IBADAH HAJI
PERSPEKTIF ALQURAN
(Kajian
Spiritual dan Sosial)
Oleh:
Muhammad Gazali Rahman
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu hal yang melekat dan menjadi ciri khas
suatu agama adalah hadirnya ritus-ritus formal yang melembaga dan menjadi media
komunikasi secara vertikal kepada sang Khalik sekaligus komunikasi horizontal
kepada sesama makhluk. Ritus formal tersebut kemudian dilegalkan secara
doktrinal sebagai ibadah yang bernilai pahala dan dijanjikan dengan pahala di
sisi-Nya. Keberadaan ritus formal dalam sebuah agama sekaligus juga membedakan
satu agama dengan agama lainnya meskipun secara subtantif terdapat praktek yang
dapat dinilai sama.
Terkait dengan itu, ibadah haji yang menjadi fokus
pembahasan makalah ini juga merupakan salah satu bagian dari ibadah formal
dalam Islam yang bersifat wajib bagi setiap muslim yang “mampu” menunaikannya.
Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam yang dimensi vertikal dan
horizontalnya memiliki makna yang tinggi. Artinya, dalam ibadah haji, habl
min Allah dan habl min al-nas dapat dirasakan sebagai kesatuan
kesadaran religius yang tinggi. Seorang yang sedang berhaji dapat menghayati
perannya sebagai ‘abid Allah (dalam dimensi vertikal) dan sebagai khalifah
(dalam dimensi horizontal).
Oleh karena itu, ibadah haji juga sering bermakna
sebagai kegiatan transformatif. Pada awalnya yang mengalami transformasi adalah
orang-orang yang menjalani ibadah haji itu sendiri. Tetapi pada proses
selanjutnya masyarakat, yang dipimpin oleh mereka yang pernah beribadah haji
ini, juga dapat mengalami transformasi. Pengalaman keagamaan individual dari
pribadi yang pernah naik haji kemudian diproses menjadi milik sosial.
Dibanding dengan ibadah lainnya, ibadah haji relatif
dapat mempengaruhi dan mengubah perilaku seseorang. Dalam arti positif, dapat
meningkatkan kualitas pribadi manusia. Mereka yang dapat meningkatkan
pribadinya dengan ibadah haji maka ibadah hajinya disebut haji mabrur. Selain
itu, rangkaian rukun dalam ibadah haji juga secara simbolik memiliki makna
sangat dalam yang juga relevan dengan kehidupan manusia. Mulai dari tawaf
hingga wukuf di Arafah, merupakan pengalaman simbolik yang maknanya dapat
digali dan direlevansikan dengan setiap aspek kehidupan manusia.
B. Rumusan Masalah
Untuk membatasi uraian makalah ini maka masalah yang
diangkat dirumuskan dalam beberapa poin berikut:
1. Bagaimana Alquran menjelaskan kedudukan ibadah haji?
2. Bagaimana aktualisasi makna simbolik ibadah haji
dalam kehidupan spritual dan sosial?
C. Metode yang Digunakan
Penelitian ini merupakan penelitian tematik (maudhu‘i),
yakni metode tafsir yang dilakukan dengan cara mengeksplorasi ayat-ayat yang
relevan dengan tema yang diangkat. tafsir yang membahas tentang masalah-masalah
Alquran yang memiliki kesamaan makna atau tujuan dengan cara menghimpun
ayat-ayatnya, untuk kemudian melakukan penalaran (analisis) terhadap isi
kandungannya menurut cara-cara tertentu dan berdasarkan syarat-syarat tertentu
untuk menjelaskan makna-maknanya dan mengeluarkan unsur-unsurnya serta
menghubung-hubungkan antara yang satu dengan yang lain dengan korelasi yang
bersifat komprehensif. Pengembangan interpretasi dalam kajian ini tidak menutup
kemungkinan terlibatnya metode tahlili, ijmali, maupun muqarin.
Untuk melacak ayat-ayat yang terkait dengan ibadah haji maka teknik yang digunakan
adalah dengan mencari ayat-ayat berdasarkan kata kunci atau lafaz hajj, manasik,
umrah, thawaf, Ka’bah/bait al-haram, dan hurum/ihram. Penelusuran
lafaz ini dilakukan dengan menggunakan Mu’jam Mufahras li Alfaz al-Qur’an.
II. PEMBAHASAN
A. Klasifikasi Ayat tentang
Ibadah Haji
Mengacu kepada Mu’jam
Mufahras li Alfaz al-Qur’an, dijumpai sejumlah ayat yang terkait dengan
ibadah haji berdasarkan kata kunci yang telah disebutkan, yakni sebagai
berikut:
-
QS al-Baqarah/2: 125, 128, 158,
189, 196-203 (12 ayat).
-
QS A<li Imran/3: 96-97 (dua
ayat).
-
QS al-Hajj/22: 26-37 (dua belas
ayat).
B. Ibadah Haji; Pengertian dan
Hukumnya
Kata “haji” (hajj) dalam Mu’jam Maqayis
al-Lugah dikatakan al-ha wa al-jim ushuli arbatu fa al-awwalu al-qashd,
wa kulla qashdin hajjun, tsumma akhtassu bi haza al-ismu qashdu ila al-bayti
al-haramu lil nasak yaitu (menyengaja/al-qashdu ila), juga bisa
berarti al-nawa (maksud atau tujuan). Menurut istilah fikih, haji ialah
sengaja menuju ke Baitullah dan tempat-tempat tertentu untuk melaksanakan amalan-amalan
ibadah tertentu. Kata haji dalam bahasa Inggris disebut pilgrim yang
memiliki arti kegiatan yang dilakukan melalui sebuah perjalanan. Muatan
spiritual yang terkandung di dalamnya membedakan perjalanan haji dengan seluruh
jenis perjalanan lainnya.
Tempat-tempat tertentu yang dimaksud dalam definisi
tersebut selain (Ka’bah dan Mas’a tempat sa’i), juga Arafah, Muzdalifah, dan
Mina. Waktu tertentu yang dimaksud ialah bulan-bulan haji yang dimulai pada
tanggal 8 Zulhijjah ketika umat Islam bermalam di Mina, wukuf (berdiam diri) di
Padang Arafah pada tanggal 9 Zulhijjah, bermalam di Muzdalifah, dan berakhir
setelah melempar jumrah (melempar batu simbolisasi setan) pada tanggal 10, 11,
dan 12 Zulhijjah.
Haji dalam arti harfiah lainnya adalah mengunjungi
tempat-tempat tertentu yang dihormati, dengan tujuan mendekatkan diri kepada
Tuhan yang disembah. Sedangkan menurut istilah agama, haji ialah mengunjungi
Ka’bah dan sekitarnya di kota Mekkah untuk mengerjakan ibadah tawaf, sa’i,
wukuf di Arafah, dan sebagainya, semata-mata demi melaksanakan perintah
Allah dan meraih keridaan-Nya. Makna harfiah ini memiliki arti yang sangat
dekat dengan kata al-’umrah yang secara etimologi berarti ziarah (الإعتمار), yakni mengunjungi Ka’bah
untuk melakukan thawaf di sekelilingnya, sa’i antara Shafa dan Marwah dan
kemudian mencukur rambut.
Menurut Wahbah al-Zuhayli, haji diwajibkan pada
akhir tahun 9 H, dengan merujuk pada turunnya QS Ali Imran/3: 97. Pendapat ini
juga dianut mayoritas ulama. Seumur hidupnya, Rasulullah saw. melakukan haji
hanya sekali, yakni pada tahun 10 H, dengan diikuti kurang lebih 100 ribu orang
sahabat yang kemudian populer dengan sebutan haji wada’ atau haji
perpisahan. Dinamakan demikian karena pada saat itu di Arafah turun ayat
Alquran yang menyatakan bahwa Islam telah sempurna, dan diridai sebagai agama
untuk manusia seperti tercantum dalam QS al-Ma’idah/5: 3.
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ
وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ
وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلاَّ مَا ذَكَّيْتُمْ
وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَن تَسْتَقْسِمُواْ بِالأَزْلاَمِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ
الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُواْ مِن دِينِكُمْ فَلاَ تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ
لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ
فَإِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ ﴿٣﴾
Terjemahnya:
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai,
darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang
tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang
buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang
disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak
panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini
orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu
janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan
telah Kuridai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barangsiapa terpaksa karena
kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi
Mahapenyayang.
Perbedaan antara haji dan umrah adalah: (a) ibadah
haji dilakukan pada waktu yang telah ditentukan, yakni bulan Syawal, Zulqaidah,
dan sepuluh hari bulan Zulhijjah (QS al-Baqarah/2: 189, 197), sedangkan umrah
dapat dilaksanakan kapan saja; (b) ibadah umrah tidak perlu melaksanakan wukuf
di Arafah, sedangkan wukuf di Arafah merupakan salah satu rukun yang harus
dijalankan dalam ibadah haji; (c) menyembelih binatang kurban diwajibkan dalam
ibadah haji, namun tidak diwajibkan dalam ibadah umrah.
Kewajiban haji dan rangkaian ibadah di dalamnya
secara jelas telah ditegaskan oleh Allah swt. sebagaimana termaktub dalam QS
al-Baqarah/2: 196. Al-Suyut}i mengemukakan bahwa sebab turunnya ayat ini
memiliki banyak versi yang satu sama lain berbeda namun terdapat pula yang
senada dan bahkan saling menopang. Salah satu riwayat tersebut adalah versi
yang diriwayatkan oleh Abu Hatim, Abu Nu’aym, ibn ‘Abd al-Barr, dari Ya’la bin
Umayyah, bahwa seorang laki-laki berjubah yang semerbak dengan wangi-wangian
za’faran menghadap kepada nabi saw. dan kemudian bertanya: “Ya Rasulullah,
apakah yang harus saya lakukan dalam menunaikan umrah?” Lalu turunlah firman
Allah: “وَأَتِمُّواْ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلّهِ”. Kemudian Rasulullah saw.
bersabda seraya bertanya: “mana orang yang tadi menanyakan masalah ‘umrah itu?”
Orang tadi menjawab: “Saya, ya Rasulullah saw.!” Kemudian Rasulullah saw.
bersabda: “Tanggalkanlah bajumu, bersihkan hidung dan mandilah sesukamu, lalu
kerjakanlah apa yang biasa engkau kerjakan pada waktu mengerjakan haji”.
Kedudukan haji sebagai ibadah yang wajib juga secara
tegas diungkapkan dalam hadis berikut:
حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ
مُوسَى قَالَ أَخْبَرَنَا حَنْظَلَةُ بْنُ أَبِي سُفْيَانَ عَنْ عِكْرِمَةَ بْنِ
خَالِدٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُنِيَ الْإِسْلَامُ
عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا
رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ
رَمَضَانَ.
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah
bin Musa dia berkata, telah mengabarkan kepada kami Hanz}alah bin Abu Sufyan
dari ‘Ikrimah bin Khalid dari Ibnu Umar berkata: Rasulullah saw. bersabda:
“Islam dibangun di atas lima (landasan); persaksian tidak ada tuhan selain
Allah dan sesungguhnya Muhammad utusan Allah, mendirikan salat, menunaikan
zakat, haji dan puasa Ramadan”.
Dalam hadis lain juga
diungkapkan tentang keutamaan haji mabrur yang derajatnya sama dengan iman
kepada Allah dan rasul-Nya, dan jihad fi sabilillah sebagaimana hadis
yang diriwayatkan oleh Bukhari berikut:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ
وَمُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ قَالَا حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ قَالَ
حَدَّثَنَا ابْنُ شِهَابٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ أَيُّ الْعَمَلِ
أَفْضَلُ فَقَالَ إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ
الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ حَجٌّ مَبْرُورٌ.
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin
Yunus dan Musa bin Isma‘il keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Ibrahim
bin Sa’d berkata, telah menceritakan kepada kami Ibnu Syihab dari Sa’id bin
al-Musayyab dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw. ditanya tentang Islam,
manakah yang paling utama? Maka Rasulullah saw. menjawab: “Iman kepada Allah
dan Rasul-Nya”. Lalu ditanya lagi: “Lalu apa?” Beliau menjawab: “Jihad fi sabilillah
(berperang di jalan Allah). Lalu ditanya lagi: “Kemudian apa lagi?” Jawab
Beliau saw.: “haji mabrur”.
Seperti halnya ibadah
puasa, ibadah haji dikenal oleh agama-agama selain Islam, namun terdapat
perbedaan yang sangat menonjol antara ibadah haji yang disyariatkan oleh Islam
dengan ibadah haji yang dipraktikkan oleh agama-agama lain. Misalnya dalam
pandangan terhadap tempat-tempat yang dikunjungi dan tatacara pelaksanaannya.
Oleh karena ibadah haji sudah dilakukan oleh umat-umat terdahulu, maka Mahmud
Syaltut menyebut ibadah haji sebagai bentuk ibadah penyembahan manusia sejak
zaman purba. Sebelum Islam, haji berarti penziarahan ke tempat-tempat tertentu
untuk suatu penyembahan dan penyucian diri pada tuhan yang disembahnya.
وَأَتِمُّواْ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ
لِلّهِ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ وَلاَ تَحْلِقُواْ رُؤُوسَكُمْ
حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضاً أَوْ بِهِ أَذًى
مِّن رَّأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِّن صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ فَإِذَا أَمِنتُمْ
فَمَن تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَن
لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ
تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ذَلِكَ لِمَن لَّمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ
الْحَرَامِ وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
﴿١٩٦﴾
Penggunaan kata atimmu/itmam (sempurnakanlah)
pada ayat tersebut mengisyaratkan bahwa haji merupakan ibadah yang berat, umat
Islam harus berusaha sekuat tenaga untuk mengerjakannya dengan sempurna. Kata itmam
menuntut adanya keseriusan dan ketulusan, tidak dicampuri oleh tendensi
lain yang bersifat keuntungan duniawi serta kemungkinan adanya sumber dana yang
tidak jelas dalam biaya haji. Pelaksanaan ibadah haji juga tidak sepatutnya
dikerjakan sekadar formalitas, asal-asalan tanpa berupaya meresapi dan menggali
makna di balik simbol-simbolnya.
Sebagaimana ibadah
lainnya yang telah ditetapkan waktu dan cara pelaksanaanya, maka demikian pula
pada ibadah haji. Waktu pelaksanaan ibadah haji ditegaskan dalam ayat
selanjutnya pada QS al-Baqarah/2: 197.
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ...
Setelah sebelumnya Allah
menyebutkan haji dan umrah secara bersama-sama (menyatu) dalam QS al-Baqarah/2:
196, maka pada ayat 197 tersebut Allah kemudian menegaskan perbedaan waktu
pelaksanaannya masing-masing. Untuk umrah, waktunya sepanjang tahun, sedangkan
waktu untuk pelaksanaan haji hanya sekali dalam setahun.
Aspek lain yang tak
kalah pentingnya dan patut diperhatikan dalam pelaksanaan ibadah haji adalah
larangan melakukan rafats, fusuq, dan jidal sebagaimana
ditegaskan dalam QS al-Baqarah/2: 197.
فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ
فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ...
Al-rafats adalah
ucapan, sikap, dan perbuatan yang berbau seksual (pornografi-pornoaksi) yang
berimplikasi pada hubungan badan/jima’. Jumhur ulama sepakat bahwa
melakukan hubungan badan sebelum wuquf di Arafah berkonsekuensi rusak atau
cacatnya (mufsid) ibadah haji. Fusuq ialah mengerjakan perbuatan
maksiat, termasuk melanggar larangan-larangan tertentu dalam ibadah haji
seperti berburu, memotong kuku, mencabut rambut, dan lain sebagainya. Sedangkan
jidal, umumnya diartikan dengan berbantah-bantahan atau percekcokan yang
mengarah kepada permusuhan dan putusnya silaturahim di antara sesama jamaah
haji. Larangan pada ayat tersebut juga didukung oleh hadis nabi saw. yang diriwayatkan
oleh Muslim, berikut:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى
وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ قَالَ يَحْيَى أَخْبَرَنَا و قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا
جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَتَى هَذَا الْبَيْتَ
فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَمَا وَلَدَتْهُ أُمُّهُ و حَدَّثَنَاه
سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ عَنْ أَبِي عَوَانَةَ وَأَبِي الْأَحْوَصِ ح و حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ مِسْعَرٍ وَسُفْيَانَ ح
و حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا
شُعْبَةُ كُلُّ هَؤُلَاءِ عَنْ مَنْصُورٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ وَفِي حَدِيثِهِمْ
جَمِيعًا مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ
حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ عَنْ سَيَّارٍ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَهُ.
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin
Yahya dan Zuhair bin Harb –Yahya berkata- telah mengabarkan kepada kami -Zuhair
berkata- Telah menceritakan kepada kami Jarir dari Manshur dari Abu Hazim dari
Abu Hurairah ia berkata; Rasulullah saw. bersabda: “Siapa yang mendatangi
Baitullah ini (untuk haji atau umrah) tanpa merusaknya dengan perbuatan dan
perkataan kotor, serta tidak berbuat maksiat, maka dia kembali pada keadaannya
seperti baru lahir (bersih dari dosa).” Dan Telah menceritakannya kepada kami
Sa’id bin Manshur dari Abu Awanah dan Abu al-Ahwash -dalam riwayat lain- Dan
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah telah menceritakan
kepada kami Waki‘ dari Mis’ar dan Sufyan -dalam riwayat lain- Dan Telah
menceritakan kepada kami Ibnu al-Mutsanna telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Ja’far telah menceritakan kepada kami Syu’bah semua mereka itu
dari Mansh>ur dengan isnad ini, dan di dalam hadis mereka semua tercantum;
“Siapa yang menunaikan ibadah haji dengan tidak merusaknya dengan perbuatan dan
kata-kata kotor.” Telah menceritakan kepada kami Sa’id bin Manshur telah
menceritakan kepada kami Husyaim dari Sayyar dari Abu Hazim dari Abu Hurairah
dari Nabi saw., semisalnya.
فِيهِ آيَاتٌ بَيِّـنَاتٌ مَّقَامُ إِبْرَاهِيمَ
وَمَن دَخَلَهُ كَانَ آمِناً وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ
إِلَيْهِ سَبِيلاً وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ الله غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ ﴿٩٧﴾
Terjemahnya:
Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata,
(di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi
amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu
(bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barangsiapa
mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak
memerlukan sesuatu) dari semesta alam.
Dalam menafsirkan makna “mampu” atau istit}a‘ah pada
QS Ali Imran/3: 97 (وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ
إِلَيْهِ سَبِيلاً),
al-Gazali berpendapat bahwa kriteria mampu tersebut terdiri atas dua bagian: Pertama, kemampuan melaksanakan sendiri. Hal itu
dikarenakan kondisi tubuh yang sehat, perjalanan yang aman dan biaya yang cukup
baik untuk keluarga yang ditinggalkan maupun untuk perjalanan. Kedua, kemampuan
menyewa orang untuk menunaikan haji untuknya. Ia tidak mampu melaksanakan
sendiri dikarenakan suatu penyakit. Namun secara finansial ia mampu membayar
orang lain. Al-Ghazali membolehkan yang demikian, dengan sejumlah persyaratan.
Diantaranya orang yang disewa adalah orang yang sudah pernah melaksanakan haji
atas dirinya sendiri. Seorang anak dapat melakukan haji untuk orang tuanya,
jika penyakit orang tuanya tidak memungkinnya untuk haji, seperti lumpuh atau
penyakit yang menahun. Orang tua yang demikian masih masuk dalam kategori
mampu. Adapun seorang anak yang memberikan uang kepada orang tuanya, lalu orang
tuanya yang menyewa orang lain untuk melaksanakan hajinya, maka yang demikian
tidak masuk dalam kategori mampu.
Ibadah haji berfungsi sebagai penyempurna keislaman
seseorang. Dengan kata lain,
seseorang tidak akan mencapai kesempurnaan beragama melainkan dengan haji.
Bahkan orang yang mampu tetapi tidak melaksanakannya, disamakan kedudukannya
dengan Yahudi dan Nasrani dalam kesesatannya. Pendapat ini didasarkan kepada
hadis Nabi saw.: “Siapa yang mati sedangkan ia belum haji (sementara
dirinya mampu), silahkan memilih antara mati sebagai orang Yahudi atau Nasrani ”.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
يَحْيَى الْقُطَعِيُّ الْبَصْرِيُّ حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ
حَدَّثَنَا هِلَالُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ مَوْلَى رَبِيعَةَ بْنِ عَمْرِو بْنِ
مُسْلِمٍ الْبَاهِلِيِّ حَدَّثَنَا أَبُو إِسْحَقَ الْهَمْدَانِيُّ عَنْ
الْحَارِثِ عَنْ عَلِيٍّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَنْ مَلَكَ زَادًا وَرَاحِلَةً تُبَلِّغُهُ إِلَى بَيْتِ
اللَّهِ وَلَمْ يَحُجَّ فَلَا عَلَيْهِ أَنْ يَمُوتَ يَهُودِيًّا أَوْ
نَصْرَانِيًّا وَذَلِكَ أَنَّ اللَّهَ يَقُولُ فِي كِتَابِهِ )وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنْ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ
سَبِيلًا( قَالَ
أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ
وَفِي إِسْنَادِهِ مَقَالٌ وَهِلَالُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ مَجْهُولٌ وَالْحَارِثُ
يُضَعَّفُ فِي الْحَدِيثِ.
Kepada yang mampu diwajibkan atas mereka sekali dalam
hidupnya. Haji yang demikian
dalam terminologi al-Ghazali dinamakan hajj al-Islam. Sementara haji
yang dilakukan lebih dari sekali disebut sebagai haji sunat. Haji yang disebut
pertama dipandang sah dan memenuhi kewajiban jika memenuhi lima syarat. Yaitu
muslim, merdeka, dewasa, berakal dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
waktunya. Kelima syarat ini selain merupakan syarat sah haji, juga merupakan
syarat berlakunya kewajiban haji atas seseorang.
Karena itu, seseorang yang telah mampu dan memenuhi
kedua syarat tersebut (syarat sah haji dan syarat wajib haji), maka ia segera
memenuhi kewajibannya. Boleh saja ia menundanya, namun jika ia meninggal
sebelum melaksanakan kewajibannya, maka ia berdosa karenanya. Sedangkan
kematiaannya tidak menjadikan kewajiban atas dirinya menjadi gugur. Karena itu,
pihak keluarga harus menyisihkan biaya haji untuk menyewa orang lain
menghajikannya, meskipun tidak ada wasiat untuk itu. Dalam pandangan al-Ghazali,
hal demikian sama halnya dengan hutang. Sementara hutang harus dilunasi, dan
pelunasannya diambil dari harta peninggalannya.
C. Dimensi Ilahiah dan
Insaniah Ibadah Haji
Pondasi ibadah haji yang
telah dirintis sejak nabi Adam as. dikukuhkan kembali pondasinya oleh nabi
Ibrahim as. dengan membangun sisa-sisa reruntuhan Ka’bah yang sempat digilas
oleh zaman panjang dari satu nabi ke nabi berikutnya. Diyakini bahwa di balik
setiap perintah yang bersifat ibadah maupun larangan yang ditetapkan oleh Allah
pasti memiliki maksud dan hikmah yang semuanya akan kembali kepada kepentingan
manusia. Begitupula dalam ibadah haji, setiap ritual haji yang merupakan tapak
tilas perjalanan nabi Ibrahim as. bersama putranya pada hakikatnya merupakan
penegasan kembali tentang prinsip-prinsip ketauhidan yang diteladankan oleh
kedua nabi tersebut yang intinya adalah:
1) Pengakuan terhadap keesaan Tuhan serta penolakan
terhadap segala macam dan bentuk kemusyrikan.
2) Keyakinan dan kesadaran tentang adanya neraca
keadilan Tuhan dalam kehidupan di dunia yang puncaknya akan diperoleh pula pada
hari kebangkitan kelak.
3) Keyakinan dan kesadaran tentang kemanusiaan yang
bersifat universal dan multikultural yang bersatu dalam ummatan wahidah.
وأذن في الناس بالحج يأتوك رجالا وعلى كل ضامر يأتين من كل فج
عميق ﴿٢٧﴾ لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ
مَّعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا
الْبَائِسَ الْفَقِيرَ ﴿٢٨﴾
Terjemahnya:
Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan
datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang
datang dari segenap penjuru yang jauh.
Supaya mereka menyaksikan berbagai manfa`at bagi mereka dan supaya mereka
menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah
berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian
daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara
lagi fakir.
Di dalam QS
al-Hajj/22: 27-28 dikemukakan bahwa salah satu tugas dan kewajiban para jamaah
haji dalam melaksanakan kewajiban hajinya, adalah memahami dan menghayati
berbagai hikmah dan manfaat yang terdapat di dalamnya. Semakin tinggi penghayatannya,
maka akan semakin besar dampak positif yang diakibatkannya, baik untuk dirinya
maupun untuk umat secara keseluruhan. Sebaliknya, jika tidak dibarengi dengan
penghayatan, maka yang terjadi hanyalah sekadar pemenuhan pelaksanaan rukun
Islam.
Senada dengan M.
Quraish Shihab, seorang cendikiawan muslim Indonesia, Didin Hafidhuddin
mengungkapkan adanya lima hikmah haji. Pertama, penyadaran kembali
terhadap hakikat kemanusiaan sebagai makhluk yang lemah, yang memiliki
ketergantungan yang tinggi kepada Khalik, sekaligus sebagai makhluk ijtima’iyah
(sosial) yang selalu terikat kepada sesamanya. Kedua, menumbuhkan
keikhlasan dalam bertauhid. Bahwa hanya kepada-Nya manusia menyembah dan hanya
kepada-Nya pula manusia memohon pertolongan. Kalimat talbiyah yang
diucapkan oleh para jamaah haji ketika mengawali ibadah haji, merupakan
cerminan ketauhidan yang tulus.
Ketiga,
pakaian ihram sebagai
pakaian resmi jamaah haji sesungguhnya menyadarkan para jamaah haji bahwa nilai
ketakwaan manusia di hadapan Allah bukan ditentukan oleh penampilan luar,
melainkan oleh hati dan perilakunya. Semua manusia pada akhirnya akan kembali
kepada Tuhannya dengan memakai dua helai kain yang sangat sederhana.
Penanggalan pakaian keseharian pun mencerminkan bahwa di dalam kehidupan ini,
pakaian-pakaian keseharian sering menimbulkan keangkuhan dan kesombongan, baik
berupa pakaian jabatan, kesukuan, harta benda, dan lain-lain.
Keempat,
seluruh aspek ibadah
haji mencerminkan dinamika dan etos kerja yang tinggi, yang bergerak dari satu
tempat ke tempat lain secara berkesinambungan, dan dari satu aktivitas ke
aktivitas lainnya. Hal ini mencerminkan bahwa yang menjadi ciri utama kaum
muslimin, dan terutama para jamaah haji adalah mereka yang hidupnya penuh
dengan dinamika dan senantiasa berbuat yang terbaik bagi umat dan bangsanya
sebagaimana diungkapkan pula dalam QS al-Insyirah/94: 5-8. Berbagai tantangan
dan godaan, terutama godaan setan, akan dapat dilaluinya. Dalam menghadapi
godaan setan tersebut diperlukan kekuatan, sebagai tercermin dalam ritual
jumrah di Mina.
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً ﴿٥﴾ إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً
﴿٦﴾ فَإِذَا فَرَغْتَ فَانصَبْ ﴿٧﴾ وَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ ﴿٨﴾
Terjemahnya:
Karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, Sesungguhnya
sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari
sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. Dan
hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.
Kelima,
menumbuhkan kesadaran
ukhuwah islamiah. Jamaah haji disadarkan bahwa walaupun mereka memiliki
perbedaan, baik perbedaan warna kulit, suku, bangsa, bahasa, dan adat istiadat,
mereka tetap terikat dalam satu kesatuan akidah dan ibadah. Para jamaah haji
pada hakikatnya adalah duta-duta pemersatu umat.
Berbagai hikmah dan
pelajaran tersebut sesungguhnya menjadi transformasi hadirnya kesadaran
transendental dan kesadaran sosial para jamaah haji ke arah yang lebih tajam
dan lebih kuat, sehingga akan malahirkan sebuah gerakan kolektif secara
berkesinambungan dari tahun ke tahun. Sebuah gerakan moral dan sosial yang akan
berdampak pada bidang-bidang lainnya.
Sebagai napak tilas perjalanan kenabian, ibadah haji
dimaksudkan untuk mewujudkan persamaan antara segala warna manusia dengan suatu
jalan amaliah dan agar segenap manusia merasakan apa yang telah diperjuangkan
dan diderita rasul dalam melaksanakan dakwahnya. Ibadah ini sekaligus dapat
menjadi sarana untuk bermusyawarah karena berkumpulnya umat Islam dari segala
penjuru dunia.
Ibadah haji adalah ibadah penutup segala urusan,
sebab firman Allah swt: “Pada hari ini Kusempurnakan bagi kamu sekalian,
agamamu, dan Aku telah sempurnakan nikmat-Ku untukmu, dan Aku rida Islam
sebagai agamamu” (QS al-Ma’idah/5: 3) diturunkan pada waktu haji wada.
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ
وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ
وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلاَّ مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى
النُّصُبِ وَأَن تَسْتَقْسِمُواْ بِالأَزْلاَمِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ
كَفَرُواْ مِن دِينِكُمْ فَلاَ تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ
دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً
فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ فَإِنَّ اللّهَ غَفُورٌ
رَّحِيمٌ ﴿٣﴾
Terjemahnya:
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan)
yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang
jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu
menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan
(diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak
panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa
untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan
takutlah kepada-Ku. pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan
telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu Jadi agama
bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa,
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ibadah haji juga memiliki banyak keutamaan. Satu di
antara keutamaannya adalah ampunan Allah. “Ada banyak jenis dosa, yang tidak akan
ditebus kecuali dengan wukuf di Arafah”, kata Nabi saw. Wuquf di Arafah
disepakati ulama sebagai salah satu dari rukun haji, selain ihram, tawaf, berlari-lari
kecil antara bukit Safa dan Marwa (sa’i), dan bercukur (halq).
Sebagai sebuah rukun, ia tidak boleh ditinggalkan atau tertinggal. Jika
ditinggalkan maka haji tidak sah. Ini berbeda dengan wajib haji, yang boleh
diganti dengan dam (denda).
Pelaksanaan haji mengandung makna yang dalam.
Kedalaman maknanya tersimpan dalam simbol yang dikandungnya. Menurut al-Ghazali
perjalanan dari rumah menuju Mekkah merupakan lawatan dari dunia menuju
akhirat. Karena itu, haji sebagai bekal perjalanan akhirat, harus dipelihara
dari sifat riya’ (pamer); sebagaimana bekal perjalanan dunia harus
dijaga dari kerusakannya. Dengan
demikian meninggalkan rumah, keluarga, dan tempat kelahiran menuju Mekkah
bermakna meninggalkan dunia menuju akhirat. Sementara perjalanan ke baitullah, harus disadari sebagai perjalanan hijrah untuk meninggalkan perilaku
yang memperturutkan hawa nafsu.
Sedangkan larangan
melakukan hal yang mengotori kesucian al-Haramain, seperti membunuh binatang dan menebang pepohonan adalah bermakna
penyucian tangan dari perbuatan zalim, sembari menumbuhkan cinta kasih.
Sementara pakaian ihram; sebuah pakaian yang tidak berjahit dan berwarna putih adalah simbol
untuk melepaskan pakaian keegoan. Tawaf mengelilingi
Ka’bah tidak sekadar gerakan badan semata, tapi hati dan pikiran juga tawaf.
Ka’bah merupakan represantasi dari kehadiran Tuhan yang tidak dapat ditangkap
oleh pancaindera. Sedangkan mencium
Hajar Aswad lebih dari sekadar sunah
Nabi merupakan lambang ikrar ketaatan kepada Allah swt.
Adapun ritual sa’i antara Safa dan Marwa merupakan gambaran
kesungguhan seorang hamba tanpa lelah mengharapkan ampunan dan limpahan kasih
sayang-Nya. Sementara wukuf di Arafah laksana peristiwa di padang mahsyar
kelak, dan melempar jumrah pertanda permusuhan dengan iblis.
Makna simbolik haji tersebut adalah salah satu dari
dua rahasia haji. Rahasia haji kedua adalah sebagai pengganti sistem
kependetaan dalam agama-agama lain. Para tokoh agama Nasrani pernah bertanya kepada Nabi
saw. tentang rabbaniyah (kependetaan) dan siyahah (pengembaraan)
dalam agama yang dibawanya. Nabi menjawab: “Allah telah menggantikannya untuk
kami yaitu dengan berjihad dan bertakbir pada setiap kali mendaki (ibadah
haji)”.
Dengan demikian, ibadah haji merupakan sistem
kependetaan tersendiri bagi umat Muhammad saw. yang jauh berbeda dengan ajaran
agama-agama lain. Keagungan Ka’bah dan penisbatannya kepada Allah (Baitullah) serta
ditetapkannya sebagai tempat tujuan para hamba-Nya. Ia jadikan padang Arafah
sebagai bagian dari halaman rumah-Nya adalah sebagai lambang fana‘-nya segala yang
diharamkan. Ia juga haramkan perburuan binatang dan penebangan pepohonan di
sekitarnya adalah sebagai penghormatan terhadap perintah-Nya. Kemudian ia
dijadikan-Nya seperti majlis para raja, yang didatangi oleh para pengunjung
dari segala arah dan penjuru dalam keadaan rambut kusut dan tubuh kusam. Di
hadapan Sang Pemilik Rumah, meraka tawadhu’, di hadapan keagungan-Nya
mereka tunduk patuh dan di hadapan keperkasaan-Nya mereka merendahkan diri
penuh kepasrahan. Semua gambaran kepatuhan dan kepasraan ini dimaksudkan agar
pengabdian mereka optimal.
Oleh karena itu, mereka diharuskan melakukan ritual
tertentu di dalam ibadah haji; ritual yang unik, irrasional, dan tidak selaras
dengan hati mereka. Seperti melempar jumrah dengan batu dan berjalan
bolak-balik antara bukit Safa dan Marwa secara berulang-ulang. Semua itu dimaksudkan
agar jejak langkah mereka benar-benar ibadah semata, melaksanakan perintahnya
dengan penuh kepatuhan. Karena itu pula, Rasulullah mengucapkan dalam niat haji
secara khusus: “Ya Allah, aku di sini memenuhi panggilan-Mu untuk mengerjakan
haji, lain tidak semata-mata demi pengabdian dan penghambaan diriku kepada-Mu”.
Menurut al-Ghazali, jenis ibadah yang tidak dapat
diketahui maknanya mengandung hikmah sebagai sarana dan cara efektif dalam
upaya menyucikan diri. Makna dan rahasia haji lainnya adalah sebagai perjalanan
ruhani. Jika keutamaan haji adalah perolehan pengampunan, maka perjalanan haji
secara batiniyah adalah perjalanan spritual (suluk) menuju pengampunan
ilahi. Untuk mencapai pengampunan itu, al-Ghazali menyodorkan etika yang harus
dijaga dalam ibadah haji. Diantaranya adalah biaya haji berasal dari harta yang
halal; berpenampilan bersih dan sederhana tapi tidak berlebih-lebihan; dan
melakukan kurban dengan binatang yang gemuk dan bagus serta berjiwa
ikhlas.
Selama dalam perjalanan hendaklah bersama teman yang
baik dan berbekal harta yang halal. Sebab teman yang baik dapat mengingatkan
diri kepada kebaikan dan dapat mencegah dari tindakan kejahatan. Sedangkan
bekal yang halal dapat menerangi hati. Perlebih tambahan bekal, sehingga dapat
bersedekah, dan membantu orang lain.
Sebaliknya hindarikan diri dari rafats, fusuq dan jidal.
Rafats adalah segala bentuk ucapan kotor, keji dan sia-sia. Cumbuan,
rayuan dan ucapan porno adalah bagian dari rafats. Sedangkan fusuq adalah perbuatan
yang melanggar ketaatan kepada Allah. Adapun jidal adalah
pertengkaran, perdebatan yang menimbulkan dendam, permusuhan dan bertentangan
dengan etika. Pelanggaraan atas tiga hal ini adalah membatalkan haji.
Oleh karena itu, jamaah haji harus berperilaku
dengan akhlak terpuji, bertutur kata yang baik. Boleh bersendau gurau, tetapi
tanpa disertai maksiat serta senantiasa mencari kelurusan. Saat memandang teman
bicara berusaha menampakkan kegembiraan. Pembicaraannya didengarkan dan
kecemasannya tidak dinafikan. Sebaliknya melupakan kesalahannya, memuliakan dan
membantunya serta berterimakasih atas pelayanannya.
Semua itu dilakukan dengan keikhlasan dan ketulusan.
Ketika membelanjakan harta (baik untuk sedekah maupun untuk kurban) hendaknya
dilakukan dengan senang hati. Sebaliknya, bersikap rela atas kerugian atau
musibah menimpa, jika itu terjadi. Sebab sikap demikian adalah termasuk tanda
diantara tanda-tanda haji diterima. Sebab, musibah yang terjadi selama
pelaksanaan haji adalah seimbang dengan harta yang dinafkahkan di jalan Allah
dan disamakan dengan penderitaan dalam perjalanan jihad. Setiap gangguan yang
ditanggung dan kerugiaan yang diderita disediakan pahalanya. Sehingga, tidak
ada sesuatu pun yang sia-sia di sisi Allah.
Di atas semua itu, meluruskan niat dan memperbanyak
zikir menjadi penting dalam ibadah haji. Bahwa niat ibadah haji semata untuk
Allah. Karena segala hal yang mengganggu konsentrasi ibadah dan zikir kepada
Allah menjadi penghalang memperoleh keutamaan haji, serta menjadikan haji jauh
dari kesempurnaan. Menyibukkan diri dengan urusan duniawi, seperti berdagang
adalah hal yang dapat menganggu konsentrasi ibadah dan zikir kepada Allah.
Al-Ghazali mengutip hadis dari jalur Ahl al-Bait: “Kelak, pada akhir zaman,
manusia yang pergi haji terbagi atas empat kelompok: para penguasa (pejabat)
yang pergi haji untuk wisata, para hartawan untuk bisnis, para fakir-miskin
untuk meminta-minta, dan para ulama (ilmuan) untuk memperoleh nama dan pujian”.
Menurut al-Ghazali, hadis tersebut menunjukkan
beragamnya motivasi setiap orang dalam haji. Sedangkan menurut Abd al-Qadir
al-Jailani (w. 561 H) sebagai isyarat atas kualitas ibadah haji orang awam
yaitu mereka yang melaksanakan ibadah haji dengan lebih menekankan aspek
lahiriah. Karena secara lahiriah mereka berangkat dan pergi haji. Mereka juga
mengerjakan amalan-amalan haji, namun pikiran mereka dipenuhi oleh keinginan
dan pemuasan tuntutan badaniyah, seperti makan, minum, dan pakaian. Kelompok
ini, meskipun berada di Mekkah, namun mereka seolah-olah berada di rumah. Ini
adalah tanda haji lahiriah. Abd al-Qadir al-Jailani (w. 561 H) menyebut haji
lahiriah semacam ini sebagai hajji jasadiyah. Sebab secara fisik, mereka
melaksanakan haji, karena seluruh anggota badannya mengerjakan ritual haji.
Akan tetapi hatinya jauh dari mengingat atau menghayati amalan haji itu
sendiri. Haji yang semacam ini termasuk haji yang tidak sempurna. Haji yang
sempurna adalah hajji qalbiyah (haji secara hati), yaitu haji yang dalam
pelaksanaannya sangat memperhatikan kekhusyuan hati, seperti halnya kekhusyuan
anggota badan dalam salat. Bagi kelompok kedua ini, haji yang dilaksanakan
tidak dengan hati khusyu adalah sia-sia, seperti halnya pelaksanan salat yang
tidak khusyu.
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ
فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُواْ مِنْ خَيْرٍ
يَعْلَمْهُ اللّهُ وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ
يَا أُوْلِي الأَلْبَابِ ﴿١٩٧﴾
Terjemahnya:
(Musim)
haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya
dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat
fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. dan apa yang kamu
kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah,
dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai
orang-orang yang berakal.
Target yang tidak
kalah pentingnya dan menjadi cita-cita para jamaah haji adalah pencapaian haji
mabrur. Hakikat kemabruran haji, di samping pelaksanaan ibadah hajinya yang
tepat dan sesuai dengan syariat Islam, juga sangat ditentukan oleh perilaku
sesudahnya. Imam Hasan al-Bashri menyatakan bahwa yang dimaksud dengan haji
mabrur itu adalah perubahan perilaku ke arah yang lebih baik dan para jamaah
haji tersebut mampu menjadi panutan lingkungan masyarakatnya. Dalam riwayat
lain dikemukakan bahwa ciri haji mabrur itu adalah kesediaan memberikan harta
kepada yang membutuhkan, dan semakin memiliki kemampuan untuk mengendalikan
segala ucapan dan tindakan.
Untuk
merealisasikan hal tersebut, perlu dilakukan berbagai upaya perbaikan dan
pembenahan, baik saat persiapan sebelum haji, ketika pelaksanaan ibadah haji
itu sendiri, maupun pasca ibadah haji. Upaya-upaya sebelum haji, disamping
mempersiapkan hal-hal yang terkait dengan ibadah dan persiapan teknis
operasional, juga dengan memberikan penjelasan-penjelasan makna ibadah haji
secara komprehensif, meluas dan mendalam, sehingga melahirkan komitmen dan
kesungguhan untuk melaksanakannya. Persiapan yang semacam inilah yang
diistilahkan Alquran sebagai bekal takwa sebagaimana ditegaskan dalam QS al-Baqarah/2:
197.
Pada dimensi lain, secara garis besar, ibadah haji
juga mengajarkan tentang pembentukan ciri dan karakteristik pribadi mulia
sebagaimana disimbolkan dalam prosesinya. Hal itu tercermin melalui perilaku
etis sebagai berikut:
Pertama, akhlak kepada Allah. Jika disimak
secara cermat, seluruh doa yang diucapkan dalam prosesi ibadah haji, baik yang
berisi pujian maupun pengakuan akan kelemahan diri serta komitmen kesetiaan,
mencerminkan ketinggian akhlak kepada Allah. Di sini, segala pengorbanan dalam
melaksanakan ibadah haji (berupa biaya, waktu, tenaga, penderitaan, dan
lain-lain) dihayati sebagai sebuah persembahan dan ekspresi kesetiaan serta
loyalitas terhadap perintah-Nya.
Kedua, akhlak kepada sesama manusia. Inti dari
akhlak kepada sesama manusia yang diekspresikan dalam ibadah haji adalah
prinsip egalitarian dan solidaritas sosial. Digunakannya pakaian serba putih,
larangan menggunakan perhiasan dan parfum, merupakan simbol persamaan derajat
dan anti diskriminasi sosial. Adanya kewajiban berkorban (menyembelih binatang
yang dagingnya diberikan kepada fakir miskin), merupakan cermin anjuran
solidaritas sosial untuk mereka yang duafa (fakir miskin, kaum tertindas, dan
dizalimi). Demikian pula penetapan tempat dan waktu tertentu, juga mengajarkan
disiplin dari antarsesama manusia.
Ketiga, akhlak kepada lingkungan hidup. Dalam
konteks ini, sebagian prosesi ibadah haji mengajarkan kepada umat manusia tentang
kelestarian lingkungan hidup (ekologi) dan keseimbangan ekosistem. Hal ini
merupakan salah satu keunikan ibadah haji yang tidak ditemukan dalam ibadah
lainnya. Dalam kondisi ihram, misalnya, seorang jamaah haji dilarang merusak
alam, meskipun sekedar mencabut sebatang rumput atau membunuh seekor semut.
Jika hal itu dilakukan, akan berakibat serius terhadap kesempurnaan ibadah
hajinya.
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam doktrin
Islam, ibadah haji merupakan salah satu bentuk prosesi keagamaan yang bercorak
ritual, dan juga mempunyai dimensi lain yang sangat penting. Berbeda dengan
ritual Islam lainnya yang dapat dilakukan pada sembarang tempat dan waktu
sepanjang tahun, ibadah haji harus dilakukan di tempat-tempat tertentu, seperti
di Baitullah Makkah al-Mukarramah, Safa, Marwa, Arafah, Mina, dan Muzdalifah,
serta pada waktu tertentu pula, yaitu pada minggu kedua bulan Dzulhijjah.
Secara
normatif-dogmatis, kewajiban diperintahkan oleh Allah swt. kepada manusia yang mampu
sebagaimana dalam QS A<li Imran/3: 97. Di balik perintah tersebut,
kesadaran berhaji bukan semata-mata karena kewajiban, melainkan karena
dibarengi dengan kesadaran bahwa ibadah haji merupakan sarana yang cukup
efektif untuk membentuk kepribadian seseorang.
Ajaran haji yang sarat dengan nilai-nilai rohani
sudah tentu mampu mengangkat manusia ke derajat keluhuran ruhani. Keluhuran
ruhani berfungsi sebagai spirit kehidupan ke arah tatanan sosial yang lebih
berkarakter religius, suatu hal yang mutlak diperlukan dalam kehidupan ini agar
manusia terkontrol dalam setiap tindakannya. Banyaknya jamaah haji yang ke
tanah suci diharapkan tidak hanya semakin menambah banyaknya jumlah kualitas
dan kuantitas umat Islam di dunia, tetapi juga semakin menambah banyaknya kebaikan-kebaikan
di muka bumi.
B. Implikasi
Bimbingan haji secara terus menerus dari para
pembimbing ibadah yang memiliki dedikasi yang tinggi, sangat dibutuhkan oleh
para jamaah. Bimbingan tersebut bukan hanya berorientasi pada pelaksanaan
ibadah semata-mata, tetapi hendaknya berorientasi pula pada hubungan
kemanusiaan antar sesama jamaah. Sehingga diharapkan akan menghilangkan
sifat-sifat egoistik para jamaah dan menumbuhkan semangat kebersamaan atas
dasar tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa. Ketika kembali ke tanah air,
perlu ada upaya yang konkret secara bersama-sama untuk mempertahankan
kemabruran, sekaligus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat
dan bangsa.
Ibadah haji dengan sejarah kurban yang melibatkan
pribadi nabi Ibrahim as. dan putranya sangat patut direnungkan. Salah satu
dimensi kebesaran nabi Ibrahim as ialah besarnya pengorbanan yang
ditunjukkannya kepada Allah swt. Nabi Ibrahim as. adalah simbol bagi manusia
yang rela mengorbankan apa saja demi mencapai keridaan Tuhan, termasuk rela
mengorbankan diri sendiri di dalam kobaran api. Pada sisi lain, putranya
(Ismail as.) adalah simbol bagi sesuatu yang paling dicintai dan sekaligus
berpotensi untuk melemahkan dan menggoyahkan iman; simbol bagi sesuatu yang
dapat membuat manusia enggan menerima tanggung jawab; simbol bagi sesuatu yang
dapat mengajak manusia untuk berpikiran sempit dan berpendirian egois.
Tegasnya, simbol bagi segala sesuatu yang dapat menyesatkan manusia.
Sebagai simbol bagi sesuatu yang
amat dicintai, boleh jadi, “Ismail-Ismail” dalam diri seorang manusia mengambil
bentuk berupa harta kekayaan jabatan, dan kecintaan kepada dunia. Ibadah haji
mengajarkan kepada manusia untuk siap dan rela mengorbankan “Ismail-ismail”
mereka demi mencapai tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu mencapai rida Tuhan.
DAFTAR
PUSTAKA
Akkas, M. Amin. Haji dan
Reproduksi Sosial. Cet. I; Jakarta: Media Cita, 2005.
Al-As}fahani, al-Ragib. Mu’jam
Mufradat Alfaz al-Qur’an. Bairut: Dar al-Fikr, t.th.
Al-Baqi, Muhammad Fuad Abd. al-Mu’jam
Mufahras li Alfaz al-Qur’an al-Karim. Beirut: Dar al-Fikr, 1407 H/1987 M.
Baqir, Muhammad. Fikih
Praktis; Menurut Alqur’an, As-Sunnah, dan Pendapat para Ulama. Cet. I;
Bandung: Karisma, 2008.
Al-Bukhari, Muhammad bin Isma‘il
bin Ibrahim bin al-Mugirah. Sahih Bukhari, juz 1. Cet. I; Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, 1992 M/1412 H.
Dewan Redaksi Ensiklopedia
Islam, Ensiklopedia Islam, jilid 2. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
1994.
Departemen Agama RI., Dirjen
Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji. Bimbingan Manasik Haji. Jakarta:
Proyek Peningkatan Pelayanan Ibadah Haji Pusat, 2003.
_________. Panduan Perjalanan
Haji. Jakarta: Proyek Peningkatan Pelayanan Ibadah Haji Pusat, 2003.
Al-Dimasyqi, Taqy al-Din Abu Bakar bin Muhammad al-Husayni
al-Hus>ni. Kifayah
al-Akhyar fi Halli Ghayat al-Ikhtis}ar, juz I. Bandung: Syirkah al-Ma’arif li al-T|aba’ wa
al-Nasyr, t.th.
Al-Farmawi,
Abd al-Hayy. Muqaddimah fi al-Tafsir al-Qur’an. Bairut: Dar al-’Ilmi,
1977.
Al-Ghazali,
Imam. Imam al-Ghazali, “Al-Adab fi al-Din”, dalam Majmu‘ah Rasa‘il al-Imam
al-Ghazali. Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, 2006.
_________. Mukhtas}ar
Ihya‘ ‘Ulum al-Din. Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, 1425 H/2004 M.
Hidayat, Rachmat Taufiq. Khazanah
Istilah Al-Qur’an. Cet. V; Bandung: Mizan, 1995.
Al-Mis}ri,
Abd. Al-Ra’uf. Mu’jam al-Qur’an; Qamus Mufradat al-Qur’an wa Garibih. Cet.
II; Beirut: Dar al-Surur, 1367 H/1948 M.
Al-Naisaburi, Muslim Ibn al-Hajjaj
al-Qusyairi. Shahih Muslim, juz 6. Cet. I; Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
1994.
Putuhena, M. Shaleh. Historiografi
Haji Indonesia. Cet. I; Yogyakarta: LkiS, 2007.
Al-Qurt}ubi. Abu ‘Abdullah Muhammad ibn Ahmad al-Ans}ari.
al-Jami‘ al-Ahkam al-Qur’an, Juz 2. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
1993.
Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah,
juz II. Cet. XI; Kairo: Dar al-Fath li al-I’lam al-Arabiy, 1994.
Salim, H. Abd. Muin, Mardan, dan
Achmad Abu Bakar, Metodologi Penelitian Tafsir Maud}u’i. Cet. I;
Yogyakarta: Pustaka al-Zikra, 2011.
Shihab, M. Quraish. Membumikan
Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Cet. VI;
Bandung: Mizan, 1994.
_________. Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian
Al-Qur’an. Cet. I;
Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Al-Suyuti, Jalal al-Din. al-Durr
al-Mantsur fi al-Tafsir al-Ma’tsur, Tahqiq: ‘Abdullah bin Abd al-Muhsin
al-Turki, juz 2. Cet. II; Kairo: Markaz Hijr li al-Buhuts wa al-Dirasat al-’Arabiyah
wa al-Islamiyah, 1424 H/2003 M.
Surah, Abu Isa
Muhammad Ibn Isa. al-Jami‘ al-Sahih Sunan al-Turmuzi, juz 3. Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.
Syaltut, Mahmud. al-Islam; Aqidah
wa al-Syari‘ah. Kairo: Dar al-Qalam, t.th.
Zakariya, Abi Husain Ahmad bin Faris.
Mu’jam Maqayis al-Lugah, juz II. Beirut: Dar al-Fikr, 1979.
Zuhayli, Wahbah. al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh,
juz III. Cet. III; Beirut: Dar al-Fikr,1989.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar