TEKNIK INTERPRETASI HADIS
KITAB SAHIH MUSLIM BI SYARH AL-NAWAWI
(Studi Kasus Kitab al- Shayd wa al-Zaba’ih)
Oleh:
St. Rahmah
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Jumlah kitab hadis yang telah disusun
oleh ulama periwayat hadis cukup banyak. Untuk memastikan jumlahnya sangat
sulit, hal ini disebkan Mukharrij
al-Hadis (ulama yang mentakhrij hadis) dan sekaligus melakukan penghimpunan
hadis jumlah sangat banyak. Bahkan jumlah kitab hadis melebihi kuantitas
pengarang atau penulis kitab hadis,
karena terkadang seorang penulis kitab hadis menulis lebih dari satu kitab
hadis.[1]
Metode penyusunan berbagai kitab hadis
ternyata tidak seragam. Beragamnya metode penyusunan kitab hadis tersebut
merupakan hal yang logis. Sebab yang
menjadi stressing dalam kegiatan penulisan itu, bukanlah metode
penyusunannya, melainkan penghimpunannya.
Mukharrijun tersebut memiliki
metode sendiri-sendiri, baik dalam penyusunannya (sistemik, topik-topik) yang
dikemukakan dan kriteria kualitas hadis masing-masing kitab hadis tersebut, ditinjau
dari segi kualitasnya, ulama membuat tingkatan-tingkatan. Dengan demikian,
muncullah istilah-istilah al-Kutub al-Khamsah, al-Kutub al-Sittah, dan al-Kutub al-Sab’ah.[2]
Dari kriteria hadis yang tidak sama,
konsekuensinya adalah hadis yang dihimpun relatif berbeda dari segi
kualitasnya. Hal ini dapat dilihat dari beberapa aspek, baik yang menyangkut
aspek kepribadian, aspek kapasitas intelektual, kriteria periwayatan, teknik
periwaytan maupun yang menyangkut teknik penyusunannya.
Setelah kitab-kitab hadis tersebut
utuh dalam sebuah kitab, maka kemudian ulama
menghadapkan perhatiannya untuk men-syarah kitab-kitab hadis
tersebut . dalam men-syarah-nya mereka memiliki teknik yang terkadang
banyak memiliki unsur kesamaan (namun tidak persis sama), yang menjadi sentral
dalam pembahasan ini adalah teknik dan interpretasi kitab al-Shayd wa
al-Zaba’ih dari kitab Shahih Muslim yang di-syarah oleh imam
al-Nawawi.
PEMBAHASAN
A. Biografi Singkat Imam Muslim
Dari beberapa literatur yang
mengungkap biografi imam Muslim, bahwa ia adalah Abu al-Husain Muslim ibn
al-Hajjaj al-Qusyairy al-Naisabury. Beliau dilahirkan pada tahun 202 H/817 M.
Sejak kecil ia menekuni ilmu-ilmu agama Islam, terutama di bidang ilmu Hadis.
Beliau menerima Hadis dari guru-guru negerinya. Kemudian beliau mengadakan
perlawatan dalam rangka mencari ilmu. Berkali-kali beliau datang ke Baghdad dan
menemui sebagian besar imam-imam Hadis dalam perlawatannya ke Hijaz, Irak,
Syam, Mesir[3]
dan lain-lain. Selain itu, tentang kelahiran imam Muslim ditemukan adanya
perbedaan antara yang tertulis di atas dengan yang ditulis oleh Hasby
al-Shiddieqy, bahwa Muslim dilahirkan pada tahun 204 H.[4]
Keuletan dan ketekunan imam Hadis ini
dalam mengkaji ilmu-ilmu serta kepribadian mulia yang melembaga dalam dirinya,
mengantarnya menjadi ulama besar yang memiliki popularitas tinggi dalam dunia
Hadis. Popularitasnya terbukti ketika ia menunjukkan keuletannya men-takhrij
sampai ribuan Hadis dalm sebuah kitab Hadis “al-Jami’ al-Shahih Muslim”.
Selanjutnya kitab hadis tersebut menjadi rujukan utama di kalangan pengkaji
Hadis generasi setelahnya hingga sekarang dan sangat boleh jadi sampai yang
akan datang.
Namun
satu hal yang secara objektif harus diakui bahwa kebesaran dan prestasi yang
diraihnya tidak lepas dari kontribusi imam sebelumnya, seperti imam al-Bukhary.
Upaya imam Muslim di satu sisi memang menentukan kebesarannya karena usahanya
yang real dalam menekuni ilmu Hadis. Hal ini mewarnai seluruh aktivitasnya yang
berlangsung hingga ia wafat pada tanggal 27 Rajab 261 H/875 M, di kampung Nashr
Abad, salah satu kampung di Naisabur. Beliau mewariskan 20 karya di bidang
Hadis dan beberapa ilmu lainnya.[5] Muslim
menyaring kitabnya dari sejumlah 300.000 Hadis yang menghabiskan waktu
penyaringan 15 tahun.[6]
B. Biografi Imam al-Nawawy
Imam al-Nawawi adalah salah seorang
ulama yang produktif dalam hal mengarang kitab, nama lengkapnya adalah Abu
Zakaria Yahya bin Syarf bin Mariy al-Hizamy al-Nawawy[7] yang
populer disebut al-Nawawy, di samping sebagai ulama yang zuhud ia juga sebagai penyusun kitab. Karena
pengetahuannya tentang agama Islam dan karangannya mampu menghidupkan ajaran
Islam dalam masyarakat di zaman berikutnya sehingga beliau diberi gelar “Syaikh
al-Islam”[8]
Imam al-Nawawi lahir di Nawa, Damaskus
pada bulan Muharram 631 H/Oktober 1233 M dan meninggal dunia pada usia 45
tahun. Pada usia 19 tahun ia belajar di sekolah “al-Rawahiyah” di
Damaskus dan beliau sangat tekun dalam mencari ilmu pengetahuan. Selama 20
tahun ia menuntut ilmu ia dapat menguasai beberapa disiplin ilmu agama seperti:
ilmu Hadis dan Ulum al-Hadis, Fiqh dan Ushul Fiqh serta
bahasa.[9]
Ulama
mengakui keahlian imam al-Nawawi di bidang hadis, bukan hanya ia mampu
menghafal ratusan ribu hadis lengkap dengan matan (materi) dan rangkaian para
perawi, akan tetapi ia juga berkemampuan untuk meneliti dan mengetahui
seluk-beluk kualitas hadis dan yang berhubungan dengannya.
Dari
kedalaman dan keluasan ilmu yang dikuasainya dapat dilihat lewat
tulisan-tulisan yang disusunnya sejak usia 25 tahun hingga ia wafat, antara lain: [10]
1. Syarah Hadis karya al-Daruquthny
2. al-Raudhah, al-Majmu’ (Syarah
al-Muhazzah)
3. al-Tibyan fii Adab Hamlan Al-Qur’an
4. Tahrir al-Tanbih
5. al-Umdah fii Tahsih al-Niyyah
6. Tahzib al-Asma’ wa al-Lughah
7. Syarah Shahih Muslim
8. Khulasah fii al-Hadis
9. al-Isyarah ila al-Mubehamat
10.
al-Irsyad
11.
Ulum
al-Hadis
12.
al-Taqrik
wa al-Taisih li Ma’rifatih (Sunan al-Nayir al-Nazir)
13.
al-Minhaj
fii Syarh Shahih Muslim
14.
al-Arba’in
15.
Riyadh
al-Shalihin
16.
al-Fatwah
17.
al-Idah
fii al-Manasikh
18.
al-Azkar
Dari sejarah imam al-Nawawi tersebut
di atas, maka dapat diketahui bahwa tingkat intelegensi dan semangat besar yang
dimilikinya, sehingga wajar jika beliau dikenal sebagai ahli dalam bidang ilmu
hadis dan ilmu-ilmu lainnya, dan pada akhirnya beliau menjadi ulama yang
memiliki karya yang banyak dalam hal menambah khazanah intelektual umat Islam.
C. Gambaran tentang Kitab al-Shayd wa al-Ziba’ih
Syarah Shahih Muslim merupakan
hasil karya imaam al-Nawawi yang menggunakan metode tematik. Kitab al-Shayd
wa al-Zaba’ih merupakan salah satu pemilahan yang di-syarah imam
al-Nawawi dati kitab Shahih Muslim.
Dalam
kitab tersebut ditemukan kurang lebih 60 matan Hadis yang terdiri dari 12 bab,
yaitu:
1.
Bab tentang perburuan dengan anjing piarahan, memuat 8
hadis.
2.
Bab tentang kehilangan hasil burun lalu ditemukan, memuat
3 hadis.
3.
Bab tetang pengharaman memakan setiap binatang buas yang
bertaring, memuat 5 hadis.
4.
Bab tentang pembolehan bangkai laut, memuat 5 hadis.
5.
Bab tentang keharaman memakan daging Himar, memuat 14
hadis.
6.
Bab tentang pembolehan memakan daging Kuda, memuat 3
hadis.
7.
Bab tentang kebolehan memakan Biawak, memuat 13 hadis.
8.
Bab tentang kebolehan memakan Belalang, memuat 1 hadis.
9.
Bab tentang kebolehan memakan kelinci, memuat 1 hadis.
10.
Bab tentang kebolehan menggunakan alat bantu dalam
berburu, memuat 3 hadis.
11.
Bab tentang perintah tata cara memperbaiki penyembelihan
dan peruncingan mata pisau, memuat 1 hadis.
12.
Bab tentang pelarangan mengurung binatang lalu dibunuh,
memuat 4 hadis.
D. Metode, Pendekatan, dan Teknik
Interpretasi dalam kitab al-Shayd wa al-Zaba’ih
Untuk tidak mengacaukan makna dari
metode, pendekatan dan teknik interpretasi, maka akan dijelaskan pengertian
masing-masing, yaitu:
1.
Metode adalah cara yang teratur dan sistematis untuk
pelaksanaan sesuatu, cara kerja.[11]
2.
Pendekatan adalah proses, perbuatan, cara mendekati,
dapat pula berarti usaha dalam rangka aktivitas penelitian untuk mengadakan
hubungan dengan objek yang diteliti atau metode-metode untuk mencapai
pengertian tentang masalah penelitian.[12]
3.
Teknik interpretasi adalah hasil dari metode yang selalu
konsisten dengan pendekatan.[13]
E. Pendekatan yang Digunakan
dalam Syarh kitab al-Shayd wa al-Zaba’ih
1. Pendekatan Linguistik
Pendekatan
linguistik ini menggunakan kaedah-kaedah kebahasaan. menggunakan pendekatan
linguistik dalam memahami suatu nash merupakan hal yang sangat penting.
Dalam
kitab al-Shatd wa al-Zaba’ih antara lain misalnya dalam bab tentang ”Perintah
berbuat baik kepada binatang sembelihan dan penajaman alat pemotong”. Yaitu:
ان الله كتب الإحسان على كل شئ, فإذا قتلتم فأحسنو القتلة,
وإذا أذبحتم فأحسنو الذبح و اليحد
احدكم سفتة فيرح ذبيحته [14]
Hadis yang menerangkan tentang
(bagaimana) menyembelih hewan, imam al-nawawi menguraikan dengan menggunakan
analisis kebahasaan dengan mengemukakan perbedaan antara القتلة dengan الذيح . Kedua term ini digunakan di satu sisi sama, yakni keduanya
berarti mematikan. Di lain
sisi, keduanya mengandung makna yang berbeda. Oleh imam al-Nawawi, term القتلة dalam hadis tersebut mengandung
makna mematikan hewan yang lain, sementara term الذيح dalam hadis tersebut mengandung
makna upaya mematikan hewan jinak.
Dapat dipahami bahwa perbedaan mendasar dari keduanya terletak
pada jenis binatang berdasarkan sifatnya (liar atau jinak).
2.
Pendekatan Teolologis
Pendekatan
ini ditempuh dengan cara mengemukakan kaedah-kaedah fiqhi[15] atau membandingkan
pendapat-pendapat ulama yang secara garis besarnya menghendaki terwujudnya
kebahagiaan, kesejahteraan dan kedamaian manusia.
Pendekatan
ini diterapkan ketika an-Nawawi mensyarah hadis tentang keharaman memakan
binatang yang mempunyai taring dan semua burung yang mempunya kuku.
Hadis
ini merupakan dalil bagi mazhab Syafi’I, Abu Hanifah, Ahmad, Daud dan jumhur
ulama untuk mengharamkan memakan binatang yang memiliki taring dan semua burung
yang memiliki kuku. Namun Malik
hanya memakruhkan dan tidak mengharamkannya
dengan berdalil ayat.
Menurut para
sahabat, bahwa ayat yang dikemukakan di atas tidak lain hanyalah pemberitahuan
bahwa pada waktu itu belum ditemukan sesuatu yang diharamkan kecuali yang
tersebut pada ayat di atas, lalu kemudian diwahyukanlah pengharaman setiap
binatang yang memiliki taring dan burung yang memiliki kuku, maka wajiblah
diterima dan diamalkan. Demikianlah an-Nawawi menggunakan pendekatan teolologis
dalam mensyarah hadis shahih muslim.
3. Pendekatan Sains
Pendekatan sains adalah pendekatan
yang menggunakan berbagai disiplin ilmu pengetahuan misalnya; sosiologi,
psikologi, kedokteran, kesehatan dan sebagainya. An-Nawawi dalam syarah beliau
mengunakan pendekatan kesehatan, misalnya ketika beliau mengomentari hadis
tentang daging yang berbau busuk.
Hadis ini menjelaskan pelarangan
terhadap daging busuk untuk dikonsumsi, akan tetapi tidak sampai pada
pengharaman hanya merupakan larangan yang bersifat tanzih. Menurut an-Nawawi
memakannya adalah suatu kebolehan kecuali jika ada rasa khawatir terhadap
bahaya yang akan ditimbulkan terhadap kesehatan.[16]
4. Pendekatan Integral
Pendekatan integral adalah pendekatan yang menyatukan berbagai
pendapat ulama untuk menyelesaikan berbagai kontroversi antara hadis, sehingga
dengan demikian akan ditemukan penyelesaian apakah itu al-jam’u, al-nasikh
wa al-mansukh, atau tarjih.[17]
Pendekatan ini dapat ditemukan ketika an-Nawawi
mensyarah hadis tentang kebolehan memakan daging Kuda. Namun para ulama berbeda pendapat atas kebolehannya.
Dalam hal ini mazhab syafi’i, jumhur dari kelompok ulama salaf dan ulama khalaf
membolehkannya dan tidak memakruhkannya. Sementara yang lainnya seperti Ibnu
Abbas, al-Hakim, Malik dan Abu Hanifah memakruhkannya.
Dari hadis
di atas, para ulama ahli hadis dan lainnya bersepakat bahwa hadis tersebut
dhaif dan sebahagiannya mengatakan mansukh, diriwayatkan oleh al-Darulqutny dan
al-Baihaqy dari Musa ibn Harun bahwa hadis tersebut dhaif, demikian pula Abu
Daud memansuhkkan hadis tersebut, menurut Imam an-Nawawi dalam syarahnya adalah
karena adanya masalah pada sanadnya.
Al-Bukhari berpendapat bahwa
didalam hadis tersebut
terdapat nadzhar.[18]
Sehingga dalam syarahnya mengatakan bahwa jumhur bersepakat pada hadis tentang
kebolehannya sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan yang lainnya
adalah shahih.
5. Pendekatan
Historis
Pendekatan
historis adalah pendekatan yang mengedepankan data sejarah, data itu baik
berupa asbabul wurud maupun keadaan para sanadnya.. Dalam kitab ash-shaid
wa al-zabaaih an-Nawawi menerapkan metode ini dalam mensyarah hadis
tentang kebolehan memakan daging Kuda.
قوله: ان رسول الله صم نهي عن لحوم الحمر الاهلية, وادن فى لحوم الخيل.
Dari
hadis di atas, terdapat kontroversi dikalangan ulama, ada yang membolehkan dan
ada pula yang tidak. Walaupun pada akhirnya ulama dari Imam-imam hadis
bersepakat atas kedhaifan hadis yang melarang memakan daging kuda.
عن
خا لدابن وليد: {نهي رسول الله صم عن لحوم الخيل والبغا ل والحميروكل دي ناب من
السباع.} رواه ابوداود وانساء.
Dengan
mengetengahkan pendapat Musa ibnu Harun, Imam an-Nawawi mensyarah hadis
tersebut dengan menggunakan pendekatan historis, dimana Musa ibnu Harun
menyatakan bahwa dalam sanad hadis tersebut terdapat shalih Ibn Yahya dan
bapaknya yang tidak terkenal. Demikianlah
an-Nawawi mensyarah kitab shahih Muslim dengan menggunakan pendekatan historis.
6.
Pendekatan Ushul Fiqhi
Pendekatan
ini dimaksudkan pada penafsiran yang disandarkan pada pemahaman Ushul Fiqhi.
Pendekatan ini juga terlihat banyak digunakan oleh al-Nawawi dalam kitab ini.
Diantaranya ketika beliau memahami lafaz “ فرسا “ dalam hadis berikut
ini:
“فرسا “ berarti kuda secara mutlak tanpa dibatasi
jenis kelaminya jantan atau betina.[20]
Hal ini sesuai kaedah Ushul Fiqhi yang berbunyi “العبرة بعموم اللفظ” pemahaman itu didasarkan pada keumumannya lafaz (jika
tidak dijumpai dalil yang membatasinya.
F. Metode yang Digunakan dalam Syarh kitab al-Shayd wa al-Zaba’ih
- Metode Muqaran
Metode ini
dimaksudkan pada penjelasan yang menampilkan berbagai riwayat dari jalur sanad
yang berbeda tetapi membawa muatan makna pada topik yang sama sehigga sangat
strategis untuk diperbandingkan antara satu dengan yang lainnya. Metode ini cukup banyak dijumpai dalam kitab ini,
diantaranya:
1- (1929) حدثنا إسحاق بن ابراهيم الحنظلى,
أخبرنا جرير عن منصور عن إبراهيم عن همام بن الحارث عن عدى بن حاتم قال: قلت: يا
رسول الله إنى أرسل الكلاب المعلمةو فيمسكن عليز وأذكراسم الله عليه, فقال:"
إذا أرسلت كلبك المعلم, وذكرت اسم الله
عليهو فكل" قلت: وإن قتلن؟ قال: وإن قتلن. ما لم يشركها كلب ليس معها...[21]
حدثنا ابو
بكر بن أبى شيبة حدثنا ابن فضيل عن بيان عن الشعبى, عن عدى بن حاتم. قال: سالت رسول الله سعم قلت: إنا قوم
نصيد بهذه الكلاب. فقال: إذا ارسلت كلابك المعلمة وذكرت اسم الله عليها, فكل مما
أمسكن عليك. وإن قتلن إلا ان يأكل الكلب. فإن أكل فلا تأكل. فإنى أخاف أن يكون
إنما أمسك على نفسه, وغن خالطها كلاب من غيرها, فلا تأكل...[22]
Imam al-Nawawi membandingkan kedua riwayat tersebut di
atas, bukan sederetan riwayat selanjutnya hingga beliau mengomentarinya.
Komentar beliau khusus pada kedua riwayat di atas dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1). Riwayat-riwayat
tersebut memberi isyarat atas kebolehannya orang berburu dengan menggunakan
hewan pemburu semisal anjing.
2). Kebolehan memakan hasil tangkapan
binatang pemburu harus memenuhi kriteria
berikut ini:
a)
Binatang pemburu itu terpelajar (terdidik oleh
majikannya)
b)
Sengaja dilepas untuk berburu
c)
Membaca basmalah ketika dilepas.
d)
Tidak ditemani oleh binatang pemburu
liar yang lain.
e)
Hasil
tangkapan binatang terpelajar itu tidak dimakannya sebagai alamat, bahwa
binatang tersebut sengaja menangkap karena perintah majikannya bukan untuk
dirinya.[23]
2.
Metode
Tahlili/Tafsili
Metode ini dimaksudkan pada uraian
yang merinci pembahasan dengan bertolak dari pernyataan yang bersifat umum
hingga menemukan natija (konklusi) secara khusus. Metode ini juga terdapat pada
beberapa tempat dalam kitab al-Sayd Wa al-Zabain di antaranya:
قوله صلى الله عليه
وسلم: إذا أرسلت كلبك المعلم...[24]
Imam
al-Nawawi menguraikan potongan hadis ini dengan merinci maksudnya. Beliau
memahami bahwa hadis ini memberi isyarat disyaratkanya anjing itu (hewan
pemburu) harus: (1) terpelajar, (2) sengaja dilepas. Sekiranya anjing itu
dilepas tapi bukan anjing terdidik, maka itu tidak halal. Sebagaimana tidak
halalnya jika anjing itu terdidik tapi tidak sengaja dilepas untuk berburu.[25]
Demikian penjelasan al-Nawawi.
3.
Metode Maudhu’i
Metode ini
dimaksudkan pada uraian yang bersifat tematik. Dalam arti pembahasan itu
terklasifikasi ke dalam sub-sub bahasan berdasarkan topik-topik tertentu yang
termuat dalam kitab itu. Ternyata
metode ini pun sangat kentara dipergunakan oleh Imam al-Nawawi. Hal ini
terbukti ketika kitab al-Shayd Wa al-Zaba’ih itu tersusun dari 12 sub
pokok bahasan, yakni:
1- باب الصيد بالكلاب المعالمة
2- باب إذا غاب عنه الصيد ثم وجده
3- باب تحريم أكل كل ذى نبا من السباع
4- باب ميتات البحر
5- باب تحريم أكل لحم الحمر الإنسانية
6- باب في أكل لحوم الخيل
7- باب إباحة الضب
8- باب أباحة الجراد
9- إباحة الأرنب
10-
باب إباحة ما يستعان به على الاصطياد
11-
باب الأمر بإحسان الذبح زالقتل وتحديد الشفرة
12- باب النهى عن صير البهائم
G.
Teknik Interpretasi yang Digunakan dalam
Syarah Kitab al-Shayd wa al-Zaba’ih
1. Tekhnik
Interperetasi Tekstual
An-Nawawi
dalam mensyarah hadis terkadang menggunakan tekhnik interperetasi tekstual,
tekhnik ini dilakukan dengan cara memaknai hadis tersebut tanpa terlepas dari
makna yang sesungguhnya, misalnya ketika beliau mengomentari hadis tentang
kebolehan memakan Biawak.
Imam
an-Nawawi dalam mengomentari hadis diatas, mengemukakan hadis lain yang tidak
terlepas dari makna naskh pertama bahkan memperkuat dan menjelaskan maksud
hadis tersebut, seperti dalam hadis;
2. Tekhnik Interperetasi
Kontekstual.
Tekhnik ini
digunakan oleh Imam an-Nawawi untuk menunjukkan bahwa sebuah hadis tidak
selamanya dipahami secara tekstual, tetapi dapt pula dipahami di luar dari pada
teksnya.
Dalam
menggunakan tekhnik interperetasi secara kontekstual, biasanya ulama hadis
menggunakan tiga pendekatan; pertama, adalah pendekatan naqliyah, kedua,
adalah pendekatan aqliyah, dan ketiga adalah pendekatan kasyfiyah.
Namun pada pembahasan kali ini, pemakalah akan menguraikan satu contoh
penggunaan tekhnik interperetasi kontekstual an-Nawawi melalui pendekatan naqliyah,
dalam hadis tentang berburu dengan anjing piaraan.
KESIMPULAN
Dari
uraian singkat yang memaparkan hasil penelitian studi kasus pada kitab al-Shayd
Wa al-Zaba’ih dalam Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi, maka disimpulkan
bahwa:
- Pendekatan yang digunakan tidak kurang dari 9 jenis, yakni:
a)
Pendekatan Linguistik,
b)
Pendekatan Teolologis,
c)
Pendekatan Sains (iptek),
d)
Pendekatan Integral Ushul Fiqhi,
e)
Pendekatan Integral,
f)
Pendekatan Historis
- Metode yang digunakan oleh Imam al-Nawawi dalam menguraikan hadis-hadis yang terdapat pada kitab ini meliputi:
a)
Metode Muqaran (komparatif)
b)
Metode Tahlili/tafsili (Analisis deduktif), dan
c)
Metode Maudhu’i (tematik)
- Teknik Interpretasi yang digunakan dalam kitab ini sebagaimana lazimnya terdiri dari 2 jenis, yakni:
a)
Teknik Interpretasi Tekstual dan
b)
Teknik Interpretasi Kontekstual.
[1]M. Syuhudi Ismail, 1992: 18-19.
[3]Departemen Agama, 1993. Lihat pula, Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawy,
Jilid I, t.th.
[4]Lihat, al-Shiddieqy, 1996: 156.
[5]al-Nawawy, 1994: 27.
[6]Muslim, op. cit:
[7]DEPAG, Ensiklopedi, op. cit: 844.
[8] Ibid.
[10] Ibid.
[11]al-Barry, 1994: 395.
[13]Penjelasan Prof. Dr. Hj. A. Rasdiyanah dalam forum seminar mata kuliah
Ulum al-Hadis pada tanggal 27 Januari 2004.
[14]al-Nawawi, 1994: 119.
[17]Lihat. Ibn Shalah, 1972: 257-258.
[18] Nadzhar menurut Nuruddin Itr adalah terjadinya pertentangan hadis
dengan kaedah-kaedah baku, kaedah baku yang dimaksudkan disini adalah menyalahi
pandangan umum yang lazim, menyimpang dari prinsip-prinsip umum tentang hukum
dan ahklaq, realitas inderawi, kebenaran aksiomatik dalam dunia sains dan ilmu
pengetahuan. Untuk lebih jelasnya, lihat Nuruddin Itr, 1997: 114.
[19] Ibid: 106.
[20] Ibid: 107.
[21]al-Nawawi, 1415 H/1994 M: 83.
[22] Ibid.
[23] Ibid: 86-69.
[24] Ibid: 83.
[25] Ibid: 87.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar