka teknik yang digunakan adalah dengan mencari ayat-ayat berdasarkan kata kunci atau lafaz hajj, manasik, umrah, thawaf, Ka’bah/bait al-haram, dan hurum/ihram. Penelusuran lafaz ini dilakukan dengan menggunakan Mu’jam Mufahras li Alfaz al-Qur’an.
II.    PEMBAHASAN
A.  Klasifikasi Ayat tentang Ibadah Haji
            Mengacu kepada Mu’jam Mufahras li Alfaz al-Qur’an, dijumpai sejumlah ayat yang terkait dengan ibadah haji berdasarkan kata kunci yang telah disebutkan, yakni sebagai berikut:
-          QS al-Baqarah/2: 125, 128, 158, 189, 196-203 (12 ayat).
-          QS A<li Imran/3: 96-97 (dua ayat).
-          QS al-Hajj/22: 26-37 (dua belas ayat).
B.   Ibadah Haji; Pengertian dan Hukumnya
Kata “haji” (hajj) dalam Mu’jam Maqayis al-Lugah dikatakan al-ha wa al-jim ushuli arbatu fa al-awwalu al-qashd, wa kulla qashdin hajjun, tsumma akhtassu bi haza al-ismu qashdu ila al-bayti al-haramu lil nasak yaitu (menyengaja/al-qashdu ila), juga bisa berarti al-nawa (maksud atau tujuan). Menurut istilah fikih, haji ialah sengaja menuju ke Baitullah dan tempat-tempat tertentu untuk melaksanakan amalan-amalan ibadah tertentu. Kata haji dalam bahasa Inggris disebut pilgrim yang memiliki arti kegiatan yang dilakukan melalui sebuah perjalanan. Muatan spiritual yang terkandung di dalamnya membedakan perjalanan haji dengan seluruh jenis perjalanan lainnya.
Tempat-tempat tertentu yang dimaksud dalam definisi tersebut selain (Ka’bah dan Mas’a tempat sa’i), juga Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Waktu tertentu yang dimaksud ialah bulan-bulan haji yang dimulai pada tanggal 8 Zulhijjah ketika umat Islam bermalam di Mina, wukuf (berdiam diri) di Padang Arafah pada tanggal 9 Zulhijjah, bermalam di Muzdalifah, dan berakhir setelah melempar jumrah (melempar batu simbolisasi setan) pada tanggal 10, 11, dan 12 Zulhijjah.
Haji dalam arti harfiah lainnya adalah mengunjungi tempat-tempat tertentu yang dihormati, dengan tujuan mendekatkan diri kepada Tuhan yang disembah. Sedangkan menurut istilah agama, haji ialah mengunjungi Ka’bah dan sekitarnya di kota Mekkah untuk mengerjakan ibadah tawaf, sa’i, wukuf di Arafah, dan sebagainya, semata-mata demi melaksanakan perintah Allah dan meraih keridaan-Nya. Makna harfiah ini memiliki arti yang sangat dekat dengan kata al-’umrah yang secara etimologi berarti ziarah (الإعتمار), yakni mengunjungi Ka’bah untuk melakukan thawaf di sekelilingnya, sa’i antara Shafa dan Marwah dan kemudian mencukur rambut.
Menurut Wahbah al-Zuhayli, haji diwajibkan pada akhir tahun 9 H, dengan merujuk pada turunnya QS Ali Imran/3: 97. Pendapat ini juga dianut mayoritas ulama. Seumur hidupnya, Rasulullah saw. melakukan haji hanya sekali, yakni pada tahun 10 H, dengan diikuti kurang lebih 100 ribu orang sahabat yang kemudian populer dengan sebutan haji wada’ atau haji perpisahan. Dinamakan demikian karena pada saat itu di Arafah turun ayat Alquran yang menyatakan bahwa Islam telah sempurna, dan diridai sebagai agama untuk manusia seperti tercantum dalam QS al-Ma’idah/5: 3.
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلاَّ مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَن تَسْتَقْسِمُواْ بِالأَزْلاَمِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُواْ مِن دِينِكُمْ فَلاَ تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ فَإِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ ﴿٣﴾
Terjemahnya:
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.
Perbedaan antara haji dan umrah adalah: (a) ibadah haji dilakukan pada waktu yang telah ditentukan, yakni bulan Syawal, Zulqaidah, dan sepuluh hari bulan Zulhijjah (QS al-Baqarah/2: 189, 197), sedangkan umrah dapat dilaksanakan kapan saja; (b) ibadah umrah tidak perlu melaksanakan wukuf di Arafah, sedangkan wukuf di Arafah merupakan salah satu rukun yang harus dijalankan dalam ibadah haji; (c) menyembelih binatang kurban diwajibkan dalam ibadah haji, namun tidak diwajibkan dalam ibadah umrah.
Kewajiban haji dan rangkaian ibadah di dalamnya secara jelas telah ditegaskan oleh Allah swt. sebagaimana termaktub dalam QS al-Baqarah/2: 196. Al-Suyut}i mengemukakan bahwa sebab turunnya ayat ini memiliki banyak versi yang satu sama lain berbeda namun terdapat pula yang senada dan bahkan saling menopang. Salah satu riwayat tersebut adalah versi yang diriwayatkan oleh Abu Hatim, Abu Nu’aym, ibn ‘Abd al-Barr, dari Ya’la bin Umayyah, bahwa seorang laki-laki berjubah yang semerbak dengan wangi-wangian za’faran menghadap kepada nabi saw. dan kemudian bertanya: “Ya Rasulullah, apakah yang harus saya lakukan dalam menunaikan umrah?” Lalu turunlah firman Allah: “وَأَتِمُّواْ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلّهِ”. Kemudian Rasulullah saw. bersabda seraya bertanya: “mana orang yang tadi menanyakan masalah ‘umrah itu?” Orang tadi menjawab: “Saya, ya Rasulullah saw.!” Kemudian Rasulullah saw. bersabda: “Tanggalkanlah bajumu, bersihkan hidung dan mandilah sesukamu, lalu kerjakanlah apa yang biasa engkau kerjakan pada waktu mengerjakan haji”.
Kedudukan haji sebagai ibadah yang wajib juga secara tegas diungkapkan dalam hadis berikut:
حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى قَالَ أَخْبَرَنَا حَنْظَلَةُ بْنُ أَبِي سُفْيَانَ عَنْ عِكْرِمَةَ بْنِ خَالِدٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ.
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Musa dia berkata, telah mengabarkan kepada kami Hanz}alah bin Abu Sufyan dari ‘Ikrimah bin Khalid dari Ibnu Umar berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Islam dibangun di atas lima (landasan); persaksian tidak ada tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad utusan Allah, mendirikan salat, menunaikan zakat, haji dan puasa Ramadan”.
            Dalam hadis lain juga diungkapkan tentang keutamaan haji mabrur yang derajatnya sama dengan iman kepada Allah dan rasul-Nya, dan jihad fi sabilillah sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari berikut:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ وَمُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ قَالَا حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ شِهَابٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ فَقَالَ إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ حَجٌّ مَبْرُورٌ.
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus dan Musa bin Isma‘il keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa’d berkata, telah menceritakan kepada kami Ibnu Syihab dari Sa’id bin al-Musayyab dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw. ditanya tentang Islam, manakah yang paling utama? Maka Rasulullah saw. menjawab: “Iman kepada Allah dan Rasul-Nya”. Lalu ditanya lagi: “Lalu apa?” Beliau menjawab: “Jihad fi sabilillah (berperang di jalan Allah). Lalu ditanya lagi: “Kemudian apa lagi?” Jawab Beliau saw.: “haji mabrur”.
            Seperti halnya ibadah puasa, ibadah haji dikenal oleh agama-agama selain Islam, namun terdapat perbedaan yang sangat menonjol antara ibadah haji yang disyariatkan oleh Islam dengan ibadah haji yang dipraktikkan oleh agama-agama lain. Misalnya dalam pandangan terhadap tempat-tempat yang dikunjungi dan tatacara pelaksanaannya. Oleh karena ibadah haji sudah dilakukan oleh umat-umat terdahulu, maka Mahmud Syaltut menyebut ibadah haji sebagai bentuk ibadah penyembahan manusia sejak zaman purba. Sebelum Islam, haji berarti penziarahan ke tempat-tempat tertentu untuk suatu penyembahan dan penyucian diri pada tuhan yang disembahnya.
وَأَتِمُّواْ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلّهِ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ وَلاَ تَحْلِقُواْ رُؤُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضاً أَوْ بِهِ أَذًى مِّن رَّأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِّن صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ فَإِذَا أَمِنتُمْ فَمَن تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ذَلِكَ لِمَن لَّمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ ﴿١٩٦﴾
Penggunaan kata atimmu/itmam (sempurnakanlah) pada ayat tersebut mengisyaratkan bahwa haji merupakan ibadah yang berat, umat Islam harus berusaha sekuat tenaga untuk mengerjakannya dengan sempurna. Kata itmam menuntut adanya keseriusan dan ketulusan, tidak dicampuri oleh tendensi lain yang bersifat keuntungan duniawi serta kemungkinan adanya sumber dana yang tidak jelas dalam biaya haji. Pelaksanaan ibadah haji juga tidak sepatutnya dikerjakan sekadar formalitas, asal-asalan tanpa berupaya meresapi dan menggali makna di balik simbol-simbolnya.
            Sebagaimana ibadah lainnya yang telah ditetapkan waktu dan cara pelaksanaanya, maka demikian pula pada ibadah haji. Waktu pelaksanaan ibadah haji ditegaskan dalam ayat selanjutnya pada QS al-Baqarah/2: 197.
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ...
            Setelah sebelumnya Allah menyebutkan haji dan umrah secara bersama-sama (menyatu) dalam QS al-Baqarah/2: 196, maka pada ayat 197 tersebut Allah kemudian menegaskan perbedaan waktu pelaksanaannya masing-masing. Untuk umrah, waktunya sepanjang tahun, sedangkan waktu untuk pelaksanaan haji hanya sekali dalam setahun.
            Aspek lain yang tak kalah pentingnya dan patut diperhatikan dalam pelaksanaan ibadah haji adalah larangan melakukan rafats, fusuq, dan jidal sebagaimana ditegaskan dalam QS al-Baqarah/2: 197.
فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ...
            Al-rafats adalah ucapan, sikap, dan perbuatan yang berbau seksual (pornografi-pornoaksi) yang berimplikasi pada hubungan badan/jima’. Jumhur ulama sepakat bahwa melakukan hubungan badan sebelum wuquf di Arafah berkonsekuensi rusak atau cacatnya (mufsid) ibadah haji. Fusuq ialah mengerjakan perbuatan maksiat, termasuk melanggar larangan-larangan tertentu dalam ibadah haji seperti berburu, memotong kuku, mencabut rambut, dan lain sebagainya. Sedangkan jidal, umumnya diartikan dengan berbantah-bantahan atau percekcokan yang mengarah kepada permusuhan dan putusnya silaturahim di antara sesama jamaah haji. Larangan pada ayat tersebut juga didukung oleh hadis nabi saw. yang diriwayatkan oleh Muslim, berikut:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ قَالَ يَحْيَى أَخْبَرَنَا و قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَتَى هَذَا الْبَيْتَ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَمَا وَلَدَتْهُ أُمُّهُ و حَدَّثَنَاه سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ عَنْ أَبِي عَوَانَةَ وَأَبِي الْأَحْوَصِ ح و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ مِسْعَرٍ وَسُفْيَانَ ح و حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ كُلُّ هَؤُلَاءِ عَنْ مَنْصُورٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ وَفِي حَدِيثِهِمْ جَمِيعًا مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ عَنْ سَيَّارٍ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَهُ.
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dan Zuhair bin Harb –Yahya berkata- telah mengabarkan kepada kami -Zuhair berkata- Telah menceritakan kepada kami Jarir dari Manshur dari Abu Hazim dari Abu Hurairah ia berkata; Rasulullah saw. bersabda: “Siapa yang mendatangi Baitullah ini (untuk haji atau umrah) tanpa merusaknya dengan perbuatan dan perkataan kotor, serta tidak berbuat maksiat, maka dia kembali pada keadaannya seperti baru lahir (bersih dari dosa).” Dan Telah menceritakannya kepada kami Sa’id bin Manshur dari Abu Awanah dan Abu al-Ahwash -dalam riwayat lain- Dan Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Waki‘ dari Mis’ar dan Sufyan -dalam riwayat lain- Dan Telah menceritakan kepada kami Ibnu al-Mutsanna telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far telah menceritakan kepada kami Syu’bah semua mereka itu dari Mansh>ur dengan isnad ini, dan di dalam hadis mereka semua tercantum; “Siapa yang menunaikan ibadah haji dengan tidak merusaknya dengan perbuatan dan kata-kata kotor.” Telah menceritakan kepada kami Sa’id bin Manshur telah menceritakan kepada kami Husyaim dari Sayyar dari Abu Hazim dari Abu Hurairah dari Nabi saw., semisalnya.
فِيهِ آيَاتٌ بَيِّـنَاتٌ مَّقَامُ إِبْرَاهِيمَ وَمَن دَخَلَهُ كَانَ آمِناً وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ الله غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ ﴿٩٧﴾

Terjemahnya:
Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.
Dalam menafsirkan makna “mampu” atau istit}a‘ah pada QS Ali Imran/3: 97 (وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً), al-Gazali berpendapat bahwa kriteria mampu tersebut terdiri atas dua bagian: Pertama, kemampuan melaksanakan sendiri. Hal itu dikarenakan kondisi tubuh yang sehat, perjalanan yang aman dan biaya yang cukup baik untuk keluarga yang ditinggalkan maupun untuk perjalanan. Kedua, kemampuan menyewa orang untuk menunaikan haji untuknya. Ia tidak mampu melaksanakan sendiri dikarenakan suatu penyakit. Namun secara finansial ia mampu membayar orang lain. Al-Ghazali membolehkan yang demikian, dengan sejumlah persyaratan. Diantaranya orang yang disewa adalah orang yang sudah pernah melaksanakan haji atas dirinya sendiri. Seorang anak dapat melakukan haji untuk orang tuanya, jika penyakit orang tuanya tidak memungkinnya untuk haji, seperti lumpuh atau penyakit yang menahun. Orang tua yang demikian masih masuk dalam kategori mampu. Adapun seorang anak yang memberikan uang kepada orang tuanya, lalu orang tuanya yang menyewa orang lain untuk melaksanakan hajinya, maka yang demikian tidak masuk dalam kategori mampu.
Ibadah haji berfungsi sebagai penyempurna keislaman seseorang. Dengan kata lain, seseorang tidak akan mencapai kesempurnaan beragama melainkan dengan haji. Bahkan orang yang mampu tetapi tidak melaksanakannya, disamakan kedudukannya dengan Yahudi dan Nasrani dalam kesesatannya. Pendapat ini didasarkan kepada hadis Nabi saw.: “Siapa yang mati sedangkan ia belum haji (sementara dirinya mampu), silahkan memilih antara mati sebagai orang Yahudi atau Nasrani ”.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى الْقُطَعِيُّ الْبَصْرِيُّ حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا هِلَالُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ مَوْلَى رَبِيعَةَ بْنِ عَمْرِو بْنِ مُسْلِمٍ الْبَاهِلِيِّ حَدَّثَنَا أَبُو إِسْحَقَ الْهَمْدَانِيُّ عَنْ الْحَارِثِ عَنْ عَلِيٍّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ مَلَكَ زَادًا وَرَاحِلَةً تُبَلِّغُهُ إِلَى بَيْتِ اللَّهِ وَلَمْ يَحُجَّ فَلَا عَلَيْهِ أَنْ يَمُوتَ يَهُودِيًّا أَوْ نَصْرَانِيًّا وَذَلِكَ أَنَّ اللَّهَ يَقُولُ فِي كِتَابِهِ )وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنْ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا( قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ وَفِي إِسْنَادِهِ مَقَالٌ وَهِلَالُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ مَجْهُولٌ وَالْحَارِثُ يُضَعَّفُ فِي الْحَدِيثِ.
Kepada yang mampu diwajibkan atas mereka sekali dalam hidupnya. Haji yang demikian dalam terminologi al-Ghazali dinamakan hajj al-Islam. Sementara haji yang dilakukan lebih dari sekali disebut sebagai haji sunat. Haji yang disebut pertama dipandang sah dan memenuhi kewajiban jika memenuhi lima syarat. Yaitu muslim, merdeka, dewasa, berakal dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan waktunya. Kelima syarat ini selain merupakan syarat sah haji, juga merupakan syarat berlakunya kewajiban haji atas seseorang.
Karena itu, seseorang yang telah mampu dan memenuhi kedua syarat tersebut (syarat sah haji dan syarat wajib haji), maka ia segera memenuhi kewajibannya. Boleh saja ia menundanya, namun jika ia meninggal sebelum melaksanakan kewajibannya, maka ia berdosa karenanya. Sedangkan kematiaannya tidak menjadikan kewajiban atas dirinya menjadi gugur. Karena itu, pihak keluarga harus menyisihkan biaya haji untuk menyewa orang lain menghajikannya, meskipun tidak ada wasiat untuk itu. Dalam pandangan al-Ghazali, hal demikian sama halnya dengan hutang. Sementara hutang harus dilunasi, dan pelunasannya diambil dari harta peninggalannya.
C.   Dimensi Ilahiah dan Insaniah Ibadah Haji
            Pondasi ibadah haji yang telah dirintis sejak nabi Adam as. dikukuhkan kembali pondasinya oleh nabi Ibrahim as. dengan membangun sisa-sisa reruntuhan Ka’bah yang sempat digilas oleh zaman panjang dari satu nabi ke nabi berikutnya. Diyakini bahwa di balik setiap perintah yang bersifat ibadah maupun larangan yang ditetapkan oleh Allah pasti memiliki maksud dan hikmah yang semuanya akan kembali kepada kepentingan manusia. Begitupula dalam ibadah haji, setiap ritual haji yang merupakan tapak tilas perjalanan nabi Ibrahim as. bersama putranya pada hakikatnya merupakan penegasan kembali tentang prinsip-prinsip ketauhidan yang diteladankan oleh kedua nabi tersebut yang intinya adalah:
1)      Pengakuan terhadap keesaan Tuhan serta penolakan terhadap segala macam dan bentuk kemusyrikan.
2)      Keyakinan dan kesadaran tentang adanya neraca keadilan Tuhan dalam kehidupan di dunia yang puncaknya akan diperoleh pula pada hari kebangkitan kelak.
3)      Keyakinan dan kesadaran tentang kemanusiaan yang bersifat universal dan multikultural yang bersatu dalam ummatan wahidah.
وأذن في الناس بالحج يأتوك رجالا وعلى كل ضامر يأتين من كل فج عميق ﴿٢٧﴾ لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ ﴿٢٨﴾  
Terjemahnya:
Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.
Supaya mereka menyaksikan berbagai manfa`at bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.
Di dalam QS al-Hajj/22: 27-28 dikemukakan bahwa salah satu tugas dan kewajiban para jamaah haji dalam melaksanakan kewajiban hajinya, adalah memahami dan menghayati berbagai hikmah dan manfaat yang terdapat di dalamnya. Semakin tinggi penghayatannya, maka akan semakin besar dampak positif yang diakibatkannya, baik untuk dirinya maupun untuk umat secara keseluruhan. Sebaliknya, jika tidak dibarengi dengan penghayatan, maka yang terjadi hanyalah sekadar pemenuhan pelaksanaan rukun Islam.
Senada dengan M. Quraish Shihab, seorang cendikiawan muslim Indonesia, Didin Hafidhuddin mengungkapkan adanya lima hikmah haji. Pertama, penyadaran kembali terhadap hakikat kemanusiaan sebagai makhluk yang lemah, yang memiliki ketergantungan yang tinggi kepada Khalik, sekaligus sebagai makhluk ijtima’iyah (sosial) yang selalu terikat kepada sesamanya. Kedua, menumbuhkan keikhlasan dalam bertauhid. Bahwa hanya kepada-Nya manusia menyembah dan hanya kepada-Nya pula manusia memohon pertolongan. Kalimat talbiyah yang diucapkan oleh para jamaah haji ketika mengawali ibadah haji, merupakan cerminan ketauhidan yang tulus.
Ketiga, pakaian ihram sebagai pakaian resmi jamaah haji sesungguhnya menyadarkan para jamaah haji bahwa nilai ketakwaan manusia di hadapan Allah bukan ditentukan oleh penampilan luar, melainkan oleh hati dan perilakunya. Semua manusia pada akhirnya akan kembali kepada Tuhannya dengan memakai dua helai kain yang sangat sederhana. Penanggalan pakaian keseharian pun mencerminkan bahwa di dalam kehidupan ini, pakaian-pakaian keseharian sering menimbulkan keangkuhan dan kesombongan, baik berupa pakaian jabatan, kesukuan, harta benda, dan lain-lain.
Keempat, seluruh aspek ibadah haji mencerminkan dinamika dan etos kerja yang tinggi, yang bergerak dari satu tempat ke tempat lain secara berkesinambungan, dan dari satu aktivitas ke aktivitas lainnya. Hal ini mencerminkan bahwa yang menjadi ciri utama kaum muslimin, dan terutama para jamaah haji adalah mereka yang hidupnya penuh dengan dinamika dan senantiasa berbuat yang terbaik bagi umat dan bangsanya sebagaimana diungkapkan pula dalam QS al-Insyirah/94: 5-8. Berbagai tantangan dan godaan, terutama godaan setan, akan dapat dilaluinya. Dalam menghadapi godaan setan tersebut diperlukan kekuatan, sebagai tercermin dalam ritual jumrah di Mina.
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً ﴿٥﴾ إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً ﴿٦﴾ فَإِذَا فَرَغْتَ فَانصَبْ ﴿٧﴾ وَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ ﴿٨﴾  
Terjemahnya:
Karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.
Kelima, menumbuhkan kesadaran ukhuwah islamiah. Jamaah haji disadarkan bahwa walaupun mereka memiliki perbedaan, baik perbedaan warna kulit, suku, bangsa, bahasa, dan adat istiadat, mereka tetap terikat dalam satu kesatuan akidah dan ibadah. Para jamaah haji pada hakikatnya adalah duta-duta pemersatu umat.
Berbagai hikmah dan pelajaran tersebut sesungguhnya menjadi transformasi hadirnya kesadaran transendental dan kesadaran sosial para jamaah haji ke arah yang lebih tajam dan lebih kuat, sehingga akan malahirkan sebuah gerakan kolektif secara berkesinambungan dari tahun ke tahun. Sebuah gerakan moral dan sosial yang akan berdampak pada bidang-bidang lainnya.
Sebagai napak tilas perjalanan kenabian, ibadah haji dimaksudkan untuk mewujudkan persamaan antara segala warna manusia dengan suatu jalan amaliah dan agar segenap manusia merasakan apa yang telah diperjuangkan dan diderita rasul dalam melaksanakan dakwahnya. Ibadah ini sekaligus dapat menjadi sarana untuk bermusyawarah karena berkumpulnya umat Islam dari segala penjuru dunia.
Ibadah haji adalah ibadah penutup segala urusan, sebab firman Allah swt: “Pada hari ini Kusempurnakan bagi kamu sekalian, agamamu, dan Aku telah sempurnakan nikmat-Ku untukmu, dan Aku rida Islam sebagai agamamu” (QS al-Ma’idah/5: 3) diturunkan pada waktu haji wada.
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلاَّ مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَن تَسْتَقْسِمُواْ بِالأَزْلاَمِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُواْ مِن دِينِكُمْ فَلاَ تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ فَإِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ ﴿٣﴾  

Terjemahnya:
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu Jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ibadah haji juga memiliki banyak keutamaan. Satu di antara keutamaannya adalah ampunan Allah. “Ada banyak jenis dosa, yang tidak akan ditebus kecuali dengan wukuf di Arafah”, kata Nabi saw. Wuquf di Arafah disepakati ulama sebagai salah satu dari rukun haji, selain ihram, tawaf, berlari-lari kecil antara bukit Safa dan Marwa (sa’i), dan bercukur (halq). Sebagai sebuah rukun, ia tidak boleh ditinggalkan atau tertinggal. Jika ditinggalkan maka haji tidak sah. Ini berbeda dengan wajib haji, yang boleh diganti dengan dam (denda).
Pelaksanaan haji mengandung makna yang dalam. Kedalaman maknanya tersimpan dalam simbol yang dikandungnya. Menurut al-Ghazali perjalanan dari rumah menuju Mekkah merupakan lawatan dari dunia menuju akhirat. Karena itu, haji sebagai bekal perjalanan akhirat, harus dipelihara dari sifat riya’ (pamer); sebagaimana bekal perjalanan dunia harus dijaga dari kerusakannya. Dengan demikian meninggalkan rumah, keluarga, dan tempat kelahiran menuju Mekkah bermakna meninggalkan dunia menuju akhirat. Sementara perjalanan ke baitullah, harus disadari sebagai perjalanan hijrah untuk meninggalkan perilaku yang memperturutkan hawa nafsu.
Sedangkan larangan melakukan hal yang mengotori kesucian al-Haramain, seperti membunuh binatang dan menebang pepohonan adalah bermakna penyucian tangan dari perbuatan zalim, sembari menumbuhkan cinta kasih. Sementara pakaian ihram; sebuah pakaian yang tidak berjahit dan berwarna putih adalah simbol untuk melepaskan pakaian keegoan. Tawaf mengelilingi Ka’bah tidak sekadar gerakan badan semata, tapi hati dan pikiran juga tawaf. Ka’bah merupakan represantasi dari kehadiran Tuhan yang tidak dapat ditangkap oleh pancaindera. Sedangkan mencium Hajar Aswad lebih dari sekadar sunah Nabi merupakan lambang ikrar ketaatan kepada Allah swt.
Adapun ritual sa’i antara Safa dan Marwa merupakan gambaran kesungguhan seorang hamba tanpa lelah mengharapkan ampunan dan limpahan kasih sayang-Nya. Sementara wukuf di Arafah laksana peristiwa di padang mahsyar kelak, dan melempar jumrah pertanda permusuhan dengan iblis.
Makna simbolik haji tersebut adalah salah satu dari dua rahasia haji. Rahasia haji kedua adalah sebagai pengganti sistem kependetaan dalam agama-agama lain. Para tokoh agama Nasrani pernah bertanya kepada Nabi saw. tentang rabbaniyah (kependetaan) dan siyahah (pengembaraan) dalam agama yang dibawanya. Nabi menjawab: “Allah telah menggantikannya untuk kami yaitu dengan berjihad dan bertakbir pada setiap kali mendaki (ibadah haji)”.
Dengan demikian, ibadah haji merupakan sistem kependetaan tersendiri bagi umat Muhammad saw. yang jauh berbeda dengan ajaran agama-agama lain. Keagungan Ka’bah dan penisbatannya kepada Allah (Baitullah) serta ditetapkannya sebagai tempat tujuan para hamba-Nya. Ia jadikan padang Arafah sebagai bagian dari halaman rumah-Nya adalah sebagai lambang fana‘-nya segala yang diharamkan. Ia juga haramkan perburuan binatang dan penebangan pepohonan di sekitarnya adalah sebagai penghormatan terhadap perintah-Nya. Kemudian ia dijadikan-Nya seperti majlis para raja, yang didatangi oleh para pengunjung dari segala arah dan penjuru dalam keadaan rambut kusut dan tubuh kusam. Di hadapan Sang Pemilik Rumah, meraka tawadhu’, di hadapan keagungan-Nya mereka tunduk patuh dan di hadapan keperkasaan-Nya mereka merendahkan diri penuh kepasrahan. Semua gambaran kepatuhan dan kepasraan ini dimaksudkan agar pengabdian mereka optimal.
Oleh karena itu, mereka diharuskan melakukan ritual tertentu di dalam ibadah haji; ritual yang unik, irrasional, dan tidak selaras dengan hati mereka. Seperti melempar jumrah dengan batu dan berjalan bolak-balik antara bukit Safa dan Marwa secara berulang-ulang. Semua itu dimaksudkan agar jejak langkah mereka benar-benar ibadah semata, melaksanakan perintahnya dengan penuh kepatuhan. Karena itu pula, Rasulullah mengucapkan dalam niat haji secara khusus: “Ya Allah, aku di sini memenuhi panggilan-Mu untuk mengerjakan haji, lain tidak semata-mata demi pengabdian dan penghambaan diriku kepada-Mu”.
Menurut al-Ghazali, jenis ibadah yang tidak dapat diketahui maknanya mengandung hikmah sebagai sarana dan cara efektif dalam upaya menyucikan diri. Makna dan rahasia haji lainnya adalah sebagai perjalanan ruhani. Jika keutamaan haji adalah perolehan pengampunan, maka perjalanan haji secara batiniyah adalah perjalanan spritual (suluk) menuju pengampunan ilahi. Untuk mencapai pengampunan itu, al-Ghazali menyodorkan etika yang harus dijaga dalam ibadah haji. Diantaranya adalah biaya haji berasal dari harta yang halal; berpenampilan bersih dan sederhana tapi tidak berlebih-lebihan; dan melakukan kurban dengan binatang yang gemuk dan bagus serta berjiwa ikhlas.
Selama dalam perjalanan hendaklah bersama teman yang baik dan berbekal harta yang halal. Sebab teman yang baik dapat mengingatkan diri kepada kebaikan dan dapat mencegah dari tindakan kejahatan. Sedangkan bekal yang halal dapat menerangi hati. Perlebih tambahan bekal, sehingga dapat bersedekah, dan membantu orang lain.
Sebaliknya hindarikan diri dari rafats, fusuq dan jidal. Rafats adalah segala bentuk ucapan kotor, keji dan sia-sia. Cumbuan, rayuan dan ucapan porno adalah bagian dari rafats. Sedangkan fusuq adalah perbuatan yang melanggar ketaatan kepada Allah. Adapun jidal adalah pertengkaran, perdebatan yang menimbulkan dendam, permusuhan dan bertentangan dengan etika. Pelanggaraan atas tiga hal ini adalah membatalkan haji.
Oleh karena itu, jamaah haji harus berperilaku dengan akhlak terpuji, bertutur kata yang baik. Boleh bersendau gurau, tetapi tanpa disertai maksiat serta senantiasa mencari kelurusan. Saat memandang teman bicara berusaha menampakkan kegembiraan. Pembicaraannya didengarkan dan kecemasannya tidak dinafikan. Sebaliknya melupakan kesalahannya, memuliakan dan membantunya serta berterimakasih atas pelayanannya.
Semua itu dilakukan dengan keikhlasan dan ketulusan. Ketika membelanjakan harta (baik untuk sedekah maupun untuk kurban) hendaknya dilakukan dengan senang hati. Sebaliknya, bersikap rela atas kerugian atau musibah menimpa, jika itu terjadi. Sebab sikap demikian adalah termasuk tanda diantara tanda-tanda haji diterima. Sebab, musibah yang terjadi selama pelaksanaan haji adalah seimbang dengan harta yang dinafkahkan di jalan Allah dan disamakan dengan penderitaan dalam perjalanan jihad. Setiap gangguan yang ditanggung dan kerugiaan yang diderita disediakan pahalanya. Sehingga, tidak ada sesuatu pun yang sia-sia di sisi Allah.
Di atas semua itu, meluruskan niat dan memperbanyak zikir menjadi penting dalam ibadah haji. Bahwa niat ibadah haji semata untuk Allah. Karena segala hal yang mengganggu konsentrasi ibadah dan zikir kepada Allah menjadi penghalang memperoleh keutamaan haji, serta menjadikan haji jauh dari kesempurnaan. Menyibukkan diri dengan urusan duniawi, seperti berdagang adalah hal yang dapat menganggu konsentrasi ibadah dan zikir kepada Allah. Al-Ghazali mengutip hadis dari jalur Ahl al-Bait: “Kelak, pada akhir zaman, manusia yang pergi haji terbagi atas empat kelompok: para penguasa (pejabat) yang pergi haji untuk wisata, para hartawan untuk bisnis, para fakir-miskin untuk meminta-minta, dan para ulama (ilmuan) untuk memperoleh nama dan pujian”.
Menurut al-Ghazali, hadis tersebut menunjukkan beragamnya motivasi setiap orang dalam haji. Sedangkan menurut Abd al-Qadir al-Jailani (w. 561 H) sebagai isyarat atas kualitas ibadah haji orang awam yaitu mereka yang melaksanakan ibadah haji dengan lebih menekankan aspek lahiriah. Karena secara lahiriah mereka berangkat dan pergi haji. Mereka juga mengerjakan amalan-amalan haji, namun pikiran mereka dipenuhi oleh keinginan dan pemuasan tuntutan badaniyah, seperti makan, minum, dan pakaian. Kelompok ini, meskipun berada di Mekkah, namun mereka seolah-olah berada di rumah. Ini adalah tanda haji lahiriah. Abd al-Qadir al-Jailani (w. 561 H) menyebut haji lahiriah semacam ini sebagai hajji jasadiyah. Sebab secara fisik, mereka melaksanakan haji, karena seluruh anggota badannya mengerjakan ritual haji. Akan tetapi hatinya jauh dari mengingat atau menghayati amalan haji itu sendiri. Haji yang semacam ini termasuk haji yang tidak sempurna. Haji yang sempurna adalah hajji qalbiyah (haji secara hati), yaitu haji yang dalam pelaksanaannya sangat memperhatikan kekhusyuan hati, seperti halnya kekhusyuan anggota badan dalam salat. Bagi kelompok kedua ini, haji yang dilaksanakan tidak dengan hati khusyu adalah sia-sia, seperti halnya pelaksanan salat yang tidak khusyu.
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُواْ مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللّهُ وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُوْلِي الأَلْبَابِ ﴿١٩٧﴾  
Terjemahnya:
(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.
Target yang tidak kalah pentingnya dan menjadi cita-cita para jamaah haji adalah pencapaian haji mabrur. Hakikat kemabruran haji, di samping pelaksanaan ibadah hajinya yang tepat dan sesuai dengan syariat Islam, juga sangat ditentukan oleh perilaku sesudahnya. Imam Hasan al-Bashri menyatakan bahwa yang dimaksud dengan haji mabrur itu adalah perubahan perilaku ke arah yang lebih baik dan para jamaah haji tersebut mampu menjadi panutan lingkungan masyarakatnya. Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa ciri haji mabrur itu adalah kesediaan memberikan harta kepada yang membutuhkan, dan semakin memiliki kemampuan untuk mengendalikan segala ucapan dan tindakan.
Untuk merealisasikan hal tersebut, perlu dilakukan berbagai upaya perbaikan dan pembenahan, baik saat persiapan sebelum haji, ketika pelaksanaan ibadah haji itu sendiri, maupun pasca ibadah haji. Upaya-upaya sebelum haji, disamping mempersiapkan hal-hal yang terkait dengan ibadah dan persiapan teknis operasional, juga dengan memberikan penjelasan-penjelasan makna ibadah haji secara komprehensif, meluas dan mendalam, sehingga melahirkan komitmen dan kesungguhan untuk melaksanakannya. Persiapan yang semacam inilah yang diistilahkan Alquran sebagai bekal takwa sebagaimana ditegaskan dalam QS al-Baqarah/2: 197.
Pada dimensi lain, secara garis besar, ibadah haji juga mengajarkan tentang pembentukan ciri dan karakteristik pribadi mulia sebagaimana disimbolkan dalam prosesinya. Hal itu tercermin melalui perilaku etis sebagai berikut:
Pertama, akhlak kepada Allah. Jika disimak secara cermat, seluruh doa yang diucapkan dalam prosesi ibadah haji, baik yang berisi pujian maupun pengakuan akan kelemahan diri serta komitmen kesetiaan, mencerminkan ketinggian akhlak kepada Allah. Di sini, segala pengorbanan dalam melaksanakan ibadah haji (berupa biaya, waktu, tenaga, penderitaan, dan lain-lain) dihayati sebagai sebuah persembahan dan ekspresi kesetiaan serta loyalitas terhadap perintah-Nya.
Kedua, akhlak kepada sesama manusia. Inti dari akhlak kepada sesama manusia yang diekspresikan dalam ibadah haji adalah prinsip egalitarian dan solidaritas sosial. Digunakannya pakaian serba putih, larangan menggunakan perhiasan dan parfum, merupakan simbol persamaan derajat dan anti diskriminasi sosial. Adanya kewajiban berkorban (menyembelih binatang yang dagingnya diberikan kepada fakir miskin), merupakan cermin anjuran solidaritas sosial untuk mereka yang duafa (fakir miskin, kaum tertindas, dan dizalimi). Demikian pula penetapan tempat dan waktu tertentu, juga mengajarkan disiplin dari antarsesama manusia.
Ketiga, akhlak kepada lingkungan hidup. Dalam konteks ini, sebagian prosesi ibadah haji mengajarkan kepada umat manusia tentang kelestarian lingkungan hidup (ekologi) dan keseimbangan ekosistem. Hal ini merupakan salah satu keunikan ibadah haji yang tidak ditemukan dalam ibadah lainnya. Dalam kondisi ihram, misalnya, seorang jamaah haji dilarang merusak alam, meskipun sekedar mencabut sebatang rumput atau membunuh seekor semut. Jika hal itu dilakukan, akan berakibat serius terhadap kesempurnaan ibadah hajinya.
III.  PENUTUP
A.  Kesimpulan
Dalam doktrin Islam, ibadah haji merupakan salah satu bentuk prosesi keagamaan yang bercorak ritual, dan juga mempunyai dimensi lain yang sangat penting. Berbeda dengan ritual Islam lainnya yang dapat dilakukan pada sembarang tempat dan waktu sepanjang tahun, ibadah haji harus dilakukan di tempat-tempat tertentu, seperti di Baitullah Makkah al-Mukarramah, Safa, Marwa, Arafah, Mina, dan Muzdalifah, serta pada waktu tertentu pula, yaitu pada minggu kedua bulan Dzulhijjah.
Secara normatif-dogmatis, kewajiban diperintahkan oleh Allah swt. kepada manusia yang mampu sebagaimana dalam QS A<li Imran/3: 97. Di balik perintah tersebut, kesadaran berhaji bukan semata-mata karena kewajiban, melainkan karena dibarengi dengan kesadaran bahwa ibadah haji merupakan sarana yang cukup efektif untuk membentuk kepribadian seseorang.
Ajaran haji yang sarat dengan nilai-nilai rohani sudah tentu mampu mengangkat manusia ke derajat keluhuran ruhani. Keluhuran ruhani berfungsi sebagai spirit kehidupan ke arah tatanan sosial yang lebih berkarakter religius, suatu hal yang mutlak diperlukan dalam kehidupan ini agar manusia terkontrol dalam setiap tindakannya. Banyaknya jamaah haji yang ke tanah suci diharapkan tidak hanya semakin menambah banyaknya jumlah kualitas dan kuantitas umat Islam di dunia, tetapi juga semakin menambah banyaknya kebaikan-kebaikan di muka bumi.
B.   Implikasi
Bimbingan haji secara terus menerus dari para pembimbing ibadah yang memiliki dedikasi yang tinggi, sangat dibutuhkan oleh para jamaah. Bimbingan tersebut bukan hanya berorientasi pada pelaksanaan ibadah semata-mata, tetapi hendaknya berorientasi pula pada hubungan kemanusiaan antar sesama jamaah. Sehingga diharapkan akan menghilangkan sifat-sifat egoistik para jamaah dan menumbuhkan semangat kebersamaan atas dasar tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa. Ketika kembali ke tanah air, perlu ada upaya yang konkret secara bersama-sama untuk mempertahankan kemabruran, sekaligus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat dan bangsa.
Ibadah haji dengan sejarah kurban yang melibatkan pribadi nabi Ibrahim as. dan putranya sangat patut direnungkan. Salah satu dimensi kebesaran nabi Ibrahim as ialah besarnya pengorbanan yang ditunjukkannya kepada Allah swt. Nabi Ibrahim as. adalah simbol bagi manusia yang rela mengorbankan apa saja demi mencapai keridaan Tuhan, termasuk rela mengorbankan diri sendiri di dalam kobaran api. Pada sisi lain, putranya (Ismail as.) adalah simbol bagi sesuatu yang paling dicintai dan sekaligus berpotensi untuk melemahkan dan menggoyahkan iman; simbol bagi sesuatu yang dapat membuat manusia enggan menerima tanggung jawab; simbol bagi sesuatu yang dapat mengajak manusia untuk berpikiran sempit dan berpendirian egois. Tegasnya, simbol bagi segala sesuatu yang dapat menyesatkan manusia.
Sebagai simbol bagi sesuatu yang amat dicintai, boleh jadi, “Ismail-Ismail” dalam diri seorang manusia mengambil bentuk berupa harta kekayaan jabatan, dan kecintaan kepada dunia. Ibadah haji mengajarkan kepada manusia untuk siap dan rela mengorbankan “Ismail-ismail” mereka demi mencapai tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu mencapai rida Tuhan.

DAFTAR PUSTAKA

Akkas, M. Amin. Haji dan Reproduksi Sosial. Cet. I; Jakarta: Media Cita, 2005.
Al-As}fahani, al-Ragib. Mu’jam Mufradat Alfaz al-Qur’an. Bairut: Dar al-Fikr, t.th.
Al-Baqi, Muhammad Fuad Abd. al-Mu’jam Mufahras li Alfaz al-Qur’an al-Karim. Beirut: Dar al-Fikr, 1407 H/1987 M.
Baqir, Muhammad. Fikih Praktis; Menurut Alqur’an, As-Sunnah, dan Pendapat para Ulama. Cet. I; Bandung: Karisma, 2008.
Al-Bukhari, Muhammad bin Isma‘il bin Ibrahim bin al-Mugirah. Sahih Bukhari, juz 1. Cet. I; Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1992 M/1412 H.
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam, jilid 2. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1994.
Departemen Agama RI., Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji. Bimbingan Manasik Haji. Jakarta: Proyek Peningkatan Pelayanan Ibadah Haji Pusat, 2003.
_________. Panduan Perjalanan Haji. Jakarta: Proyek Peningkatan Pelayanan Ibadah Haji Pusat, 2003.
Al-Dimasyqi, Taqy al-Din Abu Bakar bin Muhammad al-Husayni al-Hus>ni. Kifayah al-Akhyar fi Halli Ghayat al-Ikhtis}ar, juz I. Bandung: Syirkah al-Ma’arif li al-T|aba’ wa al-Nasyr, t.th.
Al-Farmawi, Abd al-Hayy. Muqaddimah fi al-Tafsir al-Qur’an. Bairut: Dar al-’Ilmi, 1977.
Al-Ghazali, Imam. Imam al-Ghazali, “Al-Adab fi al-Din”, dalam Majmu‘ah Rasa‘il al-Imam al-Ghazali. Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, 2006.
_________. Mukhtas}ar Ihya‘ ‘Ulum al-Din. Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, 1425 H/2004 M.
Hidayat, Rachmat Taufiq. Khazanah Istilah Al-Qur’an. Cet. V; Bandung: Mizan, 1995.
Al-Mis}ri, Abd. Al-Ra’uf. Mu’jam al-Qur’an; Qamus Mufradat al-Qur’an wa Garibih. Cet. II; Beirut: Dar al-Surur, 1367 H/1948 M.
Al-Naisaburi, Muslim Ibn al-Hajjaj al-Qusyairi. Shahih Muslim, juz 6. Cet. I; Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1994.
Putuhena, M. Shaleh. Historiografi Haji Indonesia. Cet. I; Yogyakarta: LkiS, 2007.
Al-Qurt}ubi. Abu ‘Abdullah Muhammad ibn Ahmad al-Ans}ari. al-Jami‘ al-Ahkam al-Qur’an, Juz 2. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993.
Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah, juz II. Cet. XI; Kairo: Dar al-Fath li al-I’lam al-Arabiy, 1994.
Salim, H. Abd. Muin, Mardan, dan Achmad Abu Bakar, Metodologi Penelitian Tafsir Maud}u’i. Cet. I; Yogyakarta: Pustaka al-Zikra, 2011.
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Cet. VI; Bandung: Mizan, 1994.
_________. Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Cet. I; Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Al-Suyuti, Jalal al-Din. al-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir al-Ma’tsur, Tahqiq: ‘Abdullah bin Abd al-Muhsin al-Turki, juz 2. Cet. II; Kairo: Markaz Hijr li al-Buhuts wa al-Dirasat al-’Arabiyah wa al-Islamiyah, 1424 H/2003 M.
Surah, Abu Isa Muhammad Ibn Isa. al-Jami‘ al-Sahih Sunan al-Turmuzi, juz 3. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.
Syaltut, Mahmud. al-Islam; Aqidah wa al-Syari‘ah. Kairo: Dar al-Qalam, t.th.
Zakariya, Abi Husain Ahmad bin Faris. Mu’jam Maqayis al-Lugah, juz II. Beirut: Dar al-Fikr, 1979.
Zuhayli, Wahbah. al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, juz III. Cet. III; Beirut: Dar al-Fikr,1989.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar