SISTEM HUKUM ISLAM
A. Tujuan Sistem Hukum
Sistem hukum dapat
dijelaskan sebagai suatu kumpulan aturan yang ditentukan oleh keselarasan
pengertian yang mendalam. Setiap sistem hukum merupakan kebutuhan “tendensional/memiliki
tujuan di dalamnya”. Menurut aliran teologis, hukum merupakan hasil pemikiran
manusia dan amat berhubungan dengan konsep tujuan, dan kebanyakan filosof
menganggap keadilan sebagai tujuan tertinggi. Kondisi demikian juga berlaku
bagi hukum samawi lainnya, namun hukum-hukum itu tidak lagi orisinal.
Tidaklah dikatakan
sebagai hukum jika tidak berorientasi pada keadilan dan moralitas dan juga
tidak akan dapat bertahan lama tanpa kedua hal itu. Sistem hukum yang tidak
berpijak pada keadilan dan moralitas pada akhirnya akan terpinggirkan. Catatan
sejarah banyak merekam peristiwa-peristiwa semacam itu tatkala hukum
dikesampingkan karena kurang memiliki watak keadilan. Konsep keadilan menurut
Friedmann tidak memiliki unsur ideologis.[1]
B.
Keadilan Mutlak
Kita telah mendiskusikan problem keadilan pada Bab V yang merefleksikan
ketidaksempurnaan akal. Akallah yang menyebabkan pandangan-pandangan yang
bertentangan tentang keadilan. Keadilan mutlak tidak dapat diketahui secara
rasional, hanya Allah saja yang mengetahui apa yang benar-benar baik dan adil.
Di sinilah letak superioritas hukum Islam bahwa ia adalah wahyu Tuhan dan
dijaga hingga saat ini dalam bentuknya yang orisinil.
Hukum Islam merupakan aturan tingkah laku moral yang jauh berbeda dengan
sistem hukum kasuistis di mana hal-hal yang pernah terjadi sebelumnya untuk
dijadikan contoh (preseden) yang dihargai dan menjadi rujukan oleh pengadilan.
Untuk lebih jelasnya, akan dipaparkan aspek-aspek yang prinsipil dari perbedaan
hukum tersebut:[2]
1) Yurisprudensi
Kontinental sudah jelas dipengaruhi oleh resepsi hukum Romawi, tetapi
Inggris-Amerika tidak.
2) Semua sistem
Kontinental pada dasarnya telah terkodifikasi, tetapi hukum Inggris-Amerika
masih berlandaskan pada hukum adat.
3) Hal ini
mengakibatkan perbedaan pendekatan dalam menyelesaikan berbagai masalah interpretasi
hukum. Berbagai keputusan yudisial dalam sistem Kontinental bukan merupakan
sumber hukum yang esensial, melainkan hanya tafsiran tentang hukum. Di sisi
lain, dalam sistem Inggris-Amerika, kejadian masa lalu yang dapat dijadikan
contoh (preseden) merupakan salah satu sumber hukum yang prinsipil.
4) Merupakan
aspek yang kontras dari pendekatan induktif-deduktif oleh karena sistem-sistem
Kontinental, berangkat dari aturan-aturan umum menuju keputusan-keputusan kasuistik,
membangun prinsip-prinsip hukum umum, padahal hukum Inggris-Amerika terpusat
pada keputusan tentang masalah individu serta membangun prinsip berdasarkan
satu perkara ke perkara lainnya. Prinsip-prinsip semacam itu sebagaimana
adanya, telah dikembangkan dari penyesuaian yang bertahap terhadap
tuntutan-tuntutan praktis.
5) Sebagai
konsekuensi logis dari perbedaan dalam perkembangan hukum, pemikiran hukum
Inggris-Amerika memberikan tempat yang dominan kepada pengadilan-pengadilan
hukum, sedangkan yurisprudensi Kontinental memandang hukum tidak hanya dalam
kaitan proses pengadilan tetapi secara umum dalam kaitan fungsi umumnya.
6) Dualisme
hukum adat dan kewajaran dikenal dalam sistem-sistem Kontinental, sedangkan
kewajaran merupakan prinsip interpretasi yang diterapkan ke dalam setiap
persoalan hukum, tetapi bukan merupakan lembaga hukum khusus.
7) Semua sistem
Kontinental dalam substansi dan prosedurnya membedakan antara hukum perdata dan
hukum administratif. Hukum perdata membahas tentang hubungan-hubungan hukum
antara dua subyek, memiliki kedudukan yang sama, sedangkan hukum administratif
membahas hubungan-hubungan hukum antara otoritas semua tipe dengan subyek.
Hukum Inggris-Amerika menolak hal ini, hingga saat ini dikotomi tersebut
bertahan –minimal berdasarkan teori prinsip keadilan bagi semua orang di mata
hukum.
8) Pendekatan
yang lebih abstrak dan umum terhadap Yurisprudensi Kontinental telah diarahkan
pada perkembangan filsafat hukum, sedangkan karakter pragmatis dan empiris
hukum Inggris-Amerika berefek sebaliknya. Hal itu disebabkan oleh hukum Inggris-Amerika
beraliran Yurisprudensi analitis, dibandingkan dengan variasi teori-teori hukum
kontinental yang tidak terbatas.
Penilaian atas beberapa perbedaan
prinsipil ini membuktikan bahwa dalam setiap sistem terdapat pendekatan yang
berbeda pula dalam menyelesaikan berbagai masalah interpretasi hukum.
Keputusan-keputusan yudisial dalam sistem-sistem Kontinental bukan merupakan
sumber hukum utama melainkan hanya pelengkap hukum, sedangkan pada hukum
Inggris-Amerika, hal-hal yang pernah terjadi pada masa lalu untuk dijadikan
contoh (preseden) merupakan salah satu sumber hukum yang prinsipil. Kita telah
mendiskusikan pada halaman sebelumnya terkait dengan hukum tentang hal-hal yang
pernah terjadi pada masa lalu untuk menjadi contoh (preseden). Rumpun Kontinental
atau Romawi-Jerman mencari aturan-aturan hukum dalam aturan-aturan kelembagaan
yang telah ditentukan sebelumnya, yaitu dalam kitab undang-undang. Kasus-kasus
yang diputuskan mungkin memiliki otoritas tertentu tetapi bukan merupakan
satu-satunya otoritas sebagaimana hal-hal yang pernah terjadi pada masa lalu untuk
dijadikan contoh (preseden) dalam sistem hukum Kontinental. Bertentangan dengan
kedua sistem ini, perkara-perkara yang diputuskan tidak memiliki otoritas dalam
sistem hukum Islam, karena hakim dalam setiap kasus berkewajiban untuk
melakukan ijtihadnya sendiri. Tidak ada hukum buatan hakim dalam hukum Islam.
C.
Interpretasi dan
Penerapan Hukum
Problem penafsiran dan penerapan hukum adalah sangat penting dalam
setiap sistem hukum. Hal ini mencakup upaya-upaya untuk menemukan hukum,
memastikan yang mana di antara banyaknya aturan yang ada dalam sistem hukum itu
yang akan diterapkan, menentukan pengertiannya dan menerapkannya dalam kasus
yang dihadapi. Kitab undang-undang menjadikan hukum lebih komprehensif, sesuai
dengan prinsip-prinsip umum, penemuan hukum secara kasuistik merupakan proses
deduktif, suatu aplikasi prinsip-prinsip umum ke dalam fakta-fakta khusus.
Sistem hukum kasuistik, di satu pihak, berkembang secara mengikuti perubahan
sebagaimana lazimnya; prinsip-prinsip mengkristal secara perlahan dari
keputusan-keputusan dalam kasus-kasus khusus, sedangkan metode penggalian hukum
berawal secara induktif dari khusus ke umum.[3]
Dalam sistem Hukum Adat dan Romawi-Jerman, akal memainkan peran yang
sangat penting dan hakim memiliki suatu kebebasan yang luas untuk mengambil
keputusan sendiri dalam setiap situasi yang berbahaya. Sebagaimana yang
dikatakan oelh Lord Camden, kebebasan yang luas bagi hakim untuk mengambil
keputusan sendiri dalam setiap situasi yang dihadapi merupakan “hukum
otoriter”.[4]
Aristoteles memandan bahwa pengadilan tidak boleh memberikan kebebasan yang
luas bagi hakim untuk mengambil keputusan sendiri dalam setiap situasi yang
dihadapi (diskresi). Menurutnya, jabatan yudisial adalah jabatan yang bersifat
memaksa yang menyesuaikan setiap kasus dengan dasar hukum, bahkan jika terpaksa
dengan melalui tindakan darurat.[5]
Hukum Soviet tidak perlu dipersoalkan lagi, karena tidak memiliki
sumbangsih apapun terhadap keadilan. Ia bermaksud menciptakan tatanan hukum yang
benar-benar baru. Seperti halnya setiap lembaga hukum, ia memiliki sifat yang
sangat memaksa (imperatif) dan interpretasi atasnya harus ketat sesuai dengan
tendensi penggagasnya. Para yuris dan hakim Soviet diharapkan menafsirkan hukum
guna menjamin penerapannya menurut cara yang dicanangkan oleh para
penggagasnya. Sifat memaksa yang mengalahkan sisi rasional dalam kumpulan hukum
baru, menjadi sesuatu yang alami dan sangat ditekankan.[6]
Dari keterangan tersebut terbukti bahwa keleluasaan hakim, dalam sistem
Soviet, terikat pada kebijaksanaan negara. Tetapi hukum di negara-negara
Romawi-Jerman terdiri atas aturan-aturan umum yang memberi hakim kekuasaan
luas, sedangkan dalam sistem hukum Inggris-Amerika, hakim pada dasarnya diharuskan
tidak terbelenggu oleh undang-undang tetapi dilingkupi oleh hal-hal yang pernah
terjadi pada masa lalu untuk dijadikan contoh (preseden). Para yuris
Kontinental, menurut Friedmann, cemburu terhadap hakim Inggris-Amerika, karena
tidak terbelenggu oleh kebekuan hukum, mereka bisa menggali hukum secara
kasuistik.[7]
D. Deduksi Analogis/Qiyas
Yurisprudensi Islam telah memecahkan problematika (interpretasi dan
aplikasi hukum) ini dengan menggunakan prinsip deduksi analogis. Jadi, akal
tunduk kepada analogi yang menjaga keleluasaan hakim dalam batasan-batasan
tertentu sekaligus mempertahankan hukum dalam bentuk ideal dan pemantapannya.
Pada sisi lain, hukum darurat bertindak sebagai pelengkap untuk mengakomodasi
perubahan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang berkembang.
Stabilitas didamaikan dengan perubahan dengan cara yang paling sukses. Oleh
karena itu, hukum Islam adalah sempurna dan berlaku sepanjang zaman.
Kita harus menyatakan bahwa kebanyakan orientalis menyangka interpretasi
al-Qur’an yang dilakukan oleh para yuris sebagai hukum dan mengira bahwa qadi
atau hakim harus semata-mata mengacu kepada usaha/karya-karya mereka dan tidak
berhak menafsirkan al-Qur’an.[8]
Ini adalah konsepsi yang salah. Hakim harus merujuk kepada al-Qur’an
sebagaimana yang dinyatakan secara terang-terangan dalam al-Qur’an:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab (al-Qur’an) kepadamu dengan membawa
kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah
wahyukan kepadamu,”.[9]
Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itu adalah orang-orang yang kafir,[10]
fasik,[11]
zalim.[12]
Lebih jauh lagi, ketentuan akhir dalam setiap kasus ada di tangan Allah:
Tentang sesuatu apapun kamu berselisih maka putusannya (terserah) kepada Allah.[13]
Mengacu pada ayat al-Qur’an tersebut, apakah mungkin seorang hakim tidak
menafsirkan al-Qur’an dan bertumpu semata-mata kepada apa yang telah diputuskan
oleh para yuris, atau oleh orang-orang yang mendahuluinya? Kita terpaksa
mengatakan bahwa hal ini karena studi yang dibuat-buat tentang Hukum Islam di
mana para Orientalis membuat pernyataan-pernyataan aneh semacam itu. Mereka
mengkaji Hukum Islam dengan perspektif hukum kasuistik Inggris di mana siapa
pun boleh mengacu kepada hal-hal yang pernah terjadi pada masa lalu untuk
dijadikan contoh (preseden) yang pada faktanya tidak ada Hukum di Inggris
selain daripada keputusan-keputusan yudisial.[14]
Hampir menjadi kebiasaan bagi para Orientalis untuk mengatakan bahwa
Hukum Islam tidak memadai bagi masyarakat modern. Mereka mengabaikan fakta
bahwa masyarakat dalam Islam merupakan produk hukum yang bertujuan untuk mengontrol
masyarakat dan menggiring masyarakat lainnya untuk seiring bersama. Islam
merupakan kekuatan dunia dan berusaha untuk mereformasi sistem sosial yang
berlaku di seluruh dunia, yang karenanya ia tidak bisa mengadopsi pandangan
hidup Barat. Ini tidak berarti bahwa masyarakat Islam statis. Ia di satu sisi
adalah dinamis, karena Islam mengatakan “ya” kepada kehidupan. Landasan hidup,
sebagaimana dipahami oleh Islam, adalah bersifat spiritual. Masyarakat yang
berlandaskan pada konsepsi semacam itu harus memiliki hukum-hukum yang abadi
dan tidak berubah, tetapi karena ia tidak tersesat pada dunia materi yang
tunduk pada perubahan, maka Hukum Islam mengandung prinsip-prinsip yang lebih
luas yang membuka lebar interpretasi/pintu ijtihad untuk menjangkau
kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang senantiasa berkembang. Di samping ada Hukum
Darurat dan Ruks}ah sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya untuk menjangkau
jika terdapat darurat yang tidak tercakup.
E.
Dinamisme
Pernyataan Snouck Hurgronje bahwa Hukum Islam adalah milik masa lampau
yang telah berlalu dan ia berada dalam keadaan yang benar-benar pasif seperti
layaknya kuburan[15]
adalah tidak berdasar. Jika memang demikian, maka Islam tentu tidak berkembang
dan sudah lama mati. Kapan dan di mana pun juga hukum Islam diterapkan secara
total maka akan terbukti manfaatnya dan keberhasilannya. Contoh keberhasilan
yang masih nampak adalah di Saudi Arabia. Negara-negara Muslim yang dinyatakan
menyimpang dari hukum Islam adalah negara-negara yang tidak pernah
menerapkannya dalam seluruh aspeknya, tetapi penerapannya hanya sebagian
aspeknya saja. Al-Qur’an membicarakan mereka sebagai berikut: “Apakah kamu
beriman kepada sebahagian al-Kitab[16]
dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang
berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan
pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak
lengah dari apa yang kamu perbuat”.[17]
Para Orientalis tidak tanggung-tanggung dalam mencela hukum Islam. Menurut
mereka, hukum Islam telah ketinggalan zaman (out of date), tidak
orisinal tetapi dipinjam dari Hukum Romawi, padahal Hukum Romawi pada dasarnya
berbeda dengan hukum Islam. Hukum Romawi, seperti halnya sistem-sistem lain,
semula mengadopsi prinsip personalitas, yakni hukum negara yang hanya
diterapkan pada warga negaranya. Orang asing benar-benar tidak memiliki hak,
kecuali jika memang dilindungi oleh perjanjian tertentu antara negaranya dengan
Romawi, dapat diambil alih, seperti orang yang tidak memiliki kekayaan menurut
orang Romawi. Konsep dasar hukum Romawi asing bagi hukum Islam yang menjamin
non Muslim tidak saja keamanan hidup dan kekayaan tetapi juga kebebasan agama
mereka. Kelompok minoritas dalam negara Islam disebut Zimmi “orang yang
dilindungi oleh Allah dan Rasul”. “Hati-hati!” kata Rasulullah, aku sendiri
yang akan bertanya pada hari kiamat kepada orang yang menyakiti orang zimmi
atau memberinya tanggungjawab yang melebihi kemampuannya atau merampok apa yang
menjadi haknya”.[18]
F.
Universal
Konstitusi negara Muslim pertama di Madinah, sampai kepada kita dalam
bentuknya yang sempurna di mana kepercayaan non-Muslim dan kebebasan mereka
untuk mendakwahkan agama mereka dilindungi. Konstitusi ini merupakan
kesepakatan antara Muslim dan Yahudi, bahkan orang-orang Arab tergabung di
dalamnya. Non Muslim dibebaskan dari keharusan membela negara dengan membayar
jizyah, yang berarti hak hidup dan hak milik mereka dijamin. Istilah zimmi sama
dengan warganegara yang diterapkan kepada orang-orang non Muslim dengan otonomi
yudisial “Biarkan/persilahkan ahli Kitab menyelenggarakan keadilan sesuai
dengan apa yang Allah wahyukan”.[19]
Ini hanyalah suatu contoh singkat tentang jaminan kesamaan yang
diberikan kepada orang-orang non Muslim yang hampir tidak pernah dijumpai dalam
hukum Romawi, tetapi Amos mengatakan “Hukum Islam tiada lain kecuali Hukum Imperium
Romawi Timur yang disesuaikan menurut kondisi-kondisi politik penguasa Arab”.[20]
Menurut Mahmassani>, penilaiaan pukul rata ini sangat menghina, karena
pernyataan ini merupakan pernyataan yang sangat berlebihan dan tidak didukung
dengan bukti ilmiah yang dibutuhkan dalam penelitian historis semacam itu.[21]
G. Perbedaan antara Hukum Islam dan Hukum Romawi
Perbedaan antara Hukum Romawi dan Hukum Islam, seperti dikemukakan oleh
Mahmassani, adalah:
1.
Kaum perempuan Romawi selalu berada dalam perwalian.
Sepanjang hidup mereka tidak diizinkan untuk mengurus harta mereka tanpa izin
dari wali mereka. Sedangkan prinsip Syariah memberikan kebebasan kepada
perempuan untuk melakukan segala macam transaksi yang dibenarkan oleh hukum.
2.
Mahar dalam Hukum Romawi merupakan pembayaran
kepada suami oleh istrinya atau salah seorang keluarganya, sedangkan dalam
Hukum Islam mahar merupakan pembayaran kepada istri dari suami.
3.
Adopsi (pengangkatan anak) tidak diakui dalam
Syariah, tetapi hal itu merupakan lembaga yang dapat diterima dalam Hukum
Romawi.
4.
Formalitas dan komplikasi merupakan bukti dalam
kontrak Romawi dan dalam aturan-aturan prosedur Romawi, tetapi yang berlaku
dalam Syariah justru sebaliknya. Kaidah dalam Syariah menyebutkan bahwa akibat
tergantung pada niat dan makna, bukan kata-kata dan bentuk-bentuk.
5.
Transfer hutang tidak sah dalam Hukum Romawi,
sedangkan dalam Hukum Islam hal itu diberi sanksi oleh semua mazhab tanpa
kecuali.
6.
Ada perbedaan-perbedaan yang jelas antara kedua
sistem ini dalam hal warisan dan wasiat. Dalam Syariah (perspektif Sunni)
misalnya, warisan (dalam suatu surat wasiat) kepada seorang ahli waris adalah
haram, tetapi dalam Hukum Romawi wasiat pada dasarnya dilembagakan demi tujuan
menunjuk pada para ahli waris.
7.
Aturan pembelian tanah wakaf yang disumbangkan
keluarga tidak ada kesamaannya dalam Hukum Romawi.
Setelah kita melihat perbedaan-perbedaan fundamental tersebut, dapatkah
dikatakan bahwa Hukum Islam merupakan sistem hukum hasil pinjaman? Hukum yang
berdasarkan pada wahyu tidak pernah merupakan sistem hasil pinjaman. Tuhan
Mahasempurna, demikian pula dengan hukum-Nya, yang karenanya harus
dipertahankan dalam bentuk idealnya untuk dijadikan standar keputusan bagi
tindakan-tindakan dan transaksi-transaksi yang dilakukan oleh manusia sekaligus
untuk mengontrol masyarakat agar tidak menyimpang dari jalan yang lurus.
Syariah menurut al-Quran/25: 1 adalah kriteria untuk membedakan benar dan
salah, yang karenanya harus dijaga, bebas dari penambahan dan sisipan. Islam
merupakan realitas sekarang, akidah Islam merupakan keteraturan yang hidup, dan
Hukum Islam adalah petunjuk yang tidak menyimpang dari jalan yang benar. “Jalan
orang-orang yang Tuhan beri nikmat, bukan jalan orang yang Tuhan benci dan
tersesat” (QS. al-Fatihah/1: 6-7).
KUTIPAN AYAT
QS. al-Nisa>/4: 105.
إِنَّا
أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ
اللّهُ وَلاَ تَكُن لِّلْخَآئِنِينَ خَصِيماً ﴿١٠٥﴾
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu
dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang
telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penentang (orang yang
tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.
QS.
al-Ma>idah/5: 44.
إِنَّا
أَنزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ الَّذِينَ
أَسْلَمُواْ لِلَّذِينَ هَادُواْ وَالرَّبَّانِيُّونَ وَالأَحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُواْ
مِن كِتَابِ اللّهِ وَكَانُواْ عَلَيْهِ شُهَدَاء فَلاَ تَخْشَوُاْ النَّاسَ وَاخْشَوْنِ
وَلاَ تَشْتَرُواْ بِآيَاتِي ثَمَناً قَلِيلاً وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ
فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ ﴿٤٤﴾
Terjemahnya:
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di
dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu
diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada
Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan
mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi
terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah
kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit.
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itu adalah orang-orang yang kafir.
QS. al-Ma>idah/5: 47.
وَلْيَحْكُمْ
أَهْلُ الإِنجِيلِ بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فِيهِ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ
فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ ﴿٤٧﴾
Terjemahnya:
Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan
perkara menurut apa yang diturunkan Allah di dalamnya. Barangsiapa tidak
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang fasik.
QS. al-Ma>idah/5: 45.
وَكَتَبْنَا
عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالأَنفَ
بِالأَنفِ وَالأُذُنَ بِالأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ فَمَن
تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَّهُ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ
هُمُ الظَّالِمُونَ ﴿٤٥﴾
Terjemahnya:
Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya
(Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan
hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada
kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, maka melepaskan hak itu
(menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut
apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
QS. al-Syu>ra/42: 10.
وَمَا
اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِن شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبِّي
عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ ﴿١٠﴾
Terjemahnya:
Tentang sesuatu apapun kamu berselisih maka putusannya
(terserah) kepada Allah. (Yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah
Tuhanku. Kepada-Nyalah aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali.
QS. al-Baqa>rah/2: 85.
ثُمَّ
أَنتُمْ هَـؤُلاء تَقْتُلُونَ أَنفُسَكُمْ وَتُخْرِجُونَ فَرِيقاً مِّنكُم مِّن دِيَارِهِمْ
تَظَاهَرُونَ عَلَيْهِم بِالإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَإِن يَأتُوكُمْ أُسَارَى تُفَادُوهُمْ
وَهُوَ مُحَرَّمٌ عَلَيْكُمْ إِخْرَاجُهُمْ أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ
بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاء مَن يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنكُمْ إِلاَّ خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللّهُ بِغَافِلٍ
عَمَّا تَعْمَلُونَ ﴿٨٥﴾
Terjemahnya:
Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu
sebangsa) dan mengusir segolongan daripada kamu dari kampung halamannya, kamu
bantu membantu terhadap mereka dengan membuat dosa dan permusuhan; tetapi jika
mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal mengusir
mereka itu (juga) terlarang bagimu. Apakah kamu beriman kepada sebahagian al-Kitab
(Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang
yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia,
dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah
tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.
QS. al-Ma>idah/5: 50.
أَفَحُكْمَ
الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللّهِ حُكْماً لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
﴿٥٠﴾
Terjemahnya:
Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum)
siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?
PHILOSOPHY OF ISLAMIC LAW
AND THE ORIENTALISTS
(A Comparative Study of Islamic
Legal System)
Dr. Muhammad Muslehuddin, Ph.D.
-ISLAMIC LEGAL SYSTEM-
Revisi Tugas Terjemah/Translate
Disampaikan pada Forum Seminar
Kelas
Matakuliah Filsafat Hukum Islam
Semester I, TA. 2012/2013
Oleh:
MUH. GAZALI RAHMAN
Dosen Pemandu:
PROF. DR. H. MINHAJUDDIN, MA.
PROF. DR. SABRI SAMIN, M.AG.
PROGRAM PASCASARJANA (DOKTORAL)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
ALAUDDIN MAKASSAR
2013
[1]W.
Friedmann, Legal Theory (Edisi V; London: t.tp., 1967), h. 21.
[2]Ibid.,
h. 516-518.
[3]Ibid.,
h. 533.
[4]R.
Pound, An Introduction to the Philosophy of Law (London, 1953), h. 58.
[5]Ibid.,
h. 53.
[6]David
dan Brierley, Mayor Legal System, h. 177.
[7]W.
Friedmann, op. cit., h. 536.
[8]David
dan Brierley, op. cit., h. 398.
[9]QS.
al-Nisa>/4: 105.
[10]QS.
al-Ma>idah/5: 44.
[11]QS.
al-Ma>idah/5: 47.
[12]QS.
al-Ma>idah/5: 45.
[13]QS.
al-Syu>ra/42: 10.
[14]David
dan Brierley, op. cit., h. 316.
[15]Ibid.,
h. 396.
[16]Al-Qur’an
menyebut al-Kitab tersebut sebagai Taurat, rangkaian ayat sebelumnya
menceritakan tentang kisah Bani Israil. Sudah tepatkah jika dimaknai dengan
al-Qur’an?
[17]QS.
al-Baqa>rah/2: 85.
[18]Abu
al-Hasan Ali al-Mawardi, Ahkam al-Sult}ani>yah (Cairo: t.tp., t.th.) h.
137; Abud Dawud, Sunan, Kitab al-Jihad.
[19]QS.
al-Ma>idah/5: 50.
[20]Mahmassani,
Falsafah, h. 137.
[21]Ibid.,
h. 139.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar