AL-BAYAN[1]
Al-Syafi’i berkata: Bayan
adalah pernyataan yang mencakup berbagai makna yang memiliki kesamaan pokok
tetapi beragam cabangnya. Setidaknya yang dimaksud dengan makna-makna yang sama
pokoknya tetapi beragam cabangnya itu adalah penjelasan kepada pembacanya
dimana Alquran turun dengan menggunakan bahasanya. Bagi pembaca yang memahami
bahasa Arab, penjelasan tersebut sangat relevan (tidak kontradiktif), meskipun
sebagiannya lebih kuat dalam menegaskan penjelasan daripada sebagian yang lain.
Sedangkan bagi orang yang tidak memahami bahasa Arab, penjelasan ini tampak
kontradiktif.
Al-Syafi’i
berkata: Intinya, apa yang dijelaskan Allah kepada manusia di dalam kitab-Nya
mengambil beberapa bentuk:
1.
Apa yang dijelaskan Allah kepada manusia secara nas, seperti sejumlah
ketetapan-Nya bahwa mereka wajib salat, zakat, haji, dan puasa. Juga ketetapan
Allah tentang perkara-perkara keji, baik lahir maupun batin, meredaksikan
keharaman zina,[2]
khamar, makan bangkai, darah, dan daging babi, menjelaskan kepada mereka cara
melaksanakan fardu wudu, serta hal-hal lain yang dijelaskan-Nya dalam bentuk
nas.
2.
Apa yang ditetapkan kewajibannya dengan kitab-Nya dan dijelaskan tata
caranya melalui lisan nabi-Nya, seperti jumlah rakaat salat, zakat dan
waktunya, serta kewajiban-kewajiban lain yang diturunkan Allah melalui
kitab-Nya.
3.
Apa yang diturunkan Rasulullah saw. namun tidak ada nas hukum dari
Allah di dalam Alquran. Di dalam Alquran Allah telah mewajibkan taat kepada
Rasulullah saw. dan mengikuti hukumnya. Barangsiapa menerima suatu hukum dari
Rasulullah saw. maka pada hakikatnya ia menerima dari Allah.
4.
Apa yang Allah wajibkan kepada manusia untuk berijtihad dalam
mencarinya, serta menguji ketaatan mereka dalam berijtihad, sebagaimana Allah
menguji ketaatan mereka dalam perkara lain yang juga diwajibkan Allah kepada
mereka, karena Allah swt. berfirman:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّى نَعْلَمَ الْمُجَاهِدِينَ
مِنكُمْ وَالصَّابِرِينَ وَنَبْلُوَ أَخْبَارَكُمْ ﴿٣١﴾
Terjemahnya:
Dan sesungguhnya
Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang
berjihad dan bersabar di antara kamu, dan agar Kami menyatakan (baik buruknya)
hal ihwalmu. (QS Muhammad/47: 31)
وَلِيَبْتَلِيَ اللّهُ مَا فِي صُدُورِكُمْ وَلِيُمَحَّصَ
مَا فِي قُلُوبِكُمْ وَاللّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ ﴿١٥٤﴾
Terjemahnya:
Dan Allah
(berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk
membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha mengetahui isi hati. (QS Ali
Imran/3: 154)
قَالَ عَسَى رَبُّكُمْ أَن يُهْلِكَ عَدُوَّكُمْ
وَيَسْتَخْلِفَكُمْ فِي الأَرْضِ فَيَنظُرَ كَيْفَ تَعْمَلُونَ ﴿١٢٩﴾
Terjemahnya:
Mudah-mudahan
Allah membinasakan musuhmu dan menjadikan kamu khalifah di bumi(Nya), Maka
Allah akan melihat bagaimana perbuatanmu. (QS al-A’raf/7: 129)
Allah
mengarahkan kiblat mereka ke Masjidil Haram, lalu berfirman kepada nabi-Nya:
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاء فَلَنُوَلِّيَنَّكَ
قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا
كُنتُمْ فَوَلُّواْ وُجُوِهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوْتُواْ الْكِتَابَ
لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِن رَّبِّهِمْ وَمَا اللّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ
﴿١٤٤﴾
Terjemahnya:
Sungguh Kami
(sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan
memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah
Masjidil Haram, dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.
(QS al-Baqarah/2: 144)
وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ
الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّواْ وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ لِئَلاَّ
يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ إِلاَّ الَّذِينَ ظَلَمُواْ مِنْهُمْ فَلاَ تَخْشَوْهُمْ
وَاخْشَوْنِي وَلأُتِمَّ نِعْمَتِي عَلَيْكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ ﴿١٥٠﴾
Terjemahnya:
Dan dari mana
saja kamu (keluar), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram, dan
dimana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar
tidak ada hujah bagi manusia atas kamu. (QS al-Baqarah/2: 150)
Saat
mereka tidak menyaksikan Masjidil Haram, maka Allah menunjukkan kepada mereka
ijtihad yang benar yang diwajibkan atas mereka, yaitu ijtihad dengan akal yang
dititipkan Allah dalam diri mereka, serta yang membedakan antar segala sesuatu
dan kontradiksinya. Juga dengan berbagai tanda yang dibentangkan Allah di depan
mereka, sehingga mereka tidak harus melihat Masjidil Haram yang diperintahkan
Allah untuk menghadap ke arahnya.
Allah
swt. berfirman:
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ النُّجُومَ لِتَهْتَدُواْ بِهَا فِي ظُلُمَاتِ
الْبَرِّ وَالْبَحْرِ قَدْ فَصَّلْنَا الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ ﴿٩٧﴾
Terjemahnya:
Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu
menjadikannya petunjuk
dalam kegelapan di darat dan di laut. (QS al-An’am/6: 97)
وَعَلامَاتٍ وَبِالنَّجْمِ هُمْ يَهْتَدُونَ
﴿١٦﴾
Terjemahnya:
Dan (Dia
ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan), dan dengan bintang-bintang itulah
mereka mendapat petunjuk. (QS al-Nahl/16: 16)
Tanda-tanda
itu berupa gunung, malam dan siang, di dalamnya terdapat angin-angin yang telah
diketahui nama-namanya meskipun berbeda-beda hembusannya. Juga matahari,
rembulan, dan bintang-bintang yang telah diketahui tempat terbitnya, tempat
terbenamnya, dan posisi orbitnya. Allah mewajibkan mereka berijtihad untuk bisa
menghadap ke arah Masjidil Haram melalui apa yang telah ditunjukkan Allah
kepada mereka, sebagaimana telah saya jelaskan. Oleh karena itu, mereka harus
berijtihad tanpa boleh mengesampingkan perintah Allah. Allah swt. tidak
mengizinkan mereka salat ke arah sesuka hati mereka manakala tidak melihat
Masjidil Haram.
Allah
juga memberitahu mereka tentang ketetapan-Nya, dan berfirman:
أَيَحْسَبُ الْإِنسَانُ أَن يُتْرَكَ سُدًى ﴿٣٦﴾
Terjemahnya:
Apakah manusia
mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)? (QS
al-Qiyamah/75: 36)
Maksudnya,
dibiarkan tanpa perintah dan larangan.
Hal
tersebut menunjukkan bahwa tidak seorang pun, selain Rasulullah saw., yang
boleh menetapkan sesuatu kecuali dengan argumen, sebagaimana telah syariat
jelaskan dalam masalah ini, masalah tebusan dan masalah balasan berburu di
Tanah Haram. Ia tidak boleh berpendapat menurut apa yang dianggapnya baik (istih}san),
karena pendapat menurut istih}san merupakan sesuatu yang
diada-adakannya tanpa mengikuti petunjuk sebelumnya. Oleh karena itu, Allah
memerintahkan mereka untuk mengangkat saksi dari dua orang yang adil, dan
mereka punya cara untuk mengetahui sifat adil. Hal ini telah disampaikan pada
tempatnya, dan saya telah menuliskan beberapa kalimat, dengan harapan bisa
menunjukkan perkara-perkara yang semakna dengan perkara ini.
Bayan Pertama
Allah swt. berfirman mengenai orang
yang haji tamattu’:
وَأَتِمُّواْ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلّهِ فَإِنْ
أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ وَلاَ تَحْلِقُواْ رُؤُوسَكُمْ حَتَّى
يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضاً أَوْ بِهِ أَذًى مِّن رَّأْسِهِ
فَفِدْيَةٌ مِّن صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ فَإِذَا أَمِنتُمْ فَمَن تَمَتَّعَ
بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَن لَّمْ يَجِدْ
فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ
كَامِلَةٌ ذَلِكَ لِمَن لَّمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَاتَّقُواْ
اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ ﴿١٩٦﴾
Terjemahnya:
Maka bagi siapa
yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia
menyembelih) korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan
(binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa
haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh
(hari) yang sempurna. demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang
yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang
bukan penduduk kota Mekah). (QS al-Baqarah/2: 196)
Bagi orang yang hidup pada masa
turunnya ayat ini, jelas bahwa puasa tiga hari dikerjakan pada masa haji, dan
tujuh hari setelah pulang, maka seluruhnya adalah sepuluh hari yang sempurna.
Allah berfirman: “Itulah sepuluh
hari yang sempurna.” Bisa jadi lafaz ini untuk menguatkan penjelasan, dan bisa
jadi pula Allah memberitahu mereka bahwa jika tiga ditambah tujuh maka hasilnya
genap sepuluh.[3]
Allah berfirman:
وَوَاعَدْنَا مُوسَى ثَلاَثِينَ لَيْلَةً وَأَتْمَمْنَاهَا
بِعَشْرٍ فَتَمَّ مِيقَاتُ رَبِّهِ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً وَقَالَ مُوسَى لأَخِيهِ هَارُونَ
اخْلُفْنِي فِي قَوْمِي وَأَصْلِحْ وَلاَ تَتَّبِعْ سَبِيلَ الْمُفْسِدِينَ ﴿١٤٢﴾
Terjemahnya:
dan telah Kami
janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh
malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka
sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam. (QS al-A’raf/7:
142)
Bagi orang yang hidup pada masa
turunnya ayat ini, jelas bahwa tiga puluh ditambah sepuluh sama dengan empat
puluh.
Firman Allah swt. “Empat puluh
malam” memiliki kemungkinan seperti ayat sebelumnya. Bisa jadi penjelasan bahwa
tiga puluh ditambah sepuluh sama dengan empat puluh. Bisa jadi ini untuk
menguatkan penjelasan.
Allah swt. berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ
الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
﴿١٨٣﴾ أَيَّاماً مَّعْدُودَاتٍ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ
مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
فَمَن تَطَوَّعَ خَيْراً فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ وَأَن تَصُومُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن
كُنتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿١٨٤﴾
Terjemahnya:
Hai orang-orang
yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (yaitu) Dalam beberapa hari yang
tertentu, maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan
(lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (QS al-Baqarah/2: 183-184)
Allah swt. berfirman:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ
هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ
الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَن كَانَ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ
أُخَرَ يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُواْ
الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ اللّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
﴿١٨٥﴾
Terjemahnya:
(Beberapa hari
yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan
(permulaan) Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu,
barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu,
maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari
yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan
bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan
bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang
diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (QS al-Baqarah/2: 185)
Allah mewajibkan puasa bagi mereka,
lalu Allah menjelaskan bahwa lamanya adalah sebulan. Satu bulan bagi mereka
adalah di antara dua bulan sabit, dan terkadang ia berjumlah tiga puluh dan dua
puluh sembilan.
Maksud ayat tersebut sama seperti
maksud dua ayat sebelumnya, yaitu untuk menambahkan penjelasan hasil bilangan.
Fungsi penambahan penjelasan jumlah bilangan tujuh dan tiga, serta tiga puluh
dan sepuluh, adalah untuk memperjelas, karena mereka telah tahu jumlah kedua
bilangan itu dan jumlahnya, sebagaimana mereka telah mengetahui bulan Ramadan.
Bayan Kedua
Allah swt. berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا قُمْتُمْ
إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُواْ
بِرُؤُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَينِ وَإِن كُنتُمْ جُنُباً فَاطَّهَّرُواْ
وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاء أَحَدٌ مَّنكُم مِّنَ الْغَائِطِ
أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاء فَلَمْ تَجِدُواْ مَاء فَتَيَمَّمُواْ صَعِيداً طَيِّباً
فَامْسَحُواْ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ مَا يُرِيدُ اللّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم
مِّنْ حَرَجٍ وَلَـكِن يُرِيدُ لِيُطَهَّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ ﴿٦﴾
Terjemahnya:
Apabila kamu
hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan
siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,
dan jika kamu junub maka mandilah. (QS al-Ma’idah/5: 6)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقْرَبُواْ
الصَّلاَةَ وَأَنتُمْ سُكَارَى حَتَّىَ تَعْلَمُواْ مَا تَقُولُونَ وَلاَ جُنُباً إِلاَّ
عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىَ تَغْتَسِلُواْ وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ
جَاء أَحَدٌ مِّنكُم مِّن الْغَآئِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاء فَلَمْ تَجِدُواْ
مَاء فَتَيَمَّمُواْ صَعِيداً طَيِّباً فَامْسَحُواْ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ
اللّهَ كَانَ عَفُوّاً غَفُوراً ﴿٤٣﴾
Terjemahnya:
(Dan jangan pula
menghampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, kecuali sekadar berlalu
saja. (QS al-Nisa’/4: 43)
Kitab Allah menjelaskan tentang tata
cara wudu, bukan istinja’ (bersuci) dengan batu dan juga tentang mandi
junub. Batas minimal membasuh wajah dan anggota tubuh lainnya adalah sekali,
tetapi mencakup lebih dari satu kali. Rasulullah saw. menjelaskan bahwa
membasuh itu cukup sekali, tetapi beliau pernah berwudu dengan tiga kali membasuh.
Hal ini menunjukkan bahwa ukuran minimal membasuh anggota tubuh itu sudah sah,
dan ukuran minimal saat mandi adalah satu kali. Apabila satu kali sudah sah
maka bilangan tiga kali hanyalah pilihan.
Sunah
menunjukkan bahwa istinja’ sah dengan menggunakan tiga batu. Nabi saw.
pun menunjukkan wudu dan mandi yang beliau kerjakan. Beliau menunjukkan bahwa
dua mata kaki dan dua siku termasuk anggota tubuh yang harus dibasuh, karena
ayat mengandung pesan bahwa keduanya adalah batas basuhan, dan keduanya masuk ke
dalam basuhan. Sabda Rasulullah saw. “Celakalah kaki-kaki yang masuk neraka.”[4]
Menunjukkan bahwa yang diperintahkan adalah membasuh, bukan mengusap.
Allah
swt. berfirman:
يُوصِيكُمُ اللّهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ
مِثْلُ حَظِّ الأُنثَيَيْنِ فَإِن كُنَّ نِسَاء فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا
مَا تَرَكَ وَإِن كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ
مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُ
وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِن كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلأُمِّهِ
السُّدُسُ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَآؤُكُمْ وَأَبناؤُكُمْ
لاَ تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعاً فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ إِنَّ اللّهَ
كَانَ عَلِيما حَكِيماً ﴿١١﴾
Terjemahnya:
Dan untuk dua
orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan,
jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat
sepertiga. (QS al-Nisa’/4: 11)
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِن لَّمْ
يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ
مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ
إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا
تَرَكْتُم مِّن بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَإِن كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ
كَلاَلَةً أَو امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ
فَإِن كَانُوَاْ أَكْثَرَ مِن ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاء فِي الثُّلُثِ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ
يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَآرٍّ وَصِيَّةً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ
حَلِيمٌ ﴿١٢﴾
Terjemahnya:
Dan bagimu
(suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika
mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat
yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh
seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu
mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar
hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang
tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang
saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja),
maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi
jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam
yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah
dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris). (Allah
menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan
Allah Mahamengetahui lagi Mahapenyantun. (QS al-Nisa’/4: 12)
Jadi penjelasan Alquran tersebut
telah cukup tanpa memerlukan penjelasan lainnya. Selain itu, Allah menetapkan
satu syarat di dalamnya, yaitu setelah wasiat ditunaikan dan utang dibayar.
Penjelasan ini menunjukkan bahwa wasiat tidak boleh melebihi sepertiga.
Bayan Ketiga
Allah swt. berfirman:
فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلاَةَ فَاذْكُرُواْ اللّهَ
قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَى جُنُوبِكُمْ فَإِذَا اطْمَأْنَنتُمْ فَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ
إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَاباً مَّوْقُوتاً ﴿١٠٣﴾
Terjemahnya:
Sesungguhnya
salat itu adalah fardu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.
(QS al-Nisa’/4: 103)
وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَآتُواْ الزَّكَاةَ وَارْكَعُواْ
مَعَ الرَّاكِعِينَ ﴿٤٣﴾
Terjemahnya:
Dan dirikanlah
salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk. (QS
al-Baqarah/2: 43)
وَأَتِمُّواْ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلّهِ ﴿١٩٦﴾
Terjemahnya:
Dan
sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. (QS al-Baqarah/2: 196)
Allah kemudian menjelaskan melalui
lisan nabi-Nya tentang jumlah rakaat salat fardu, waktunya, dan sunah-sunahnya,
jumlah zakat dan waktunya, cara mengerjakan haji dan umrah dan sebagainya. Ada
yang aturannya berbeda dan ada yang sepakat. Masih banyak aturan di dalam
Alquran dan sunah yang serupa dengan masalah ini.
Bayan Keempat
Setiap ketetapan Rasulullah saw.
yang tidak djelaskan oleh Alquran dan yang ada di dalam kitab kami ini tentang
pengajaran Kitab dan hikmah yang dianugerahkan Allah kepada hamba-hamba-Nya
merupakan dalil bahwa hikmah merupakan sunah Rasulullah saw.
Allah telah mewajibkan
hamba-hamba-Nya untuk taat kepada rasul-Nya, dan Allah juga telah menjelaskan
sumber tempat Dia meletakkan sebagian agamanya. Hal itu mengandung dalil bahwa
penjelasan mengenai kewajiban-kewajiban yang tersurat di dalam kitab Allah
mengikuti salah satu bentuk berikut ini:
1.
Apa yang telah dijelaskan oleh Alquran dengan sejelas-jelasnya,
sehingga sumber lain tidak bisa dijadikan argumen.
2.
Apa yang dijelaskan kewajibannya oleh Alquran dengan sejelas-jelasnya,
telah ditetapkan olehnya keharusan menaati Rasulullah saw., lalu Rasulullah
saw. pun menjelaskannya dari Allah mengenai cara melaksanakan kewajiban-Nya,
pada siapa ia diwajibkan dan kapan berlakunya.
3.
Apa yang dijelaskan Allah melalui sunah nabi-Nya tanpa ada nas di
dalam Kitab. Segala sesuatu yang bersumber dari sunah nabi saw. merupakan
penjelasan tentang kitab Allah. Jadi, setiap orang yang menerima
kewajiban-kewajiban dari Allah di dalam kitab-Nya seharusnya menerima sunah
dari Rasulullah saw., karena Allah telah mewajibkan hamba-hamba-Nya untuk taat
kepada rasul-Nya dan mengikuti hukumnya. Barangsiapa yang menerima pesan dari
Rasulullah saw., maka pada hakikatnya ia menerima pesan dari Allah, karena
Allah mengharuskan taat kepadanya.
Menerima
apa yang ada di dalam kitab dan sunah Rasulullah saw. -secara implisit-
mengindikasikan penerimaan masing-masing dari Allah, meskipun berbeda-beda
media penerimaannya, sebagaimana Allah menghalalkan dan mengharamkan,
mengharuskan dan menetapkan, lantaran sebab yang berbeda-beda menurut
kehendak-Nya.
لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ
﴿٢٣﴾
Terjemahnya:
Dia tidak
ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai. (QS
al-Anbiya’/21: 23)
Bayan Kelima
Allah
swt. berfirman:
وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ
الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّواْ وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ لِئَلاَّ
يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ إِلاَّ الَّذِينَ ظَلَمُواْ مِنْهُمْ فَلاَ تَخْشَوْهُمْ
وَاخْشَوْنِي وَلأُتِمَّ نِعْمَتِي عَلَيْكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ ﴿١٥٠﴾
Terjemahnya:
Dan dari mana
saja kamu (keluar), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di
mana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar
tidak ada hujah bagi manusia atas kamu. (QS al-Baqarah/2: 150)
Di manapun mereka berada, Allah
mewajibakan mereka untuk menghadapkan wajah mereka ke arah Masjidil Haram. Kata
syathrahu berarti “arahnya”. Dalam bahasa Arab, bila anda berkata (أقصد شطر كذا), maka maksudnya adalah “aku menuju arah ini”.
Begitupula dengan kata (تلقاءه),
kedua kata ini memiliki arti yang sama, meskipun lafaznya berbeda.
Khufaf bin Nud}bah bersenandung:
ألا من مبلغ عَمرًا رسولاً ... وما تغنى الرسالة شطر عمرو
“Adakah yang mengantar seorang utusan kepada
Amru, sedangkan risalah itu tidak berguna bagi Amru”
Sa’idah
bin Ju’aiyah bersenandung:
أقول لأم زِنْباِعٍ أقيمى ... صدور العِيس شطر بنى تميمِ
“Kukatakan kepada Ummu Zinba: Tegakkan dada unta
yang bagus ke arah bani Tamim”
Laqith al-Iyadi
bersenandung:
لقد أظلكُمُ من شطر ثغركُمُ ... هولٌ له ظُلَمٌ تغشاكُمُ قِطَعَا
“Kalian terbayangi dari arah celah kalian, suatu
kengerian yang kegelapannya menutupi kalian”
Seorang bersenandung:
إن العسير بها داءٌ مُخامرُها ... فشطرَها بَصَرُ العينين مسحورُ
“Sesungguhnya unta yang mogok itu ada
penyakitnya, maka ke arahnya pandangan kedua mata menjadi layu”
Semua syair tersebut, dan
syair-syair lainnya, menjelaskan bahwa kata syathra berarti arah. Bila
arah yang dituju (Masjidil Haram), terlihat mata maka harus menghadap ke
arahnya. Bila tidak terlihat, maka harus berijtihad agar bisa menghadap ke
arahnya. Ijtihad inilah kemungkinan terbesar yang bisa dilakukannya.
Allah swt. berfirman:
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ النُّجُومَ لِتَهْتَدُواْ
بِهَا فِي ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ قَدْ فَصَّلْنَا الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
﴿٩٧﴾
Terjemahnya:
Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu
menjadikannya petunjuk
dalam kegelapan di darat dan di laut. (QS al-An’am/6: 97)
وَعَلامَاتٍ وَبِالنَّجْمِ هُمْ يَهْتَدُونَ
﴿١٦﴾
Terjemahnya:
Dan (Dia
ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan), dan dengan bintang-bintang itulah
mereka mendapat petunjuk. (QS al-Nahl/16: 16)
Allah menciptakan tanda-tanda bagi
mereka, mendirikan Masjidil Haram bagi mereka, dan memerintahkan mereka untuk
menghadapnya. Mereka menghadap ke arahnya dengan bantuan tanda-tanda yang
diciptakan Allah untuk mereka, dan dengan bantuan akal yang Allah titipkan
dalam diri mereka, yang mereka gunakan sebagai instrumen untuk mengetahui
tanda-tanda tersebut. Semua ini merupakan penjelasan dan nikmat dari Allah swt.
Allah swt. berfirman:
فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ
أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِّنكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ
لِلَّهِ ذَلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَن كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجاً ﴿٢﴾
Terjemahnya:
Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu. (QS al-Talaq/65:
2)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم
بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ
وَلاَ يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ
الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللّهَ رَبَّهُ وَلاَ يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئاً
فَإن كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهاً أَوْ ضَعِيفاً أَوْ لاَ يَسْتَطِيعُ
أَن يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُواْ شَهِيدَيْنِ
من رِّجَالِكُمْ فَإِن لَّمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّن تَرْضَوْنَ
مِنَ الشُّهَدَاء أَن تَضِلَّ إْحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأُخْرَى وَلاَ
يَأْبَ الشُّهَدَاء إِذَا مَا دُعُواْ وَلاَ تَسْأَمُوْاْ أَن تَكْتُبُوْهُ صَغِيراً
أَو كَبِيراً إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِندَ اللّهِ وَأَقْومُ لِلشَّهَادَةِ
وَأَدْنَى أَلاَّ تَرْتَابُواْ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا
بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلاَّ تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوْاْ إِذَا
تَبَايَعْتُمْ وَلاَ يُضَآرَّ كَاتِبٌ وَلاَ شَهِيدٌ وَإِن تَفْعَلُواْ فَإِنَّهُ فُسُوقٌ
بِكُمْ وَاتَّقُواْ اللّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللّهُ وَاللّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
﴿٢٨٢﴾
Terjemahnya:
Maka (boleh)
seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai. (QS
al-Baqarah/2: 282)
Di dalam ayat
ini Allah menjelaskan bahwa orang adil yang dimaksud adalah orang yang taat
kepada-Nya. Orang yang mereka lihat taat, maka ia adil. Bila berbuat
sebaliknya, maka ia tidak adil.
Allah swt. berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقْتُلُواْ
الصَّيْدَ وَأَنتُمْ حُرُمٌ وَمَن قَتَلَهُ مِنكُم مُّتَعَمِّداً فَجَزَاء مِّثْلُ
مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِّنكُمْ هَدْياً بَالِغَ الْكَعْبَةِ
أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ أَو عَدْلُ ذَلِكَ صِيَاماً لِّيَذُوقَ وَبَالَ
أَمْرِهِ عَفَا اللّهُ عَمَّا سَلَف وَمَنْ عَادَ فَيَنتَقِمُ اللّهُ مِنْهُ وَاللّهُ
عَزِيزٌ ذُو انْتِقَامٍ ﴿٩٥﴾
Terjemahnya:
Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan ketika kamu sedang ihram.
Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah
mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya,
menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai had-yad yang
dibawa sampai ke Ka’bah. (QS al-Ma’idah/5: 95)
Menurut
pendapat yang kuat, ukuran yang sepadan adalah yang paling serupa ukuran
tubuhnya. Berbagai pendapat dari kalangan sahabat Rasulullah saw. menyepakati
denda bagi orang yang berburu (pada waktu ihram), yaitu hewan yang paling mendekati
ukuran tubuh hewan yang dibunuhnya. Oleh karena itu, dalam hal binatang buruan
kami berpendapat bahwa dendanya adalah binatang yang paling mendekati ukuran
tubuhnya.
Jadi,
kesepadanan yang dimaksud di sini bukan berdasarkan nilai (harga), melainkan kesepadanan
dari segi ukuran tubuhnya. Apabila ada dua pemahaman yang berdekatan secara
eksplisit dan implisit, maka pendapat yang eksplisit lebih kuat. Inilah ijtihad
yang dituntut oleh penetap hukum dengan cara mengajukan bukti mengenai binatang yang sepadan.
Sekilas
penjelasan ini menjadi bukti mengenai gambaran saya tadi, bahwa seseorang tidak
boleh menetapkan halal-haramnya sesuatu kecuali dengan didasari ilmu, sedangkan
ilmu bersumber dari berita di dalam kitab atau sunah, atau ijma, atau qiyas.
Inti
dari penjelasan masalah ini adalah qiyas, karena yang dituntut dalam qiyas
adalah dalil tentang kebenaran kiblat, keadilan, dan kesepadanan.
Qiyas
adalah pencarian dengan dalil-dalil tentang kesesuaian informasi yang telah ada
dari kitab atau sunah, karena keduanya menjadi sumber kebenaran yang wajib
dicari, seperti mengkaji masalah kiblat, adil, dan ukuran sepadan yang telah
saya jelaskan.
Kesesuaian
ini dapat dilihat dari dua segi:
1.
Allah dan rasul-Nya mengharamkan sesuatu secara tekstual, atau
menghalalkannya karena suatu alasan. Apabila kita menjumpai sesuatu yang
memiliki alasan serupa, dan tidak ada teks Kitab atau sunah yang menetapkan
hukumnya secara eksplisit, maka kami menetapkan kehalalan atau keharamannya
sesuai alasan halal atau haram yang dijelaskan dalam Kitab atau sunah.
2.
Bila kita mendapat dua hal yang salah satunya lebih menyerupai hal
yang dimaksud, sementara kita tidak mendapatkan sesuatu yang sama dengannya,
maka kami menganggap sesuatu yang serupa itu termasuk kategori sesuatu yang
sama, sebagaimana pendapat kami dalam masalah berburu.
Di
dalam masalah ilmu ada dua aspek, yaitu ijma (konsensus) dan ikhtilaf (perbedaan
pendapat). Keduanya telah dijelaskan di selain kitab ini.
Ada
beberapa informasi esensial yang terkandung di dalam Kitab Allah:
1.
Seluruh isi Alquran turun dalam bahasa Arab.
2.
Informasi tentang adanya nasikh dan mansukh, sesuatu
yang diwajibkan oleh wahyu, serta berbagai penjelasan tentang etika, nasihat,
dan kebolehan.
3.
Informasi tentang posisi Allah menetapkan nabi-Nya, yaitu untuk
menyampaikan pesan dari Allah tentang ketetapannya di dalam kitab-Nya dan
dijelaskan-Nya melalui lisan nabi-Nya, serta apa yang dikehendaki-Nya dari
semua kewajiban-Nya, dan untuk siapa Allah menghendaki kewajiban itu. Juga
menjelaskan kewajiban manusia untuk taat kepada-Nya dan patuh kepada
perintah-Nya.
4.
Informasi tentang berbagai perumpamaan yang dibuat Allah untuk
memotivasi umatnya agar taat kepada-Nya, penjelasan agar manusia meninggalkan
maksiat kepada-Nya, tidak melupakan kebahagiaan yang hakiki, serta meningkatkan
ibadah sunah yang mendatangkan keutamaan.
Yang
harus dilakukan seluruh manusia adalah tidak berkata apapun kecuali menurut apa
yang mereka ketahui secara pasti. Banyak orang bicara yang seandainya ia
menahan diri dari pembicaraan itu maka akan lebih mendekatkannya kepada
keselamatan.
AL-IKHTILAF
(PERBEDAAN PENDAPAT)
Tanya : Saya menemukan ulama pada masa lalu dan
sekarang berbeda pendapat dalam berbagai hal. Apakah itu boleh bagi mereka?
Al-Syafi’i: Perbedaan pendapat itu ada dua macam, yaitu yang mengharamkan dan
yang tidak mengharamkan.
Tanya : Apa itu perbedaan pendapat yang diharamkan?
Al-Syafi’i: Setiap sesuatu yang telah dijelaskan argumennya oleh Allah swt.
atau melalui lisan nabi-Nya dalam bentuk nas yang tidak boleh diperselisihkan
kebenarannya.
Adapun
yang mengandung takwil dan yang diketahui melalui qiyas, lalu pelaku takwil dan
qiyas berpegang pada salah satu makna yang terkadang di dalam khabar
atau qiyas, meskipun ulama lain berbeda pendapat dengannya, maka saya tidak mengatakan
bahwa hal itu terbatas ruang geraknya, sebagaimana terbatasnya perbedaan
pendapat dalam perkara yang dinaskan.
Tanya : Apakah ada argumen yang menjelaskan
klasifikasi anda di antara dua perbedaan tersebut?
Al-Syafi’i: Allah swt. mengecam perpecahan sebagaimana dalam firman-Nya:
وَمَا تَفَرَّقَ
الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِن بَعْدِ مَا جَاءتْهُمُ الْبَيِّنَةُ ﴿٤﴾
Terjemahnya:
Dan tidaklah
berpecah belah orang-orang yang didatangkan al-Kitab (kepada mereka) melainkan
sesudah datang kepada mereka bukti yang nyata. (QS al-Bayyinah/98: 4)
وَلاَ تَكُونُواْ كَالَّذِينَ تَفَرَّقُواْ وَاخْتَلَفُواْ مِن بَعْدِ مَا
جَاءهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُوْلَـئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ ﴿١٠٥﴾
Terjemahnya:
Dan janganlah
kamu seperti orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang
keterangan yang jelas kepada mereka. (QS Ali Imran/3: 105)
Allah swt. mengecam perbedaan
pendapat di dalam perkara yang dalilnya telah mereka terima. Mengenai perkara
yang mengharuskan mereka untuk berijtihad, saya telah memberi contoh berupa
menghadap kiblat, kesaksian, dan lainnya.
Tanya : Berikan contoh kepadaku tentang sebagian
perbedaan pendapat ulama salaf, yang Allah swt. menaskan suatu hukum yang
mengandung takwil. Adakah petunjuk tentang yang benar di antara
pendapat-pendapat yang berbeda itu?
Al-Syafi’i: Setiap kali mereka berbeda pendapat, kami menemukan dalil
Alquran, atau sunah, atau qiyas terhadap keduanya, atau terhadap salah satunya.
Tanya : Sebutkan salah satunya!
Al-Syafi’i: Allah swt. berfirman:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ
ثَلاَثَةَ قُرُوَءٍ وَلاَ يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ
إِن كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ
فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُواْ إِصْلاَحاً وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللّهُ عَزِيزٌ حَكُيمٌ ﴿٢٢٨﴾
Terjemahnya:
Perempuan-perempuan
yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. (QS
al-Baqarah/2: 228)
‘Aisyah ra. berkata: “Yang dimaksud
dengan kata aqra’ adalah perempuan yang suci dari haid.”
Keterangan semakna disampaikan oleh Zayd bin S|abit, Ibnu Umar, dan
selainnya.
Satu kelompok sahabat nabi saw.
berkata: aqra’ adalah perempuan yang sedang haid.[5]
Jadi mereka tidak menghalalkan
perempuan yang dicerai untuk dinikahi sampai ia mandi dari haid yang ketiga.
Tanya : Menurut
anda, bagaimana pada kedua kelompok tersebut?
Al-Syafi’i: Titik temu kedua makna aqra’ adalah
waktu. Waktu dalam hal ini merupakan tanda yang dilewati oleh perempuan yang
dicerai, yang dalam waktu tersebut ia terhalang (tidak boleh) menikah sampai ia
menggenapi waktu tersebut.
Ulama
yang memaknai kata aqra’ dengan perempuan haid -menurut kami-
berpendapat bahwa batasan waktu merupakan bagian terkecil dari waktu itu
sendiri, sebagaimana batasan sesuatu itu lebih sedikit daripada sesuatu itu
sendiri. Masa haid lebih sedikit daripada masa suci. Jadi, menurut bahasa,
makna yang paling tepat untuk iddah adalah waktu atau masa haid lebih tepat
untuk dijadikan masa bagi iddah, sebagaimana bulan sabit merupakan waktu
pemisah di antara dua bulan, dan masa haid lebih sedikit daripada masa suci.
Dikarenakan nabi saw. menyuruh para
perempuan tawanan Authas[6]
untuk membersihkan rahim sebelum disenggamai dengan satu kali haid, maka itu
menunjukkan bahwa maksud dari iddah adalah membersihkan rahim, dan membersihkan
rahim adalah dengan adanya haid. Beliau membedakan kebersihan rahim antara
budak perempuan dengan perempuan merdeka. Perempuan merdeka dianggap bersih
rahimnya dengan tiga kali masa haid yang sempurna hingga memasuki masa suci,
sedangkan budak perempuan dianggap bersih rahimnya dengan sekali haid yang
sempurna hingga memasuki masa suci.
Tanya : Ini
adalah satu pendapat. Lalu bagaimana bisa anda memilih pendapat lain, sedangkan
menurut anda ayat tersebut mengandung dua makna?
Al-Syafi’i: Batas waktu dengan terlihatnya bulan
sabit merupakan tanda yang dijadikan Allah swt. untuk mengetahui bulan. Bulan
sabit berbeda dengan siang dan malam, karena bulan sabit mencakup tiga puluh
hari atau dua puluh sembilan hari. Ketika bulan sabit muncul pada malam ke-30,
dimulailah hitungan bulan baru. Hanya inilah makna yang ada pada peristiwa
tersebut. Meskipun kata quru’ menunjukkan arti waktu, namun ia merupakan
bilangan siang dan malam, yang haid dan suci pada siang dan malam hari disebut
iddah. Waktu juga diserupakan dengan batas. Terkadang batas itu berada dalam
yang dibatasi, dan terkadang di luar dari yang dibatasi, namun tidak terpisah
darinya. Jadi quru’ adalah masa dalam sebuah pengertian tertentu.
Tanya : Apakah
itu?
Al-Syafi’i: Haid adalah keluarnya darah dari rahim,
dan suci adalah tertahannya darah dalam rahim. Suci dan quru’ adalah
menahan, bukan melepas. Jadi, itu adalah waktu. Oleh karena itu, dari segi
bahasa, kata quru’ lebih tepat diartikan suci, karena ia berarti menahan
darah.
Ketika ‘Abdullah bin Umar mencerai
istrinya yang sedang haid, Rasulullah saw. memerintahkan Umar agar menyuruh
Ibnu Umar merujuk istrinya dan menahannya hingga suci. Setelah itu, barulah ia
boleh mencerai istrinya dalam keadaan suci tanpa melakukan hubungan badan.
Rasulullah saw. bersabda:
فَتِلْكَ
الْعِدَّةُ الَّتِى أَمَرَ اللهُ أَنْ يُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ
Artinya:
Itulah
iddah yang diperintahkan Allah dalam mencerai istri.[7]
Maksudnya adalah firman Allah swt.:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاء
فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ
لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِن بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَن يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ
مُّبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ
نَفْسَهُ لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْراً ﴿١﴾
Terjemahnya:
Apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan
mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar). (QS al-Talaq/65:
1)
Jadi, Rasulullah saw. mengabarkan bahwa iddah adalah suci, bukan haid.[8]
Allah swt. berfirman: tiga
quru’. Perempuan yang dicerai wajib menjalani tiga quru’. Seandainya
quru’ yang ketiga itu terlambat sebentar saja, maka ia tetap belum
halal, sampai ia benar-benar ada, atau sampai ia mengalami monopause,
atau ada indikasi mengenainya sehingga ia menjalani iddah dengan hitungan
bulan. Pada kondisi ini mandi tidak memiliki arti, karena mandi dilakukan pada quru’
keempat, bukan ketiga. Barangsiapa mengatakan bahwa mandi merupakan syarat
kehalalannya, maka ia harus mengatakan bahwa seandainya ia tidak mandi selama
setahun atau lebih maka ia tidak kunjung halal.
Jadi, pendapat yang mengatakan bahwa kata quru’ berarti suci,
adalah pendapat yang mendekati makna Alquran. Aspek bahasa secara jelas juga
menunjukkan makna ini.
Mengenai perintah nabi saw. agar
para tawanan perempuan (budak) membersihkan rahimnya dengan sekali haid,
ditetapkan menurut indikasi lahir, karena apabila seorang budak perempuan dalam
keadaan suci, lalu ia mengalami satu kali haid yang sempurna dan sah, maka ia
terbebas dari kehamilan pada masa suci. Terkadang ia melihat darah, sehingga
haidnya dianggap belum sah. Yang disebut haid secara sah adalah jika ia
menyempurnakan haid satu kali. Jadi bagaimana pun kondisi suci yang dialami
oleh budak perempuan jika belum mengalami satu kali haid yang sempurna, maka
secara lahir belum terbebas dari kehamilan.
Seorang perempuan menjalani iddah
karena dua alasan, yaitu pembersihan rahim, dan tujuan lain yang dicapai
bersamaan dengan pembersihan rahim.
Selama iddah, seorang perempuan
mengalami dua kali haid dan tiga kali suci. Seandainya tujuan dari iddah adalah
pembersihan rahim, maka ia telah melakukan pembersihan rahim sebanyak dua kali.
Tetapi selain pembersihan rahim, tujuan dari iddah adalah ta’abbud.
Tanya : Dapatkah anda menyampaikan perkara serupa
yang mereka perselisihkan?
Al-Syafi’i:
Bisa, dan mungkin ini lebih jelas. Kami telah menjelaskan sebagian di dalam
sunah yang riwayatnya berbeda. Penjelasan ini mengandung petunjuk terhadap
perkara yang anda tanyakan itu, dan perkara yang serupa.
Allah swt. berfirman:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ
ثَلاَثَةَ قُرُوَءٍ وَلاَ يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ
إِن كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ
فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُواْ إِصْلاَحاً وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللّهُ عَزِيزٌ حَكُيمٌ ﴿٢٢٨﴾
Terjemahnya:
Perempuan-perempuan
yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. (QS
al-Baqarah/2: 228)
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِن نِّسَائِكُمْ
إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُوْلَاتُ
الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل
لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً ﴿٤﴾
Terjemahnya:
Dan
perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu
(tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan
begitupula perempuan-perempuan yang tidak haid, dan perempuan-perempuan yang
hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. (QS
al-Talaq/65: 4)
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجاً
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْراً فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ
فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللّهُ
بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ ﴿٢٣٤﴾
Terjemahnya:
Orang-orang
yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah
para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari. (QS
al-Baqarah/2: 234).
Sebagian sahabat Rasulullah saw.
mengatakan bahwa Allah swt. menetapkan iddah perempuan yang dicerai dalam
keadaan hamil adalah sampai ia melahirkan kandungannya, sementara iddah
perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya adalah empat bulan sepuluh hari.
Jadi, perempuan yang hamil dan ditinggal mati oleh suaminya beriddah selama
empat bulan sepuluh hari dan melahirkan kandungannya, sehingga ia menjalani dua
iddah sekaligus. Sesuai nas, kelahiran tidak mengakibatkan berakhirnya iddah,
kecuali dalam kasus perceraian.
Seolah-olah ia berpendapat bahwa
iddah persalinan bertujuan untuk membersihkan rahim, sedangkan iddah empat
bulan sepuluh hari bertujuan ta’abbud; bahwa perempuan yang ditinggal
mati oleh suaminya tidak boleh dinikahi sampai ia menjalani iddah selama empat
bulan. Kewajiban iddah tersebut karena dua alasan, sehingga salah satunya tidak
bisa gugur dengan terlaksananya kewajiban yang lain, sebagaimana jika ia
mempunyai kewajiban terhadap dua laki-laki, maka salah satu kewajiban itu tidak
bisa menggugurkan kewajiban yang lain. Seperti halnya ketika ia menikah dalam
masa iddah dan telah digauli, ia menjalani iddah dari suami pertama dan kedua.
Sahabat yang lain mengatakan bahwa
jika ia melahirkan anaknya, maka ia menjadi halal, meskipun almarhum suaminya
masih berbaring di ranjang (belum dikubur).
Jadi, ayat tersebut mengandung dua
makna sekaligus, dan makna yang paling logis serta jelas adalah, persalinan
mengakibatkan berakhirnya iddah.
Sunah Rasulullah saw. menunjukkan
bahwa persalinan merupakan akhir iddah dalam kasus kematian, sama seperti kasus
perceraian.
Sufyan mengabarkan kepada kami, dari
al-Zuhri, dari ‘Ubaydullah bin ‘Abdullah, dari ayahnya, ia berkata, “Subai’ah
al-Islamiyah melahirkan beberapa hari setelah kematian suaminya. Lalu Abu Sanabil
bin Ba’kak melewatinya dan berkata, “Kamu tampak menyiapkan diri untuk menikah
lagi! Bukankah iddahmu empat bulan sepuluh hari! Subai’ah lalu mengadukan hal
ini kepada Rasulullah saw. dan beliau bersabda:
كَذَبَ أَبُو السَّنَابِلِ, أَوْ لَيْسَ كَمَا
قَالَ أَبُو السَّنَابِلِ, قَدْ حَلَلْتِ فَتَزَوَّجِى
Artinya:
Abu
Sanabil bohong -atau tidak seperti yang dikatakan Abu Sanabil- kamu telah
halal, maka menikahlah.[9]
Tanya : Apa
yang telah ditunjukkan oleh sunah, tidak ada alasan bagi seseorang untuk
berpendapat secara berbeda dari sunah. Tetapi, bisakah anda menyebutkan
perbedaan pendapat tentang sesuatu yang tidak diredaksikan oleh sunah, namun
ditunjukkan oleh Alquran dari segi nas dan kesimpulan atau qiyas?
Al-Syafi’i: Allah swt. berfirman:
لِّلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِن نِّسَآئِهِمْ تَرَبُّصُ
أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ فَآؤُوا فَإِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ ﴿٢٢٦﴾ وَإِنْ
عَزَمُواْ الطَّلاَقَ فَإِنَّ اللّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ﴿٢٢٧﴾
Terjemahnya:
Kepada
orang-orang yang meng-ila’ isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya).
Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), maka sesungguhnya Allah
Mahapengampun lagi Mahapenyayang.
Dan jika
mereka ber’azam (bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah
Mahamendengar lagi Mahamengetahui. (QS al-Baqarah/2: 226-227)
Mayoritas sahabat nabi saw. yang
menjadi sumber riwayat kami mengatakan bahwa jika telah berlaku empat bulan,
maka suami yang melakukan ila’ diberi pilihan antara kembali kepada
istrinya, atau menceraikannya.[10]
Sementara itu, diriwayatkan dari sebagian sahabat nabi saw., dikatakan bahwa
talak jatuh dengan berakhirnya waktu empat bulan.[11]
Namun tidak ada riwayat dari Rasulullah saw. tentang masalah ini.
Tanya : Pendapa
mana yang anda pegang?
Al-Syafi’i: Saya berpendapat bahwa orang yang
melakukan ila’ tidak wajib talak. Apabila istrinya meminta hak darinya,
maka suami tidak boleh dipaksa memberi hak, sampai berlalu empat bulan. Jika
empat bulan telah berlalu, maka saya katakan kepadanya, “fai’ah (kembali
kepada istri) atau talak”. Yang dimaksud dengan fai’ah di sini adalah
bersetubuh.
Tanya : Apa
alasan anda memilih pendapat tersebut?
Al-Syafi’i: Menurut saya pendapat tersebut lebih
mendekati makna Alquran dan logika.
Tanya : Hal
apa yang ditunjukkan oleh Alquran?
Al-Syafi’i: Ketika Allah swt. berfirman: “Kepada
orang-orang yang meng-ila’ istrinya diberi tangguh empat bulan
(lamanya),” secara tekstual ayat tersebut menunjukkan bahwa orang yang diberi
tangguh empat bulan oleh Allah swt. dalam suatu perkara tidak ada keharusan
untuknya sampai empat bulan itu berlalu.
Tanya : Tetapi,
dimungkinkan Allah swt. memberinya waktu tangguh empat bulan, yang selama itu
ia harus kembali kepada istrinya. Seperti perkataan anda, “Saya beri anda waktu
empat bulan untuk menyelesaikan bangunan rumah ini.” Bagaimana pendapat anda?
Al-Syafi’i: Hal ini tidak masuk dalam perkiraan orang
yang diajak bicara, sampai hal ini disyaratkan dalam rangkaian kalimat.
Seandainya seseorang berkata: “Saya memberi anda waktu tangguh empat bulan”, ia
berarti telah memberi waktu tangguh, dan ia tidak menemukan celah untuk
memaksanya sampai empat bulan berakhir, sementara anda belum menyelesaikan
bangunan. Jadi, seseorang tidak bisa disebut terlambat, selagi masih ada sisa
waktu. Terkadang bangunan rumah bisa memberi petunjuk bahwa waktu telah
mendekati empat bulan, padahal masih tersisa bagian-bagian yang tidak mungkin
bisa dibangun dalam waktu yang tersisa.
Sementara dalam fai’ah tidak
terdapat tanda bahwa suami tidak melakukan fai’ah kecuali dengan
berlalunya waktu empat bulan, karena persetubuhan bisa terjadi dalam sekejap.
Seandainya seseorang -persepsi yang anda gambarkan- tidak menentukan sikap
sampai berlalu empat bulan, maka ia bertanggungjawab kepada Allah swt. untuk
mengmbil keputusan
[1]Diterjemahkan
dari kitab al-Risalah, karya Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Editor: Ahmad
Muhammad Syakir (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.), h. 21-35, 560-569.
[2]Maksudnya
adalah hukum-hukum yang diredaksikan menyangkut perkara-perkara tadi, yaitu
yang berupa penjelasan dari lafaz ayat, bukan yang diambil darinya melalui istinbat
(penggalian hukum) dan bukan yang mengandung takwil.
[3]Allamah
Jarullah di dalam kitab al-Kasysyaf (I/121) berkata: “Bila anda
bertanya, apa gunanya penjelasan ini? Maka saya jawab, kata wan (dan)
terkadang berarti pilihan, seperti ucapan anda “Jalis al-H{asan wa Ibn Sirin
(Bermajelislah dengan H{asan dan Ibn Sirin). Seandainya ia bermajelis dengan
keduanya, atau salah satunya maka tidaklah menurutmu dia telah mengikuti
perintah tersebut? Jadi, penjelasan ini untuk membendung dugaan bahwa maksudnya
adalah pilihan. Selain itu, kegunaan penjelasan dalam setiap hitungan adalah
agar seseorang mengetahui hitungan secara garis besar, sebagaimana ia
mengetahui secara terperinci. Dengan demikian ia akan memahaminya dari dua
sisi, sehingga pengetahuannya semakin kuat. Di dalam tamsil Arab
disebutkan, “Dua ilmu lebih baik daripada satu ilmu.”
[4]Hadis
mutawatir masyhur ini diriwayatkan oleh al-Syafi’i, Muslim dan lainnya dari
hadis Asilla. Diriwayatkan pula oleh Bukhari dan Muslim dari hadis ‘Abdullah
bin Amru, diriwayatkan pula oleh Muslim dari hadis Abu Hurairah ra. Hadis ini
memiliki banyak jalur riwayat di dalam kitab-kitab sunah.
[5]Ibnu
Qayyim mengulas perbedaan pendapat ini dalam Zad al-Ma’ad, IV: 184-203,
dan mengunggulkan makna haid.
[6]Sebuah
lembah di perkampungan Hawazin, tempat berkumpul para sahabat nabi saw sebelum
perang Hunayn.
[7]Hadis
sahih diriwayatkan oleh Malik dan Shahihayn.
[8]Kami
tidak sependapat dengan al-Syafi’i, dalam kesimpulan ini, karena arti firman
Allah swt. (لِعِدَّتِهِنَّ) adalah “untuk menyambut iddah mereka”.
Makna ini didukung oleh riwayat Muslim (I/422) dan selainnya dari Ibnu Umar
dalam kisah yang sama: Umar bertanya kepada nabi saw. mengenai hal itu, lalu
nabi saw. menyuruh Ibnu Umar untuk rujuk dengan istrinya dan menceraikannya
dalam keadaan suci tanpa persetubuhan. Umar berkata: “Ibnu Umar mencerai
istrinya menjelang iddahnya.”
Muslim juga
meriwayatkan I/423 dari Ibn Umar, bahwa Ibn Umar menceraikan istrinya pada masa
nabi saw., lalu Umar bin Kahttab bertanya kepada Rasulullah saw., “Abdullah bin
Umar menceraikan istrinya yang sedang haid. Bagaimana ini?” Nabi saw. bersabda:
“Hendaklah ‘Abdullah rujuk dengan istrinya”. ‘Abdullah pun rujuk dan nabi saw.
bersabda: “Jika ia telah suci, silahkan ‘Abdullah mencerainya atau menahannya”.
Nabi saw. lalu membaca ayat tersebut, namun kalimat (لِعِدَّتِهِنَّ) dibaca (فِى
قُبُلِ عِدَّتِهِنَّ) yang
berarti menjelang iddah mereka.
Hadis ini
diriwayatkan dari banyak jalur yang sahih, dan sebagiannya menggunakan kalimat li
qubuli ‘iddatihinna (menjelang iddah mereka).
Tetapi kata
fi qubuli dan li qubuli bukan termasuk qira’at, melainkan
dibaca nabi saw. untuk menafsirkan makna. Seolah-olah beliau ingin menjelaskan
bahwa makna firman Allah swt. li ‘iddatihinna adalah fi qubuli dan
li qubuli yang berarti menjelang iddah.
Oleh karena
nabi saw. menyuruh agar menceraikan wanita itu dilakukan pada masa suci tanpa
persetubuhan, dan menjelaskan bahwa inilah cerai yang diizinkan Allah swt., dan
itu adalah iddah yang diperintahkan Allah swt. dalam menceraikan istri, maka
iddah tidak dihitung dengan suci, melainkan dengan haid, karena nabi saw.
menyuruh cerai agar perempuan tersebut bisa langsung menyambut iddahnya.
Saat suci,
perempuan tidak menyambut iddah kecuali iddah itu dihitung dengan haid, sebab
tidak mungkin ia menyambut sesuatu yang ia sendiri berada di dalamnya, yaitu
masa suci. Yang disambut adalah masa sesudahnya, yaitu masa haid. Hal ini
sangat jelas dan tidak perlu diperdebatkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar