Kamis, 20 Februari 2014

SISTEM HUKUM ISLAM



SISTEM HUKUM ISLAM

A.  Tujuan Sistem Hukum
Sistem hukum dapat dijelaskan sebagai suatu kumpulan aturan yang ditentukan oleh keselarasan pengertian yang mendalam. Setiap sistem hukum merupakan kebutuhan “tendensional/memiliki tujuan di dalamnya”. Menurut aliran teologis, hukum merupakan hasil pemikiran manusia dan amat berhubungan dengan konsep tujuan, dan kebanyakan filosof menganggap keadilan sebagai tujuan tertinggi. Kondisi demikian juga berlaku bagi hukum samawi lainnya, namun hukum-hukum itu tidak lagi orisinal.
Tidaklah dikatakan sebagai hukum jika tidak berorientasi pada keadilan dan moralitas dan juga tidak akan dapat bertahan lama tanpa kedua hal itu. Sistem hukum yang tidak berpijak pada keadilan dan moralitas pada akhirnya akan terpinggirkan. Catatan sejarah banyak merekam peristiwa-peristiwa semacam itu tatkala hukum dikesampingkan karena kurang memiliki watak keadilan. Konsep keadilan menurut Friedmann tidak memiliki unsur ideologis.[1]

B.   Keadilan Mutlak
Kita telah mendiskusikan problem keadilan pada Bab V yang merefleksikan ketidaksempurnaan akal. Akallah yang menyebabkan pandangan-pandangan yang bertentangan tentang keadilan. Keadilan mutlak tidak dapat diketahui secara rasional, hanya Allah saja yang mengetahui apa yang benar-benar baik dan adil. Di sinilah letak superioritas hukum Islam bahwa ia adalah wahyu Tuhan dan dijaga hingga saat ini dalam bentuknya yang orisinil.
Hukum Islam merupakan aturan tingkah laku moral yang jauh berbeda dengan sistem hukum kasuistis di mana hal-hal yang pernah terjadi sebelumnya untuk dijadikan contoh (preseden) yang dihargai dan menjadi rujukan oleh pengadilan. Untuk lebih jelasnya, akan dipaparkan aspek-aspek yang prinsipil dari perbedaan hukum tersebut:[2]
1)     Yurisprudensi Kontinental sudah jelas dipengaruhi oleh resepsi hukum Romawi, tetapi Inggris-Amerika tidak.
2)     Semua sistem Kontinental pada dasarnya telah terkodifikasi, tetapi hukum Inggris-Amerika masih berlandaskan pada hukum adat.
3)     Hal ini mengakibatkan perbedaan pendekatan dalam menyelesaikan berbagai masalah interpretasi hukum. Berbagai keputusan yudisial dalam sistem Kontinental bukan merupakan sumber hukum yang esensial, melainkan hanya tafsiran tentang hukum. Di sisi lain, dalam sistem Inggris-Amerika, kejadian masa lalu yang dapat dijadikan contoh (preseden) merupakan salah satu sumber hukum yang prinsipil.
4)     Merupakan aspek yang kontras dari pendekatan induktif-deduktif oleh karena sistem-sistem Kontinental, berangkat dari aturan-aturan umum menuju keputusan-keputusan kasuistik, membangun prinsip-prinsip hukum umum, padahal hukum Inggris-Amerika terpusat pada keputusan tentang masalah individu serta membangun prinsip berdasarkan satu perkara ke perkara lainnya. Prinsip-prinsip semacam itu sebagaimana adanya, telah dikembangkan dari penyesuaian yang bertahap terhadap tuntutan-tuntutan praktis.
5)     Sebagai konsekuensi logis dari perbedaan dalam perkembangan hukum, pemikiran hukum Inggris-Amerika memberikan tempat yang dominan kepada pengadilan-pengadilan hukum, sedangkan yurisprudensi Kontinental memandang hukum tidak hanya dalam kaitan proses pengadilan tetapi secara umum dalam kaitan fungsi umumnya.
6)     Dualisme hukum adat dan kewajaran dikenal dalam sistem-sistem Kontinental, sedangkan kewajaran merupakan prinsip interpretasi yang diterapkan ke dalam setiap persoalan hukum, tetapi bukan merupakan lembaga hukum khusus.
7)     Semua sistem Kontinental dalam substansi dan prosedurnya membedakan antara hukum perdata dan hukum administratif. Hukum perdata membahas tentang hubungan-hubungan hukum antara dua subyek, memiliki kedudukan yang sama, sedangkan hukum administratif membahas hubungan-hubungan hukum antara otoritas semua tipe dengan subyek. Hukum Inggris-Amerika menolak hal ini, hingga saat ini dikotomi tersebut bertahan –minimal berdasarkan teori prinsip keadilan bagi semua orang di mata hukum.
8)     Pendekatan yang lebih abstrak dan umum terhadap Yurisprudensi Kontinental telah diarahkan pada perkembangan filsafat hukum, sedangkan karakter pragmatis dan empiris hukum Inggris-Amerika berefek sebaliknya. Hal itu disebabkan oleh hukum Inggris-Amerika beraliran Yurisprudensi analitis, dibandingkan dengan variasi teori-teori hukum kontinental yang tidak terbatas.

Penilaian atas beberapa perbedaan prinsipil ini membuktikan bahwa dalam setiap sistem terdapat pendekatan yang berbeda pula dalam menyelesaikan berbagai masalah interpretasi hukum. Keputusan-keputusan yudisial dalam sistem-sistem Kontinental bukan merupakan sumber hukum utama melainkan hanya pelengkap hukum, sedangkan pada hukum Inggris-Amerika, hal-hal yang pernah terjadi pada masa lalu untuk dijadikan contoh (preseden) merupakan salah satu sumber hukum yang prinsipil. Kita telah mendiskusikan pada halaman sebelumnya terkait dengan hukum tentang hal-hal yang pernah terjadi pada masa lalu untuk menjadi contoh (preseden). Rumpun Kontinental atau Romawi-Jerman mencari aturan-aturan hukum dalam aturan-aturan kelembagaan yang telah ditentukan sebelumnya, yaitu dalam kitab undang-undang. Kasus-kasus yang diputuskan mungkin memiliki otoritas tertentu tetapi bukan merupakan satu-satunya otoritas sebagaimana hal-hal yang pernah terjadi pada masa lalu untuk dijadikan contoh (preseden) dalam sistem hukum Kontinental. Bertentangan dengan kedua sistem ini, perkara-perkara yang diputuskan tidak memiliki otoritas dalam sistem hukum Islam, karena hakim dalam setiap kasus berkewajiban untuk melakukan ijtihadnya sendiri. Tidak ada hukum buatan hakim dalam hukum Islam.

C.   Interpretasi dan Penerapan Hukum
Problem penafsiran dan penerapan hukum adalah sangat penting dalam setiap sistem hukum. Hal ini mencakup upaya-upaya untuk menemukan hukum, memastikan yang mana di antara banyaknya aturan yang ada dalam sistem hukum itu yang akan diterapkan, menentukan pengertiannya dan menerapkannya dalam kasus yang dihadapi. Kitab undang-undang menjadikan hukum lebih komprehensif, sesuai dengan prinsip-prinsip umum, penemuan hukum secara kasuistik merupakan proses deduktif, suatu aplikasi prinsip-prinsip umum ke dalam fakta-fakta khusus. Sistem hukum kasuistik, di satu pihak, berkembang secara mengikuti perubahan sebagaimana lazimnya; prinsip-prinsip mengkristal secara perlahan dari keputusan-keputusan dalam kasus-kasus khusus, sedangkan metode penggalian hukum berawal secara induktif dari khusus ke umum.[3]
Dalam sistem Hukum Adat dan Romawi-Jerman, akal memainkan peran yang sangat penting dan hakim memiliki suatu kebebasan yang luas untuk mengambil keputusan sendiri dalam setiap situasi yang berbahaya. Sebagaimana yang dikatakan oelh Lord Camden, kebebasan yang luas bagi hakim untuk mengambil keputusan sendiri dalam setiap situasi yang dihadapi merupakan “hukum otoriter”.[4] Aristoteles memandan bahwa pengadilan tidak boleh memberikan kebebasan yang luas bagi hakim untuk mengambil keputusan sendiri dalam setiap situasi yang dihadapi (diskresi). Menurutnya, jabatan yudisial adalah jabatan yang bersifat memaksa yang menyesuaikan setiap kasus dengan dasar hukum, bahkan jika terpaksa dengan melalui tindakan darurat.[5]
Hukum Soviet tidak perlu dipersoalkan lagi, karena tidak memiliki sumbangsih apapun terhadap keadilan. Ia bermaksud menciptakan tatanan hukum yang benar-benar baru. Seperti halnya setiap lembaga hukum, ia memiliki sifat yang sangat memaksa (imperatif) dan interpretasi atasnya harus ketat sesuai dengan tendensi penggagasnya. Para yuris dan hakim Soviet diharapkan menafsirkan hukum guna menjamin penerapannya menurut cara yang dicanangkan oleh para penggagasnya. Sifat memaksa yang mengalahkan sisi rasional dalam kumpulan hukum baru, menjadi sesuatu yang alami dan sangat ditekankan.[6]
Dari keterangan tersebut terbukti bahwa keleluasaan hakim, dalam sistem Soviet, terikat pada kebijaksanaan negara. Tetapi hukum di negara-negara Romawi-Jerman terdiri atas aturan-aturan umum yang memberi hakim kekuasaan luas, sedangkan dalam sistem hukum Inggris-Amerika, hakim pada dasarnya diharuskan tidak terbelenggu oleh undang-undang tetapi dilingkupi oleh hal-hal yang pernah terjadi pada masa lalu untuk dijadikan contoh (preseden). Para yuris Kontinental, menurut Friedmann, cemburu terhadap hakim Inggris-Amerika, karena tidak terbelenggu oleh kebekuan hukum, mereka bisa menggali hukum secara kasuistik.[7]

D.  Deduksi Analogis/Qiyas
Yurisprudensi Islam telah memecahkan problematika (interpretasi dan aplikasi hukum) ini dengan menggunakan prinsip deduksi analogis. Jadi, akal tunduk kepada analogi yang menjaga keleluasaan hakim dalam batasan-batasan tertentu sekaligus mempertahankan hukum dalam bentuk ideal dan pemantapannya. Pada sisi lain, hukum darurat bertindak sebagai pelengkap untuk mengakomodasi perubahan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang berkembang. Stabilitas didamaikan dengan perubahan dengan cara yang paling sukses. Oleh karena itu, hukum Islam adalah sempurna dan berlaku sepanjang zaman.
Kita harus menyatakan bahwa kebanyakan orientalis menyangka interpretasi al-Qur’an yang dilakukan oleh para yuris sebagai hukum dan mengira bahwa qadi atau hakim harus semata-mata mengacu kepada usaha/karya-karya mereka dan tidak berhak menafsirkan al-Qur’an.[8] Ini adalah konsepsi yang salah. Hakim harus merujuk kepada al-Qur’an sebagaimana yang dinyatakan secara terang-terangan dalam al-Qur’an: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab (al-Qur’an) kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu,”.[9] Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir,[10] fasik,[11] zalim.[12] Lebih jauh lagi, ketentuan akhir dalam setiap kasus ada di tangan Allah: Tentang sesuatu apapun kamu berselisih maka putusannya (terserah) kepada Allah.[13]
Mengacu pada ayat al-Qur’an tersebut, apakah mungkin seorang hakim tidak menafsirkan al-Qur’an dan bertumpu semata-mata kepada apa yang telah diputuskan oleh para yuris, atau oleh orang-orang yang mendahuluinya? Kita terpaksa mengatakan bahwa hal ini karena studi yang dibuat-buat tentang Hukum Islam di mana para Orientalis membuat pernyataan-pernyataan aneh semacam itu. Mereka mengkaji Hukum Islam dengan perspektif hukum kasuistik Inggris di mana siapa pun boleh mengacu kepada hal-hal yang pernah terjadi pada masa lalu untuk dijadikan contoh (preseden) yang pada faktanya tidak ada Hukum di Inggris selain daripada keputusan-keputusan yudisial.[14]
Hampir menjadi kebiasaan bagi para Orientalis untuk mengatakan bahwa Hukum Islam tidak memadai bagi masyarakat modern. Mereka mengabaikan fakta bahwa masyarakat dalam Islam merupakan produk hukum yang bertujuan untuk mengontrol masyarakat dan menggiring masyarakat lainnya untuk seiring bersama. Islam merupakan kekuatan dunia dan berusaha untuk mereformasi sistem sosial yang berlaku di seluruh dunia, yang karenanya ia tidak bisa mengadopsi pandangan hidup Barat. Ini tidak berarti bahwa masyarakat Islam statis. Ia di satu sisi adalah dinamis, karena Islam mengatakan “ya” kepada kehidupan. Landasan hidup, sebagaimana dipahami oleh Islam, adalah bersifat spiritual. Masyarakat yang berlandaskan pada konsepsi semacam itu harus memiliki hukum-hukum yang abadi dan tidak berubah, tetapi karena ia tidak tersesat pada dunia materi yang tunduk pada perubahan, maka Hukum Islam mengandung prinsip-prinsip yang lebih luas yang membuka lebar interpretasi/pintu ijtihad untuk menjangkau kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang senantiasa berkembang. Di samping ada Hukum Darurat dan Ruks}ah sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya untuk menjangkau jika terdapat darurat yang tidak tercakup.

E.   Dinamisme
Pernyataan Snouck Hurgronje bahwa Hukum Islam adalah milik masa lampau yang telah berlalu dan ia berada dalam keadaan yang benar-benar pasif seperti layaknya kuburan[15] adalah tidak berdasar. Jika memang demikian, maka Islam tentu tidak berkembang dan sudah lama mati. Kapan dan di mana pun juga hukum Islam diterapkan secara total maka akan terbukti manfaatnya dan keberhasilannya. Contoh keberhasilan yang masih nampak adalah di Saudi Arabia. Negara-negara Muslim yang dinyatakan menyimpang dari hukum Islam adalah negara-negara yang tidak pernah menerapkannya dalam seluruh aspeknya, tetapi penerapannya hanya sebagian aspeknya saja. Al-Qur’an membicarakan mereka sebagai berikut: “Apakah kamu beriman kepada sebahagian al-Kitab[16] dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat”.[17] Para Orientalis tidak tanggung-tanggung dalam mencela hukum Islam. Menurut mereka, hukum Islam telah ketinggalan zaman (out of date), tidak orisinal tetapi dipinjam dari Hukum Romawi, padahal Hukum Romawi pada dasarnya berbeda dengan hukum Islam. Hukum Romawi, seperti halnya sistem-sistem lain, semula mengadopsi prinsip personalitas, yakni hukum negara yang hanya diterapkan pada warga negaranya. Orang asing benar-benar tidak memiliki hak, kecuali jika memang dilindungi oleh perjanjian tertentu antara negaranya dengan Romawi, dapat diambil alih, seperti orang yang tidak memiliki kekayaan menurut orang Romawi. Konsep dasar hukum Romawi asing bagi hukum Islam yang menjamin non Muslim tidak saja keamanan hidup dan kekayaan tetapi juga kebebasan agama mereka. Kelompok minoritas dalam negara Islam disebut Zimmi “orang yang dilindungi oleh Allah dan Rasul”. “Hati-hati!” kata Rasulullah, aku sendiri yang akan bertanya pada hari kiamat kepada orang yang menyakiti orang zimmi atau memberinya tanggungjawab yang melebihi kemampuannya atau merampok apa yang menjadi haknya”.[18]

F.   Universal
Konstitusi negara Muslim pertama di Madinah, sampai kepada kita dalam bentuknya yang sempurna di mana kepercayaan non-Muslim dan kebebasan mereka untuk mendakwahkan agama mereka dilindungi. Konstitusi ini merupakan kesepakatan antara Muslim dan Yahudi, bahkan orang-orang Arab tergabung di dalamnya. Non Muslim dibebaskan dari keharusan membela negara dengan membayar jizyah, yang berarti hak hidup dan hak milik mereka dijamin. Istilah zimmi sama dengan warganegara yang diterapkan kepada orang-orang non Muslim dengan otonomi yudisial “Biarkan/persilahkan ahli Kitab menyelenggarakan keadilan sesuai dengan apa yang Allah wahyukan”.[19]
Ini hanyalah suatu contoh singkat tentang jaminan kesamaan yang diberikan kepada orang-orang non Muslim yang hampir tidak pernah dijumpai dalam hukum Romawi, tetapi Amos mengatakan “Hukum Islam tiada lain kecuali Hukum Imperium Romawi Timur yang disesuaikan menurut kondisi-kondisi politik penguasa Arab”.[20] Menurut Mahmassani>, penilaiaan pukul rata ini sangat menghina, karena pernyataan ini merupakan pernyataan yang sangat berlebihan dan tidak didukung dengan bukti ilmiah yang dibutuhkan dalam penelitian historis semacam itu.[21]

G.  Perbedaan antara Hukum Islam dan Hukum Romawi
Perbedaan antara Hukum Romawi dan Hukum Islam, seperti dikemukakan oleh Mahmassani, adalah:
1.        Kaum perempuan Romawi selalu berada dalam perwalian. Sepanjang hidup mereka tidak diizinkan untuk mengurus harta mereka tanpa izin dari wali mereka. Sedangkan prinsip Syariah memberikan kebebasan kepada perempuan untuk melakukan segala macam transaksi yang dibenarkan oleh hukum.
2.        Mahar dalam Hukum Romawi merupakan pembayaran kepada suami oleh istrinya atau salah seorang keluarganya, sedangkan dalam Hukum Islam mahar merupakan pembayaran kepada istri dari suami.
3.        Adopsi (pengangkatan anak) tidak diakui dalam Syariah, tetapi hal itu merupakan lembaga yang dapat diterima dalam Hukum Romawi.
4.        Formalitas dan komplikasi merupakan bukti dalam kontrak Romawi dan dalam aturan-aturan prosedur Romawi, tetapi yang berlaku dalam Syariah justru sebaliknya. Kaidah dalam Syariah menyebutkan bahwa akibat tergantung pada niat dan makna, bukan kata-kata dan bentuk-bentuk.
5.        Transfer hutang tidak sah dalam Hukum Romawi, sedangkan dalam Hukum Islam hal itu diberi sanksi oleh semua mazhab tanpa kecuali.
6.        Ada perbedaan-perbedaan yang jelas antara kedua sistem ini dalam hal warisan dan wasiat. Dalam Syariah (perspektif Sunni) misalnya, warisan (dalam suatu surat wasiat) kepada seorang ahli waris adalah haram, tetapi dalam Hukum Romawi wasiat pada dasarnya dilembagakan demi tujuan menunjuk pada para ahli waris.
7.        Aturan pembelian tanah wakaf yang disumbangkan keluarga tidak ada kesamaannya dalam Hukum Romawi.
Setelah kita melihat perbedaan-perbedaan fundamental tersebut, dapatkah dikatakan bahwa Hukum Islam merupakan sistem hukum hasil pinjaman? Hukum yang berdasarkan pada wahyu tidak pernah merupakan sistem hasil pinjaman. Tuhan Mahasempurna, demikian pula dengan hukum-Nya, yang karenanya harus dipertahankan dalam bentuk idealnya untuk dijadikan standar keputusan bagi tindakan-tindakan dan transaksi-transaksi yang dilakukan oleh manusia sekaligus untuk mengontrol masyarakat agar tidak menyimpang dari jalan yang lurus. Syariah menurut al-Quran/25: 1 adalah kriteria untuk membedakan benar dan salah, yang karenanya harus dijaga, bebas dari penambahan dan sisipan. Islam merupakan realitas sekarang, akidah Islam merupakan keteraturan yang hidup, dan Hukum Islam adalah petunjuk yang tidak menyimpang dari jalan yang benar. “Jalan orang-orang yang Tuhan beri nikmat, bukan jalan orang yang Tuhan benci dan tersesat” (QS. al-Fatihah/1: 6-7).

KUTIPAN AYAT
QS. al-Nisa>/4: 105.
إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللّهُ وَلاَ تَكُن لِّلْخَآئِنِينَ خَصِيماً ﴿١٠٥﴾
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.
QS. al-Ma>idah/5: 44.
إِنَّا أَنزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلَمُواْ لِلَّذِينَ هَادُواْ وَالرَّبَّانِيُّونَ وَالأَحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُواْ مِن كِتَابِ اللّهِ وَكَانُواْ عَلَيْهِ شُهَدَاء فَلاَ تَخْشَوُاْ النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلاَ تَشْتَرُواْ بِآيَاتِي ثَمَناً قَلِيلاً وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ ﴿٤٤﴾
Terjemahnya:
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.
QS. al-Ma>idah/5: 47.
وَلْيَحْكُمْ أَهْلُ الإِنجِيلِ بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فِيهِ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ ﴿٤٧﴾
Terjemahnya:
Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah di dalamnya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.
QS. al-Ma>idah/5: 45.
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالأَنفَ بِالأَنفِ وَالأُذُنَ بِالأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ فَمَن تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَّهُ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ ﴿٤٥﴾
Terjemahnya:
Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
QS. al-Syu>ra/42: 10.
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِن شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبِّي عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ ﴿١٠﴾
Terjemahnya:
Tentang sesuatu apapun kamu berselisih maka putusannya (terserah) kepada Allah. (Yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah Tuhanku. Kepada-Nyalah aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali.


QS. al-Baqa>rah/2: 85.
ثُمَّ أَنتُمْ هَـؤُلاء تَقْتُلُونَ أَنفُسَكُمْ وَتُخْرِجُونَ فَرِيقاً مِّنكُم مِّن دِيَارِهِمْ تَظَاهَرُونَ عَلَيْهِم بِالإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَإِن يَأتُوكُمْ أُسَارَى تُفَادُوهُمْ وَهُوَ مُحَرَّمٌ عَلَيْكُمْ إِخْرَاجُهُمْ أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاء مَن يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنكُمْ إِلاَّ خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ ﴿٨٥﴾
Terjemahnya:
Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan daripada kamu dari kampung halamannya, kamu bantu membantu terhadap mereka dengan membuat dosa dan permusuhan; tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang bagimu. Apakah kamu beriman kepada sebahagian al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.
QS. al-Ma>idah/5: 50.
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللّهِ حُكْماً لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ ﴿٥٠﴾
Terjemahnya:
Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?





PHILOSOPHY OF ISLAMIC LAW
AND THE ORIENTALISTS
(A Comparative Study of Islamic Legal System)
Dr. Muhammad Muslehuddin, Ph.D.

-ISLAMIC LEGAL SYSTEM-




Revisi Tugas Terjemah/Translate
Disampaikan pada Forum Seminar Kelas
Matakuliah Filsafat Hukum Islam
Semester I, TA. 2012/2013



Oleh:
MUH. GAZALI RAHMAN



Dosen Pemandu:
PROF. DR. H. MINHAJUDDIN, MA.
PROF. DR. SABRI SAMIN, M.AG.







PROGRAM PASCASARJANA (DOKTORAL)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
ALAUDDIN MAKASSAR
2013


[1]W. Friedmann, Legal Theory (Edisi V; London: t.tp., 1967), h. 21.
[2]Ibid., h. 516-518.
[3]Ibid., h. 533.
[4]R. Pound, An Introduction to the Philosophy of Law (London, 1953), h. 58.
[5]Ibid., h. 53.
[6]David dan Brierley, Mayor Legal System, h. 177.
[7]W. Friedmann, op. cit., h. 536.
[8]David dan Brierley, op. cit., h. 398.
[9]QS. al-Nisa>/4: 105.
[10]QS. al-Ma>idah/5: 44.
[11]QS. al-Ma>idah/5: 47.
[12]QS. al-Ma>idah/5: 45.
[13]QS. al-Syu>ra/42: 10.
[14]David dan Brierley, op. cit., h. 316.
[15]Ibid., h. 396.
[16]Al-Qur’an menyebut al-Kitab tersebut sebagai Taurat, rangkaian ayat sebelumnya menceritakan tentang kisah Bani Israil. Sudah tepatkah jika dimaknai dengan al-Qur’an?
[17]QS. al-Baqa>rah/2: 85.
[18]Abu al-Hasan Ali al-Mawardi, Ahkam al-Sult}ani>yah (Cairo: t.tp., t.th.) h. 137; Abud Dawud, Sunan, Kitab al-Jihad.
[19]QS. al-Ma>idah/5: 50.
[20]Mahmassani, Falsafah, h. 137.
[21]Ibid., h. 139.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar