Selasa, 14 Januari 2014

Pengaruh Gerakan Aksi Massa terhadap Fenomena Religiusitas Masyarakat


PENGARUH GERAKAN AKSI MASSA 
TERHADAP FENOMENA RELIGIUSITAS MASYARAKAT
(Analisis Perubahan Sosial di Kabupaten Sinjai)

Oleh: Muhammad Ghazali Rahman

A. Pendahuluan
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (QS. al-Ra’d: 11)
Apabila engkau melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tanganmu. Apabila engkau tidak sanggup, maka ubahlah dengan lisanmu. Apabila engkau tidak sanggup pula, maka cukuplah dengan hatimu, dan itu selemah-lemahnya iman. (al-Hadis)

Kedua kutipan konsepsi ajaran Islam tersebut menegaskan bahwa Allah Swt. dan manusia adalah subyek perubahan. Allah Swt. akan merubah nasib seseorang setelah ada upaya sungguh-sungguh dari individu yang bersangkutan untuk merubah dirinya sendiri. Meskipun penekanannya pada individu, namun perspektif ini berimplikasi logis secara kolektif terhadap perangkat sosial-budaya, ekonomi, dan politik sekaligus. Lantas, setidaknya ada dua catatan yang bisa dipetik dari kedua konsepsi tersebut. Pertama, selaku individu, manusia adalah faktor utama dalam transformasi sosial yang sadar akan kolektivitasnya. Walaupun pada akhirnya penentu akhir berada dalam genggaman-Nya. Kedua, perubahan sosial adalah sunnatullah.
Suatu perubahan sosial, secara mikro maupun dalam skala makro, disadari tentu tidak terjadi dengan sendirinya tanpa dipengaruhi oleh unsur-unsur yang mengitarinya, baik internal maupun eksternal. Dalam arti lain, suatu perubahan sosial secara aksiomatis tidak tumbuh dengan sia-sia  atau independen dari kondisi obyektif yang membingkainya; sosiologis maupun politis. Suatu perubahan terkadang merupakan jawaban atau solusi -baik terhadap problem sosial maupun politis- terhadap konstruk sosial yang dinilai dekaden sekaligus menjadi sikap kritis-antisipatif terhadap kemungkinan gejala perubahan ke depan yang destruktif.
            Berpijak daripada itu,  analisis terhadap aksi kolektif yang hadir dan berkembang dalam suatu masyarakat dapat dikatakan sebagai suatu bentuk dari sikap kritis terhadap masa depan yang berada di ujung tanduk. Oleh karena itu, gerakan aksi massa dalam kajian ini merupakan deskripsi suatu bentuk revitalisasi fungsi agama yang berupaya memahami posisi agama untuk diletakkan dalam situasi yang lebih riil. Terlebih lagi ketika agama secara empirik dihubungkan dengan berbagai persoalan sosial-kemasyarakatan yang kompleks dan rumit. Dalam konteks seperti ini sering ditemukan ketegangan-ketegangan antara kedua wilayah tersebut; agama dan persoalan kemasyarakatan. Meskipun demikian, penting untuk dicatat bahwa kehadiran agama selalu disertai dengan “dua muka”. Pada satu sisi, secara inheren agama memiliki identitas yang bersifat eksklusif-partikularis dan primordial. Akan tetapi, pada waktu yang sama, agama juga kaya akan identitas yang bersifat inklusif-universalis dan transenden.
            Satu hal yang jelas, agama dengan kematangan ideologinya selalu menjadi senjata ampuh bagi suatu perubahan sosial. Persoalannya kemudian adalah bagaimana memaknai perubahan sosial itu ke dalam koridor kehendak Allah Swt? Sebab ada pandangan paradoks; di satu sisi, agama acap kali hanya dipandang sebagai instrumen Ilahiah, yang karena profan, lantas oleh para pemeluknya diposisikan sekedar pada hubungan vertikal (antara manusia dengan Tuhan). Pada perspektif lain, agama justru menjadi ruh sekaligus alat pemecah  persoalan - persoalan sosial.
            Oleh karena itu, pembahasan ini mencoba mengkaji gerakan aksi massa sebagai bentuk kesadaran kolektif yang berupaya melakukan revitalisasi fungsi dan peran agama dalam memecahkan persoalan sosial sekaligus memberi warna bagi arah perubahan sosial yang dibingkai oleh kesadaran religiusitas masyarakat.
B. Pembahasan
  1. Ruang Lingkup Gerakan Aksi Massa
Eksistensi gerakan ini merupakan aksi dakwah amar ma’ruf nahi mungkar[1] yang dimotori oleh dua pondok pesantren besar yang ada di kota Sinjai, yaitu pondok pesantren Istiqamah yang dipimpin oleh KH. Marzuki Hasan dan pondok pesantren Syi’ar Islamiah pimpinan KH. Yahya Abdullah. Gerakan aksi ini hadir hampir seiring dengan munculnya gerakan massa di beberapa kabupaten lainnya seperti “Forum Bersama” (FORBES) di kabupaten Jeneponto, Bantaeng, Sengkang, dan Bone. Namun berbeda dengan kabupaten lainnya, aksi ini tidak berorientasi pada penumpasan tindakan kriminal dalam bentuk perampokan atau pencurian yang saat itu memang sangat meresahkan masyarakat daerah setempat. Melainkan berorientasi pada penumpasan aksi minum-minuman keras yang terang-terangan dilakukan oleh sebagian masyarakat.
Selain itu, dalam perjalanan aksi ini juga melakukan sweeping terhadap perempuan yang berbusana ketat dan terhadap tradisi-tradisi masyarakat yang masih berbau animisme. Bahkan upaya tersebut dilakukan dengan mengambil sumpah terhadap anggota masyarakat yang kedapatan atau diketahui pernah melakukan pelanggaran-pelanggaran normatif agar tidak mengulangi perbuatan mereka kembali.
Aksi ini cukup mendapatkan apresiasi dari sebagian besar masyarakat Sinjai yang telah gerah melihat bentuk-bentuk pathologi sosial yang menjamur pada saat itu. Bahkan pelanggaran tersebut tidak jarang pula dilakukan di saat umat Islam sedang berpuasa di bulan suci Ramadhan. Sehingga dalam beberapa kali pawai keliling yang diwadahi oleh aksi ini dimeriahkan pula oleh anggota-anggota masyarakat di luar ruang lingkup pesantren, dan terkadang pula dikawal oleh beberapa anggota kepolisian resort Sinjai.
Menilik pada akar kehadiran gerakan aksi ini, tampaknya bukanlah suatu aksi sporadis yang muncul secara aksidentil ataupun sebagai deskripsi antusias keberagamaan. Aksi kolektif ini adalah suatu situasi yang wajar (natural setting) sebagai perubahan awal yang kemudian membawa perubahan lebih luas kepada pada fenomena keberagamaan masyarakat Sinjai.
Secara jujur diakui bahwa globalisasi dan modernisasi dengan segala produk-produknya telah membawa konsekuensi berupa kerancuan sistem nilai. Tidak adanya suatu sistem nilai tunggal yang dipakai semua orang membuat setiap individu harus membuat keputusan-keputusan sendiri tentang pilihan perilakunya.[2]
Hal inilah yang terjadi pada sebagian masyarakat di kabupaten Sinjai dan masyarakat secara umum yang mengalami degredasi dan dekadensi moral yang tidak terlepas dari adanya penemuan baru (invention) di bidang teknologi yang secara signifikan telah membawa perubahan sikap dan pola interaksi sosial mereka.[3] Hadirnya penemuan baru dalam masyarakat berkembang, secara umum bukannya pada bentuk transformasi teknologi, melainkan lebih pada bentuk westernisasi atau peniruan terhadap unsur-unsur budaya Barat, sekaligus menjadikannya sebagai tolak ukur dalam sistem nilai.[4]
Implikasi dari kecenderungan tersebut bagi struktur berpikir masyarakat agama dianggap berpengaruh atas kelangsungan perkembangan identitas tradisional dan nilai-nilai agama. Sehingga respon-respon konstruktif  dari kalangan pemikir dan aktivis agama terhadap fenomena  tersebut menjadi keharusan. Dalam alur seperti ini, yang terjadi sebenarnya adalah dialog positif antara norma-norma agama dengan realitas empirik yang selalu berkembang.
Atas dasar alasan inilah Gerakan Aksi Massa hadir untuk mencoba melakukan dakwah amar ma’ruf nahi mungkar dalam kerangka revitalisasi peran dan fungsi agama di tengah masyarakat dalam membendung derasnya arus globalisasi dan modernisasi yang melanda masyarakat kabupaten Sinjai saat itu. Sebagai suatu respon terhadap perubahan sosial yang destruktif, aksi ini berupaya menyadarkan masyarakat untuk kembali kepada khazanah dan identitas keislaman mereka yang telah direduksi dan dikooptasi oleh nilai dan pola sikap-pikir yang mengarah pada sekularisasi kehidupan mereka sebagai imbas dari westernisasi.
2.  Pengaruhnya Terhadap Fenomena Religiusitas Masyarakat.
Melihat pada mekanisme gerakan aksi ini sebagai pelaku perubahan sosial (change agency), tampak bahwa strategi perubahan yang dipergunakan adalah tiga alternatif sekaligus, yaitu memaksa, membujuk, dan mendidik.[5] Melalui power strategy,  yakni upaya menimbulkan kepasrahan behavoral atau kerjasama pada sasaran perubahan melalui penggunaan sanksi yang dikendalikan oleh agen, maka anggota masyarakat yang pernah melakukan pelanggaran normatif dan telah mendapatkan sanksi secara otomatis ikut bergabung sebagai anggota baru dari gerakan aksi tersebut.
Integrasi ke dalam kelompok aksi ini merupakan upaya memaksa terhadap pelaku pathologi sosial tersebut untuk hijrah dari kejahatan mereka sekaligus menjadi sarana penebus dosa bagi mereka dengan secara aktif terlibat dalam aksi-aksi dakwah secara tidak langsung. Begitu pula melalui strategi persuasif dan edukatif  gerakan aksi tersebut berusaha  bukan hanya mengubah perilaku yang tampak, tetapi juga mengubah keyakinan dan nilai sasaran perubahan. Upaya ini adalah salah satu bentuk proses perubahan sosial dengan menanamkan ideas terhadap individu ataupun masyarakat terhadap orientasi luhur dari fungsi kemanusiaan mereka yang tidak lain adalah sebagai Khalifah fi al-Ardh yang mengorientasikan hidup mereka semata dalam kerangka ibadah kepada Allah Swt.  Ideas ini merupakan faktor yang sangat efektif dalam mengubah individu dan masyarakat ke arah perubahan sejarah mereka sendiri sekaligus menjadi tameng terhadap berbagai ideologi yang mereduksi humanitas dan religiusitas mereka yang telah mapan.[6]
Lebih jauh lagi, gerakan aksi untuk perubahan sosial yang bermuatan normativitas ini secara radikal revolusioner mengarah pada pencerabutan tradisi sampai pada akrnya, dan menganggap pelestrian tradisi sebagai penyebab stagnasi sosial.[7] Dengan demikian, perubahan sosial hanya akan berjalan dengan baik sesuai dengan cita-cita tatanan yang dikehendaki jika lebih dahulu diadakan perubahan mental dan orientasi manusianya.
Pada sisi lain, gerakan aksi ini hadir sebagai bentuk kesadaran yang melihat bahwa selama ini gerakan-gerakan dakwah tidak lebih hanya mengajak kepada kebaikan semata tanpa mampu mencegah dari kemungkaran. Padahal idealnya, kesempurnaan dan maksimalisasi tujuan dakwah dapat tercapai dengan menjadikan amar ma’ruf dan nahi mungkar sebagai gerakan yang berjalan seiring. Sebab mengacu kepada sosiologi, pada dasarnya keduanya  - amar ma’ruf dan nahi mungkar – menunjuk pada kenyataan bahwa kebaikan dan keburukan  itu ada dalam masyarakat. Umat Islam dituntut untuk mampu mengenali kebaikan dan keburukan yang ada dalam masyarakat itu, kemudian mendorong, memupuk dan memberanikan diri kepada tindakan-tindakan kebaikan, dan pada waktu yang sama mencegah, menghalangi dan menghambat tindakan-tindakan keburukan.[8]
Tidak dapat disangkal bahwa kehadiran aksi ini telah membawa pengaruh yang besar terhadap fenomena religiusitas masyarakat Kabupaten Sinjai. Meskipun tidak dapat digeneralisasi secara lebih luas, namun fenomena ini tampak pada intensitas shalat jama’ah yang di luar dari biasanya, semakin dibudayakannya jilbab sebagai busana islami, berkurangnya ritual-ritual adat yang bertentangan dengan nilai-nilai agama serta hal-hal  lain yang tidak pernah terjadi sebelumnya dan cukup menjadi indikator bagi adanya suatu perubahan yang signifikan. Eksistensi gerakan aksi ini sekaligus juga menjadi moment awal perubahan sosial dalam konteks religiusitas masyarakat Kabupaten Sinjai secara substansial.
Mencermati perubahan tersebut, maka ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan religiusitas masyarakat tersebut antara lain;
a)      Faktor internal, antara lain karena timbulnya kesadaran individu yang berpengaruh secara kolektif  terhadap pentingnya tatanan sosial yang berpijak pada nilai-nilai peradaban Ilahiah. Hal ini berimplikasi pada penolakan terhadap hal-hal yang mengarah pada sekularisasi kehidupan yang mengenyampingkan  moralitas humanis. Selain itu adalah karena kesadaran individu maupun kolektif terhadap keringnya spiritual pribadi mereka yang perlu disirami oleh konstruk nilai yang lebih Islami, meskipun tidak semua dari anggota masyarakat yang menyadari akan hal ini.
b)      Faktor eksternal yang mendukung perubahan ini yaitu kematangan strategi dakwah gerakan aksi yang mampu melakukan pembacaan realitas terhadap kondisi sosio-kultural masyarakat yang mempengaruhi religiusitas mereka. Terlebih lagi dengan adanya apresiasi masyarakat dan dukungan dari pihak pemerintah terhadap ide-ide dan aksi-aksi dakwah tersebut yang dinilai turut membantu proses pembangunan masyarakat secara non fisik.
Dengan demikian, secara tidak langsung pula dengan hadirnya gerakan aksi ini telah membawa dampak positif  bagi perubahan tatanan nilai agama dan budaya masyarakat kabupaten Sinjai yang cenderung lebih Islami. Indikator ini dapat dilihat pada perubahan-perubahan sikap dalam interaksi sosial masyarakat dan juga terhadap intensitas religius mereka. Meskipun perubahan ini tidak dalam skala yang lebih luas, namun paling tidak menjadi tahap awal keberhasilan suatu misi dakwah yang diemban melalui gerakan aksi tersebut.
Hanya saja, untuk melihat kecenderungan perkembangan perubahan ini ke depan, memerlukan suatu strategi dakwah yang lebih komprehensif dalam menyikapi kemajuan zaman yang niscaya terus bergulir dan akan terus menjadi benturan  bagi idealisme normativitas agama yang menghendaki tatanan terbaik bagi konstruk masyarakat yang Islami. Oleh karena itu, format dakwah modern dan pengembangan masyarakat Islam perlu lebih memahami anatomi masyarakat untuk dapat memprioritaskan bagian-bagian yang memerlukan reparasi secepat mungkin.

C. Kesimpulan
            Gerakan aksi massa yang berorientasi pada perbaikan tatanan sosial ke arah yang lebih baik sudah jelas  merupakan rentetan aksi  yang dilancarkan secara sadar, baik oleh individu  maupun oleh kelompok. Rentetan aksi ini  merupakan respon sosial  yang ditimbulkan oleh rangsangan dari dalam maupun dari luar yang berpijak pada kesadaran kolektif tentang kewajiban dakwah yang lebih luas sekaligus sebagai upaya meminimalisir pola sikap dan pikir yang cenderung destruktif  dan membawa kepada dosa-dosa sosial yang lebih luas.
            Fenomena ini juga mendeskripsikan suatu  akumulasi kesadaran  dalam formulasi  citra diri yang beridentitaskan nilai-nilai Ilahiah yang tetap eksis di tengah arus dinamika dan perubahan zaman. Perubahan ini secara kronik menampilkan kesadaran kultural yang bernafaskan Islam dan secara radikal menampilkan mentalitas revolusioner  yang menjadi checks and balances terhadap konstalasi budaya global yang sedikit banyaknya telah mereduksi nilai-nilai humanitas.

Daftar Pustaka

Abdulsyani, Sosiologi; Skematika, Teori, dan Terapan. Cet. II; Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2002.
Arifin, Syamsul. “Kembali pada Esensi Agama; Pendekatan Instrinsik dalam Beragama”  dalam Jurnal Katalis Indonesia, Vol. I, No. 1, 2000.
Madjid, Nurcholish. Cendekiawan  dan Religiusitas Masyarakat. Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1999.
Rais, M. Amin. Cakrawala Islam; Antara Cita dan Fakta.  Cet. III; Bandung: Mizan, 1991.
Rakhmat, Jalaluddin. Rekayasa Sosial; Revormasi, Revolusi, atau Manusia Besar?. Cet. II; Bandung: Remaja Rosdakarya Offset, 2000.
Shariati, Ali. Man and Islam, diterjemahkan oleh M. Amin Rais dalam judul Tugas Cendekiawan Muslim.  Cet. V; Jakarta: Rajawali, 1984.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi; Suatu Pengantar. Cet. XXXIII; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.



             



[1]Berdasarkan hasil musyawarah bersama, gerakan aksi dakwah ini dinamakan dengan Gerakan Aksi Massa Sinjai (GAMAS)
[2]Lihat, Syamsul Arifin, “Kembali pada Esensi Agama; Pendekatan Instrinsik dalam Beragama”  dalam Jurnal Katalis Indonesia, Vol. I, No. 1, 2000. h. 28-29.
[3]Salah satu faktor penyebab perubahan sosial adalah penimbunan kebudayaan dan penemuan baru. Lihat, Abdulsyani, Sosiologi; Skematika, Teori, dan Terapan (Cet. II; Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2002), h. 164. Lihat pula, Soerjono Soekanto, Sosiologi; Suatu Pengantar (Cet. XXXIII; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 318-319.
[4]Lihat, Ali Shariati, Man and Islam, diterjemahkan oleh M. Amin Rais dalam judul Tugas Cendekiawan Muslim (Cet. V; Jakarta: Rajawali, 1984), h. 95.
[5]Tiga alternatif strategi perubahan sosial ini disebutkan oleh Jalaluddin Rakhmat dalam  Rekayasa Sosial; Revormasi, Revolusi, atau Manusia Besar? (Cet. II; Bandung: Remaja Rosdakarya Offset, 2000), h. 89.
[6]Ibid., h. 103-105.
[7]Lihat, M. Amin Rais, Cakrawala Islam; Antara Cita dan Fakta  (Cet. III; Bandung: Mizan, 1991), h, 137.
[8]Lihat, Nurcholish Madjid, Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat (Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1999), h. 113.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar