Urgensi Pengembangan Wawasan Multikultural
di Kalangan Majelis Taklim
Oleh: M. Gazali Rahman, MH.I.
Abstrak
Mengelola kemajemukan bukanlah perkara yang
mudah. Di satu sisi, umat beragama sebagai salah satu komponen bangsa berusaha
memelihara identitas dan memperjuangkan aspirasinya. Pada sisi lain, mereka
juga dituntut untuk memberi andil dalam rangka memelihara kerukunan dan
keutuhan bangsa. Dalam kaitan ini diperlukan kearifan dan kedewasaan di
kalangan umat beragama untuk memelihara keseimbangan antara kepentingan
kelompok dan kepentingan nasional. Sehubungan dengan hal ini pula, diperlukan
kebijakan strategis yang dapat menciptakan dan memelihara kerukunan umat
beragama guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang aman, damai, maju,
sejahtera, dan bersatu.
Tulisan ini mencoba mengangkat urgensi dan peran majelis taklim dalam
upaya membangun sikap inklusiv di kalangan umat Islam sendiri. Sebab disadari bahwa
multikulturalisme dalam perspektif agama merupakan
salah satu wacana yang paling menantang terhadap kerangka kesarjanaan dan
keilmuan dunia Islam dalam berbagai perspektifnya dewasa ini. Sekalipun dunia
Islam sejak kelahirannya bersentuhan dengan berbagai tradisi yang multikultural
atau heterogen, tetapi kesadaran akan pentingnya mempertimbangkan realitas multikultural
begitu melanda dunia muslim, di mana setiap orang secara inherent dalam dirinya
diberikan kebebasan meyakini, bertindak dalam kerangka agama berdasar keyakinan
masing-masing tanpa ada paksaan dari siapa pun.
Majelis taklim
sebagai bagian terkecil dari kelompok masyarakat agama pada dasarnya memiliki
peran sentral yang dapat menjadi batu loncatan menanamkan nilai-nilai
multikultural di kalangan anggotanya. Sebab, majelis taklim sesungguhnya
merupakan model tersendiri dalam sistem pendidikan masyarakat yang memiliki
karakter khas, independensi, dan terlepas dari polarisasi yang selama ini
mengkotak-kotakkan masyarakat Islam. Wawasan multikultural yang dikembangkan di
kalangan majelis taklim tentunya diharapkan dapat mereduksi eksklusivitas di
berbagai dimensi yang banyak terjadi saat ini, baik dari segi perbedaan agama
terhadap mereka yang di luar majelis taklim, ataupun secara internal dari
berbagai aspek kehidupan sosial seperti perbedaan tingkat kecerdasan,
penghasilan, penguasaan teknologi, dan aneka perbedaan lainnya.
Kata Kunci: Wawasan Multikultural, Majelis
Taklim
A. Pendahuluan
Bangunan persaudaraan dan persatuan sesama
umat Islam dewasa ini, secara jujur diakui sampai hari ini, masih riskan dan
menyedihkan. Alasannya, banyak di antara di antara mereka yang masih seiman dan
sekeyakinan, justeru saling melakukan hal-hal yang dapat menyingkap tirai
perselisihan, percekcokan, dan permusuhan antara sesamanya. Tentu saja, timbulnya
percekcokan dan ketidakakuran antara sesama Muslimin itu adalah disebabkan oleh
masih sempitnya wawasan mereka terhadap Islam, selain disebabkan pula oleh
lemahnya keimanan.
Manusia sebagai
makhluk sosial mempunyai sifat kodrati berupa sifat ketergantungan, sesuai
dengan asal kejadiannya. Sifat ketergantungan manusia kepada sesamanya menjadi
jelas apabila diperhatikan mekanisme hubungan anak dengan orang tuanya,
khususnya kepada ibunya, terutama pada awal perkembangan kehidupannya. Ketergantungan
itu tidak hanya ketika ia berada dalam rahim ibunya, tetapi juga setelah lahir
ia tetap memerlukan alam lingkungannya, demi kelangsungan hidupnya.
Hal tersebut
mengasumsikan adanya kesadaran kolektif yang perlu dikembangkan dalam wujud
simbiosis mutualisme antar sesama manusia dalam relasi kehidupannya dan di
tengah kondisi multikultural yang ada. Majelis Taklim dan peran da'i/da'iyah
menjadi sangat penting dalam kaitan ini, yakni bagaimana agar wawasan
multikultural dapat mengakar dan membumi di Indonesia dan di Gorontalo pula tentunya.
Pada prinsipnya, hidup manusia adalah
pengalaman bersama, bahkan dalam unsur-unsurnya yang paling individual, merupakan
kehidupan bersama. Tingkah laku dan strukturnya yang asasi, selalu menunjuk
kepada pribadi orang lain, atau dengan kata lain, manusia adalah anak
masyarakat. Jadi, keterbukaan dan hidup bersama dengan orang lain, merupakan
sifat hakiki manusia, sebab antara satu dengan lainnya saling membutuhkan.
Secara falsafi, manusia diciptakan sedemikian
rupa sehingga hidup selalu berkelompok, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku.
Manusia dikenal melalui bangsa dan sukunya, suatu identitas yang merupakan
bagian tak terpisahkan dari keberadaan hidup bermasyarakat. Jika hubungan ini
tidak terjadi dan menyebabkan mereka hidup menyendiri dan terpisah, maka
tidaklah mungkin dapat mengenali mereka satu persatu. Akibatnya, kehidupan
bermasyarakat yang merupakan dasar hubungan antar manusia, menjadi tidak ada.
Faktor perbedaan sifat, warna kulit dan
tubuh, merupakan dasar untuk mengenali seseorang. Sekiranya semua bersifat,
berwarna kulit dan tubuh yang sama, dan sekiranya mereka tidak diatur oleh
berbagai jenis hubungan, maka mereka akan menjadi seperti produk-produk baku
suatu pabrik, semuanya sama, sehingga tidak terbedakan. Hal yang demikian akan
menyebabkan ketiadaan kehidupan masyarakat, yang berdasarkan hubungan dan
pertukaran gagasan, kerja dan komoditi.
Perbedaan antar manusia merupakan suatu
syarat penting bagi adanya kehidupan bermasyarakat. Sebab, setiap suku dan
etnis yang ada, masing-masing mempunyai budaya dan tradisi tersendiri. Dengan
adanya sikap keterbukaan dan saling melakukan kontak antara masing-masing suku,
selain dapat menambah khazanah budaya masing-masing, juga dapat mempercepat
arus informasi dan laju perkembangan ilmu pengetahuan.
Alqur’an dalam menuntun anggota masyarakat
untuk memperoleh kebahagiaan hidup yang sempurna, baik di dunia maupun di akhirat,
memberikan penekanan tersendiri pada aspek kehidupan yang diimplementasikan
dalam pola kerukunan di antara anggota masyarakat. Karena itu, sangat beralasan
bilamana tuntunan persatuan itu dibarengi dengan tata cara pelaksanaannya. Hal
tersebut tentu dimaksudkan agar suasana kerukunan dapat tercipta dengan
harmonis, langgeng di tengah-tengah masyarakat yang heterogen, seperti di
Indonesia.
Gagasan multikultural bukanlah sesuatu yang
ditakuti dan baru, setidaknya ada empat alasan untuk itu. Pertama, bahwa
Islam mengajarkan menghormati dan mengakui keberadaan orang lain. Kedua,
konsep persaudaraan Islam tidak hanya terbatas pada satu sekte atau golongan
saja. Ketiga, dalam pandangan Islam bahwa nilai tertinggi seorang hamba
adalah terletak pada integralitas takwa dan kedekatannya dengan Tuhan.
Mengenai konsep kerukunan yang dibawa
Alqur’an sifatnya mujmal (global), karenanya penjelasan tentang teknik
operasionalnya adalah Sunnah Nabi. Melalui Sunnah Nabi, operasionalisasi konsep
kerukunan dijelaskan kepada masyarakat dalam bentuk yang lebih kongkret lagi.
Dalam kaitan ini, Nabi Muhammad saw. memberikan analogi berupa hubungan antara
satu anggota badan dengan anggota lainnya yang tidak dapat dipisahkan (HR Muslim dari Nu’man ibn Basyir).
Sejarah menunjukkan bahwa, masyarakat yang
dipimpin oleh Nabi Muhammad Saw di Madinah, terdiri atas berbagai agama, yaitu
Islam, Yahudi, dan Nasrani. Namun, perbedaan agama tersebut tidak menghalangi
mereka untuk menjalin kerukunan bersama. Umat Islam pada saat itu sangat
menghargai para penganut agama lain, sebaliknya pun demikian. Terciptanya
kerukunan tersebut, dinafasi oleh ajaran Alqur’an.
Oleh karena itu, untuk menciptakan kerukunan
hidup yang harmonis dalam tatanan kehidupan masyarakat di Indonesia, harus
dicerminkan melalui persaudaraan yang tidak dibatasi oleh perbedaan warna
kulit, suku, tempat tinggal, dan agama, namun diikat dengan tali “persatuan
nasional”, adalah pondasi dari bangunan kokoh. Kehidupan masyarakat heterogen,
dengan segala gerak dan aktivitas sosialnya dinafasi oleh ajaran Alqur’an, akan
melahirkan kebahagiaan dan kesentosaan hidup, yang menjadi dambaan hidup setiap
manusia.
Sudah menjadi hukum alam bahwa apabila
manusia telah berkumpul dan berserikat serta terjalin interaksi sosial di
antara mereka, maka “riak-riak kecil” akan senantiasa muncul ke permukaan.
Ironisnya, riak-riak kecil tersebut terkadang meluas dan melebar serta akan
merusak persatuan yang telah dibina. Karenanya, setiap anggota masyarakat harus
mampu menghindarkan diri dari perbuatan suka mencela, suka memperolok-olok
sesamanya, suka memberikan gelar-gelar atau panggilan yang jelek, suka
berprasangka buruk dan menghina serta segala macam tindakan yang bisa
mengganggu hubungan silaturrahmi dan merusak kerukunan bersama.
Sekiranya petunjuk-petunjuk yang dibawa oleh
Alqur’an mampu ditransfer dalam bentuk tingkah laku oleh semua warga masyarakat
yang ada di Indonesia, dapat dipastikan bahwa kemelut yang terjadi di berbagai
daerah dewasa ini, tidak akan pernah muncul ke permukaan.
B.
Pembahasan
- Urgensi Pengembangan Wawasan Multikultural
Tidak bisa dipungkiri bahwa
gelombang modernisasi dan globalisasi budaya telah meruntuhkan sekat-sekat
kultural, etnik, idiologi dan agama. Mobilitas sosial, ekonomi, pendidikan, dan
politik menciptakan keragaman dalam relasi-relasi keragaman. Kini, cukup sulit
menemukan komunitas-komunitas sosial yang homogen dan monokultur. Fenomena
multikultural sudah menjadi bagian dari imperatif peradaban manusia.
Multikulturalisme melingkupi pluralitas ras,etnik, jender, kelas, dan agama
bahkan sampai pilihan gaya hidup.
Konsep ini setidaknya bertumpu
pada dua keyakinan. Pertama, secara sosial semua kelompok
budaya dapat di reperentasikan dan hidup berdampingan bersama dengan orang
lain. Kedua, diskriminasi dan resisme dapat direduksi melalui
penetapan citra positif keragaman etnik dan pengetahuan budaya-budaya lain,
Untuk itu wawasan dan gagasan multikulturalisme perlu dikukuhkan dalam segala
aspek kehidupan.
Dalam kaitan
itu, Imam Tolkhah
mengemukakan tiga tantangan multikulturalisme dewasa ini yaitu: Pertama, adanya
hegemoni Barat dalam
bidang politik, ekonomi, sosial dan ilmu pengetahuan. Komunitas, terutama
negara-negara berkembang perlu mempelajari sebab-sebab dari dominasi kekuatan
Barat dalam bidang-bidang tersebut dan mengambil langkah-langkah seperlunya
untuk mengatasinya sehingga dapat berdiri sama tegak dengan dunia Barat. Kedua,
esensialisasi budaya. Dalam hal ini multikulturalisme berupaya untuk
mencari essensi budaya sendiri tanpa jatuh ke dalam pandangan yang xenophobia
dan etnosentrisme. Multikulturalisme dapat melahirkan tribalisme
yang sempit yang pada akhirnya merugikan komunitas di dalam era globalisasi. Ketiga,
proses globalisasi. Globaliasasi dapat berupa monokulturalisme karena
gelombang dahsyat gobalisasi yang menggelinding menghancurkan bentuk-bentuk
kehidupan bersama dan budaya tradisional. Memang tidak ada budaya yang statis
namun masyarakat yang kehilangan akar budayanya akan kehilangan tempat berpijak
dan akan disapu bersih oleh gelombang dahsyat globalisasi.
Bagi Islam, gagasan multikultural
bukanlah sesuatu yang ditakuti dan baru, setidaknya ada empat alasan untuk itu.
Pertama, bahwa Islam mengajarkan untuk menghormati dan mengakui
keberadaan orang lain. Kedua, konsep persaudaraan Islam tidak hanya
terbatas pada satu sekte atau golongan saja. Ketiga, dalam pandangan
Islam bahwa nilai tertinggi seorang hamba adalah terletak pada integralitas
takwa dan kedekatannya dengan Tuhan.
Jelasnya bila pengajaran
multikultural dapat dilakukan dalam berbagai dimensi kehidupan yang hasilnya
akan melahirkan peradaban yang juga melahirkan toleransi, demokrasi, kebajikan,
tolong menolong, tenggang rasa, keadilan, keindahan, keharmonisan dan
nilai-nilai kemanusiaan lainnya. Intinya, gagasan dan rancangan pengembangan
wawasan multikultural adalah sebuah keniscayaan dengan catatan bahwa
kehadirannya tidak mengaburkan dan atau menciptakan ketidakpastian jati diri
para kelompok yang ada.
2. Urgensi
Majelis Taklim
Majelis taklim merupakan institusi pendidikan
yang sangat populer di kalangan masyarakat muslim. Karena itu majelis taklim
banyak dibicarakan, ditulis, bahkan diteliti oleh kalangan akademisi, karena
sifatnya yang sangat fenomenal. Kajian, pembahasan dan tulisan-tulisan tentang
majelis taklim mengisyaratkan bahwa majelis taklim menempati tempat tersendiri
di hati umat Islam, bahwa majelis taklim diharapkan memberikan harapan dan
peluang yang sangat potensial untuk membina, membangun dan memberdayakan umat
Islam dalam berbagai aspeknya, khususnya dalam masalah pengetahuan keagamaan.
Salah satu faktor penting diketahui adalah
pengembangan wawasan keagamaan jamaah. Selama ini masyarakat memahami, ketika
mereka sudah melaksanakan rukun Islam, sudah memperoleh predikat haji, tidak
makan makanan yang haram, maka persoalan agama sudah selesai dan komplit.
Ternyata setelah mereka mengikuti majelis taklim, pemahaman mereka semakin
meningkat tentang eksistensi Islam sebagai agama. Islam tidak hanya terbatas
pada masalah pokok saja, tapi jauh lebih luas mencakup semua aspek kehidupan
manusia.
Dari segi pengembangan pengetahuan agama,
setidaknya majelis taklim sebagai institusi pendidikan non formal telah banyak
memberikan sumbangsih yang cukup banyak kepada setiap anggota. Pengajian dan
pembelajaran yang dilakukan sebanyak empat kali dalam satu bulan atau sekali
dalam satu minggu dirasakan mampu untuk menggugah perasaan jamaah, untuk lebih
dalam dan lebih giat menggali pengetahuan keislaman.
Dalam paradigma pendidikan, lingkungan masyarakat sebagai salahsatu
lingkungan pendidikan telah di akui serta memegang peranan yang sangat penting
dalam memberdayakan umat (masyarakat) dalam berbagai aspek, termasuk aspek
kehidupan beragama. Maka tidak heran akhir-akhir ini pendidikan berbasis
masyarakat semakin mendapat perhatian yang besar dari berbagai kalangan
masyarakat, baik pemerintah maupun pakar-pakar pendidikan. Salah satu kegiatan
pendidikan dan kelompok belajar yang berbasis masyarakat dan saat ini sedang
tumbuh dan semakin berkembang yakni lembaga pengajian atau pendidikan Islam
yang disebut dengan Majelis Taklim.
Majelis taklim adalah suatu lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh
masyarakat dan dibimbing oleh alim ulama, yang bertujuan membina dan
mengajarkan hubungan antara manusia dengan Allah Swt. dan antara manusia dengan
sesamanya serta manusia dengan lingkungannya serta bertujuan untuk membina
masyarakat yang bertakwa dan beriman kepada Allah Swt.
Majelis taklim sebagai lembaga pendidikan tertua merupakan kesinambungan
pendidikan yang dilaksanakan oleh Rasulullah. Ketika di Mekah, pendidikan
ditekankan oleh Rasulullah pada bidang iman, sedangkan di Madinah banyak
diarahkan pada bidang muamalah yang merupakan manifestasi iman yang telah
ditanamkan di Mekah.
Sebagai suatu lembaga pendidikan, yakni pendidikan non formal, maka
majelis taklim mempunyai fungsi dan peranan yang sangat penting dalam pembinaan
umat. Hal ini dapat dibayangkan bilamana umat hanya terikat pada pendidikan
formal yang mempunyai waktu terbatas sehingga pengetahuan agama yang mereka
terima sangat minim, sedangkan Islam mengajarkan untuk menuntut ilmu
sebanyak-banyaknya, khususnya ilmu keislaman.
Majelis taklim merupakan lembaga pendidikan Islam non formal dan
merupakan fenomena budaya religius yang tumbuh dan berkembang di tengah
komunitas muslim Indonesia. Majelis taklim ini merupakan institusi pendidikan
Islam non formal, dan sekaligus lembaga dakwah yang memiliki peran strategis
dan penting dalam pengembangan kehidupan beragama bagi masyarakat. Majelis
taklim sebagai institusi pendidikan Islam yang berbasis masyarakat peran
strategisnya terutama terletak dalam mewujudkan learning society, suatu
masyarakat yang memiliki tradisi belajar tanpa dibatasi oleh usia, jenis
kelamin, tingkat pendidikan, dan dapat menjadi wahana belajar, serta
menyampaikan pesan-pesan keagamaan, wadah mengembangkan silaturrahmi dan berbagai kegiatan kegamaan lainnya, bagi semua lapisan masyarakat.
Urgensi majelis taklim yang demikian itulah,
yang menjadi spirit diintegrasikannya majelis taklim sebagai bagian
penting dari Sistem Pendidikan Nasional, sebagaimana dituangkan dalam
Undang-undang RI nomor 20 Bab VI pasal 26 ayat 1 yang menyatakan bahwa
pendidikan non formal diperlukan untuk menambah dan melengkapi pendidikan
formal. Bahkan pada ayat 4 secara eksplisit disebutkan majelis taklim merupakan
bagian dari pendidikan non formal. Hal ini menunjukkan bahwa majelis taklim
merupakan bagian penting dari sistem pendidikan nasional.
Sebagai bagian dari sistem Pendidikan
Nasional, majelis taklim melaksanakan fungsinya pada tataran non formal, yang
lebih fleksibel, terbuka, dan merupakan salah satu solusi yang seharusnya
memberikan peluang kepada masyarakat untuk menambah dan melengkapi pengetahuan
yang kurang atau tidak sempat mereka peroleh pada pendidikan formal, khususnya
dalam aspek keagamaan. Kedudukan majelis taklim yang demikian semakin mendapat
dukungan dari masyarakat yang indikasinya bisa dilihat dengan semakin
berkembangnya majelis taklim dari tahun ke tahun. Sesuai dengan data yang
tercatat di Direktorat Pendidikan dengan tingkat pertumbuhan yang signifikan di
kalangan komunitas muslim.
Akan tetapi dalam perjalanannya terjadi
hubungan yang tidak linear antara pertumbuhan dan program (kajian). Dalam
realitas yang ada mayoritas majelis taklim masih sangat primordial, dalam arti
ikatan antara masyarakat penggagas majelis taklim dengan kegiatan (materi) yang
dilakukan sangat erat berhubungan. Misalnya majelis taklim yang dilahirkan
ibu-ibu berbeda dengan majelis taklim bapak-bapak dan seterusnya. Ikatan-ikatan
primordial seperti ini pada hakekatnya tidak bisa dilepaskan dari persoalan
kepentingan, baik kepentingan keagamaan, kepentingan sosial kemasyarakatan,
maupun kepentingan kelompok. Bila yang demikian dicoba ditelusuri tentu akan
ditemukan berbagai model dan karakter majelis taklim dan masing-masing memiliki
daya tarik yang perlu untuk diungkapkan. Lebih jauh sekedar mengungkapkan,
dengan ditemukannya masing-masing karakter, bisa diproyeksikan untuk menemukan
model majelis taklim yang ideal di masa mendatang.
Majelis taklim, secara konseptual dapat
diartikan sebagai tempat untuk melaksanakan kegiatan ceramah umum atau
pengajian Islam. Kegiatan ini banyak dilakukan di mesjid, di halaman mesjid
atau juga di kantor-kantor, baik kantor pemerintah maupun swasta dan di tempat
lain yang dikhususkan untuk itu. Majelis taklim merupakan institusi pendidikan
non formal keagamaan, dimana prinsip kegiatannya adalah kemandirian dan swadaya
masyarakat dari masing-masing anggotanya.
Kedudukan majelis taklim sebagai pendidikan
non formal di Indonesia tidak perlu diragukan lagi. Dalam Undang-undang
Sisdiknas No. 20 tahun 2003, dinyatakan dengan jelas pada fasal 26 ayat 1 bahwa
pendidikan non formal diperlukan untuk menambah dan melengkapi pendidikan
formal. Bahkan pada ayat 4 secara eksplisit disebutkan majelis taklim merupakan
bagian dari pendidikan non formal. Hal ini menunjukkan bahwa majelis taklim
merupakan bagian penting dan integral dari sistem pendidikan nasional.
Sebagai institusi pendidikan Islam non
formal, majelis taklim dilihat dari karakteristiknya secara umum adalah lembaga
(institusi) yang melaksanakan pendidikan, atau pengajian agama Islam, memiliki
kurikulum, ustaz/guru, jamaah, metode, materi dan tujuan pembelajaran.
Sementara itu dalam Ensiklopedi Islam yang
diterbitkan oleh Kementerian Agama RI, ditemukan karakteristik majelis taklim,
adalah lembaga pengajian Islam yang memiliki ciri-ciri tersendiri dilihat dari
sudut metode dan buku pegangan yang digunakan, jamaah, pengajar (ustaz) materi
yang diajarkan, sarana dan tujuan.
Sebagai lembaga dakwah sekaligus wadah
pembinaan umat majelis taklim mempunyai beberapa fungsi diantaranya: 1) wadah
untuk menyampaikan pesan-pesan keagamaan kepada jamaahnya; 2) wadah yang
memberi peluang kepada jamaah untuk tukar menukar pikiran, berbagi pengalaman,
dalam masalah keagamaan; 3) wadah yang dapat membina keakraban di antara sesama
jamaahnya; dan 4) sebagai wadah informasi dan kajian keagamaan serta kerjasama
di kalangan umat.
Kepentingan majelis taklim untuk komunitas
muslim tentu tidak diragukan lagi. Dengan memperhatikan perkembangan dan
eksistensi majelis taklim, maka majelis taklim sebagai lembaga pendidikan non
fomal pada masa sekarang ini mempunyai kedudukan tersendiri dalam mengatur
pelaksanaan pendidikan agama dalam rangka dakwah Islamiyah dan merupakan
salahsatu alat bagi pelaksanaan pendidikan seumur hidup (long life education).
Keberadaan majelis taklim khususnya dalam era
globalisasi sangat penting, terutama dalam upaya menangkal dampak negatif dari
globalisasi itu sendiri. Tetapi, untuk menjaga eksistensi majelis taklim itu
sendiri, maka ia harus mampu memanfaatkan dampak positif globalisasi.
Keberadaan majelis taklim menjadi sangat
penting karena ia berada di tengah-tengah masyarakat, dan masyarakat adalah
salahsatu dari tiga lingkungan pendidikan. Kedudukan majelis taklim sebagai
lembaga pendidikan non-formal mempunyai fungsi sebagai berikut:
1) Membina dan mengembangkan agama Islam dalam
rangka membentuk masyarakat yang takwa kepada Allah Swt.
2) Sebagai wadah silaturrahim yang dapat
menghidupkan dakwah dan ukhuwah Islamiah.
3) Sebagai sarana dialog berkesinambungan antara
ulama, umara, dan umat.
4) Sebagai media mempunyai gagasan modernisasi
yang bermanfaat bagi pembangunan umat.
Berdasarkan fungsi-fungsi tersebut, maka
majelis taklim yang berada di tengah-tengah masyarakat harus dipergunakan
eksistensinya, sehingga dapat membentengi masyarakat/umat dari
pengaruh-pengaruh negatif utamanya generasi muda dan remaja yang masih sangat
mudah dipengaruhi oleh berbagai hal. Di sinilah keberadaan majelis taklim
sebagai lembaga pendidikan non-formal yang sangat penting, di samping
pendidikan formal. Bila fungsi-fungsi majelis taklim tersebut berjalan
sebagaimana mestinya, maka akan mengalami suatu kehidupan yang penuh kedamaian.
Dengan kata lain, orientasi wawasan keagamaan
jamaah diarahkan pada:
a. Pengajaran dan pengembangan pengetahuan.
b. Penambahan wawasan dalam aspek “penguatan dan
mengokohkan akidah”. Dalam berbagai penyajian materi wawasan penguatan
akidah, hampir selalu dilakukan. Orientasi ini di pilih karena disadari
betul oleh para pengurus maupun ustaz/ustazah, jamaah majelis taklim dalam
kehidupan kesehariannya banyak bersentuhan dengan kehidupan sosial yang tidak
Islam (kurang Islami). Sebagai muslim minoritas, diperlukan benteng akidah yang
kuat untuk tetap dapat menjaga keimanan lebih baik.
c. Wawasan keagamaan yang dikembangkan selain
yang di atas, adalah para ustaz dan pengurus berusaha memberikan pemahaman
tentang keterkaitan antara pengetahuan agama dengan pengamalannya.
Jamaah diberi penyadaran akan urgensi dan makna pengamalan agama yang di mereka
pahami sebelumnya dalam praktek. Pengetahuan shalat misalnya, hendaknya
diaktualisasikan dalam pengamalan nyata, sehingga diperoleh pribadi muslim yang
bersih, jujur, berakhlak mulia, dan terjalin ukuwah Islamiyah yang kuat.
3.
Mewarnai Majelis
Taklim dengan Wawasan Multikultural
Setiap tafarruq (perpecahan) merupakan
ikhtilaf (perbedaan), namun tidak setiap ikhtilaf (perbedaan)
merupakan tafarruq (perpecahan). Namun setiap ikhtilaf bisa dan
berpotensi untuk berubah menjadi tafarruq atau iftiraq antara
lain karena:
a)
Faktor pengaruh
hawa nafsu, yang memunculkan misalnya ta’ashub (fanatisme) yang tercela,
sikap kultus individu atau tokoh, sikap mutlak-mutlakan atau menang-menangan
dalam berbeda pendapat, dan semacamnya. Faktor pelibatan hawa nafsu inilah
secara umum yang mengubah perbedaan wacana dalam masalah-masalah furu’ ijtihadiyah
yang ditolerir menjadi perselisihan hati yang tercela.
b)
Salah persepsi
(salah mempersepsikan masalah, misalnya salah mempersepsikan masalah furu’
(cabang) sebagai masalah ushul (pokok).
Hal ini biasanya terjadi pada sebagian kalangan umat Islam yang tidak mengakui
dan tidak memiliki fiqhul ikhtilaf. Yang mereka miliki hanyalah fiqhut
tafarruq wal iftiraq (fiqih perpecahan), dimana bagi mereka setiap
perbedaan dan perselisihan merupakan bentuk perpecahan yang tidak mereka
tolerir.
c)
Tidak menjaga
moralitas, akhlak, adab, dan etika dalam berbeda pendapat dan dalam menyikapi
para pemilik atau pengikut madzhab dan pendapat lain.
Islam adalah agama yang diturunkan Tuhan
untuk menjadi rahmat bagi alam semestanya. Pesan kerahmatan dalam Islam
benar-benar tersebar dalam teks-teks Islam, baik Alqur’an maupun hadis.
Kata “rahman” yang berarti kasih sayang,
berikut derivasinya, disebut berulang-ulang dalam jumlah yang begitu besar,
lebih dari 90 ayat dalam Alqur’an. Bahkan, dua kata rahman dan rahim yang
diambil dari kata ‘rahmat’ dan selalu disebut-sebut kaum Muslim setiap hari
adalah nama-nama Tuhan sendiri (asmaul
husna). Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Sayangilah siapa saja yang ada
di muka bumi niscaya Tuhan menyanyanginya.”
Alqur’an, sumber Islam paling otoritatif,
menyebutkan misi kerahmatan ini, wama> arsalna>ka illa> rahmantan
lil’a>lami>n (Aku tidak mengutus Muhammad, kecuali sebagai rahmat
bagi alam semesta). Ibnu Abbas, ahli tafsir awal, mengatakan bahwa kerahmatan
Allah meliputi orang-orang Mukmin dan orang kafir. Alqur’an juga menegaskan,
rahmat Tuhan meliputi segala hal (QS. al-A’raf/7: 156). Karena itu, para ahli
tafsir sepakat bahwa rahmat Allah mencakup orang-orang Mukmin dan orang-orang
kafir, orang baik (al-birr) dan yang
jahat (al-fajir), serta semua makhluk
Allah.
Alqur’an memiliki posisi yang amat vital dan
terhormat dalam masyarakat Muslim di seluruh dunia. Di samping sebagai sumber
hukum, pedoman moral, bimbingan ibadah, dan doktrin keimanan, Alqur’an juga
merupakan sumber peradaban yang bersifat historis dan universal.
Kehadiran sosok Muhammad Rasulullah dan
Alqur’an ini telah mengubah orientasi cara berpikir masyarakat Arab yang kala
itu sangat kesukuan menjadi berpikir kosmopolit. Tradisi dan energi saling
berperang antarsuku diubah menjadi kekuatan, lalu diarahkan untuk membangun
peradaban baru yang bersifat kosmopolit, melewati batas etnis dan wilayah
kesukuan mereka.
Karena itu, pusat-pusat peradaban Islam
bermunculan di berbagai wilayah di luar Makkah-Madinah, tempat Alqur’an
diwahyukan. Semua ini terjadi karena kehadiran Alqur’an mampu mengubah pola dan
cara berpikir mereka. Pranata dan wibawa hukum ditegakkan sehingga muncul
masyarakat Madinah.
Fungsi kerahmatan ini ditegaskan oleh Nabi
Muhammad SAW melalui sabdanya, innama>
bu’istu li utammima maka>rima al-akhla>k (Aku diutus Tuhan hanya
untuk menyempurnakan akhlak). Akhlak luhur adalah moral dan nilai-nilai
kemanusiaan, seperti kejujuran, keadilan, menghormati, dan menyayangi orang
lain dan sebagainya. Sementara itu, kekerasan, kesombongan, dan kezaliman
adalah berlawanan dengan akhlakul karimah.
Dalam konteks Islam rahmatan lil ’a>lamin, Islam telah mengatur tata hubungan
menyangkut aspek teologis/ ketuhanan, ritual, sosial, dan kemanusiaan. Dalam
segi teologis, Islam memberi rumusan tegas yang harus diyakini oleh setiap
pemeluknya. Namun, hal ini tidak dapat dijadikan alasan untuk memaksa
non-Muslim memeluk Islam (la> ikra>ha
fi> al-di>n). Begitu halnya dalam tataran ritual yang memang sudah
ditentukan operasionalnya dalam Alqur’an dan hadis.
Berkaitan dengan hal ini, Alqur'an terlebih
dahulu menegaskan bahwa orang yang beriman itu bersaudara, dan memerintahkan
untuk mengadakan ishlah (perbaikan hubungan), jika terjadi perselisihan
di antara dua orang (kelompok) kaum muslim. Al-Quran juga memberikan petunjuk
tentang bagaimana mempererat persaudaraan dengan mengemukakan contoh-contoh
yang menjadi penyebab terjadinya keretakan di antara kaum muslimin sebagai
digambarkan dalam QS. Al-Hujurat [49]: 11-12.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ يَسْخَرْ قَومٌ
مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ
عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا
تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ
لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ(١١)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ
الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ
أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوه وَاتَّقُوا
اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
ُWahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum (pria)
mengolok-olok kaum yang lain, karena boleh jadi mereka (yang diolok-olok) itu
lebih baik daripada (yang mengolok-olok); dan jangan pula wanita-wanita
(mengolok-olok) wanita-wanita lain, karena boleh jadi wanita-wanita yang diperolok-olok
lebih baik dari mereka (yang memperolok-olokan), dan janganlah kamu mencela
dirimu sendiri, dan janganlah kamu saling memanggil dengan gelar yang jelek.
Seburuk-buruk panggilan adalah (sebutan) yang buruk sesudah iman. Barang siapa
tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Wahai orang-orang
yang beriman jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian
prasangka itu buruk adalah dosa, janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang
lain, dan janganlah kamu menggunjing sebagian yang lain.Sukakah salah seorang
di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu
merasa jijik kepadanya. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.
Ayat tersebut memberikan penjelasan mengenai
hal-hal yang harus dilakukan untuk mendapatkan hubungan persaudaraan, yaitu:
1)
Janganlah saling
mengolok antara satu sama lainnya;
2)
Janganlah mencela
diri sendiri;
3)
Janganlah saling
memanggil dengan gelar yang buruk;
4)
Jauhilah
kebanyakan prasangka;
5)
Jangan saling
mencari kesalahan orang lain;
6)
Janganlah saling
menggunjing.
Dengan memperhatikan petunjuk pemantapan ukhuwah
tersebut, ditemukan bahwa kebanyakan daripadanya disampaikan dalam bentuk
larangan. Hal ini dapat dimengerti bahwa melarang sesuatu berarti mafhumnya
adalah memerintahkan demikian pula sebaliknya. Di samping itu pula perlu
dipahami bahwa al-takhliyah (menyingkirkan yang jelek) harus didahulukan
daripada al-tahliyah (menghiasi diri dengan kebaikan).
Di samping itu dalam rangka memperkokoh
persaudaraan di antara sesama muslim ini Nabi mengambarkan konsep persaudaraan
sebagai berikut:
a.
Seorang muslim dengan muslim lainnya seperti satu
badan.
Apabila salah satu bagian badan tersebut
sakit, maka seluruh anggota badan lainnya turut merasakan sakit. Hal ini
dijelaskan Nabi Saw. (HR. Bukhari: 5552)
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ تَرَى الْمُؤْمِنِينَ فِي تَرَاحُمِهِمْ وَتَوَادِّهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ
كَمَثَلِ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى عُضْوًا تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ جَسَدِهِ
بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
Menurut hadis tersebut, antara sesama muslim
harus saling menyayangi, mencintai dan bahkan di dalam riwayat lain Nabi saw.
menyatakan tidak beriman seseorang sehingga dia mencintai saudaranya
sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.
b.
Memelihara dan menjaga hak-hak orang muslim.
Tuntunan Nabi saw. bagi umatnya adalah agar
menjaga dan memelihara hak-hak orang lain atas muslim lainnya sebagaimana pesan
Rasulullah Saw. (HR. Turmuzi: 2660).
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لِلْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ بِالْمَعْرُوفِ يُسَلِّمُ
عَلَيْهِ إِذَا لَقِيَهُ وَيُجِيبُهُ إِذَا دَعَاهُ وَيُشَمِّتُهُ إِذَا عَطَسَ
وَيَعُودُهُ إِذَا مَرِضَ وَيَتْبَعُ جَنَازَتَهُ إِذَا مَاتَ وَيُحِبُّ لَهُ مَا
يُحِبُّ
Dari hadis tersebut dapat dipahami bahwa
konsep ukhuwah dengan sesama muslim dengan cara memelihara hak-hak
mereka dalam hal:
1) Mengucapkan salam di saat bertemu;
2) Memenuhi undangan jika dipangil untuk hadir;
3) Mendoakan ketia ia bersin;
4) Mengunjunginya jika sakit;
5) Mengantarkan jenazahnya jika dia wafat;
6) Mencintai apa yang dia cintai.
c.
Mendoakan dan tidak berbuat zalim satu sama lain.
Allah menganjurkan orang Islam untuk
senantiasa mendoakan saudaranya sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-A`raf/7:
151.
قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِأَخِي وَأَدْخِلْنَا فِي
رَحْمَتِكَ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ
Musa berdoa: "Ya Tuhanku, ampunilah aku dan saudaraku dan masukkanlah kami ke dalam rahmat
Engkau, dan Engkau adalah Maha Penyayang di antara para penyayang".
Dan QS. Al-Hasyr/59: 10.
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ
وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ ءَامَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ
رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka
(Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: "Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami
dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan
janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang
yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha
Penyayang".
Dalam konteks ini juga, pengembangan
nilai-nilai kemanusiaan/humanisme dan nasionalisme yang memiliki tiga komponen
substansi Islam. Pertama, ukhuwah basyariyah atau insaniyah (persaudaraan antar manusia).
Islam menganggap bahwa seluruh umat manusia, tanpa harus membedakan suku, ras,
warna kulit, bahkan agama, adalah saudara yang harus dilindungi dan saling
melindungi. Islam mengharamkan penganiayaan terhadap orang lain di luar Islam
dan meniscayakan hormat-menghormati dan sifat toleransi.
Kedua, ukhuwah
wathaniyah (persaudaraan antar bangsa). Kerjasama antarbangsa mesti dijalin
sebaik mungkin dalam rangka menuju perdamaian dan kesejahteraan dunia. Hubungan
bangsa-bangsa ini tanpa membedakan latar belakang agama bangsa tersebut.
Ketiga, ukhuwah Islamiyah (persaudaraan
antarumat Islam). Sejarah peradaban Islam diwarnai oleh perbedaan corak pandang
keberagamaan, baik domain teologi, hukum, maupun spiritualitas.
Ketiga macam ukhuwah ini harus diwujudkan
secara berimbang menurut porsinya masing-masing. Satu dengan lainnya tidak
boleh dipertentangkan. Melalui tiga dimensi ukhuwah inilah, Islam rahmatan lil ‘alamin (pemberi rahmat
alam semesta) akan terealisasi. Sebab, ukhuwah
Islamiyah dan ukhuwah wathaniyah
merupakan landasan dan hal yang fundamental bagi terwujudnya ukhuwah insaniyah.
Oleh karena itu, baik sebagai umat Islam
maupun bangsa Indonesia, kita harus memperhatikan ukhuwah Islamiyah, ukhuwah insaniyah, dan ukhuwah wathaniyah secara serius, saksama, dan penuh kejernihan.
Dalam hidup bertetangga dengan orang lain, bukan famili, bahkan non-Muslim atau
non-Indonesia, kita diwajibkan berukhuwah dan memuliakan mereka dalam arti
kerjasama yang baik selama mereka tidak menginjak dan menyakiti.
Dalam kaitan itu, beberapa sikap dan prinsip
yang perlu menjadi landasan dalam membina kerukunan hidup secara internal
antara lain adalah:
a)
Mendahulukan Prinsip Persamaan
Aspek terpenting yang menyatukan bangsa dan
masyarakat Indonesia dalam dimensi hidupnya yang tertinggi adalah keimanan dan
ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kemudian adalah sikap implementasi dari
sikap kemanusiaan yang adil dan beradab. Kedua aspek sikap ini dapat difahami,
dihayati dan diamalkan akan menghasilkan persahabatan, persaudaraan, saling
menghargai, saling menolong dan saling mendukung.
Walaupun demikian, fitrah manusia adalah
berbeda (berselisih) antara satu dengan yang lain, namun yang terpenting adalah
adanya keinginan yang besar untuk rukun kembali. Persoalan menjadi rumit jika
seseorang itu beragama, tetapi tidak memiliki hubungan vertikal (iman) kepada
Tuhan yang baik. Maka yang terjadi ia akan melakukan tindakan keji, suka
merendahkan orang lain, suka memfitnah, egois, tidak fair, pembohong, penebar
kebencian, suka menjelekkan keyakinan orang lain dan sebagainya. Orang seperti
ini ternyata dianggap tokoh di masyarakat dan memiliki pengikut. Maka, yang
ideal adalah yang beragama dan beriman. Kelompok pertama dapat dikatakan lebih
banyak jumlahnya daripada kelompok yang kedua.
Dengan
mengedepankan prinsip-prinsip persamaan dan tidak memperhatikan/
mengenyampingkan segala perbedaan niscaya kemajuan akan dapat diraih
bersama-sama. Masing-masing menyadari dan secara bersama-sama memperlihatkan
dan menyebarkan nilai-nilai ajaran agama dan tidak mentolerir berbagai bentuk
permusuhan dan aksi kekerasan.
b)
Menanamkan kesadaran sebagai makhluk sosial
Tak
satu pun manusia yang benar-benar sama dengan yang lainnya, justru karena
itulah kehidupan itu menjadi lebih berwarna. Perbedaan antara satu manusia
dengan yang lainnya, pada akhirnya memunculkan keindahan sendiri dalam kehidupan bermasyarakat.
Menyadari
begitu pentingnya warna kehidupan. Idealnya manusia harus belajar menghargai
perbedaan yang ada, karena hanya jalan seperti itulah harmoni kehidupan
bermasyarakat, plus warna dari keanekaragaman akan benar-benar terjaga. Manusia
juga semestinya mengerti, sepenting rasa butuhnya pada orang lain, sepenting itu menumbuhkan perasaan aman dalam kebersamaan hidup.
Karena dirinya tidak bisa hidup tanpa eksistensi orang lain, maka menjaga
eksistensi orang lain agar tetap mengada menjadi salah satu
kebutuhan utamanya. Namun disayangkan, keserakahan, ambisi, juga keinginan
mendapatkan lebih yang ada pada diri manusia seringkali melupakan diri akan
kebutuhan sesungguhnya dari yang hidup. Ia lupa kalau kehidupan sesungguhnya
tak mungkin dijalani sendirian. Bukannya saling menjaga dan mengasihi,
sebaliknya, saling berebut dan saling meniadakan yang pada akhirnya merampas
kedamaian hidup itu sendiri.
Kenyataan
semacam ini terjadi karena manusia lebih sering dikuasai nafsu dari pada akal
sehatnya, sebagaimana mafhum diketahui, dalam diri manusia terdapat dua
kekuatan yang berlawanan dan saling menguasai sesamanya, dua kekuatan tersebut
adalah nafsu dan akal. Nafsu (keinginan dan kemarahan) adalah potensi yang
cenderung mendorong manusia ke arah keburukan dan kejahatan yang dapat merusak
kehormatan, merampas hak serta menimbulkan pertumpahan darah. Sedangkan akal
adalah potensi yang dapat digunakan untuk mengetahui yang baik dan buruk.
Karena akal dapat mendorong kepada tindakan jujur dan adil, sehingga bermanfaat
bagi pembinaan masyarakat, perbaikan sarana dan kesejahteraan mereka. Bila
nafsu dan amarah menguasai kekuatan akal, maka manusia akan merugi, namun bagi
mereka yang beriman, beramal saleh dan saling menasehati dalam menaati
kebenaran dan berlaku sabar, maka kekuatan nafsu dan amarah itu tidak akan
mampu mempengaruhinya.
Belakangan,
kalangan yang sadar akan pentingnya menjaga harmoni dalam kebersamaan hidup
mulai merumuskan undang-undang atau semacam aturan sebagai upaya pencegahan
atas nafsu serakah manusia yang sering tak terkendali itu. Meskipun untuk hal
ini, para filosof, sosiolog juga ahli hikmah telah turun tangan, namun tetap
saja pada kenyataannya undang-undang atau aturan-aturan yang mereka buat, tak
sepi dari kelemahan, karena tidak abadi, tidak universal, serta tidak tidak
dapat memenuhi kebutuhan dalam segala situasi dan kondisi. Kelemahan itu telah
menunjukkan betapa terbatasnya kemampuan akal manusia sebagai penyusunnya.
Siapapun
orangnya, tidak pandang bulu, laki-laki maupun perempuan, kaya maupun yang
miskin, orang timur atau barat, kulit hitam maupun putih pastilah mendambakan
hidup dalam kedamaian. Bisa dikatakan bahwa perdamaian adalah salah satu
kebutuhan manusia yang harus dipenuhi. Sifat dasar manusia tidaklah nyaman
berada di dalam suasana pertikaian, tidak pula merasa tentram dalam suasana rusuh. Tidak suka dimusuhi, dan rindu akan ketentraman. Inilah mengapa
perdamaian menjadi suatu kebutuhan.
Agama
sangat memahami apa yang diinginkan oleh umat manusia, karena itu persoalan
perdamaian menjadi porsi penting dalam ajaran agama. Untuk mewujudkan
perdamaian, manusia harus disadarkan adanya perbedaan-perbedaan yang tak
mungkin dihindari. Perbedaan adalah sesuatu yang alamiah, sesuatu yang kodrati
dan tidak mungkin ditiadakan. Peniadaan hanya akan memunculkan konflik. Konflik
inilah yang menjadi ancaman besar bagi perdamaian. Dalam ajaran agama hindu
dikatakan: "Semoga bumi yang memberi tempat kepada penduduk yang berbicara
berbeda-beda bahasa, berbeda tatacara, agama menurut tempat tinggalnya, memperkaya
hamba dengan ribuan pahala, laksana lembu menyusui anak-anaknya tak pernah
kekurangan.
Kemunculan
konflik sesungguhnya bermula dari ketidakmampuan seseorang menerima sesuatu
yang berbeda dengan dirinya. Perbedaan tersebut bermacam-macam, bisa karena
perbedaan warna kulit, asal suku dan golongan, juga adat dan kebiasaan. Ada
orang-orang yang berkehendak membuat semua orang seperti dirinya, karenanya
jika ada oranglain yang berbeda ia pun lantas memerangi, disinilah terjadinya
konflik.
Agama
jelas menolak itu, perbedaan bukanlah kehendak manusia, upaya menjadikan semua
orang sama adalah perbuatan sia-sia bahkan mengancam sisi kemanusiaan itu
sendiri. Di dalam agama Islam gagasan tentang perdamaian merupakan pemikiran
yang sangat mendasar dan mendalam karena berkaitan dengan watak agama Islam.
Semua tatanan Islam bertitik tolak dari pemikiran tersebut. Semua pengarahan
dan penetapan hukum Islam bertemu dengan pemikiran tersebut. "Hai manusia,
Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi
Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat/49: 13).
Dengan
firman tersebut Allah menghilangkan sebab-sebab yang memungkinkan terjadinya
pemusuhan. Perbedaan ras, suku, bangsa dan bahasa serta budaya, sama sekali
tidak dapat dijadikan alasan untuk menghadirkan konflik. Dalam ayat di atas
telah jelas bahwa jaminan Allah mengarahkan manusia untuk saling mengenal dan
hidup rukun bukan saling membunuh dan saling bertentangan.
Islam
menegakkan Perdamaian untuk kepentingan semua. Bahkan penyebutan kata
"Islam" sendiri mengisyaratkan bahwa esensi dari agama ini adalah
kedamaian. Kata Islam adalah variant dari akar kerja Arab S(sin) L(lam) M(mim) yang juga melahirkan kata salam artinya damai.
Pada saat yang sama kata ini didefinisikan berkait dengan keutuhan, kesehatan,
kesejahteraan dan kebaikan. Dalam konteks tertentu salam sangat mirip dengan
konsep Kristen tentang keselamatan.
Demi
terwujudnya perdamiaan di muka bumi ini, agama tidak hanya mengajak pemeluknya
menerima perbedaan-perbedaan ras, adat dan warna kulit belaka.
c)
Menjadikan perbedaan sebagai potensi positif
untuk saling mengisi
Dalam kehidupan sehari-hari, kita selalu
bersinggungan dengan perbedaan. Perbedaan seringkali menjadi pemicu masalah yang berlanjut menjadi konflik bila kita memahami, mengatasi dan
menyikapinya dengan cara yang tidak tepat. Secara hakikat, manusia itu sama, tetapi tak pernah
ada manusia yang benar-benar sama dalam segala hal. Kemiripan wajah, kesamaan
hobi, bahkan ikatan batin dan pertautan rasa yang kuat pun tidak menjadikan kita
sama dengan mereka atau aku adalah
dia dan kamu adalah saya. Kita berbeda dan memiliki perbedaan karena perbedaan adalah harmoni yang membuat hidup kita lebih berarti. Di dalam perbedaan, tersimpan arti yang pantas untuk dimengerti. Dengan perbedaan, kita mampu merasakan makna kebersamaan, sehingga kita bisa memahami bahwa perbedaan adalah alasan
untuk sebuah pengertian.
Perbedaan merupakan keadaan, sifat dan
karakter yang diciptakan Tuhan dengan tujuan agar manusia saling mengenal, berinteraksi, saling
memahami dan memberi manfaat satu sama lain. Memahami dan menyikapi perbedaan dan memang bergantung
kepada cara pandang kita terhadap perbedaan tersebut. Jika kita memandangnya sebagai
sebuah ancaman, maka perbedaan akan menjadi masalah yang sulit diatasi. Namun, jika perbedaan dipandang sebagia fitrah kemanusiaan dan
anugerah Yang Maha Sempurna, maka perbedaan itu akan terasa indah mewarnai hidup kita. Cara pandang
kita terhadap perbedaan sangat menentukan terhadap cara kita meyikapinya dan mengatasinya. Karena itu, pengertian merupakan hal yang penting untuk kita miliki
dan kita terapkan dalam memahami, menyikapi dan mengelola perbedaan.
Pengertian merupakan refleksi dan realisasi
kesadaran akan fakta nyata kehidupan yang tidak selalu sama dan tidak pernah sempurna. Di dalam pengertian ada ketulusan, kesiapan dan ketegaran untuk
menerima kekurangan juga mensyukuri kelebihan diri sendiri maupun orang lain.
Pengertian merupakan tindak lanjut dari rasa menghargai. Dengan menghargai kita
bisa mengerti dan menerima, sehingga pengertian menjadi sikap utama yang dapat
membuat kita bertahan dan menikmati perbedaan sebagai sebuah warna kehidupan. Tanpa pengertian, kita tak akan bisa
hidup berdampingan dengan tentram, nyaman dan damai dalam perbedaan.
Pengertian merupakan sebuah proses mengerti
dan memahami, sehingga bisa kita latih, kita tumbuhkan dalam diri kita dan kita
manfaatkan untuk hidup kita. Ada beberapa hal yang dapat kita jadikan pembiasaan
sehubungan dengan melatih pengertian dan menyikapi perbedaan.
·
Pertama, mengembangkan cara berpikir positif dan menghindari dominasi prasangka. Orang yang
bersikap dan berdasarkan prasangka semata tidak akan bisa memandang positif
kehidupan dan segala perbedaan yang dihadapinya, sehingga cenderung pesimis dan
menganggap perbedaan sebagai sebuah ancaman yang bisa menyerang kita sewaktu-waktu. Karena
itu, berpikir positif akan menumbuhkan sikap dan tindakan positif juga menentramkan perasaan.
·
Kedua, hindari sikap menonjolkan diri dan merendahkan orang lain. Tempatkanlah sesuatu pada
tempatnya dan sesuai porsinya. Hal ini merupakan realisasi dari bersikap dan
bertindak adil. Bersikap wajar dan bertindak benar merupakan cara tepat
menyikapi perbedaan.
·
Ketiga, senantiasa mengoreksi dan introspeksi diri, serta tidak cepat
menghakimi orang lain. Telusuri kebenaran sebuah informasi secara objektif, serta biasakan untuk tidak
cepat menjustifikasi sebelum kita melakukan verifikasi kebenaran sesuatu. Hal
ini merupakan langkah antisipatif terhadap informasi provokatif yang akan
menjadikan perbedaan sebagai jalan perpecahan. Koreksi diri akan membuat kita senantiasa
tenang dan tegar menghadapi masalah, termasuk perbedaan.
·
Keempat, meningkatkan kepekaan diri terhadap orang lain dan lingkungan kita
karena kepekaan akan membuat kita peduli terhadap keadaan di sekeliling kita.
Kepekaan dan kepedulian ini akan melahirkan penghargaan dan pengertian kita
akan perbedaan.
·
Kelima, bersikap sabar, tulus, toleran dan tegas. Sikap-sikap seperti itu merupakan esensi dari pengertian dalam menyikapi perbedaan. Tegas tidak identik dengan keras, tetapi mampu menempatkan kebenaran pada porsinya.
Kelima langkah tersebut merupakan langkah
yang bisa terus kita latih dalam keseharian kita untuk lebih meningkatkan pengertian, memahami arti perbedaan dan menyikapinya dengan tepat. Perbedaan bisa kita manfaatkan sebagai energi untuk mengerti dan kita jadikan potensi untuk memaksimalkan kemampuan kita memahami orang lain. Insya Allah. Saya, Anda dan kita semua memang tidak bisa menghindari perbedaan yang
sering kali menimbulkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Namun, paling tidak dengan menanamkan
pengertian dalam diri kita, kita telah membiasakan diri menyikapi perbedaan, serta berupaya untuk menciptakan kerukunan dan ketenteraman di atas
perbedaan itu.
d)
Meningkatkan kesadaran ukhuwah islamiyah
Dalam rangka peningkatan dan pengembangan
kesadaran ukhuwah islamiyah, diperlukan sikap-sikap dasar yang dapat
mengkondisikan tumbuhnya budaya ukhuwah seperti sikap sabar, lapang dada,
terbuka, maupun mengakui kebenaran dan kebesaran dari manapun datangnya, juga
tidak memaksakan keseragaman yang tidak atau belum diterima pihak lain, tidak
menilai perbedaan pendapat sebagai permusuhan tetapi lebih mengutamakan
kesamaan yang ada dari perbedaannya.
Upaya-upaya pendekatan lebih lanjut memang
masih perlu disempurnakan. Masih cukup banyak jalan yang dapat ditempuh asal
ada kemauan yang sungguh-sungguh dan penuh keikhlasan. Generasi Islam
kontemporer tampaknya lebih memberi harapan untuk mewujudkan peningkatan ukhuwah
tersebut, karena danya kondisi internal yang dimiliki, seperti sikap yang lebih
rasional dan cosmopolitan, tidak menanggung sentimen kesejarahan, mempunyai
kesamaan dan kebutuhan cultural yang lebih besar, mempunyai sarana komunikasi
dan jalur interaksi social yang lebih luas serta mempunyai wawasan keagamaan
yang lebih terbuka.
Kesemuanya itu masih didukung lagi dengan
kondisi eksternal seperti dorongan pemerintah untuk mengembangkan ukhuwah islamiyah.
Sebab gambaran kelabu hubungan internasional dunia Islam seperti kasus
Iran-Irak dan lainnya memberikan pelajaran berharga bagi umat Islam untuk lebih
mawas diri dalam menjalani kehidupan ini. (Thalhah Hasan, 2001: 63-65)
Tujuan
kerjasama dalam mengaktualisasikan nilai nilai toleransi itu antara lain:
1.
Mewujudkan masyarakat yang rukun dan sadar
kemajemukan, sehingga tertanam kesadaran pada seluruh lembaga dan organisasi
sosial maupun politik terutama di daerah daerah yang rawan konflik perlunya
bekerjasama untuk menciptakan lingkungan yang kondusif dan membangun daerahnya
bagi kepentingan masyarakat.
2.
Menciptakan situasi dan kondisi masyarakat
yang selalu waspada terhadap berbagai kemungkinan yang menyebabkan pecahnya
konflik terutama yang bersifat SARA. Adapun metode ataupun cara cara yang dapat
digunakan dalam strategi ini di antaranya dengan edukasi (sebagai salah
satu upaya preventif), dialog dan rekonsiliasi.
Hal lain yang tidak kalah pentingnya dan
patut untuk menjadi perhatian selanjutnya adalah bagaimana menyikapi perbedaan
agama. Kerukunan hidup antarumat beragama juga menjadi signifikan dalam
kehidupan masyarakat yang heterogen. Apalagi dengan melihat dan menyadari
realitas keharmonisan hidup antarumat beragama yang belakangan ini mulai redup.
Dalam beberapa kasus, persinggungan kecil yang muncul di tengah masyarakat
selalu dapat menjadi pemicu meledaknya konflik dalam skala yang lebih besar.
Realitas yang terjadi di Ambon, Poso, Sampit, dan beberapa wilayah lain yang
mungkin tidak terpublikasikan, patut menjadi pelajaran bagi bangsa besar ini.
Beberapa alternatif solusi yang dapat
ditempuh untuk meretas dan meminimalisir munculnya kembali konflik horizontal
antarumat beragama antara lain:
1) Perlunya pemahaman dan penerimaan
multikulturalisme secara realistis.
2) Langkah pembauran dan integrasi semua etnis
dalam kehidupan masyarakat.
3) Me-manage
berbagai perbedaan dalam masyarakat Indonesia yang pluralistik menjadi potensi
dalam pembangunan bangsa.
4) Peningkatan kemampuan memahami dan
mengkomunikasikan ajaran agama dengan arif.
5) Pentingnya sikap keteladanan para pemimpin
agama dalam berinteraksi dengan kaum agama lain.
Dengan demikian, untuk meminimalisasi dan
mengeliminasi konflik sosial, pendekatan represif atau keamanan tidaklah tepat.
Kini lebih diperlukan pendekatan pemecahan masalah, yang melihat konflik dari
berbagai aspeknya, termasuk latar belakangnya, issue sentralnya, dan
sebagainya. Pendekatan multikultural merupakan salah satu alternatif yang dapat
dimanfaatkan guna mengeliminasi setidak-tidaknya mengurangi konflik sosial yang
sering muncul selama ini.
Pemahaman terhadap ajaran Islam adalah
pemahaman yang terbuka, yang karena keterbukaannya itu ia bersikap inklusif
dan benar benar mampu menjadi rahmat bagi seluruh alam. Islam harus merupakan
kebahagiaan bagi setiap orang bahkan untuk setiap makhluk.
Artikulasi
keberagamaan seperti itu akan terwujud dalam kehidupan umat beragama yang
saling mengakui, saling menghormati, dan bahkan saling bekerjasama antar
penganut-penganut agama yang tumbuh dan berkembang di Indonesia. Hal itu
kemudian akan dapat diwujudkan dalam beberapa bentuk sebagai berikut:
a.
Sikap saling mengakui
dan menyadari pluralitas
b.
Sikap saling menghormati
(toleransi)
c.
Sikap saling bekerjasama
(resiprokal)
C. Penutup
Sebaik
baik agama di sisi Allah swt, ialah semangat mencari kebenaran yang lapang,
tidak sempit, toleran, demokratis, tanpa kefanatikan dan tidak membelenggu
jiwa. Sebab itu Islam harus dipahami sebagai ajaran dan cita cita, yang intinya
ialah sikap hidup yang baik dan berserah diri kepada Tuhan Yang Maka Kuasa.
Islam adalah sebuah ide, sebuah cita-cita kemanusiaan yang universal.
Dari
uraian yang telah dipaparkan, maka beberapa pokok pikiran yang dapat menjadi
kesimpulan dari penelitian ini, yaitu:
1.
Sikap toleran
adalah menjadi hal yang mutlak dalam kehidupan masyarakat yang majemuk.
2.
Pendekatan agama
sangat diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat, karena agama dapat berfungsi
sebagai fondasi dan pembekal kekuatan masyarakat untuk menegakkan nilai nilai
etis dalam memproses tumbuhnya toleransi. Agama yang sebenar benarnya agama
adalah agama yang sesuai dengan sunnatullah. Oleh karena itu, Islam
berprinsip: tidak ada paksaan dalam agama dan menjunjung nilai nilai toleransi.
3.
Bahwa Islam
sangat menganjurkan kepada manusia untuk saling menghargai, menghormati,
membangun sikap toleran dalam menyelesaikan permasalahan dan aktifitas
kehidupan dalam bermasyarakat.
Pada akhirnya, memahami substansi ajaran
Islam yang rahmatan lil a’lamin
dengan niat menemukan kebenaran dan persinggungan rabbani (ketuhanan) mutlak dilakukan dengan saling membuka diri dan
membuka hati agar tidak salah tafsir dalam memahami ajaran Islam dari berbagai
perspektif.
Dalam
kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk, membangun sikap toleran, rukun,
bekerjasama dan penuh persaudaraan dalam pandangan Islam adalah sesuatu yang
sangat penting bahkan wajib diwujudkan. Dengan cara seperti itu aspek
kemajemukan dari masyarakat Indonesia akan menjadi sumber potensi yang sangat
kuat dalam mencapai kebahagiaan, kesejahteraan dan kemakmuran dari bangsa dan
negara kita yang tercinta ini. Dalam pandangan Islam hal ini lebih dikenal
dengan “Baldatun Thayyibatun Warabbun Ghafur”.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Ghafur, Waryono. Tafsir Sosial, Yogyakarta: Elsaq Press, 2005.
Arifin Abbas, Zaenal. Perkembangan Pikiran Terhadap
Agama, Jakarta: Pustaka
Husna, 1984.
Azra, Azyumardi. Konteks Berteologi di
Indonesia Pengalaman Islam, Jakarta: Paramadina, 1999.
Efendi, Djohan. Merajut Kedewasaan Beragama, dalam Agama di Tengah
Kemelut,
Komaruddin Hidayat et. all, Jakarta: Mediaciita, 2001.
Lardner Carmody, Dennis. In The Path of Master, Tri Budi Sastrio, (penj.) Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2003.
Le Gai Eaton, Charles. Remembering God Reflections, penj, Burhan Wirasubrata,
Jakarta: Cendekia sentra Muslim, 2002.
M. Noor, Hasan. Keteduhan Batin, dalam Agama di Tengah
Kemelut,
Komaruddin Hidayat et. all, Jakarta: Mediacita, 2001.
Muchtar, Aflatun. Tunduk Kepada Allah, Jakarta: Khazanah Baru, 2001.
Qutub, Sayyid. Islam dan Perdamaiaan Dunia, Jakarta: Pustaka Firdaus,
1987.
Rahmat, Jalaluddin. Islam Alternatif, Bandung: Mizan, 1991.
Shihab, Umar. “Ketulusan
Beragama”, dalam Agama Di tengah Kemelut, Komaruddin Hidayat et. all, Jakarta: Mediacita,
2001.
Tholkhah, Hasan. Mewaspadai dan Mencegah Konflik Antar
Umat Bergama. Departemen Agama, 2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar