Rabu, 08 Januari 2014

Urgensi Pengembangan Wawasan Multikultural di Kalangan Majelis Taklim



Urgensi Pengembangan Wawasan Multikultural
di Kalangan Majelis Taklim

Oleh: M. Gazali Rahman, MH.I.

Abstrak
   Mengelola kemajemukan bukanlah perkara yang mudah. Di satu sisi, umat beragama sebagai salah satu komponen bangsa berusaha memelihara identitas dan memperjuangkan aspirasinya. Pada sisi lain, mereka juga dituntut untuk memberi andil dalam rangka memelihara kerukunan dan keutuhan bangsa. Dalam kaitan ini diperlukan kearifan dan kedewasaan di kalangan umat beragama untuk memelihara keseimbangan antara kepentingan kelompok dan kepentingan nasional. Sehubungan dengan hal ini pula, diperlukan kebijakan strategis yang dapat menciptakan dan memelihara kerukunan umat beragama guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang aman, damai, maju, sejahtera, dan bersatu.
Tulisan ini mencoba mengangkat urgensi dan peran majelis taklim dalam upaya membangun sikap inklusiv di kalangan umat Islam sendiri. Sebab disadari bahwa multikulturalisme dalam perspektif agama merupakan salah satu wacana yang paling menantang terhadap kerangka kesarjanaan dan keilmuan dunia Islam dalam berbagai perspektifnya dewasa ini. Sekalipun dunia Islam sejak kelahirannya bersentuhan dengan berbagai tradisi yang multikultural atau heterogen, tetapi kesadaran akan pentingnya mempertimbangkan realitas multikultural begitu melanda dunia muslim, di mana setiap orang secara inherent dalam dirinya diberikan kebebasan meyakini, bertindak dalam kerangka agama berdasar keyakinan masing-masing tanpa ada paksaan dari siapa pun.
Majelis taklim sebagai bagian terkecil dari kelompok masyarakat agama pada dasarnya memiliki peran sentral yang dapat menjadi batu loncatan menanamkan nilai-nilai multikultural di kalangan anggotanya. Sebab, majelis taklim sesungguhnya merupakan model tersendiri dalam sistem pendidikan masyarakat yang memiliki karakter khas, independensi, dan terlepas dari polarisasi yang selama ini mengkotak-kotakkan masyarakat Islam. Wawasan multikultural yang dikembangkan di kalangan majelis taklim tentunya diharapkan dapat mereduksi eksklusivitas di berbagai dimensi yang banyak terjadi saat ini, baik dari segi perbedaan agama terhadap mereka yang di luar majelis taklim, ataupun secara internal dari berbagai aspek kehidupan sosial seperti perbedaan tingkat kecerdasan, penghasilan, penguasaan teknologi, dan aneka perbedaan lainnya.

Kata Kunci: Wawasan Multikultural, Majelis Taklim

A.  Pendahuluan
Bangunan persaudaraan dan persatuan sesama umat Islam dewasa ini, secara jujur diakui sampai hari ini, masih riskan dan menyedihkan. Alasannya, banyak di antara di antara mereka yang masih seiman dan sekeyakinan, justeru saling melakukan hal-hal yang dapat menyingkap tirai perselisihan, percekcokan, dan permusuhan antara sesamanya. Tentu saja, timbulnya percekcokan dan ketidakakuran antara sesama Muslimin itu adalah disebabkan oleh masih sempitnya wawasan mereka terhadap Islam, selain disebabkan pula oleh lemahnya keimanan.
Manusia sebagai makhluk sosial mempunyai sifat kodrati berupa sifat ketergantungan, sesuai dengan asal kejadiannya. Sifat ketergantungan manusia kepada sesamanya menjadi jelas apabila diperhatikan mekanisme hubungan anak dengan orang tuanya, khususnya kepada ibunya, terutama pada awal perkembangan kehidupannya. Ketergantungan itu tidak hanya ketika ia berada dalam rahim ibunya, tetapi juga setelah lahir ia tetap memerlukan alam lingkungannya, demi kelangsungan hidupnya.
Hal tersebut mengasumsikan adanya kesadaran kolektif yang perlu dikembangkan dalam wujud simbiosis mutualisme antar sesama manusia dalam relasi kehidupannya dan di tengah kondisi multikultural yang ada. Majelis Taklim dan peran da'i/da'iyah menjadi sangat penting dalam kaitan ini, yakni bagaimana agar wawasan multikultural dapat mengakar dan membumi di Indonesia dan  di Gorontalo pula tentunya.
Pada prinsipnya, hidup manusia adalah pengalaman bersama, bahkan dalam unsur-unsurnya yang paling individual, merupakan kehidupan bersama. Tingkah laku dan strukturnya yang asasi, selalu menunjuk kepada pribadi orang lain, atau dengan kata lain, manusia adalah anak masyarakat. Jadi, keterbukaan dan hidup bersama dengan orang lain, merupakan sifat hakiki manusia, sebab antara satu dengan lainnya saling membutuhkan.
Secara falsafi, manusia diciptakan sedemikian rupa sehingga hidup selalu berkelompok, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Manusia dikenal melalui bangsa dan sukunya, suatu identitas yang merupakan bagian tak terpisahkan dari keberadaan hidup bermasyarakat. Jika hubungan ini tidak terjadi dan menyebabkan mereka hidup menyendiri dan terpisah, maka tidaklah mungkin dapat mengenali mereka satu persatu. Akibatnya, kehidupan bermasyarakat yang merupakan dasar hubungan antar manusia, menjadi tidak ada.
Faktor perbedaan sifat, warna kulit dan tubuh, merupakan dasar untuk mengenali seseorang. Sekiranya semua bersifat, berwarna kulit dan tubuh yang sama, dan sekiranya mereka tidak diatur oleh berbagai jenis hubungan, maka mereka akan menjadi seperti produk-produk baku suatu pabrik, semuanya sama, sehingga tidak terbedakan. Hal yang demikian akan menyebabkan ketiadaan kehidupan masyarakat, yang berdasarkan hubungan dan pertukaran gagasan, kerja dan komoditi.
Perbedaan antar manusia merupakan suatu syarat penting bagi adanya kehidupan bermasyarakat. Sebab, setiap suku dan etnis yang ada, masing-masing mempunyai budaya dan tradisi tersendiri. Dengan adanya sikap keterbukaan dan saling melakukan kontak antara masing-masing suku, selain dapat menambah khazanah budaya masing-masing, juga dapat mempercepat arus informasi dan laju perkembangan ilmu pengetahuan.
Alqur’an dalam menuntun anggota masyarakat untuk memperoleh kebahagiaan hidup yang sempurna, baik di dunia maupun di akhirat, memberikan penekanan tersendiri pada aspek kehidupan yang diimplementasikan dalam pola kerukunan di antara anggota masyarakat. Karena itu, sangat beralasan bilamana tuntunan persatuan itu dibarengi dengan tata cara pelaksanaannya. Hal tersebut tentu dimaksudkan agar suasana kerukunan dapat tercipta dengan harmonis, langgeng di tengah-tengah masyarakat yang heterogen, seperti di Indonesia.
Gagasan multikultural bukanlah sesuatu yang ditakuti dan baru, setidaknya ada empat alasan untuk itu. Pertama, bahwa Islam mengajarkan menghormati dan mengakui keberadaan orang lain. Kedua, konsep persaudaraan Islam tidak hanya terbatas pada satu sekte atau golongan saja. Ketiga, dalam pandangan Islam bahwa nilai tertinggi seorang hamba adalah terletak pada integralitas takwa dan kedekatannya dengan Tuhan.
Mengenai konsep kerukunan yang dibawa Alqur’an sifatnya mujmal (global), karenanya penjelasan tentang teknik operasionalnya adalah Sunnah Nabi. Melalui Sunnah Nabi, operasionalisasi konsep kerukunan dijelaskan kepada masyarakat dalam bentuk yang lebih kongkret lagi. Dalam kaitan ini, Nabi Muhammad saw. memberikan analogi berupa hubungan antara satu anggota badan dengan anggota lainnya yang tidak dapat dipisahkan (HR Muslim dari Nu’man ibn Basyir).
Sejarah menunjukkan bahwa, masyarakat yang dipimpin oleh Nabi Muhammad Saw di Madinah, terdiri atas berbagai agama, yaitu Islam, Yahudi, dan Nasrani. Namun, perbedaan agama tersebut tidak menghalangi mereka untuk menjalin kerukunan bersama. Umat Islam pada saat itu sangat menghargai para penganut agama lain, sebaliknya pun demikian. Terciptanya kerukunan tersebut, dinafasi oleh ajaran Alqur’an.
Oleh karena itu, untuk menciptakan kerukunan hidup yang harmonis dalam tatanan kehidupan masyarakat di Indonesia, harus dicerminkan melalui persaudaraan yang tidak dibatasi oleh perbedaan warna kulit, suku, tempat tinggal, dan agama, namun diikat dengan tali “persatuan nasional”, adalah pondasi dari bangunan kokoh. Kehidupan masyarakat heterogen, dengan segala gerak dan aktivitas sosialnya dinafasi oleh ajaran Alqur’an, akan melahirkan kebahagiaan dan kesentosaan hidup, yang menjadi dambaan hidup setiap manusia.
Sudah menjadi hukum alam bahwa apabila manusia telah berkumpul dan berserikat serta terjalin interaksi sosial di antara mereka, maka “riak-riak kecil” akan senantiasa muncul ke permukaan. Ironisnya, riak-riak kecil tersebut terkadang meluas dan melebar serta akan merusak persatuan yang telah dibina. Karenanya, setiap anggota masyarakat harus mampu menghindarkan diri dari perbuatan suka mencela, suka memperolok-olok sesamanya, suka memberikan gelar-gelar atau panggilan yang jelek, suka berprasangka buruk dan menghina serta segala macam tindakan yang bisa mengganggu hubungan silaturrahmi dan merusak kerukunan bersama.
Sekiranya petunjuk-petunjuk yang dibawa oleh Alqur’an mampu ditransfer dalam bentuk tingkah laku oleh semua warga masyarakat yang ada di Indonesia, dapat dipastikan bahwa kemelut yang terjadi di berbagai daerah dewasa ini, tidak akan pernah muncul ke permukaan.
B.   Pembahasan
  1. Urgensi Pengembangan Wawasan Multikultural
Tidak bisa dipungkiri bahwa gelombang modernisasi dan globalisasi budaya telah meruntuhkan sekat-sekat kultural, etnik, idiologi dan agama. Mobilitas sosial, ekonomi, pendidikan, dan politik menciptakan keragaman dalam relasi-relasi keragaman. Kini, cukup sulit menemukan komunitas-komunitas sosial yang homogen dan monokultur. Fenomena multikultural sudah menjadi bagian dari imperatif peradaban manusia. Multikulturalisme melingkupi pluralitas ras,etnik, jender, kelas, dan agama bahkan sampai pilihan gaya hidup.
Konsep ini setidaknya bertumpu pada dua keyakinan. Pertama, secara sosial semua kelompok budaya dapat di reperentasikan dan hidup berdampingan bersama dengan orang lain. Kedua, diskriminasi dan resisme dapat direduksi melalui penetapan citra positif keragaman etnik dan pengetahuan budaya-budaya lain, Untuk itu wawasan dan gagasan multikulturalisme perlu dikukuhkan dalam segala aspek kehidupan.
Dalam kaitan itu, Imam Tolkhah mengemukakan tiga tantangan multikulturalisme dewasa ini yaitu: Pertama, adanya hegemoni Barat dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan ilmu pengetahuan. Komunitas, terutama negara-negara berkembang perlu mempelajari sebab-sebab dari dominasi kekuatan Barat dalam bidang-bidang tersebut dan mengambil langkah-langkah seperlunya untuk mengatasinya sehingga dapat berdiri sama tegak dengan dunia Barat. Kedua, esensialisasi budaya. Dalam hal ini multikulturalisme berupaya untuk mencari essensi budaya sendiri tanpa jatuh ke dalam pandangan yang xenophobia dan etnosentrisme. Multikulturalisme dapat melahirkan tribalisme yang sempit yang pada akhirnya merugikan komunitas di dalam era globalisasi. Ketiga, proses globalisasi. Globaliasasi dapat berupa monokulturalisme karena gelombang dahsyat gobalisasi yang menggelinding menghancurkan bentuk-bentuk kehidupan bersama dan budaya tradisional. Memang tidak ada budaya yang statis namun masyarakat yang kehilangan akar budayanya akan kehilangan tempat berpijak dan akan disapu bersih oleh gelombang dahsyat globalisasi.
Bagi Islam, gagasan multikultural bukanlah sesuatu yang ditakuti dan baru, setidaknya ada empat alasan untuk itu. Pertama, bahwa Islam mengajarkan untuk menghormati dan mengakui keberadaan orang lain. Kedua, konsep persaudaraan Islam tidak hanya terbatas pada satu sekte atau golongan saja. Ketiga, dalam pandangan Islam bahwa nilai tertinggi seorang hamba adalah terletak pada integralitas takwa dan kedekatannya dengan Tuhan.
Jelasnya bila pengajaran multikultural dapat dilakukan dalam berbagai dimensi kehidupan yang hasilnya akan melahirkan peradaban yang juga melahirkan toleransi, demokrasi, kebajikan, tolong menolong, tenggang rasa, keadilan, keindahan, keharmonisan dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya. Intinya, gagasan dan rancangan pengembangan wawasan multikultural adalah sebuah keniscayaan dengan catatan bahwa kehadirannya tidak mengaburkan dan atau menciptakan ketidakpastian jati diri para kelompok yang ada.
2.    Urgensi Majelis Taklim
Majelis taklim merupakan institusi pendidikan yang sangat populer di kalangan masyarakat muslim. Karena itu majelis taklim banyak dibicarakan, ditulis, bahkan diteliti oleh kalangan akademisi, karena sifatnya yang sangat fenomenal. Kajian, pembahasan dan tulisan-tulisan tentang majelis taklim mengisyaratkan bahwa majelis taklim menempati tempat tersendiri di hati umat Islam, bahwa majelis taklim diharapkan memberikan harapan dan peluang yang sangat potensial untuk membina, membangun dan memberdayakan umat Islam dalam berbagai aspeknya, khususnya dalam masalah pengetahuan keagamaan.
Salah satu faktor penting diketahui adalah pengembangan wawasan keagamaan jamaah. Selama ini masyarakat memahami, ketika mereka sudah melaksanakan rukun Islam, sudah memperoleh predikat haji, tidak makan makanan yang haram, maka persoalan agama sudah selesai dan komplit. Ternyata setelah mereka mengikuti majelis taklim, pemahaman mereka semakin meningkat tentang eksistensi Islam sebagai agama. Islam tidak hanya terbatas pada masalah pokok saja, tapi jauh lebih luas mencakup semua aspek kehidupan manusia.
Dari segi pengembangan pengetahuan agama, setidaknya majelis taklim sebagai institusi pendidikan non formal telah banyak memberikan sumbangsih yang cukup banyak kepada setiap anggota. Pengajian dan pembelajaran yang dilakukan sebanyak empat kali dalam satu bulan atau sekali dalam satu minggu dirasakan mampu untuk menggugah perasaan jamaah, untuk lebih dalam dan lebih giat menggali pengetahuan keislaman.
Dalam paradigma pendidikan, lingkungan masyarakat sebagai salahsatu lingkungan pendidikan telah di akui serta memegang peranan yang sangat penting dalam memberdayakan umat (masyarakat) dalam berbagai aspek, termasuk aspek kehidupan beragama. Maka tidak heran akhir-akhir ini pendidikan berbasis masyarakat semakin mendapat perhatian yang besar dari berbagai kalangan masyarakat, baik pemerintah maupun pakar-pakar pendidikan. Salah satu kegiatan pendidikan dan kelompok belajar yang berbasis masyarakat dan saat ini sedang tumbuh dan semakin berkembang yakni lembaga pengajian atau pendidikan Islam yang disebut dengan Majelis Taklim.
Majelis taklim adalah suatu lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat dan dibimbing oleh alim ulama, yang bertujuan membina dan mengajarkan hubungan antara manusia dengan Allah Swt. dan antara manusia dengan sesamanya serta manusia dengan lingkungannya serta bertujuan untuk membina masyarakat yang bertakwa dan beriman kepada Allah Swt.
Majelis taklim sebagai lembaga pendidikan tertua merupakan kesinambungan pendidikan yang dilaksanakan oleh Rasulullah. Ketika di Mekah, pendidikan ditekankan oleh Rasulullah pada bidang iman, sedangkan di Madinah banyak diarahkan pada bidang muamalah yang merupakan manifestasi iman yang telah ditanamkan di Mekah.
Sebagai suatu lembaga pendidikan, yakni pendidikan non formal, maka majelis taklim mempunyai fungsi dan peranan yang sangat penting dalam pembinaan umat. Hal ini dapat dibayangkan bilamana umat hanya terikat pada pendidikan formal yang mempunyai waktu terbatas sehingga pengetahuan agama yang mereka terima sangat minim, sedangkan Islam mengajarkan untuk menuntut ilmu sebanyak-banyaknya, khususnya ilmu keislaman.
Majelis taklim merupakan lembaga pendidikan Islam non formal dan merupakan fenomena budaya religius yang tumbuh dan berkembang di tengah komunitas muslim Indonesia. Majelis taklim ini merupakan institusi pendidikan Islam non formal, dan sekaligus lembaga dakwah yang memiliki peran strategis dan penting dalam pengembangan kehidupan beragama bagi masyarakat. Majelis taklim sebagai institusi pendidikan Islam yang berbasis masyarakat peran strategisnya terutama terletak dalam mewujudkan learning society, suatu masyarakat yang memiliki tradisi belajar tanpa dibatasi oleh usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan dapat menjadi wahana belajar, serta menyampaikan pesan-pesan keagamaan, wadah mengembangkan silaturrahmi dan berbagai kegiatan kegamaan lainnya, bagi semua lapisan masyarakat.
Urgensi majelis taklim yang demikian itulah, yang menjadi spirit diintegrasikannya majelis taklim sebagai bagian penting dari Sistem Pendidikan Nasional, sebagaimana dituangkan dalam Undang-undang RI nomor 20 Bab VI pasal 26 ayat 1 yang menyatakan bahwa pendidikan non formal diperlukan untuk menambah dan melengkapi pendidikan formal. Bahkan pada ayat 4 secara eksplisit disebutkan majelis taklim merupakan bagian dari pendidikan non formal. Hal ini menunjukkan bahwa majelis taklim merupakan bagian penting dari sistem pendidikan nasional.
Sebagai bagian dari sistem Pendidikan Nasional, majelis taklim melaksanakan fungsinya pada tataran non formal, yang lebih fleksibel, terbuka, dan merupakan salah satu solusi yang seharusnya memberikan peluang kepada masyarakat untuk menambah dan melengkapi pengetahuan yang kurang atau tidak sempat mereka peroleh pada pendidikan formal, khususnya dalam aspek keagamaan. Kedudukan majelis taklim yang demikian semakin mendapat dukungan dari masyarakat yang indikasinya bisa dilihat dengan semakin berkembangnya majelis taklim dari tahun ke tahun. Sesuai dengan data yang tercatat di Direktorat Pendidikan dengan tingkat pertumbuhan yang signifikan di kalangan komunitas muslim.
Akan tetapi dalam perjalanannya terjadi hubungan yang tidak linear antara pertumbuhan dan program (kajian). Dalam realitas yang ada mayoritas majelis taklim masih sangat primordial, dalam arti ikatan antara masyarakat penggagas majelis taklim dengan kegiatan (materi) yang dilakukan sangat erat berhubungan. Misalnya majelis taklim yang dilahirkan ibu-ibu berbeda dengan majelis taklim bapak-bapak dan seterusnya. Ikatan-ikatan primordial seperti ini pada hakekatnya tidak bisa dilepaskan dari persoalan kepentingan, baik kepentingan keagamaan, kepentingan sosial kemasyarakatan, maupun kepentingan kelompok. Bila yang demikian dicoba ditelusuri tentu akan ditemukan berbagai model dan karakter majelis taklim dan masing-masing memiliki daya tarik yang perlu untuk diungkapkan. Lebih jauh sekedar mengungkapkan, dengan ditemukannya masing-masing karakter, bisa diproyeksikan untuk menemukan model majelis taklim yang ideal di masa mendatang.
Majelis taklim, secara konseptual dapat diartikan sebagai tempat untuk melaksanakan kegiatan ceramah umum atau pengajian Islam. Kegiatan ini banyak dilakukan di mesjid, di halaman mesjid atau juga di kantor-kantor, baik kantor pemerintah maupun swasta dan di tempat lain yang dikhususkan untuk itu. Majelis taklim merupakan institusi pendidikan non formal keagamaan, dimana prinsip kegiatannya adalah kemandirian dan swadaya masyarakat dari masing-masing anggotanya.
Kedudukan majelis taklim sebagai pendidikan non formal di Indonesia tidak perlu diragukan lagi. Dalam Undang-undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003, dinyatakan dengan jelas pada fasal 26 ayat 1 bahwa pendidikan non formal diperlukan untuk menambah dan melengkapi pendidikan formal. Bahkan pada ayat 4 secara eksplisit disebutkan majelis taklim merupakan bagian dari pendidikan non formal. Hal ini menunjukkan bahwa majelis taklim merupakan bagian penting dan integral dari sistem pendidikan nasional.
Sebagai institusi pendidikan Islam non formal, majelis taklim dilihat dari karakteristiknya secara umum adalah lembaga (institusi) yang melaksanakan pendidikan, atau pengajian agama Islam, memiliki kurikulum, ustaz/guru, jamaah, metode, materi dan tujuan pembelajaran.
Sementara itu dalam Ensiklopedi Islam yang diterbitkan oleh Kementerian Agama RI, ditemukan karakteristik majelis taklim, adalah lembaga pengajian Islam yang memiliki ciri-ciri tersendiri dilihat dari sudut metode dan buku pegangan yang digunakan, jamaah, pengajar (ustaz) materi yang diajarkan, sarana dan tujuan.
Sebagai lembaga dakwah sekaligus wadah pembinaan umat majelis taklim mempunyai beberapa fungsi diantaranya: 1) wadah untuk menyampaikan pesan-pesan keagamaan kepada jamaahnya; 2) wadah yang memberi peluang kepada jamaah untuk tukar menukar pikiran, berbagi pengalaman, dalam masalah keagamaan; 3) wadah yang dapat membina keakraban di antara sesama jamaahnya; dan 4) sebagai wadah informasi dan kajian keagamaan serta kerjasama di kalangan umat.
Kepentingan majelis taklim untuk komunitas muslim tentu tidak diragukan lagi. Dengan memperhatikan perkembangan dan eksistensi majelis taklim, maka majelis taklim sebagai lembaga pendidikan non fomal pada masa sekarang ini mempunyai kedudukan tersendiri dalam mengatur pelaksanaan pendidikan agama dalam rangka dakwah Islamiyah dan merupakan salahsatu alat bagi pelaksanaan pendidikan seumur hidup (long life education).
Keberadaan majelis taklim khususnya dalam era globalisasi sangat penting, terutama dalam upaya menangkal dampak negatif dari globalisasi itu sendiri. Tetapi, untuk menjaga eksistensi majelis taklim itu sendiri, maka ia harus mampu memanfaatkan dampak positif globalisasi.
Keberadaan majelis taklim menjadi sangat penting karena ia berada di tengah-tengah masyarakat, dan masyarakat adalah salahsatu dari tiga lingkungan pendidikan. Kedudukan majelis taklim sebagai lembaga pendidikan non-formal mempunyai fungsi sebagai berikut:
1)   Membina dan mengembangkan agama Islam dalam rangka membentuk masyarakat yang takwa kepada Allah Swt.
2)   Sebagai wadah silaturrahim yang dapat menghidupkan dakwah dan ukhuwah Islamiah.
3)   Sebagai sarana dialog berkesinambungan antara ulama, umara, dan umat.
4)   Sebagai media mempunyai gagasan modernisasi yang bermanfaat bagi pembangunan umat.
Berdasarkan fungsi-fungsi tersebut, maka majelis taklim yang berada di tengah-tengah masyarakat harus dipergunakan eksistensinya, sehingga dapat membentengi masyarakat/umat dari pengaruh-pengaruh negatif utamanya generasi muda dan remaja yang masih sangat mudah dipengaruhi oleh berbagai hal. Di sinilah keberadaan majelis taklim sebagai lembaga pendidikan non-formal yang sangat penting, di samping pendidikan formal. Bila fungsi-fungsi majelis taklim tersebut berjalan sebagaimana mestinya, maka akan mengalami suatu kehidupan yang penuh kedamaian.
Dengan kata lain, orientasi wawasan keagamaan jamaah diarahkan pada:
a.       Pengajaran dan pengembangan pengetahuan.
b.      Penambahan wawasan dalam aspek “penguatan dan mengokohkan akidah”. Dalam berbagai penyajian materi wawasan penguatan akidah, hampir selalu dilakukan. Orientasi ini di pilih karena disadari betul oleh para pengurus maupun ustaz/ustazah, jamaah majelis taklim dalam kehidupan kesehariannya banyak bersentuhan dengan kehidupan sosial yang tidak Islam (kurang Islami). Sebagai muslim minoritas, diperlukan benteng akidah yang kuat untuk tetap dapat menjaga keimanan lebih baik.
c.       Wawasan keagamaan yang dikembangkan selain yang di atas, adalah para ustaz dan pengurus berusaha memberikan pemahaman tentang keterkaitan antara pengetahuan agama dengan pengamalannya. Jamaah diberi penyadaran akan urgensi dan makna pengamalan agama yang di mereka pahami sebelumnya dalam praktek. Pengetahuan shalat misalnya, hendaknya diaktualisasikan dalam pengamalan nyata, sehingga diperoleh pribadi muslim yang bersih, jujur, berakhlak mulia, dan terjalin ukuwah Islamiyah yang kuat.
3.   Mewarnai Majelis Taklim dengan Wawasan Multikultural
Setiap tafarruq (perpecahan) merupakan ikhtilaf (perbedaan), namun tidak setiap ikhtilaf (perbedaan) merupakan tafarruq (perpecahan). Namun setiap ikhtilaf bisa dan berpotensi untuk berubah menjadi tafarruq atau iftiraq antara lain karena:
a)      Faktor pengaruh hawa nafsu, yang memunculkan misalnya ta’ashub (fanatisme) yang tercela, sikap kultus individu atau tokoh, sikap mutlak-mutlakan atau menang-menangan dalam berbeda pendapat, dan semacamnya. Faktor pelibatan hawa nafsu inilah secara umum yang mengubah perbedaan wacana dalam masalah-masalah furu’ ijtihadiyah yang ditolerir menjadi perselisihan hati yang tercela.
b)      Salah persepsi (salah mempersepsikan masalah, misalnya salah mempersepsikan masalah furu’ (cabang) sebagai masalah ushul (pokok). Hal ini biasanya terjadi pada sebagian kalangan umat Islam yang tidak mengakui dan tidak memiliki fiqhul ikhtilaf. Yang mereka miliki hanyalah fiqhut tafarruq wal iftiraq (fiqih perpecahan), dimana bagi mereka setiap perbedaan dan perselisihan merupakan bentuk perpecahan yang tidak mereka tolerir.
c)      Tidak menjaga moralitas, akhlak, adab, dan etika dalam berbeda pendapat dan dalam menyikapi para pemilik atau pengikut madzhab dan pendapat lain.
Islam adalah agama yang diturunkan Tuhan untuk menjadi rahmat bagi alam semestanya. Pesan kerahmatan dalam Islam benar-benar tersebar dalam teks-teks Islam, baik Alqur’an maupun hadis.
Kata “rahman” yang berarti kasih sayang, berikut derivasinya, disebut berulang-ulang dalam jumlah yang begitu besar, lebih dari 90 ayat dalam Alqur’an. Bahkan, dua kata rahman dan rahim yang diambil dari kata ‘rahmat’ dan selalu disebut-sebut kaum Muslim setiap hari adalah nama-nama Tuhan sendiri (asmaul husna). Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Sayangilah siapa saja yang ada di muka bumi niscaya Tuhan menyanyanginya.”
Alqur’an, sumber Islam paling otoritatif, menyebutkan misi kerahmatan ini, wama> arsalna>ka illa> rahmantan lil’a>lami>n (Aku tidak mengutus Muhammad, kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta). Ibnu Abbas, ahli tafsir awal, mengatakan bahwa kerahmatan Allah meliputi orang-orang Mukmin dan orang kafir. Alqur’an juga menegaskan, rahmat Tuhan meliputi segala hal (QS. al-A’raf/7: 156). Karena itu, para ahli tafsir sepakat bahwa rahmat Allah mencakup orang-orang Mukmin dan orang-orang kafir, orang baik (al-birr) dan yang jahat (al-fajir), serta semua makhluk Allah.
Alqur’an memiliki posisi yang amat vital dan terhormat dalam masyarakat Muslim di seluruh dunia. Di samping sebagai sumber hukum, pedoman moral, bimbingan ibadah, dan doktrin keimanan, Alqur’an juga merupakan sumber peradaban yang bersifat historis dan universal.
Kehadiran sosok Muhammad Rasulullah dan Alqur’an ini telah mengubah orientasi cara berpikir masyarakat Arab yang kala itu sangat kesukuan menjadi berpikir kosmopolit. Tradisi dan energi saling berperang antarsuku diubah menjadi kekuatan, lalu diarahkan untuk membangun peradaban baru yang bersifat kosmopolit, melewati batas etnis dan wilayah kesukuan mereka.
Karena itu, pusat-pusat peradaban Islam bermunculan di berbagai wilayah di luar Makkah-Madinah, tempat Alqur’an diwahyukan. Semua ini terjadi karena kehadiran Alqur’an mampu mengubah pola dan cara berpikir mereka. Pranata dan wibawa hukum ditegakkan sehingga muncul masyarakat Madinah.
Fungsi kerahmatan ini ditegaskan oleh Nabi Muhammad SAW melalui sabdanya, innama> bu’istu li utammima maka>rima al-akhla>k (Aku diutus Tuhan hanya untuk menyempurnakan akhlak). Akhlak luhur adalah moral dan nilai-nilai kemanusiaan, seperti kejujuran, keadilan, menghormati, dan menyayangi orang lain dan sebagainya. Sementara itu, kekerasan, kesombongan, dan kezaliman adalah berlawanan dengan akhlakul karimah.
Dalam konteks Islam rahmatan lil ’a>lamin, Islam telah mengatur tata hubungan menyangkut aspek teologis/ ketuhanan, ritual, sosial, dan kemanusiaan. Dalam segi teologis, Islam memberi rumusan tegas yang harus diyakini oleh setiap pemeluknya. Namun, hal ini tidak dapat dijadikan alasan untuk memaksa non-Muslim memeluk Islam (la> ikra>ha fi> al-di>n). Begitu halnya dalam tataran ritual yang memang sudah ditentukan operasionalnya dalam Alqur’an dan hadis.
Berkaitan dengan hal ini, Alqur'an terlebih dahulu menegaskan bahwa orang yang beriman itu bersaudara, dan memerintahkan untuk mengadakan ishlah (perbaikan hubungan), jika terjadi perselisihan di antara dua orang (kelompok) kaum muslim. Al-Quran juga memberikan petunjuk tentang bagaimana mempererat persaudaraan dengan mengemukakan contoh-contoh yang menjadi penyebab terjadinya keretakan di antara kaum muslimin sebagai digambarkan dalam QS. Al-Hujurat [49]: 11-12.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ(١١) يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوه وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
ُWahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum (pria) mengolok-olok kaum yang lain, karena boleh jadi mereka (yang diolok-olok) itu lebih baik daripada (yang mengolok-olok); dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain, karena boleh jadi wanita-wanita yang diperolok-olok lebih baik dari mereka (yang memperolok-olokan), dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri, dan janganlah kamu saling memanggil dengan gelar yang jelek. Seburuk-buruk panggilan adalah (sebutan) yang buruk sesudah iman. Barang siapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Wahai orang-orang yang beriman jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu buruk adalah dosa, janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah kamu menggunjing sebagian yang lain.Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.

Ayat tersebut memberikan penjelasan mengenai hal-hal yang harus dilakukan untuk mendapatkan hubungan persaudaraan, yaitu:
1)   Janganlah saling mengolok antara satu sama lainnya;
2)   Janganlah mencela diri sendiri;
3)   Janganlah saling memanggil dengan gelar yang buruk;
4)   Jauhilah kebanyakan prasangka;
5)   Jangan saling mencari kesalahan orang lain;
6)   Janganlah saling menggunjing.

Dengan memperhatikan petunjuk pemantapan ukhuwah tersebut, ditemukan bahwa kebanyakan daripadanya disampaikan dalam bentuk larangan. Hal ini dapat dimengerti bahwa melarang sesuatu berarti mafhumnya adalah memerintahkan demikian pula sebaliknya. Di samping itu pula perlu dipahami bahwa al-takhliyah (menyingkirkan yang jelek) harus didahulukan daripada al-tahliyah (menghiasi diri dengan kebaikan).
Di samping itu dalam rangka memperkokoh persaudaraan di antara sesama muslim ini Nabi mengambarkan konsep persaudaraan sebagai berikut:
a.    Seorang muslim dengan muslim lainnya seperti satu badan.
Apabila salah satu bagian badan tersebut sakit, maka seluruh anggota badan lainnya turut merasakan sakit. Hal ini dijelaskan Nabi Saw. (HR. Bukhari: 5552)
 قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَرَى الْمُؤْمِنِينَ فِي تَرَاحُمِهِمْ وَتَوَادِّهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى عُضْوًا تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ جَسَدِهِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
Menurut hadis tersebut, antara sesama muslim harus saling menyayangi, mencintai dan bahkan di dalam riwayat lain Nabi saw. menyatakan tidak beriman seseorang sehingga dia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.
b.    Memelihara dan menjaga hak-hak orang muslim.
Tuntunan Nabi saw. bagi umatnya adalah agar menjaga dan memelihara hak-hak orang lain atas muslim lainnya sebagaimana pesan Rasulullah Saw. (HR. Turmuzi: 2660).
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ بِالْمَعْرُوفِ يُسَلِّمُ عَلَيْهِ إِذَا لَقِيَهُ وَيُجِيبُهُ إِذَا دَعَاهُ وَيُشَمِّتُهُ إِذَا عَطَسَ وَيَعُودُهُ إِذَا مَرِضَ وَيَتْبَعُ جَنَازَتَهُ إِذَا مَاتَ وَيُحِبُّ لَهُ مَا يُحِبُّ
Dari hadis tersebut dapat dipahami bahwa konsep ukhuwah dengan sesama muslim dengan cara memelihara hak-hak mereka dalam hal:

1) Mengucapkan salam di saat bertemu;
2)  Memenuhi undangan jika dipangil untuk hadir;
3) Mendoakan ketia ia bersin;
4) Mengunjunginya jika sakit;
5)  Mengantarkan jenazahnya jika dia wafat;
6) Mencintai apa yang dia cintai.

c.    Mendoakan dan tidak berbuat zalim satu sama lain.
Allah menganjurkan orang Islam untuk senantiasa mendoakan saudaranya sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-A`raf/7: 151.
قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِأَخِي وَأَدْخِلْنَا فِي رَحْمَتِكَ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ

Musa berdoa: "Ya Tuhanku, ampunilah aku dan saudaraku dan masukkanlah kami ke dalam rahmat Engkau, dan Engkau adalah Maha Penyayang di antara para penyayang".
Dan QS. Al-Hasyr/59: 10.
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ ءَامَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: "Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang".

Dalam konteks ini juga, pengembangan nilai-nilai kemanusiaan/humanisme dan nasionalisme yang memiliki tiga komponen substansi Islam. Pertama, ukhuwah basyariyah atau insaniyah (persaudaraan antar manusia). Islam menganggap bahwa seluruh umat manusia, tanpa harus membedakan suku, ras, warna kulit, bahkan agama, adalah saudara yang harus dilindungi dan saling melindungi. Islam mengharamkan penganiayaan terhadap orang lain di luar Islam dan meniscayakan hormat-menghormati dan sifat toleransi.
Kedua, ukhuwah wathaniyah (persaudaraan antar bangsa). Kerjasama antarbangsa mesti dijalin sebaik mungkin dalam rangka menuju perdamaian dan kesejahteraan dunia. Hubungan bangsa-bangsa ini tanpa membedakan latar belakang agama bangsa tersebut.
Ketiga, ukhuwah Islamiyah (persaudaraan antarumat Islam). Sejarah peradaban Islam diwarnai oleh perbedaan corak pandang keberagamaan, baik domain teologi, hukum, maupun spiritualitas.
Ketiga macam ukhuwah ini harus diwujudkan secara berimbang menurut porsinya masing-masing. Satu dengan lainnya tidak boleh dipertentangkan. Melalui tiga dimensi ukhuwah inilah, Islam rahmatan lil ‘alamin (pemberi rahmat alam semesta) akan terealisasi. Sebab, ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathaniyah merupakan landasan dan hal yang fundamental bagi terwujudnya ukhuwah insaniyah.
Oleh karena itu, baik sebagai umat Islam maupun bangsa Indonesia, kita harus memperhatikan ukhuwah Islamiyah, ukhuwah insaniyah, dan ukhuwah wathaniyah secara serius, saksama, dan penuh kejernihan. Dalam hidup bertetangga dengan orang lain, bukan famili, bahkan non-Muslim atau non-Indonesia, kita diwajibkan berukhuwah dan memuliakan mereka dalam arti kerjasama yang baik selama mereka tidak menginjak dan menyakiti.
Dalam kaitan itu, beberapa sikap dan prinsip yang perlu menjadi landasan dalam membina kerukunan hidup secara internal antara lain adalah:
a)      Mendahulukan Prinsip Persamaan
Aspek terpenting yang menyatukan bangsa dan masyarakat Indonesia dalam dimensi hidupnya yang tertinggi adalah keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kemudian adalah sikap implementasi dari sikap kemanusiaan yang adil dan beradab. Kedua aspek sikap ini dapat difahami, dihayati dan diamalkan akan menghasilkan persahabatan, persaudaraan, saling menghargai, saling menolong dan saling mendukung.
Walaupun demikian, fitrah manusia adalah berbeda (berselisih) antara satu dengan yang lain, namun yang terpenting adalah adanya keinginan yang besar untuk rukun kembali. Persoalan menjadi rumit jika seseorang itu beragama, tetapi tidak memiliki hubungan vertikal (iman) kepada Tuhan yang baik. Maka yang terjadi ia akan melakukan tindakan keji, suka merendahkan orang lain, suka memfitnah, egois, tidak fair, pembohong, penebar kebencian, suka menjelekkan keyakinan orang lain dan sebagainya. Orang seperti ini ternyata dianggap tokoh di masyarakat dan memiliki pengikut. Maka, yang ideal adalah yang beragama dan beriman. Kelompok pertama dapat dikatakan lebih banyak jumlahnya daripada kelompok yang kedua.
Dengan mengedepankan prinsip-prinsip persamaan dan tidak memperhatikan/ mengenyampingkan segala perbedaan niscaya kemajuan akan dapat diraih bersama-sama. Masing-masing menyadari dan secara bersama-sama memperlihatkan dan menyebarkan nilai-nilai ajaran agama dan tidak mentolerir berbagai bentuk permusuhan dan aksi kekerasan.
b)      Menanamkan kesadaran sebagai makhluk sosial
Tak satu pun manusia yang benar-benar sama dengan yang lainnya, justru karena itulah kehidupan itu menjadi lebih berwarna. Perbedaan antara satu manusia dengan yang lainnya, pada akhirnya memunculkan keindahan sendiri dalam kehidupan bermasyarakat.      
Menyadari begitu pentingnya warna kehidupan. Idealnya manusia harus belajar menghargai perbedaan yang ada, karena hanya jalan seperti itulah harmoni kehidupan bermasyarakat, plus warna dari keanekaragaman akan benar-benar terjaga. Manusia juga semestinya mengerti, sepenting rasa butuhnya pada orang lain, sepenting itu menumbuhkan perasaan aman dalam kebersamaan hidup. Karena dirinya tidak bisa hidup tanpa eksistensi orang lain, maka menjaga eksistensi orang lain agar tetap mengada menjadi salah satu kebutuhan utamanya. Namun disayangkan, keserakahan, ambisi, juga keinginan mendapatkan lebih yang ada pada diri manusia seringkali melupakan diri akan kebutuhan sesungguhnya dari yang hidup. Ia lupa kalau kehidupan sesungguhnya tak mungkin dijalani sendirian. Bukannya saling menjaga dan mengasihi, sebaliknya, saling berebut dan saling meniadakan yang pada akhirnya merampas kedamaian hidup itu sendiri.
Kenyataan semacam ini terjadi karena manusia lebih sering dikuasai nafsu dari pada akal sehatnya, sebagaimana mafhum diketahui, dalam diri manusia terdapat dua kekuatan yang berlawanan dan saling menguasai sesamanya, dua kekuatan tersebut adalah nafsu dan akal. Nafsu (keinginan dan kemarahan) adalah potensi yang cenderung mendorong manusia ke arah keburukan dan kejahatan yang dapat merusak kehormatan, merampas hak serta menimbulkan pertumpahan darah. Sedangkan akal adalah potensi yang dapat digunakan untuk mengetahui yang baik dan buruk. Karena akal dapat mendorong kepada tindakan jujur dan adil, sehingga bermanfaat bagi pembinaan masyarakat, perbaikan sarana dan kesejahteraan mereka. Bila nafsu dan amarah menguasai kekuatan akal, maka manusia akan merugi, namun bagi mereka yang beriman, beramal saleh dan saling menasehati dalam menaati kebenaran dan berlaku sabar, maka kekuatan nafsu dan amarah itu tidak akan mampu mempengaruhinya.
Belakangan, kalangan yang sadar akan pentingnya menjaga harmoni dalam kebersamaan hidup mulai merumuskan undang-undang atau semacam aturan sebagai upaya pencegahan atas nafsu serakah manusia yang sering tak terkendali itu. Meskipun untuk hal ini, para filosof, sosiolog juga ahli hikmah telah turun tangan, namun tetap saja pada kenyataannya undang-undang atau aturan-aturan yang mereka buat, tak sepi dari kelemahan, karena tidak abadi, tidak universal, serta tidak tidak dapat memenuhi kebutuhan dalam segala situasi dan kondisi. Kelemahan itu telah menunjukkan betapa terbatasnya kemampuan akal manusia sebagai penyusunnya.
Siapapun orangnya, tidak pandang bulu, laki-laki maupun perempuan, kaya maupun yang miskin, orang timur atau barat, kulit hitam maupun putih pastilah mendambakan hidup dalam kedamaian. Bisa dikatakan bahwa perdamaian adalah salah satu kebutuhan manusia yang harus dipenuhi. Sifat dasar manusia tidaklah nyaman berada di dalam suasana pertikaian, tidak pula merasa tentram dalam suasana rusuh. Tidak suka dimusuhi, dan rindu akan ketentraman. Inilah mengapa perdamaian menjadi suatu kebutuhan.
Agama sangat memahami apa yang diinginkan oleh umat manusia, karena itu persoalan perdamaian menjadi porsi penting dalam ajaran agama. Untuk mewujudkan perdamaian, manusia harus disadarkan adanya perbedaan-perbedaan yang tak mungkin dihindari. Perbedaan adalah sesuatu yang alamiah, sesuatu yang kodrati dan tidak mungkin ditiadakan. Peniadaan hanya akan memunculkan konflik. Konflik inilah yang menjadi ancaman besar bagi perdamaian. Dalam ajaran agama hindu dikatakan: "Semoga bumi yang memberi tempat kepada penduduk yang berbicara berbeda-beda bahasa, berbeda tatacara, agama menurut tempat tinggalnya, memperkaya hamba dengan ribuan pahala, laksana lembu menyusui anak-anaknya tak pernah kekurangan.
Kemunculan konflik sesungguhnya bermula dari ketidakmampuan seseorang menerima sesuatu yang berbeda dengan dirinya. Perbedaan tersebut bermacam-macam, bisa karena perbedaan warna kulit, asal suku dan golongan, juga adat dan kebiasaan. Ada orang-orang yang berkehendak membuat semua orang seperti dirinya, karenanya jika ada oranglain yang berbeda ia pun lantas memerangi, disinilah terjadinya konflik.
Agama jelas menolak itu, perbedaan bukanlah kehendak manusia, upaya menjadikan semua orang sama adalah perbuatan sia-sia bahkan mengancam sisi kemanusiaan itu sendiri. Di dalam agama Islam gagasan tentang perdamaian merupakan pemikiran yang sangat mendasar dan mendalam karena berkaitan dengan watak agama Islam. Semua tatanan Islam bertitik tolak dari pemikiran tersebut. Semua pengarahan dan penetapan hukum Islam bertemu dengan pemikiran tersebut. "Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat/49: 13).
Dengan firman tersebut Allah menghilangkan sebab-sebab yang memungkinkan terjadinya pemusuhan. Perbedaan ras, suku, bangsa dan bahasa serta budaya, sama sekali tidak dapat dijadikan alasan untuk menghadirkan konflik. Dalam ayat di atas telah jelas bahwa jaminan Allah mengarahkan manusia untuk saling mengenal dan hidup rukun bukan saling membunuh dan saling bertentangan.
Islam menegakkan Perdamaian untuk kepentingan semua. Bahkan penyebutan kata "Islam" sendiri mengisyaratkan bahwa esensi dari agama ini adalah kedamaian. Kata Islam adalah variant dari akar kerja Arab S(sin) L(lam) M(mim) yang juga melahirkan kata salam artinya damai. Pada saat yang sama kata ini didefinisikan berkait dengan keutuhan, kesehatan, kesejahteraan dan kebaikan. Dalam konteks tertentu salam sangat mirip dengan konsep Kristen tentang keselamatan.
Demi terwujudnya perdamiaan di muka bumi ini, agama tidak hanya mengajak pemeluknya menerima perbedaan-perbedaan ras, adat dan warna kulit belaka.
c)      Menjadikan perbedaan sebagai potensi positif untuk saling mengisi
Dalam kehidupan sehari-hari, kita selalu bersinggungan dengan perbedaan. Perbedaan seringkali menjadi pemicu masalah yang berlanjut menjadi konflik bila kita memahami, mengatasi dan menyikapinya dengan cara yang tidak tepat. Secara hakikat, manusia itu sama, tetapi tak pernah ada manusia yang benar-benar sama dalam segala hal. Kemiripan wajah, kesamaan hobi, bahkan ikatan batin dan pertautan rasa yang kuat pun tidak menjadikan kita sama dengan mereka atau aku adalah dia dan kamu adalah saya. Kita berbeda dan memiliki perbedaan karena perbedaan adalah harmoni yang membuat hidup kita lebih berarti. Di dalam perbedaan, tersimpan arti yang pantas untuk dimengerti. Dengan perbedaan, kita mampu merasakan makna kebersamaan, sehingga kita bisa memahami bahwa perbedaan adalah alasan untuk sebuah pengertian.
Perbedaan merupakan keadaan, sifat dan karakter yang diciptakan Tuhan dengan tujuan agar manusia saling mengenal, berinteraksi, saling memahami dan memberi manfaat satu sama lain. Memahami dan menyikapi perbedaan dan memang bergantung kepada cara pandang kita terhadap perbedaan tersebut. Jika kita memandangnya sebagai sebuah ancaman, maka perbedaan akan menjadi masalah yang sulit diatasi. Namun, jika perbedaan dipandang sebagia fitrah kemanusiaan dan anugerah Yang Maha Sempurna, maka perbedaan itu akan terasa indah mewarnai hidup kita. Cara pandang kita terhadap perbedaan sangat menentukan terhadap cara kita meyikapinya dan mengatasinya. Karena itu, pengertian merupakan hal yang penting untuk kita miliki dan kita terapkan dalam memahami, menyikapi dan mengelola perbedaan.
Pengertian merupakan refleksi dan realisasi kesadaran akan fakta nyata kehidupan yang tidak selalu sama dan tidak pernah sempurna. Di dalam pengertian ada ketulusan, kesiapan dan ketegaran untuk menerima kekurangan juga mensyukuri kelebihan diri sendiri maupun orang lain. Pengertian merupakan tindak lanjut dari rasa menghargai. Dengan menghargai kita bisa mengerti dan menerima, sehingga pengertian menjadi sikap utama yang dapat membuat kita bertahan dan menikmati perbedaan sebagai sebuah warna kehidupan. Tanpa pengertian, kita tak akan bisa hidup berdampingan dengan tentram, nyaman dan damai dalam perbedaan.
Pengertian merupakan sebuah proses mengerti dan memahami, sehingga bisa kita latih, kita tumbuhkan dalam diri kita dan kita manfaatkan untuk hidup kita. Ada beberapa hal yang dapat kita jadikan pembiasaan sehubungan dengan melatih pengertian dan menyikapi perbedaan.
·         Pertama, mengembangkan cara berpikir positif dan menghindari dominasi prasangka. Orang yang bersikap dan berdasarkan prasangka semata tidak akan bisa memandang positif kehidupan dan segala perbedaan yang dihadapinya, sehingga cenderung pesimis dan menganggap perbedaan sebagai sebuah ancaman yang bisa menyerang kita sewaktu-waktu. Karena itu, berpikir positif akan menumbuhkan sikap dan tindakan positif juga menentramkan perasaan.
·         Kedua, hindari sikap menonjolkan diri dan merendahkan orang lain. Tempatkanlah sesuatu pada tempatnya dan sesuai porsinya. Hal ini merupakan realisasi dari bersikap dan bertindak adil. Bersikap wajar dan bertindak benar merupakan cara tepat menyikapi perbedaan.
·         Ketiga, senantiasa mengoreksi dan introspeksi diri, serta tidak cepat menghakimi orang lain. Telusuri kebenaran sebuah informasi secara objektif, serta biasakan untuk tidak cepat menjustifikasi sebelum kita melakukan verifikasi kebenaran sesuatu. Hal ini merupakan langkah antisipatif terhadap informasi provokatif yang akan menjadikan perbedaan sebagai jalan perpecahan. Koreksi diri akan membuat kita senantiasa tenang dan tegar menghadapi masalah, termasuk perbedaan.
·         Keempat, meningkatkan kepekaan diri terhadap orang lain dan lingkungan kita karena kepekaan akan membuat kita peduli terhadap keadaan di sekeliling kita. Kepekaan dan kepedulian ini akan melahirkan penghargaan dan pengertian kita akan perbedaan.
·         Kelima, bersikap sabar, tulus, toleran dan tegas. Sikap-sikap seperti itu merupakan esensi dari pengertian dalam menyikapi perbedaan. Tegas tidak identik dengan keras, tetapi mampu menempatkan kebenaran pada porsinya.
Kelima langkah tersebut merupakan langkah yang bisa terus kita latih dalam keseharian kita untuk lebih meningkatkan pengertian, memahami arti perbedaan dan menyikapinya dengan tepat. Perbedaan bisa kita manfaatkan sebagai energi untuk mengerti dan kita jadikan potensi untuk memaksimalkan kemampuan kita memahami orang lain. Insya Allah. Saya, Anda dan kita semua memang tidak bisa menghindari perbedaan yang sering kali menimbulkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Namun, paling tidak dengan menanamkan pengertian dalam diri kita, kita telah membiasakan diri menyikapi perbedaan, serta berupaya untuk menciptakan kerukunan dan ketenteraman di atas perbedaan itu.
d)      Meningkatkan kesadaran ukhuwah islamiyah
Dalam rangka peningkatan dan pengembangan kesadaran ukhuwah islamiyah, diperlukan sikap-sikap dasar yang dapat mengkondisikan tumbuhnya budaya ukhuwah seperti sikap sabar, lapang dada, terbuka, maupun mengakui kebenaran dan kebesaran dari manapun datangnya, juga tidak memaksakan keseragaman yang tidak atau belum diterima pihak lain, tidak menilai perbedaan pendapat sebagai permusuhan tetapi lebih mengutamakan kesamaan yang ada dari perbedaannya.
Upaya-upaya pendekatan lebih lanjut memang masih perlu disempurnakan. Masih cukup banyak jalan yang dapat ditempuh asal ada kemauan yang sungguh-sungguh dan penuh keikhlasan. Generasi Islam kontemporer tampaknya lebih memberi harapan untuk mewujudkan peningkatan ukhuwah tersebut, karena danya kondisi internal yang dimiliki, seperti sikap yang lebih rasional dan cosmopolitan, tidak menanggung sentimen kesejarahan, mempunyai kesamaan dan kebutuhan cultural yang lebih besar, mempunyai sarana komunikasi dan jalur interaksi social yang lebih luas serta mempunyai wawasan keagamaan yang lebih terbuka.
Kesemuanya itu masih didukung lagi dengan kondisi eksternal seperti dorongan pemerintah untuk mengembangkan ukhuwah islamiyah. Sebab gambaran kelabu hubungan internasional dunia Islam seperti kasus Iran-Irak dan lainnya memberikan pelajaran berharga bagi umat Islam untuk lebih mawas diri dalam menjalani kehidupan ini. (Thalhah Hasan, 2001: 63-65)
Tujuan kerjasama dalam mengaktualisasikan nilai nilai toleransi itu antara lain:
1.        Mewujudkan masyarakat yang rukun dan sadar kemajemukan, sehingga tertanam kesadaran pada seluruh lembaga dan organisasi sosial maupun politik terutama di daerah daerah yang rawan konflik perlunya bekerjasama untuk menciptakan lingkungan yang kondusif dan membangun daerahnya bagi kepentingan masyarakat.
2.        Menciptakan situasi dan kondisi masyarakat yang selalu waspada terhadap berbagai kemungkinan yang menyebabkan pecahnya konflik terutama yang bersifat SARA. Adapun metode ataupun cara cara yang dapat digunakan dalam strategi ini di antaranya dengan edukasi (sebagai salah satu upaya preventif), dialog dan rekonsiliasi.
Hal lain yang tidak kalah pentingnya dan patut untuk menjadi perhatian selanjutnya adalah bagaimana menyikapi perbedaan agama. Kerukunan hidup antarumat beragama juga menjadi signifikan dalam kehidupan masyarakat yang heterogen. Apalagi dengan melihat dan menyadari realitas keharmonisan hidup antarumat beragama yang belakangan ini mulai redup. Dalam beberapa kasus, persinggungan kecil yang muncul di tengah masyarakat selalu dapat menjadi pemicu meledaknya konflik dalam skala yang lebih besar. Realitas yang terjadi di Ambon, Poso, Sampit, dan beberapa wilayah lain yang mungkin tidak terpublikasikan, patut menjadi pelajaran bagi bangsa besar ini.
Beberapa alternatif solusi yang dapat ditempuh untuk meretas dan meminimalisir munculnya kembali konflik horizontal antarumat beragama antara lain:
1) Perlunya pemahaman dan penerimaan multikulturalisme secara realistis.
2) Langkah pembauran dan integrasi semua etnis dalam kehidupan masyarakat.
3) Me-manage berbagai perbedaan dalam masyarakat Indonesia yang pluralistik menjadi potensi dalam pembangunan bangsa.
4) Peningkatan kemampuan memahami dan mengkomunikasikan ajaran agama dengan arif.
5) Pentingnya sikap keteladanan para pemimpin agama dalam berinteraksi dengan kaum agama lain.
Dengan demikian, untuk meminimalisasi dan mengeliminasi konflik sosial, pendekatan represif atau keamanan tidaklah tepat. Kini lebih diperlukan pendekatan pemecahan masalah, yang melihat konflik dari berbagai aspeknya, termasuk latar belakangnya, issue sentralnya, dan sebagainya. Pendekatan multikultural merupakan salah satu alternatif yang dapat dimanfaatkan guna mengeliminasi setidak-tidaknya mengurangi konflik sosial yang sering muncul selama ini.
Pemahaman terhadap ajaran Islam adalah pemahaman yang terbuka, yang karena keterbukaannya itu ia bersikap inklusif dan benar benar mampu menjadi rahmat bagi seluruh alam. Islam harus merupakan kebahagiaan bagi setiap orang bahkan untuk setiap makhluk.
Artikulasi keberagamaan seperti itu akan terwujud dalam kehidupan umat beragama yang saling mengakui, saling menghormati, dan bahkan saling bekerjasama antar penganut-penganut agama yang tumbuh dan berkembang di Indonesia. Hal itu kemudian akan dapat diwujudkan dalam beberapa bentuk sebagai berikut:
a.       Sikap saling mengakui dan menyadari pluralitas
b.      Sikap saling menghormati (toleransi)
c.       Sikap saling bekerjasama (resiprokal)


C. Penutup
Sebaik baik agama di sisi Allah swt, ialah semangat mencari kebenaran yang lapang, tidak sempit, toleran, demokratis, tanpa kefanatikan dan tidak membelenggu jiwa. Sebab itu Islam harus dipahami sebagai ajaran dan cita cita, yang intinya ialah sikap hidup yang baik dan berserah diri kepada Tuhan Yang Maka Kuasa. Islam adalah sebuah ide, sebuah cita-cita kemanusiaan yang universal.
Dari uraian yang telah dipaparkan, maka beberapa pokok pikiran yang dapat menjadi kesimpulan dari penelitian ini, yaitu:
1.      Sikap toleran adalah menjadi hal yang mutlak dalam kehidupan masyarakat yang majemuk.
2.      Pendekatan agama sangat diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat, karena agama dapat berfungsi sebagai fondasi dan pembekal kekuatan masyarakat untuk menegakkan nilai nilai etis dalam memproses tumbuhnya toleransi. Agama yang sebenar benarnya agama adalah agama yang sesuai dengan sunnatullah. Oleh karena itu, Islam berprinsip: tidak ada paksaan dalam agama dan menjunjung nilai nilai toleransi.
3.      Bahwa Islam sangat menganjurkan kepada manusia untuk saling menghargai, menghormati, membangun sikap toleran dalam menyelesaikan permasalahan dan aktifitas kehidupan dalam bermasyarakat.

Pada akhirnya, memahami substansi ajaran Islam yang rahmatan lil a’lamin dengan niat menemukan kebenaran dan persinggungan rabbani (ketuhanan) mutlak dilakukan dengan saling membuka diri dan membuka hati agar tidak salah tafsir dalam memahami ajaran Islam dari berbagai perspektif.
Dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk, membangun sikap toleran, rukun, bekerjasama dan penuh persaudaraan dalam pandangan Islam adalah sesuatu yang sangat penting bahkan wajib diwujudkan. Dengan cara seperti itu aspek kemajemukan dari masyarakat Indonesia akan menjadi sumber potensi yang sangat kuat dalam mencapai kebahagiaan, kesejahteraan dan kemakmuran dari bangsa dan negara kita yang tercinta ini. Dalam pandangan Islam hal ini lebih dikenal dengan “Baldatun Thayyibatun Warabbun Ghafur”.



DAFTAR PUSTAKA

Abdul Ghafur, Waryono. Tafsir Sosial, Yogyakarta: Elsaq Press, 2005.
Arifin Abbas, Zaenal. Perkembangan Pikiran Terhadap Agama, Jakarta: Pustaka Husna, 1984.
Azra, Azyumardi. Konteks Berteologi di Indonesia Pengalaman Islam, Jakarta: Paramadina, 1999.
Efendi, Djohan. Merajut Kedewasaan Beragama, dalam Agama di Tengah Kemelut, Komaruddin Hidayat et. all, Jakarta: Mediaciita, 2001.
Lardner Carmody, Dennis. In The Path of Master, Tri Budi Sastrio, (penj.) Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003.
Le Gai Eaton, Charles. Remembering God Reflections, penj, Burhan Wirasubrata, Jakarta: Cendekia sentra Muslim, 2002.
M. Noor, Hasan. Keteduhan Batin, dalam Agama di Tengah Kemelut, Komaruddin Hidayat et. all, Jakarta: Mediacita, 2001.
Muchtar, Aflatun. Tunduk Kepada Allah, Jakarta: Khazanah Baru, 2001.
Qutub, Sayyid. Islam dan Perdamaiaan Dunia, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987.
Rahmat, Jalaluddin. Islam Alternatif, Bandung: Mizan, 1991.
Shihab, Umar. Ketulusan Beragama, dalam Agama Di tengah Kemelut, Komaruddin Hidayat et. all, Jakarta: Mediacita, 2001.
Tholkhah, Hasan. Mewaspadai dan Mencegah Konflik Antar Umat Bergama. Departemen Agama, 2001.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar