PENGARUH GERAKAN AKSI MASSA
TERHADAP FENOMENA RELIGIUSITAS MASYARAKAT
TERHADAP FENOMENA RELIGIUSITAS MASYARAKAT
(Analisis Perubahan Sosial di Kabupaten Sinjai)
Oleh:
Muhammad Ghazali Rahman
A. Pendahuluan
“Sesungguhnya
Allah tidak merubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka merubah keadaan yang
ada pada diri mereka sendiri” (QS. al-Ra’d: 11)
Apabila
engkau melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tanganmu. Apabila engkau tidak
sanggup, maka ubahlah dengan lisanmu. Apabila engkau tidak sanggup pula, maka
cukuplah dengan hatimu, dan itu selemah-lemahnya iman. (al-Hadis)
Kedua
kutipan konsepsi ajaran Islam tersebut menegaskan bahwa Allah Swt. dan manusia
adalah subyek perubahan. Allah Swt. akan merubah nasib seseorang setelah ada
upaya sungguh-sungguh dari individu yang bersangkutan untuk merubah dirinya
sendiri. Meskipun penekanannya pada individu, namun perspektif ini berimplikasi
logis secara kolektif terhadap perangkat sosial-budaya, ekonomi, dan politik
sekaligus. Lantas, setidaknya ada dua catatan yang bisa dipetik dari kedua
konsepsi tersebut. Pertama, selaku individu, manusia adalah faktor utama
dalam transformasi sosial yang sadar akan kolektivitasnya. Walaupun pada
akhirnya penentu akhir berada dalam genggaman-Nya. Kedua, perubahan
sosial adalah sunnatullah.
Suatu
perubahan sosial, secara mikro maupun dalam skala makro, disadari tentu tidak
terjadi dengan sendirinya tanpa dipengaruhi oleh unsur-unsur yang mengitarinya,
baik internal maupun eksternal. Dalam arti lain, suatu perubahan sosial secara
aksiomatis tidak tumbuh dengan sia-sia
atau independen dari kondisi obyektif yang membingkainya; sosiologis
maupun politis. Suatu perubahan terkadang merupakan jawaban atau solusi -baik
terhadap problem sosial maupun politis- terhadap konstruk sosial yang dinilai
dekaden sekaligus menjadi sikap kritis-antisipatif terhadap kemungkinan gejala
perubahan ke depan yang destruktif.
Berpijak daripada itu, analisis terhadap aksi kolektif yang hadir
dan berkembang dalam suatu masyarakat dapat dikatakan sebagai suatu bentuk dari
sikap kritis terhadap masa depan yang berada di ujung tanduk. Oleh karena itu,
gerakan aksi massa dalam kajian ini merupakan deskripsi suatu bentuk
revitalisasi fungsi agama yang berupaya memahami posisi agama untuk diletakkan
dalam situasi yang lebih riil. Terlebih lagi ketika agama secara empirik
dihubungkan dengan berbagai persoalan sosial-kemasyarakatan yang kompleks dan
rumit. Dalam konteks seperti ini sering ditemukan ketegangan-ketegangan antara
kedua wilayah tersebut; agama dan persoalan kemasyarakatan. Meskipun demikian,
penting untuk dicatat bahwa kehadiran agama selalu disertai dengan “dua muka”.
Pada satu sisi, secara inheren agama memiliki identitas yang bersifat
eksklusif-partikularis dan primordial. Akan tetapi, pada waktu yang sama, agama
juga kaya akan identitas yang bersifat inklusif-universalis dan transenden.
Satu hal yang jelas, agama dengan
kematangan ideologinya selalu menjadi senjata ampuh bagi suatu perubahan
sosial. Persoalannya kemudian adalah bagaimana memaknai perubahan sosial itu ke
dalam koridor kehendak Allah Swt? Sebab ada pandangan paradoks; di satu sisi,
agama acap kali hanya dipandang sebagai instrumen Ilahiah, yang karena profan,
lantas oleh para pemeluknya diposisikan sekedar pada hubungan vertikal (antara
manusia dengan Tuhan). Pada perspektif lain, agama justru menjadi ruh sekaligus
alat pemecah persoalan - persoalan
sosial.
Oleh karena itu, pembahasan ini
mencoba mengkaji gerakan aksi massa sebagai bentuk kesadaran kolektif yang
berupaya melakukan revitalisasi fungsi dan peran agama dalam memecahkan
persoalan sosial sekaligus memberi warna bagi arah perubahan sosial yang
dibingkai oleh kesadaran religiusitas masyarakat.
B. Pembahasan
- Ruang Lingkup Gerakan Aksi Massa
Eksistensi
gerakan ini merupakan aksi dakwah amar ma’ruf nahi mungkar[1] yang
dimotori oleh dua pondok pesantren besar yang ada di kota Sinjai, yaitu pondok
pesantren Istiqamah yang dipimpin oleh KH. Marzuki Hasan dan pondok pesantren
Syi’ar Islamiah pimpinan KH. Yahya Abdullah. Gerakan aksi ini hadir hampir
seiring dengan munculnya gerakan massa di beberapa kabupaten lainnya seperti
“Forum Bersama” (FORBES) di kabupaten Jeneponto, Bantaeng, Sengkang, dan Bone.
Namun berbeda dengan kabupaten lainnya, aksi ini tidak berorientasi pada
penumpasan tindakan kriminal dalam bentuk perampokan atau pencurian yang saat
itu memang sangat meresahkan masyarakat daerah setempat. Melainkan berorientasi
pada penumpasan aksi minum-minuman keras yang terang-terangan dilakukan oleh
sebagian masyarakat.
Selain
itu, dalam perjalanan aksi ini juga melakukan sweeping terhadap
perempuan yang berbusana ketat dan terhadap tradisi-tradisi masyarakat yang
masih berbau animisme. Bahkan upaya tersebut dilakukan dengan mengambil sumpah
terhadap anggota masyarakat yang kedapatan atau diketahui pernah melakukan
pelanggaran-pelanggaran normatif agar tidak mengulangi perbuatan mereka
kembali.
Aksi ini
cukup mendapatkan apresiasi dari sebagian besar masyarakat Sinjai yang telah
gerah melihat bentuk-bentuk pathologi sosial yang menjamur pada saat itu.
Bahkan pelanggaran tersebut tidak jarang pula dilakukan di saat umat Islam
sedang berpuasa di bulan suci Ramadhan. Sehingga dalam beberapa kali pawai keliling
yang diwadahi oleh aksi ini dimeriahkan pula oleh anggota-anggota masyarakat di
luar ruang lingkup pesantren, dan terkadang pula dikawal oleh beberapa anggota
kepolisian resort Sinjai.
Menilik
pada akar kehadiran gerakan aksi ini, tampaknya bukanlah suatu aksi sporadis
yang muncul secara aksidentil ataupun sebagai deskripsi antusias keberagamaan.
Aksi kolektif ini adalah suatu situasi yang wajar (natural setting)
sebagai perubahan awal yang kemudian membawa perubahan lebih luas kepada pada
fenomena keberagamaan masyarakat Sinjai.
Secara
jujur diakui bahwa globalisasi dan modernisasi dengan segala produk-produknya
telah membawa konsekuensi berupa kerancuan sistem nilai. Tidak adanya suatu
sistem nilai tunggal yang dipakai semua orang membuat setiap individu harus
membuat keputusan-keputusan sendiri tentang pilihan perilakunya.[2]
Hal
inilah yang terjadi pada sebagian masyarakat di kabupaten Sinjai dan masyarakat
secara umum yang mengalami degredasi dan dekadensi moral yang tidak terlepas
dari adanya penemuan baru (invention) di bidang teknologi yang secara
signifikan telah membawa perubahan sikap dan pola interaksi sosial mereka.[3]
Hadirnya penemuan baru dalam masyarakat berkembang, secara umum bukannya pada
bentuk transformasi teknologi, melainkan lebih pada bentuk westernisasi atau
peniruan terhadap unsur-unsur budaya Barat, sekaligus menjadikannya sebagai
tolak ukur dalam sistem nilai.[4]
Implikasi
dari kecenderungan tersebut bagi struktur berpikir masyarakat agama dianggap
berpengaruh atas kelangsungan perkembangan identitas tradisional dan
nilai-nilai agama. Sehingga respon-respon konstruktif dari kalangan pemikir dan aktivis agama
terhadap fenomena tersebut menjadi
keharusan. Dalam alur seperti ini, yang terjadi sebenarnya adalah dialog
positif antara norma-norma agama dengan realitas empirik yang selalu
berkembang.
Atas
dasar alasan inilah Gerakan Aksi Massa hadir untuk mencoba melakukan dakwah amar
ma’ruf nahi mungkar dalam kerangka revitalisasi peran dan fungsi agama di
tengah masyarakat dalam membendung derasnya arus globalisasi dan modernisasi
yang melanda masyarakat kabupaten Sinjai saat itu. Sebagai suatu respon
terhadap perubahan sosial yang destruktif, aksi ini berupaya menyadarkan
masyarakat untuk kembali kepada khazanah dan identitas keislaman mereka yang
telah direduksi dan dikooptasi oleh nilai dan pola sikap-pikir yang mengarah
pada sekularisasi kehidupan mereka sebagai imbas dari westernisasi.
2. Pengaruhnya Terhadap Fenomena Religiusitas
Masyarakat.
Melihat
pada mekanisme gerakan aksi ini sebagai pelaku perubahan sosial (change
agency), tampak bahwa strategi perubahan yang dipergunakan adalah tiga
alternatif sekaligus, yaitu memaksa, membujuk, dan mendidik.[5]
Melalui power strategy, yakni
upaya menimbulkan kepasrahan behavoral atau kerjasama pada sasaran
perubahan melalui penggunaan sanksi yang dikendalikan oleh agen, maka anggota
masyarakat yang pernah melakukan pelanggaran normatif dan telah mendapatkan sanksi
secara otomatis ikut bergabung sebagai anggota baru dari gerakan aksi tersebut.
Integrasi
ke dalam kelompok aksi ini merupakan upaya memaksa terhadap pelaku pathologi
sosial tersebut untuk hijrah dari kejahatan mereka sekaligus menjadi sarana
penebus dosa bagi mereka dengan secara aktif terlibat dalam aksi-aksi dakwah
secara tidak langsung. Begitu pula melalui strategi persuasif dan edukatif gerakan aksi tersebut berusaha bukan hanya mengubah perilaku yang tampak,
tetapi juga mengubah keyakinan dan nilai sasaran perubahan. Upaya ini adalah
salah satu bentuk proses perubahan sosial dengan menanamkan ideas terhadap
individu ataupun masyarakat terhadap orientasi luhur dari fungsi kemanusiaan
mereka yang tidak lain adalah sebagai Khalifah fi al-Ardh yang mengorientasikan
hidup mereka semata dalam kerangka ibadah kepada Allah Swt. Ideas ini merupakan faktor yang sangat
efektif dalam mengubah individu dan masyarakat ke arah perubahan sejarah mereka
sendiri sekaligus menjadi tameng terhadap berbagai ideologi yang mereduksi
humanitas dan religiusitas mereka yang telah mapan.[6]
Lebih
jauh lagi, gerakan aksi untuk perubahan sosial yang bermuatan normativitas ini
secara radikal revolusioner mengarah pada pencerabutan tradisi sampai pada
akrnya, dan menganggap pelestrian tradisi sebagai penyebab stagnasi sosial.[7]
Dengan demikian, perubahan sosial hanya akan berjalan dengan baik sesuai dengan
cita-cita tatanan yang dikehendaki jika lebih dahulu diadakan perubahan mental
dan orientasi manusianya.
Pada sisi
lain, gerakan aksi ini hadir sebagai bentuk kesadaran yang melihat bahwa selama
ini gerakan-gerakan dakwah tidak lebih hanya mengajak kepada kebaikan semata
tanpa mampu mencegah dari kemungkaran. Padahal idealnya, kesempurnaan dan
maksimalisasi tujuan dakwah dapat tercapai dengan menjadikan amar ma’ruf
dan nahi mungkar sebagai gerakan yang berjalan seiring. Sebab mengacu
kepada sosiologi, pada dasarnya keduanya
- amar ma’ruf dan nahi mungkar – menunjuk pada kenyataan
bahwa kebaikan dan keburukan itu ada
dalam masyarakat. Umat Islam dituntut untuk mampu mengenali kebaikan dan
keburukan yang ada dalam masyarakat itu, kemudian mendorong, memupuk dan
memberanikan diri kepada tindakan-tindakan kebaikan, dan pada waktu yang sama
mencegah, menghalangi dan menghambat tindakan-tindakan keburukan.[8]
Tidak
dapat disangkal bahwa kehadiran aksi ini telah membawa pengaruh yang besar
terhadap fenomena religiusitas masyarakat Kabupaten Sinjai. Meskipun tidak
dapat digeneralisasi secara lebih luas, namun fenomena ini tampak pada
intensitas shalat jama’ah yang di luar dari biasanya, semakin dibudayakannya
jilbab sebagai busana islami, berkurangnya ritual-ritual adat yang bertentangan
dengan nilai-nilai agama serta hal-hal
lain yang tidak pernah terjadi sebelumnya dan cukup menjadi indikator
bagi adanya suatu perubahan yang signifikan. Eksistensi gerakan aksi ini
sekaligus juga menjadi moment awal perubahan sosial dalam konteks religiusitas
masyarakat Kabupaten Sinjai secara substansial.
Mencermati
perubahan tersebut, maka ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya
perubahan religiusitas masyarakat tersebut antara lain;
a) Faktor internal, antara lain
karena timbulnya kesadaran individu yang berpengaruh secara kolektif terhadap pentingnya tatanan sosial yang
berpijak pada nilai-nilai peradaban Ilahiah. Hal ini berimplikasi pada
penolakan terhadap hal-hal yang mengarah pada sekularisasi kehidupan yang
mengenyampingkan moralitas humanis.
Selain itu adalah karena kesadaran individu maupun kolektif terhadap keringnya
spiritual pribadi mereka yang perlu disirami oleh konstruk nilai yang lebih
Islami, meskipun tidak semua dari anggota masyarakat yang menyadari akan hal
ini.
b) Faktor eksternal yang
mendukung perubahan ini yaitu kematangan strategi dakwah gerakan aksi yang
mampu melakukan pembacaan realitas terhadap kondisi sosio-kultural masyarakat
yang mempengaruhi religiusitas mereka. Terlebih lagi dengan adanya apresiasi
masyarakat dan dukungan dari pihak pemerintah terhadap ide-ide dan aksi-aksi
dakwah tersebut yang dinilai turut membantu proses pembangunan masyarakat
secara non fisik.
Dengan
demikian, secara tidak langsung pula dengan hadirnya gerakan aksi ini telah
membawa dampak positif bagi perubahan
tatanan nilai agama dan budaya masyarakat kabupaten Sinjai yang cenderung lebih
Islami. Indikator ini dapat dilihat pada perubahan-perubahan sikap dalam
interaksi sosial masyarakat dan juga terhadap intensitas religius mereka.
Meskipun perubahan ini tidak dalam skala yang lebih luas, namun paling tidak
menjadi tahap awal keberhasilan suatu misi dakwah yang diemban melalui gerakan
aksi tersebut.
Hanya
saja, untuk melihat kecenderungan perkembangan perubahan ini ke depan,
memerlukan suatu strategi dakwah yang lebih komprehensif dalam menyikapi
kemajuan zaman yang niscaya terus bergulir dan akan terus menjadi benturan bagi idealisme normativitas agama yang
menghendaki tatanan terbaik bagi konstruk masyarakat yang Islami. Oleh karena
itu, format dakwah modern dan pengembangan masyarakat Islam perlu lebih
memahami anatomi masyarakat untuk dapat memprioritaskan bagian-bagian yang
memerlukan reparasi secepat mungkin.
C.
Kesimpulan
Gerakan aksi massa yang berorientasi
pada perbaikan tatanan sosial ke arah yang lebih baik sudah jelas merupakan rentetan aksi yang dilancarkan secara sadar, baik oleh
individu maupun oleh kelompok. Rentetan
aksi ini merupakan respon sosial yang ditimbulkan oleh rangsangan dari dalam
maupun dari luar yang berpijak pada kesadaran kolektif tentang kewajiban dakwah
yang lebih luas sekaligus sebagai upaya meminimalisir pola sikap dan pikir yang
cenderung destruktif dan membawa kepada
dosa-dosa sosial yang lebih luas.
Fenomena ini juga mendeskripsikan
suatu akumulasi kesadaran dalam formulasi citra diri yang beridentitaskan nilai-nilai
Ilahiah yang tetap eksis di tengah arus dinamika dan perubahan zaman. Perubahan
ini secara kronik menampilkan kesadaran kultural yang bernafaskan Islam dan
secara radikal menampilkan mentalitas revolusioner yang menjadi checks and balances terhadap
konstalasi budaya global yang sedikit banyaknya telah mereduksi nilai-nilai
humanitas.
Daftar Pustaka
Abdulsyani, Sosiologi; Skematika, Teori, dan
Terapan. Cet. II; Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2002.
Arifin, Syamsul. “Kembali pada Esensi Agama;
Pendekatan Instrinsik dalam Beragama”
dalam Jurnal Katalis Indonesia, Vol. I, No. 1, 2000.
Madjid, Nurcholish. Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat. Cet. I;
Jakarta: Paramadina, 1999.
Rais, M. Amin. Cakrawala Islam; Antara Cita
dan Fakta. Cet. III; Bandung: Mizan,
1991.
Rakhmat, Jalaluddin. Rekayasa Sosial;
Revormasi, Revolusi, atau Manusia Besar?. Cet. II; Bandung: Remaja
Rosdakarya Offset, 2000.
Shariati, Ali. Man and Islam,
diterjemahkan oleh M. Amin Rais dalam judul Tugas Cendekiawan Muslim. Cet. V; Jakarta: Rajawali, 1984.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi; Suatu
Pengantar. Cet. XXXIII; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
[1]Berdasarkan
hasil musyawarah bersama, gerakan aksi dakwah ini dinamakan dengan Gerakan Aksi
Massa Sinjai (GAMAS)
[2]Lihat,
Syamsul Arifin, “Kembali pada Esensi Agama; Pendekatan Instrinsik dalam
Beragama” dalam Jurnal Katalis
Indonesia, Vol. I, No. 1, 2000. h. 28-29.
[3]Salah satu
faktor penyebab perubahan sosial adalah penimbunan kebudayaan dan penemuan
baru. Lihat, Abdulsyani, Sosiologi; Skematika, Teori, dan Terapan (Cet.
II; Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2002), h. 164. Lihat pula, Soerjono
Soekanto, Sosiologi; Suatu Pengantar (Cet. XXXIII; Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002), h. 318-319.
[4]Lihat, Ali
Shariati, Man and Islam, diterjemahkan oleh M. Amin Rais dalam judul Tugas
Cendekiawan Muslim (Cet. V; Jakarta: Rajawali, 1984), h. 95.
[5]Tiga
alternatif strategi perubahan sosial ini disebutkan oleh Jalaluddin Rakhmat
dalam Rekayasa Sosial; Revormasi,
Revolusi, atau Manusia Besar? (Cet. II; Bandung: Remaja Rosdakarya Offset,
2000), h. 89.
[7]Lihat, M.
Amin Rais, Cakrawala Islam; Antara Cita dan Fakta (Cet. III; Bandung: Mizan, 1991), h, 137.
[8]Lihat,
Nurcholish Madjid, Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat (Cet. I; Jakarta:
Paramadina, 1999), h. 113.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar