Selasa, 07 Januari 2014

Teknik Interpretasi Hadis



TEKNIK INTERPRETASI HADIS
KITAB SAHIH MUSLIM BI SYARH AL-NAWAWI
(Studi Kasus Kitab al- Shayd wa al-Zaba’ih)
Oleh: St. Rahmah

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
          Jumlah kitab hadis yang telah disusun oleh ulama periwayat hadis cukup banyak. Untuk memastikan jumlahnya sangat sulit, hal ini disebkan  Mukharrij al-Hadis (ulama yang mentakhrij hadis) dan sekaligus melakukan penghimpunan hadis jumlah sangat banyak. Bahkan jumlah kitab hadis melebihi kuantitas pengarang  atau penulis kitab hadis, karena terkadang seorang penulis kitab hadis menulis lebih dari satu kitab hadis.[1]

          Metode penyusunan berbagai kitab hadis ternyata tidak seragam. Beragamnya metode penyusunan kitab hadis tersebut merupakan hal yang logis. Sebab yang  menjadi stressing dalam kegiatan penulisan itu, bukanlah metode penyusunannya, melainkan penghimpunannya.
          Mukharrijun tersebut memiliki metode sendiri-sendiri, baik dalam penyusunannya (sistemik, topik-topik) yang dikemukakan dan kriteria kualitas hadis masing-masing kitab hadis tersebut, ditinjau dari segi kualitasnya, ulama membuat tingkatan-tingkatan. Dengan demikian, muncullah istilah-istilah al-Kutub al-Khamsah, al-Kutub al-Sittah,  dan al-Kutub al-Sab’ah.[2]
          Dari kriteria hadis yang tidak sama, konsekuensinya adalah hadis yang dihimpun relatif berbeda dari segi kualitasnya. Hal ini dapat dilihat dari beberapa aspek, baik yang menyangkut aspek kepribadian, aspek kapasitas intelektual, kriteria periwayatan, teknik periwaytan maupun yang menyangkut teknik penyusunannya.
          Setelah kitab-kitab hadis tersebut utuh dalam sebuah kitab, maka kemudian ulama  menghadapkan perhatiannya untuk men-syarah kitab-kitab hadis tersebut . dalam men-syarah-nya mereka memiliki teknik yang terkadang banyak memiliki unsur kesamaan (namun tidak persis sama), yang menjadi sentral dalam pembahasan ini adalah teknik dan interpretasi kitab al-Shayd wa al-Zaba’ih dari kitab Shahih Muslim yang di-syarah oleh imam al-Nawawi.

PEMBAHASAN


A. Biografi Singkat  Imam Muslim

          Dari beberapa literatur yang mengungkap biografi imam Muslim, bahwa ia adalah Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairy al-Naisabury. Beliau dilahirkan pada tahun 202 H/817 M. Sejak kecil ia menekuni ilmu-ilmu agama Islam, terutama di bidang ilmu Hadis. Beliau menerima Hadis dari guru-guru negerinya. Kemudian beliau mengadakan perlawatan dalam rangka mencari ilmu. Berkali-kali beliau datang ke Baghdad dan menemui sebagian besar imam-imam Hadis dalam perlawatannya ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir[3] dan lain-lain. Selain itu, tentang kelahiran imam Muslim ditemukan adanya perbedaan antara yang tertulis di atas dengan yang ditulis oleh Hasby al-Shiddieqy, bahwa Muslim dilahirkan pada tahun 204 H.[4]
          Keuletan dan ketekunan imam Hadis ini dalam mengkaji ilmu-ilmu serta kepribadian mulia yang melembaga dalam dirinya, mengantarnya menjadi ulama besar yang memiliki popularitas tinggi dalam dunia Hadis. Popularitasnya terbukti ketika ia menunjukkan keuletannya men-takhrij sampai ribuan Hadis dalm sebuah kitab Hadis “al-Jami’ al-Shahih Muslim”. Selanjutnya kitab hadis tersebut menjadi rujukan utama di kalangan pengkaji Hadis generasi setelahnya hingga sekarang dan sangat boleh jadi sampai yang akan datang.
Namun satu hal yang secara objektif harus diakui bahwa kebesaran dan prestasi yang diraihnya tidak lepas dari kontribusi imam sebelumnya, seperti imam al-Bukhary. Upaya imam Muslim di satu sisi memang menentukan kebesarannya karena usahanya yang real dalam menekuni ilmu Hadis. Hal ini mewarnai seluruh aktivitasnya yang berlangsung hingga ia wafat pada tanggal 27 Rajab 261 H/875 M, di kampung Nashr Abad, salah satu kampung di Naisabur. Beliau mewariskan 20 karya di bidang Hadis dan beberapa ilmu lainnya.[5] Muslim menyaring kitabnya dari sejumlah 300.000 Hadis yang menghabiskan waktu penyaringan 15 tahun.[6]

B. Biografi Imam al-Nawawy

          Imam al-Nawawi adalah salah seorang ulama yang produktif dalam hal mengarang kitab, nama lengkapnya adalah Abu Zakaria Yahya bin Syarf bin Mariy al-Hizamy al-Nawawy[7] yang populer disebut al-Nawawy, di samping sebagai ulama yang zuhud  ia juga sebagai penyusun kitab. Karena pengetahuannya tentang agama Islam dan karangannya mampu menghidupkan ajaran Islam dalam masyarakat di zaman berikutnya sehingga beliau diberi gelar “Syaikh al-Islam”[8]
          Imam al-Nawawi lahir di Nawa, Damaskus pada bulan Muharram 631 H/Oktober 1233 M dan meninggal dunia pada usia 45 tahun. Pada usia 19 tahun ia belajar di sekolah “al-Rawahiyah” di Damaskus dan beliau sangat tekun dalam mencari ilmu pengetahuan. Selama 20 tahun ia menuntut ilmu ia dapat menguasai beberapa disiplin ilmu agama seperti: ilmu Hadis dan Ulum al-Hadis, Fiqh dan Ushul Fiqh serta bahasa.[9] 
Ulama mengakui keahlian imam al-Nawawi di bidang hadis, bukan hanya ia mampu menghafal ratusan ribu hadis lengkap dengan matan (materi) dan rangkaian para perawi, akan tetapi ia juga berkemampuan untuk meneliti dan mengetahui seluk-beluk kualitas hadis dan yang berhubungan dengannya.
Dari kedalaman dan keluasan ilmu yang dikuasainya dapat dilihat lewat tulisan-tulisan yang disusunnya sejak usia 25 tahun hingga ia wafat,  antara lain: [10]
1.   Syarah Hadis karya al-Daruquthny
2.   al-Raudhah, al-Majmu’ (Syarah al-Muhazzah)
3.   al-Tibyan fii Adab Hamlan Al-Qur’an
4.   Tahrir al-Tanbih
5.   al-Umdah fii Tahsih al-Niyyah
6.   Tahzib al-Asma’ wa al-Lughah
7.   Syarah Shahih Muslim
8.   Khulasah fii al-Hadis
9.   al-Isyarah ila al-Mubehamat
10.        al-Irsyad
11.        Ulum al-Hadis
12.        al-Taqrik wa al-Taisih li Ma’rifatih (Sunan al-Nayir al-Nazir)
13.        al-Minhaj fii Syarh Shahih Muslim
14.        al-Arba’in
15.        Riyadh al-Shalihin
16.        al-Fatwah
17.        al-Idah fii al-Manasikh
18.        al-Azkar
Dari sejarah imam al-Nawawi tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa tingkat intelegensi dan semangat besar yang dimilikinya, sehingga wajar jika beliau dikenal sebagai ahli dalam bidang ilmu hadis dan ilmu-ilmu lainnya, dan pada akhirnya beliau menjadi ulama yang memiliki karya yang banyak dalam hal menambah khazanah intelektual umat Islam.

C. Gambaran tentang Kitab al-Shayd wa al-Ziba’ih

          Syarah Shahih Muslim merupakan hasil karya imaam al-Nawawi yang menggunakan metode tematik. Kitab al-Shayd wa al-Zaba’ih merupakan salah satu pemilahan yang di-syarah imam al-Nawawi dati kitab Shahih Muslim.
          Dalam kitab tersebut ditemukan kurang lebih 60 matan Hadis yang terdiri dari 12 bab, yaitu:
1.       Bab tentang perburuan dengan anjing piarahan, memuat 8 hadis.
2.       Bab tentang kehilangan hasil burun lalu ditemukan, memuat 3 hadis.
3.       Bab tetang pengharaman memakan setiap binatang buas yang bertaring, memuat 5 hadis.
4.       Bab tentang pembolehan bangkai laut, memuat 5 hadis.
5.       Bab tentang keharaman memakan daging Himar, memuat 14 hadis.
6.       Bab tentang pembolehan memakan daging Kuda, memuat 3 hadis.
7.       Bab tentang kebolehan memakan Biawak, memuat 13 hadis.
8.       Bab tentang kebolehan memakan Belalang, memuat 1 hadis.
9.       Bab tentang kebolehan memakan kelinci, memuat 1 hadis.
10.    Bab tentang kebolehan menggunakan alat bantu dalam berburu, memuat 3 hadis.
11.    Bab tentang perintah tata cara memperbaiki penyembelihan dan peruncingan mata pisau, memuat 1 hadis.
12.    Bab tentang pelarangan mengurung binatang lalu dibunuh, memuat 4 hadis.

D. Metode, Pendekatan, dan Teknik Interpretasi dalam kitab al-Shayd wa al-Zaba’ih
          Untuk tidak mengacaukan makna dari metode, pendekatan dan teknik interpretasi, maka akan dijelaskan pengertian masing-masing, yaitu:
1.   Metode adalah cara yang teratur dan sistematis untuk pelaksanaan sesuatu, cara kerja.[11]
2.   Pendekatan adalah proses, perbuatan, cara mendekati, dapat pula berarti usaha dalam rangka aktivitas penelitian untuk mengadakan hubungan dengan objek yang diteliti atau metode-metode untuk mencapai pengertian tentang masalah penelitian.[12]
3.   Teknik interpretasi adalah hasil dari metode yang selalu konsisten dengan pendekatan.[13]

E. Pendekatan yang Digunakan dalam Syarh kitab al-Shayd wa al-Zaba’ih
1. Pendekatan Linguistik
          Pendekatan linguistik ini menggunakan kaedah-kaedah kebahasaan. menggunakan pendekatan linguistik dalam memahami suatu nash merupakan hal yang sangat penting.
          Dalam kitab al-Shatd wa al-Zaba’ih antara lain misalnya dalam bab tentang ”Perintah berbuat baik kepada binatang sembelihan dan penajaman alat pemotong”. Yaitu:
ان الله كتب الإحسان على كل شئ, فإذا قتلتم فأحسنو القتلة, وإذا  أذبحتم فأحسنو الذبح و اليحد احدكم  سفتة فيرح ذبيحته [14]
          Hadis yang menerangkan tentang (bagaimana) menyembelih hewan, imam al-nawawi menguraikan dengan menggunakan analisis kebahasaan dengan mengemukakan perbedaan antara القتلة dengan الذيح . Kedua term ini digunakan di satu sisi sama, yakni keduanya berarti mematikan. Di lain sisi, keduanya mengandung makna yang berbeda. Oleh imam al-Nawawi,   term القتلة dalam hadis tersebut mengandung makna mematikan hewan yang lain, sementara term الذيح dalam hadis tersebut mengandung makna upaya mematikan hewan jinak.
          Dapat dipahami bahwa  perbedaan mendasar dari keduanya terletak pada jenis binatang berdasarkan sifatnya (liar atau jinak).
     2. Pendekatan Teolologis
          Pendekatan ini ditempuh dengan cara mengemukakan kaedah-kaedah fiqhi[15] atau membandingkan pendapat-pendapat ulama yang secara garis besarnya menghendaki terwujudnya kebahagiaan, kesejahteraan dan kedamaian manusia.
          Pendekatan ini diterapkan ketika an-Nawawi mensyarah hadis tentang keharaman memakan binatang yang mempunyai taring dan semua burung yang mempunya kuku.
          Hadis ini merupakan dalil bagi mazhab Syafi’I, Abu Hanifah, Ahmad, Daud dan jumhur ulama untuk mengharamkan memakan binatang yang memiliki taring dan semua burung yang memiliki kuku. Namun Malik hanya memakruhkan dan tidak mengharamkannya  dengan berdalil ayat.
Menurut para sahabat, bahwa ayat yang dikemukakan di atas tidak lain hanyalah pemberitahuan bahwa pada waktu itu belum ditemukan sesuatu yang diharamkan kecuali yang tersebut pada ayat di atas, lalu kemudian diwahyukanlah pengharaman setiap binatang yang memiliki taring dan burung yang memiliki kuku, maka wajiblah diterima dan diamalkan. Demikianlah an-Nawawi menggunakan pendekatan teolologis dalam mensyarah hadis shahih muslim.
     3. Pendekatan Sains
          Pendekatan sains adalah pendekatan yang menggunakan berbagai disiplin ilmu pengetahuan misalnya; sosiologi, psikologi, kedokteran, kesehatan dan sebagainya. An-Nawawi dalam syarah beliau mengunakan pendekatan kesehatan, misalnya ketika beliau mengomentari hadis tentang daging yang berbau busuk.
          Hadis ini menjelaskan pelarangan terhadap daging busuk untuk dikonsumsi, akan tetapi tidak sampai pada pengharaman hanya merupakan larangan yang bersifat tanzih. Menurut an-Nawawi memakannya adalah suatu kebolehan kecuali jika ada rasa khawatir terhadap bahaya yang akan ditimbulkan terhadap kesehatan.[16]
     4. Pendekatan Integral
          Pendekatan  integral adalah pendekatan yang menyatukan berbagai pendapat ulama untuk menyelesaikan berbagai kontroversi antara hadis, sehingga dengan demikian akan ditemukan penyelesaian apakah itu al-jam’u, al-nasikh wa al-mansukh, atau tarjih.[17]
          Pendekatan ini dapat ditemukan ketika an-Nawawi mensyarah hadis tentang kebolehan memakan daging Kuda. Namun para ulama berbeda pendapat atas kebolehannya. Dalam hal ini mazhab syafi’i, jumhur dari kelompok ulama salaf dan ulama khalaf membolehkannya dan tidak memakruhkannya. Sementara yang lainnya seperti Ibnu Abbas, al-Hakim, Malik dan Abu Hanifah memakruhkannya.
          Dari hadis di atas, para ulama ahli hadis dan lainnya bersepakat bahwa hadis tersebut dhaif dan sebahagiannya mengatakan mansukh, diriwayatkan oleh al-Darulqutny dan al-Baihaqy dari Musa ibn Harun bahwa hadis tersebut dhaif, demikian pula Abu Daud memansuhkkan hadis tersebut, menurut Imam an-Nawawi dalam syarahnya adalah karena adanya masalah pada sanadnya.  Al-Bukhari   berpendapat  bahwa  didalam hadis tersebut


terdapat nadzhar.[18] Sehingga dalam syarahnya mengatakan bahwa jumhur bersepakat pada hadis tentang kebolehannya sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan yang lainnya adalah shahih.
     5. Pendekatan Historis
          Pendekatan historis adalah pendekatan yang mengedepankan data sejarah, data itu baik berupa asbabul wurud maupun keadaan para sanadnya.. Dalam kitab ash-shaid wa al-zabaaih an-Nawawi menerapkan metode ini dalam mensyarah hadis tentang kebolehan memakan daging Kuda.
قوله: ان رسول الله صم نهي عن لحوم الحمر  الاهلية, وادن فى لحوم الخيل.
          Dari hadis di atas, terdapat kontroversi dikalangan ulama, ada yang membolehkan dan ada pula yang tidak. Walaupun pada akhirnya ulama dari Imam-imam hadis bersepakat atas kedhaifan hadis yang melarang memakan daging kuda.
عن خا لدابن وليد: {نهي رسول الله صم عن لحوم الخيل والبغا ل والحميروكل دي ناب من السباع.}  رواه ابوداود وانساء.
          Dengan mengetengahkan pendapat Musa ibnu Harun, Imam an-Nawawi mensyarah hadis tersebut dengan menggunakan pendekatan historis, dimana Musa ibnu Harun menyatakan bahwa dalam sanad hadis tersebut terdapat shalih Ibn Yahya dan bapaknya yang tidak terkenal. Demikianlah an-Nawawi mensyarah kitab shahih Muslim dengan menggunakan pendekatan historis.
6.   Pendekatan Ushul Fiqhi
Pendekatan ini dimaksudkan pada penafsiran yang disandarkan pada pemahaman Ushul Fiqhi. Pendekatan ini juga terlihat banyak digunakan oleh al-Nawawi dalam kitab ini. Diantaranya ketika beliau memahami lafaz “ فرسا  dalam hadis berikut ini:
(1942)...نحرنا فرسا على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم, فأكلناه [19]
            فرسا   berarti kuda secara mutlak tanpa dibatasi jenis kelaminya jantan atau betina.[20] Hal ini sesuai kaedah Ushul Fiqhi yang berbunyi “العبرة بعموم اللفظ pemahaman itu didasarkan pada keumumannya lafaz (jika tidak dijumpai dalil yang membatasinya.

F. Metode yang Digunakan dalam Syarh kitab al-Shayd wa al-Zaba’ih
  1. Metode Muqaran
Metode ini dimaksudkan pada penjelasan yang menampilkan berbagai riwayat dari jalur sanad yang berbeda tetapi membawa muatan makna pada topik yang sama sehigga sangat strategis untuk diperbandingkan antara satu dengan yang lainnya. Metode ini cukup banyak dijumpai dalam kitab ini, diantaranya:
1- (1929) حدثنا إسحاق بن ابراهيم الحنظلى, أخبرنا جرير عن منصور عن إبراهيم عن همام بن الحارث عن عدى بن حاتم قال: قلت: يا رسول الله إنى أرسل الكلاب المعلمةو فيمسكن عليز وأذكراسم الله عليه, فقال:" إذا أرسلت كلبك  المعلم, وذكرت اسم الله عليهو فكل" قلت: وإن قتلن؟ قال: وإن قتلن. ما لم يشركها كلب ليس معها...[21]
حدثنا ابو بكر بن أبى شيبة حدثنا ابن فضيل عن بيان عن الشعبى, عن عدى  بن حاتم. قال: سالت رسول الله سعم قلت: إنا قوم نصيد بهذه الكلاب. فقال: إذا ارسلت كلابك المعلمة وذكرت اسم الله عليها, فكل مما أمسكن عليك. وإن قتلن إلا ان يأكل الكلب. فإن أكل فلا تأكل. فإنى أخاف أن يكون إنما أمسك على نفسه, وغن خالطها كلاب من غيرها, فلا تأكل...[22]
            Imam al-Nawawi membandingkan kedua riwayat tersebut di atas, bukan sederetan riwayat selanjutnya hingga beliau mengomentarinya. Komentar beliau khusus pada kedua riwayat di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1). Riwayat-riwayat tersebut memberi isyarat atas kebolehannya orang berburu dengan menggunakan hewan pemburu semisal anjing.
2). Kebolehan memakan hasil tangkapan binatang pemburu harus  memenuhi kriteria berikut ini:
a)    Binatang pemburu itu terpelajar (terdidik oleh majikannya)
b)   Sengaja dilepas untuk berburu
c)    Membaca basmalah ketika dilepas.
d)   Tidak ditemani oleh binatang pemburu liar yang lain.
e)    Hasil tangkapan binatang terpelajar itu tidak dimakannya sebagai alamat, bahwa binatang tersebut sengaja menangkap karena perintah majikannya bukan untuk dirinya.[23]
2.   Metode Tahlili/Tafsili
Metode ini dimaksudkan pada uraian yang merinci pembahasan dengan bertolak dari pernyataan yang bersifat umum hingga menemukan natija (konklusi) secara khusus. Metode ini juga terdapat pada beberapa tempat dalam kitab al-Sayd Wa al-Zabain di antaranya:
قوله صلى الله عليه وسلم: إذا أرسلت كلبك المعلم...[24]
          Imam al-Nawawi menguraikan potongan hadis ini dengan merinci maksudnya. Beliau memahami bahwa hadis ini memberi isyarat disyaratkanya anjing itu (hewan pemburu) harus: (1) terpelajar, (2) sengaja dilepas. Sekiranya anjing itu dilepas tapi bukan anjing terdidik, maka itu tidak halal. Sebagaimana tidak halalnya jika anjing itu terdidik tapi tidak sengaja dilepas untuk berburu.[25] Demikian penjelasan al-Nawawi.
3.   Metode Maudhu’i
Metode ini dimaksudkan pada uraian yang bersifat tematik. Dalam arti pembahasan itu terklasifikasi ke dalam sub-sub bahasan berdasarkan topik-topik tertentu yang termuat dalam kitab itu. Ternyata metode ini pun sangat kentara dipergunakan oleh Imam al-Nawawi. Hal ini terbukti ketika kitab al-Shayd Wa al-Zaba’ih itu tersusun dari 12 sub pokok bahasan, yakni:
1-  باب الصيد بالكلاب المعالمة
2-  باب إذا غاب عنه الصيد ثم وجده
3-  باب تحريم أكل كل ذى نبا من السباع
4-  باب ميتات البحر
5-  باب تحريم أكل لحم الحمر الإنسانية
6-  باب في أكل لحوم الخيل
7-  باب إباحة الضب
8-  باب أباحة الجراد
9-  إباحة الأرنب
10-                    باب إباحة ما يستعان به على الاصطياد
11-                    باب الأمر بإحسان الذبح زالقتل وتحديد الشفرة
12-          باب النهى عن صير البهائم

G. Teknik Interpretasi yang Digunakan  dalam Syarah Kitab al-Shayd wa al-Zaba’ih

            1. Tekhnik Interperetasi Tekstual
          An-Nawawi dalam mensyarah hadis terkadang menggunakan tekhnik interperetasi tekstual, tekhnik ini dilakukan dengan cara memaknai hadis tersebut tanpa terlepas dari makna yang sesungguhnya, misalnya ketika beliau mengomentari hadis tentang kebolehan memakan Biawak.

          Imam an-Nawawi dalam mengomentari hadis diatas, mengemukakan hadis lain yang tidak terlepas dari makna naskh pertama bahkan memperkuat dan menjelaskan maksud hadis tersebut, seperti dalam hadis;
2. Tekhnik Interperetasi Kontekstual.  
          Tekhnik ini digunakan oleh Imam an-Nawawi untuk menunjukkan bahwa sebuah hadis tidak selamanya dipahami secara tekstual, tetapi dapt pula dipahami di luar dari pada teksnya.
          Dalam menggunakan tekhnik interperetasi secara kontekstual, biasanya ulama hadis menggunakan tiga pendekatan; pertama, adalah pendekatan naqliyah, kedua, adalah pendekatan aqliyah, dan ketiga adalah pendekatan kasyfiyah. Namun pada pembahasan kali ini, pemakalah akan menguraikan satu contoh penggunaan tekhnik interperetasi kontekstual an-Nawawi melalui pendekatan naqliyah, dalam hadis tentang berburu dengan anjing piaraan.

KESIMPULAN

          Dari uraian singkat yang memaparkan hasil penelitian studi kasus pada kitab al-Shayd Wa al-Zaba’ih dalam Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi, maka disimpulkan bahwa:
  1. Pendekatan yang digunakan tidak kurang dari  9 jenis, yakni:
a)     Pendekatan Linguistik,
b)    Pendekatan Teolologis,
c)    Pendekatan Sains (iptek),
d)   Pendekatan Integral Ushul Fiqhi,
e)    Pendekatan Integral,
f)     Pendekatan Historis
  1. Metode yang digunakan oleh Imam al-Nawawi dalam menguraikan hadis-hadis yang terdapat pada kitab ini meliputi:
a)    Metode Muqaran (komparatif)
b)   Metode Tahlili/tafsili (Analisis deduktif), dan
c)    Metode Maudhu’i (tematik)
  1. Teknik Interpretasi  yang digunakan dalam kitab ini sebagaimana lazimnya terdiri dari 2 jenis, yakni:
a)    Teknik Interpretasi Tekstual dan
b)   Teknik Interpretasi Kontekstual.


[1]M. Syuhudi Ismail, 1992: 18-19.
[2]Ibid: 20.
[3]Departemen Agama, 1993. Lihat pula, Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawy, Jilid I, t.th.
[4]Lihat, al-Shiddieqy, 1996: 156.
[5]al-Nawawy, 1994: 27.
[6]Muslim, op. cit:
[7]DEPAG, Ensiklopedi, op. cit: 844.
[8] Ibid.
[9] Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, Jilid IV, 1994: 22.
[10] Ibid.
[11]al-Barry, 1994: 395.
[12]Kamus Bahasa Indonesia, 1989: 192.
[13]Penjelasan Prof. Dr. Hj. A. Rasdiyanah dalam forum seminar mata kuliah Ulum al-Hadis pada tanggal 27 Januari 2004.
[14]al-Nawawi, 1994: 119.
[15]Abd. Muin Salim, (Makalah Pidato Pengukuhan Guru Besar): 33-36.
[16]al-Nawawi, op. cit, h. 91.
[17]Lihat. Ibn Shalah, 1972: 257-258.
[18] Nadzhar menurut Nuruddin Itr adalah terjadinya pertentangan hadis dengan kaedah-kaedah baku, kaedah baku yang dimaksudkan disini adalah menyalahi pandangan umum yang lazim, menyimpang dari prinsip-prinsip umum tentang hukum dan ahklaq, realitas inderawi, kebenaran aksiomatik dalam dunia sains dan ilmu pengetahuan. Untuk lebih jelasnya, lihat Nuruddin Itr, 1997: 114.
[19] Ibid: 106.
[20] Ibid: 107.
[21]al-Nawawi, 1415 H/1994 M: 83.
[22] Ibid.
[23] Ibid: 86-69.
[24] Ibid: 83.
[25] Ibid: 87.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar