PLURALITAS
MAZHAB
(Menyikapi Fanatisme, Klaim
Kebenaran di dalam Fikih)
Oleh: M. Gazali Rahman
Abstrak
Tulisan ini mendeskripsikan fenomena
umat Islam pada umumnya yang terpolarisasi dalam berbagai pemahaman tentang
syariat. Bangunan persaudaraan dan persatuan sesama umat Islam
dewasa ini, secara jujur diakui sampai hari ini, masih riskan dan menyedihkan.
Alasannya, banyak di antara saudara-saudara kita seiman dan sekeyakinan, justru
saling melakukan hal-hal yang dapat menyingkap tirai perselisihan, percekcokan,
dan permusuhan antara sesamanya. Tentu saja, timbulnya percekcokan dan ketidakakuran
antara sesama kaum Muslim itu adalah disebabkan oleh sempitnya wawasan terhadap
Islam, selain disebabkan oleh lemahnya keimanan.
Meskipun pada dasarnya
perbedaan tersebut hanya berkisar pada hal-hal yang sifatnya furu’iah,
namun implikasinya begitu luas merambah pada aspek lain yang cukup signifikan
dalam penentuan berbagai ketentuan-ketentuan hukum yang menyangkut
dimensi-dimensi akidah, ibadah, dan muamalah. Bahkan, ikhtilaf tersebut memiliki akar yang
cukup mendasar pada perbedaan metodologis dan teknis dalam istimbath hukum.
Dalam
rangka peningkatan dan pengembangan kesadaran ukhuwah islamiyah, diperlukan
sikap-sikap dasar yang dapat mengkondisikan tumbuhnya budaya ukhuwah seperti
sikap sabar, lapang dada, terbuka, maupun mengakui kebenaran dan kebesaran dari
manapun datangnya, juga tidak memaksakan keseragaman yang tidak atau belum
diterima pihak lain, tidak menilai perbedaan pendapat sebagai permusuhan tetapi
lebih mengutamakan kesamaan yang ada dari perbedaannya.
Katakunci: ikhtilaf, Ukhuwah.
A. Pendahuluan
If a man like Muhammad were to
assumed to the leadership of modern world, he would succeed in solving its
problem in a manner which would bring it to the much needed peace and happiness.
Seandainya seseorang seperti Muhamamad diangkat untuk kepemimpinan di era dunia
modern, ia akan berhasil memecahkan masalahnya dengan cara yang akan membawa
dunia pada kedamaian dan kebahagiaan yang didambakan.
Terlalu prematur bagi sebuah analisa
jika menilai bahwa perpecahan umat dewasa ini adalah takdir. Memang, sudah
menjadi hukum alam bahwa tradisionalisme melahirkan modernisme,
fundamentalisme, dan konservatisme yang akan diikuti oleh liberalisme.
Kronologi dialektika ini membingkai prototipe religiusitas umat dan dibumbui
dengan klaim-klaim kebenaran, fanatisme, polemik berkepanjangan antara
purifikasi dan bid’ah, halal dan haram, wajib dan sunnah, dan berbagai
diskursus keberagamaan yang semakin membuka lebar polarisasi umat dan bahkan
ulama.
Ketika Nabi Saw bersabda bahwasanya
perbedaan di kalangan umatnya adalah rahmat, maka secara teoritis
perbedaan memang selalu membawa dinamika progresivitas ke arah perubahan. Namun
ketika perbedaan ini menyentuh realitas dan aksentuasi keberagamaan di lapangan
sosial kemasyarakatan, maka sukar untuk menemukan perbedaan tersebut sebagai
rahmat. Lebih fatal lagi sekiranya anlisis terhadap fenomena keberagamaan
tersebut memberikan kesimpulan terhadap relativitas kebenaran agama atau bahkan
menjadikan agama sebagai opium dan biang kerok perpecahan umat.
Oleh karena itu, makalah ini mencoba
mengkaji akar yang menjadi latar belakang dari perpecahan tersebut, fanatisme
masing-masing kelompok dengan klaim-klaim kebenaran mereka, serta celaan
terhadap orang-orang yang melakukan perpecahan umat.
B.
Fanatisme Kelompok, Klaim Kebenaran, dan
Celaan Terhadap Orang-orang yang Melakukan Perpecahan
Tidak
dapat disangkal bahwasanya wajah dunia Islam dewasa ini sangat fenomenal dengan
dua kecenderungan; yakni pertentangan antara kelompok yang ekstrim dan kelompok
yang liberal. Perbedaan mazhab, faham, firqah, semakin mereduksi konsep ummatan
wahidah
(umat yang
satu) dalam anatomi dunia Islam.
Meskipun
pada dasarnya perbedaan tersebut hanya berkisar pada hal-hal yang sifatnya furu’iah,
namun implikasinya begitu luas merambah pada aspek lain yang cukup signifikan
dalam penentuan berbagai ketentuan-ketentuan hukum yang menyangkut
dimensi-dimensi akidah, ibadah, dan muamalah. Bahkan, ikhtilaf tersebut memiliki akar yang
cukup mendasar pada perbedaan metodologis dan teknis dalam istimbath hukum.
Menapaki
gerak sejarah Islam, kodifikasi terhadap Alquran dan hadis sesungguhnya
merupakan ikhtiar yang telah membuka selebar-lebarnya ruang bagi upaya
pembentukan legalisme dan ortodoksi ajaran Islam yang mulanya universal dan
global ke arah pembahasan dan defenisi yang lebih tegas terhadap berbagai
persoalan. Begitupula dengan upaya-upaya spektakuler dari para imam mazhab yang
secara reflektif telah berijtihad guna menentukan epistemologi hukum dari
berbagai masalah berdasarkan kebenaran internal Alquran yang dipadukan dengan
realitas eksternal masyarakat di zaman mereka.
Meskipun
di satu sisi, usaha para ahli fikih dalam mengkodifikasi syariat dinilai telah
menutup pintu ijtihad, namun pada dasarnya hal tersebut menegaskan tentang
kemustahilan membatasi keragaman faktual terhadap aturan-aturan yang dinilai
prinsipil untuk melegitimasi pengamalan ajaran-ajaran agama. Di sisi lain,
ortodoksi dan kodifikasi syariat cenderung berupaya mentransendensikan berbagai
peristiwa, pelaku, dan ajaran-ajaran Alquran. Praktek hukum yang didasarkan
pada usaha pragmatis untuk mengelaborasi ajaran Alquran dengan kebudayaan lokal
lambat laun kehilangan pijakan dan menjadi disiplin ilmu, serta memunculkan
sistem keulamaan, mazhab, firkah yang mengklaim telah menemukan hukum yang
pasti dan tak berubah.
Bertolak
dari itu, tidak jarang setiap perselihan tersebut merefleksikan peran politik
ulama yang menguntungkan kelompok tertentu dalam melakukan penghakiman terhadap
yang lain. Sampai hari ini, pertentangan antara ekstrimitas dengan liberalisme
pemahaman terhadap nash-nash Alquran maupun hadis telah menjadi memori kolektif
umat Islam dan menjadi embrio fundamentalisme agama, fanatisme kelompok dan
klaim-klaim kebenaran.
Oleh
Ibn Qayyim al-Jauziyah, fanatisme dan kelompok yang mengklaim berpegang pada
kebenaran tersebut dibagi ke dalam tiga golongan yang masing-masing berbeda
dalam menyikapi masalah asal (pokok) dan dalam menyikapi masalah furu’ (cabang),
yakni perbedaan metodologis dalam membangun epistemologi penetapan hukum suatu
kejadian ataupun perbedaan interpretasi terhadap nash-nash (landasan normatif)
yang dijadikan dalil atau pijakan penetapan hukum.
Golongan
pertama adalah mereka yang menolak qiyas secara mutlak,
memperdebatkan qiyas dan mengingkari hukum, ‘illat, dan munasabat. Golongan ini mengklaim diri
berpegang pada tamsil (perumpamaan) sehingga mereka merasa perlu untuk
memperluas pemahaman secara tekstual dan menggunakan istishab dalam metodologi istimbat hukum.
Mereka juga berlebihan dalam menggunakan dan mengembangkan kedua hal itu
sehingga pemahaman dan penetapan hukum dari nash tidak lagi memperdulikan hukum
yang bersifat tersirat yang ada di balik nash. Jika mereka tidak memahami hukum
yang ada di dalam nash, maka mereka menolak hukum tersebut dan menggunakan istishab.
Golongan
kedua yaitu mereka yang menganggap nash-nash itu tidak mencakup segala
macam hukum yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf,
sehingga hukum-hukum tersebut harus ditetapkan berdasarkan qiyas.
Sedangkan golongan ketiga adalah mereka yang berpandangan bahwa
sesungguhnya nash-nash itu mencakup hukum segala peristiwa, sehingga nash-nash
tersebut dianggap mencukupi dan memenuhi kebutuhan dalam penetapan hukum, sehingga
penggunaan qiyas hanyalah pada dilalah nash yang tersembunyi atau
sukar dipahami oleh orang alim sekalipun.
Bahkan,
dalam kaitan wacana penerapan syariat pun, terdapat perselisihan
pandangan yang tidak hanya dengan non-muslim, tetapi juga dalam internal Islam
sendiri yang akibatnya gagasan penerapan syariat Islam dalam tataran tertentu
mengalami kemandulan. Paling tidak ada tiga pandangan atau sikap umat Islam
terhadap penerapan syariat Islam, pertama, yaitu kelompok skripturalis,
yang menginginkan hukum Islam diformalkan sebagaimana tertulis dalam teks
Alqur'an dan Sunnah.
Kedua, kelompok substansialis, yang berpandangan bahwa penerapan hukum Islam
tidak mesti persis seperti apa yang disebutkan dalam teks Alqur'an dan Sunnah. Qisas,
rajam, potong tangan, hanyalah alternatif bagi terciptanya keadilan dan
kepastian hukum di masa awal Kemunculan Islam, asalkan maqasid
al-syarī’ah (tujuan diterapkannya hukum Islam) bisa terlaksana, maka
sah-sah saja hukum lain diterapkan. Misalnya hukuman potong tangan diganti
dengan hukuman penjara karena sama-sama bertujuan membatasi si pelaku. Ketiga,
yaitu kelompok sekularis, yang menginginkan Islam hanyalah sebagai keyakinan
saja.
Jadi
pada garis besarnya, pertentangan ketiga kelompok dalam metodologi istimbath hukum tersebut adalah
pertentangan dalam memprioritaskan antara qiyas dan istis}ab yang berimplikasi pula pada
pertentangan antara pemahaman tekstual dan kontekstual. Lebih jauh Ibn Qayyim
memaparkan empat kesalahan dalam ikhtilaf tersebut, yaitu; pertama,
penolakan qiyas yang sahih tanpa kecuali meskipun illat-nya
berdasarkan nash yang dilihat dari segi keumuman lafaz.
Kedua, kurangnya pemahaman mereka
tentang nash. Sangat banyak hukum yang ditunjukkan oleh nash tanpa mereka
pahami dilalah-nya karena keterbatasan dalam
memahami dilalah yang tersirat, tidak memahami
kedalaman makna, peringatan, isyarat, dan tradisi objek hukum. Ketiga, penggunaan
istis}ab yang melebihi batas kewajaran
bahkan sampai mewajibkannya, dan hal ini disebabkan kedangkalan mereka tentang
dalil naqli. Adapun kesalahan keempat yaitu keyakinan mereka bahwa akad
(transaksi), syarat, dan muamalat yang dilakukan oleh orang-orang Islam adalah
batal jika tidak ditetapkan berdasarkan suatu dalil yang menunjukkan
keabsahannya. Apabila mereka tidak menemukan dalil yang dapat menunjukkan
kepada keabsahannya, maka mereka menggunakan istis}ab untuk membatalkannya.
Senada
dengan itu, Muhammad Maududi sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin Rahmat
menyebut kefanatikan mazhab sebagai Khawarijisme dengan karakteristik
antara lain:
1) Pemahaman
yang formalistik, mereka sangat patuh pada teks-teks formal Alquran dan hadis,
hanya mengambil apa yang tersurat dan hampir tidak dapat menangkap yang
tersirat.
2) Patuh ritual
tapi kurang ukhuwah, mereka sangat patuh dalam menjalankan ibadah ritual tetapi
sangat kaku dalam hubungan sosial, terutama dengan sesama kaum muslimin.
Setiap
tafarruq (perpecahan) merupakan ikhtilaf (perbedaan), namun tidak
setiap ikhtilaf (perbedaan) merupakan tafarruq (perpecahan).
Namun setiap ikhtilaf bisa dan berpotensi untuk berubah menjadi tafarruq
atau iftiraq antara lain karena:
a) Faktor
pengaruh hawa nafsu, yang memunculkan misalnya ta’ashub (fanatisme) yang
tercela, sikap kultus individu atau tokoh, sikap mutlak-mutlakan atau menang-menangan
dalam berbeda pendapat, dan semacamnya. Faktor pelibatan hawa nafsu inilah
secara umum yang mengubah perbedaan wacana dalam masalah-masalah furu’ ijtihadiyah
yang ditolerir menjadi perselisihan hati yang tercela.
b) Salah
persepsi (salah mempersepsikan masalah, misalnya salah mempersepsikan masalah furu’
(cabang) sebagai masalah ushul (pokok).
Hal ini biasanya terjadi pada sebagian kalangan umat Islam yang tidak mengakui
dan tidak memiliki fiqhul ikhtilaf. Yang mereka miliki hanyalah fiqhut
tafarruq wal iftiraq (fiqih perpecahan), dimana bagi mereka setiap
perbedaan dan perselisihan merupakan bentuk perpecahan yang tidak mereka
tolerir.
c) Tidak menjaga
moralitas, akhlak, adab, dan etika dalam berbeda pendapat dan dalam menyikapi
para pemilik atau pengikut madzhab dan pendapat lain. (M. Quraish Shihab, 2000:
496)
Fanatisme
beberapa kelompok atau mazhab dalam Islam tersebut terkadang memicu tindakan
pengkafiran satu sama lain atas dasar klaim kebenaran yang ada pada mereka.
Namun sekiranya umat Islam memahami bahwa kebenaran agama adalah apa yang
ditemukan manusia dari pemahaman kitab sucinya sehingga kebenaran itu dapat
beragam dan Allah merestui perbedaan cara keberagamaan itu (absolutisme
kebenaran Allah dan relativisme kebenaran manusia) atau apa yang dikenal dalam
ajaran Islam dengna istilah tanawu’ al-ibadah, maka niscaya tidak akan
timbul kelompok-kelompok yang fanatik dan mengklaim bahwa kebenaran ada pada
mereka.
Asumsi
ini sejalan dengan kehendak Allah yang menyatakan: “Seandainya Allah
menghendaki, niscaya Dia menjadikan manusia satu umat (tetapi Allah tidak
menghendaki itu) sehingga mereka akan terus menerus berbeda pendapat”. Oleh
karena itu, sungguh ironi jika ada yang memutlakkan jatuhnya siksa Allah kepada
selain golongannya, seakan-akan ingin membatasi Rahmat Allah. Padahal Allah
sendiri menyatakan bahwa rahmat-Nya melebihi Amarah-Nya.
Jika
persamaan dalam bidang akidah dan toleransi dalam bidang furu’ dipahami
secara benar, maka hal itu dapat mengantarkan kepada pemantapan ukhuwah
islamiyah yang didasari oleh:
1) Konsep tanawu’
al-ibadah, yang mengantar kepada pengakuan akan adanya keragaman yang
dipraktekkan Nabi Saw dalam bidang furu’ sehingga semua diakui
kebenarannya.
2) Al-Mukhthi’ fi al-Ijtihad lahu ajr (yang salah pun dalam
berijtihad mendapatkan ganjaran, di samping penentuan yang benar dan salah
bukan di tangan makhluk tapi di tangan Allah Swt.).
3) La hukma lillah qabla ijtihad al-Mujtahid (Allah belum menetapkan suatu
hukum sebelum upaya ijtihad seorang mujtahid, sehingga hasil ijtihadnya itulah
yang merupakan ketetapan hukum Allah bagi masing-masing mujtahid, walaupun
berbeda-beda.
Dengan
konsep seperti itu, maka yang menjadi urgen untuk dipersoalkan adalah bagaimana
pentingnya mengenal dan mengetahui secara benar ajaran Islam yang murni sebagai
bentuk filsafat sosial, keyakinan ketuhanan, aturan pola pikir, kepercayaan
yang konstruktif, komprehensif, dan akan mengantarkan manusia kepada
kebahagiaan dunia akhirat. Lebih jauh lagi adalah pentingnya mengenal dan
mengetahui kondisi dan tuntutan zaman dengan berbagai pendekatan yang
berorientasi kepada mas}lahah umat secara lebih luas.
Islam
adalah agama yang diturunkan Tuhan untuk menjadi rahmat bagi alam semestanya.
Pesan kerahmatan dalam Islam benar-benar tersebar dalam teks-teks Islam, baik
Alqur’an maupun hadis.
Kata
“rahman” yang berarti kasih sayang, berikut derivasinya, disebut berulang-ulang
dalam jumlah yang begitu besar, lebih dari 90 ayat dalam Alqur’an. Bahkan, dua
kata rahman dan rahim yang diambil dari kata ‘rahmat’ dan selalu disebut-sebut
kaum Muslim setiap hari adalah nama-nama Tuhan sendiri (asmaul husna). Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Sayangilah
siapa saja yang ada di muka bumi niscaya Tuhan menyanyanginya.”
Alqur’an,
sumber Islam paling otoritatif, menyebutkan misi kerahmatan ini, wama ar
salnaka illa rahmantan lil’alamin (Aku tidak mengutus Muhammad, kecuali
sebagai rahmat bagi alam semesta). Ibnu Abbas, ahli tafsir awal, mengatakan
bahwa kerahmatan Allah meliputi orang-orang Mukmin dan orang kafir. Alqur’an
juga menegaskan, rahmat Tuhan meliputi segala hal (QS. al-A’raf/7: 156). Karena
itu, para ahli tafsir sepakat bahwa rahmat Allah mencakup orang-orang Mukmin
dan orang-orang kafir, orang baik (al-birr)
dan yang jahat (al-fajir), serta
semua makhluk Allah.
Alqur’an
memiliki posisi yang amat vital dan terhormat dalam masyarakat Muslim di
seluruh dunia. Di samping sebagai sumber hukum, pedoman moral, bimbingan
ibadah, dan doktrin keimanan, Alqur’an juga merupakan sumber peradaban yang
bersifat historis dan universal.
Kehadiran
sosok Muhammad Rasulullah dan Alqur’an ini telah mengubah orientasi cara
berpikir masyarakat Arab yang kala itu sangat kesukuan menjadi berpikir
kosmopolit. Tradisi dan energi saling berperang antarsuku diubah menjadi
kekuatan, lalu diarahkan untuk membangun peradaban baru yang bersifat
kosmopolit, melewati batas etnis dan wilayah kesukuan mereka.
Karena
itu, pusat-pusat peradaban Islam bermunculan di berbagai wilayah di luar
Makkah-Madinah, tempat Alqur’an diwahyukan. Semua ini terjadi karena kehadiran
Alqur’an mampu mengubah pola dan cara berpikir mereka. Pranata dan wibawa hukum
ditegakkan sehingga muncul masyarakat Madinah.
Fungsi
kerahmatan ini ditegaskan oleh Nabi Muhammad SAW melalui sabdanya, innama bu’istu liutammima makarimal akhlak
(Aku diutus Tuhan hanya untuk menyempurnakan akhlak). Akhlak luhur adalah moral
dan nilai-nilai kemanusiaan, seperti kejujuran, keadilan, menghormati, dan
menyayangi orang lain dan sebagainya. Sementara itu, kekerasan, kesombongan,
dan kezaliman adalah berlawanan dengan akhlakul karimah.
Terkait dengan itu, Oleh Hamka
Haq dalam pidato pengukuhan guru besarnya, memandang perlunya teologi sebagai
landasan filosofis imani untuk mendapat posisi penting sebagai paradigma dalam
upaya pemikiran dan pelaksanaan syariat Islam. Secara teologis, Islam
mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk paling mulia. Agama yang merupakan
makhluk adalah diciptakan Tuhan untuk keperluan manusia, maka dengan sendirinya
kepentingan manusia menjadi inti dari ajaran agama.
Kekeliruan besar yang dilakukan
sebagian umat Islam selama ini adalah karena mengidentikkan teks-teks agama
dengan Tuhan, sehingga setiap yang berkaitan dengan kepentingan agama, selalu
dipandang sebagai kepentingan Tuhan. Pandangan ini menurut Hamka Haq
jelas-jelas melanggar teologi (aqidah) Islam, sebab Tuhan tidak punya
kepentingan sama sekali pada semua ciptaan-Nya, tetapi sebaliknya. Manusia
beribadah kepada Tuhan bukan berarti Tuhan Mahafeodal yang butuh penyembahan
dari makhluk-Nya. Teologi Islam mengajarkan
bahwa Tuhan memiliki sifat qiyam bi nafsih, yaitu berdiri atas diri-Nya
sendiri, dan ganīyan al-alam³n, yaitu tidak butuh terhadap alam ciptaan-Nya.
Berdasar pada itu, dalam
pelaksanaan syariat Islam, bukanlah karena untuk kepentingan Allah Swt,
melainkan untuk manusia dan kemanusiaan. Melaksanakan syariat Islam tanpa
melandaskannya secara benar pada teologi akan cenderung mengarah pada fiqih
oriented semata, tanpa mempertimbangkan maksud Tuhan di balik ketetapan
hukum-Nya (maqas}id al-syarī’ah). Segala sesuatunya, termasuk syariat adalah diciptakan
demi kepentingan manusia, maka mustahil syariat bertentangan dengan kemaslahatan
manusia, dan Tuhan tidak mungkin menganiaya hamba-Nya melalui pengadaan syariat
tersebut.
C. Kesimpulan
Idealnya, Islam lahir untuk manusia
agar mendapatkan jalan lurus menuju kebahagiaan hidup. Demikian pula syariat-Nya
dibuat sedemikian rupa sehingga manusia merasa mudah untuk mengamalkannya.
Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan aliran pemikiran, telah melahirkan
keragaman interpretasi terhadap Islam yang tak jarang saling bertentangan
secara diametris. Metode-metode yang ditempuh oleh banyak tokoh dalam memahami
Islam, terutama dalam masalah ritual (fiqh) dinisbatkan oleh para
pengikutnya sebagai mazhab yang dijadikan pedoman beribadah, padahal sang tokoh
sendiri tidak pernah menamakan dirinya mazhab tertentu, bahkan sang tokoh
begitu gigih berpegang teguh dengan sumber asli ajaran Islam. Hal ini
dibuktikan dengan jika terjadi perbedaan pendapat di antara mereka, maka mereka
salaing menghargai satu sama lain dan rela meniggalkan pendapat mereka.
Perkembangan polarisasi ini semakin
mengkristal dengan berbagai kelompok yang masing-masing mengklaim kebenaran ada
pada mereka, lebih parah lagi ketika klaim kebenaran tersebut menjadi akar
fanatisme yang eksklusif terhadap kemungkinan kebenaran lain yang datang dari
luar kelompok mereka.
Implikasi hal tersebut terhadap
masyarakat Islam yang masih awam tentunya relatif kurang menguntungkan, sebab
perbedaan yang terjadi, meskipun amat kecil, dapat saja menimbulkan clash fisik.
Namun bagi kalangan intelektual, masalah perbedaan tersebut seharusnya menjadi
kontribusi positif bagi pemikiran dan metode-metode yang ditempuh sehingga ikut
memperkaya khazanah pemikiran Islam.
Daftar
Pustaka
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta:
Intermasa, 1992.
al-Jauziyah, Ibn Qayyim. I’lam al-Muwaqi’īn ‘an Rabb al-Alamīn,
diterjemahkan oleh Asep Saefullah dan Kamaluddin Sa’diyatuharamain dalam judul Panduan
Hukum Islam. Cet. I; Jakarta: Pustaka Azzam, 2000.
Mas’ud, Abdurrahman. Menuju Paradigma Islam Humanis. Cet. I;
Yogyakarta: Gama Media, 2003.
Muthahhari, Murtadha. Islam dan Tantangan Zaman. Cet. I; Bandung:
Pustaka Hidayah, 1996Rakhmat, Jalaluddin. Islam Aktual; Refleksi Sosial
Seorang Cendekiawan Muslim. Cet. VI; Bandung: Mizan, 1994.
Shihab, M. Quraisy. Membumikan Al-Qur’an. Cet. VI; Bandung: Mizan,
1995.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar