Senin, 06 Januari 2014

PLURALITAS MAZHAB



PLURALITAS MAZHAB
(Menyikapi Fanatisme, Klaim Kebenaran di dalam Fikih)

Oleh: M. Gazali Rahman


Abstrak
            Tulisan ini mendeskripsikan fenomena umat Islam pada umumnya yang terpolarisasi dalam berbagai pemahaman tentang syariat. Bangunan persaudaraan dan persatuan sesama umat Islam dewasa ini, secara jujur diakui sampai hari ini, masih riskan dan menyedihkan. Alasannya, banyak di antara saudara-saudara kita seiman dan sekeyakinan, justru saling melakukan hal-hal yang dapat menyingkap tirai perselisihan, percekcokan, dan permusuhan antara sesamanya. Tentu saja, timbulnya percekcokan dan ketidakakuran antara sesama kaum Muslim itu adalah disebabkan oleh sempitnya wawasan terhadap Islam, selain disebabkan oleh lemahnya keimanan.
            Meskipun pada dasarnya perbedaan tersebut hanya berkisar pada hal-hal yang sifatnya furu’iah, namun implikasinya begitu luas merambah pada aspek lain yang cukup signifikan dalam penentuan berbagai ketentuan-ketentuan hukum yang menyangkut dimensi-dimensi akidah, ibadah, dan muamalah. Bahkan, ikhtilaf tersebut memiliki akar yang cukup mendasar pada perbedaan metodologis dan teknis dalam istimbath hukum.
Dalam rangka peningkatan dan pengembangan kesadaran ukhuwah islamiyah, diperlukan sikap-sikap dasar yang dapat mengkondisikan tumbuhnya budaya ukhuwah seperti sikap sabar, lapang dada, terbuka, maupun mengakui kebenaran dan kebesaran dari manapun datangnya, juga tidak memaksakan keseragaman yang tidak atau belum diterima pihak lain, tidak menilai perbedaan pendapat sebagai permusuhan tetapi lebih mengutamakan kesamaan yang ada dari perbedaannya.

Katakunci: ikhtilaf, Ukhuwah.
           
A. Pendahuluan
            If a man like Muhammad were to assumed to the leadership of modern world, he would succeed in solving its problem in a manner which would bring it to the much needed peace and happiness. Seandainya seseorang seperti Muhamamad diangkat untuk kepemimpinan di era dunia modern, ia akan berhasil memecahkan masalahnya dengan cara yang akan membawa dunia pada kedamaian dan kebahagiaan yang didambakan.
            Terlalu prematur bagi sebuah analisa jika menilai bahwa perpecahan umat dewasa ini adalah takdir. Memang, sudah menjadi hukum alam bahwa tradisionalisme melahirkan modernisme, fundamentalisme, dan konservatisme yang akan diikuti oleh liberalisme. Kronologi dialektika ini membingkai prototipe religiusitas umat dan dibumbui dengan klaim-klaim kebenaran, fanatisme, polemik berkepanjangan antara purifikasi dan bid’ah, halal dan haram, wajib dan sunnah, dan berbagai diskursus keberagamaan yang semakin membuka lebar polarisasi umat dan bahkan ulama.
            Ketika Nabi Saw bersabda bahwasanya perbedaan di kalangan umatnya adalah rahmat, maka secara teoritis perbedaan memang selalu membawa dinamika progresivitas ke arah perubahan. Namun ketika perbedaan ini menyentuh realitas dan aksentuasi keberagamaan di lapangan sosial kemasyarakatan, maka sukar untuk menemukan perbedaan tersebut sebagai rahmat. Lebih fatal lagi sekiranya anlisis terhadap fenomena keberagamaan tersebut memberikan kesimpulan terhadap relativitas kebenaran agama atau bahkan menjadikan agama sebagai opium dan biang kerok perpecahan umat.
            Oleh karena itu, makalah ini mencoba mengkaji akar yang menjadi latar belakang dari perpecahan tersebut, fanatisme masing-masing kelompok dengan klaim-klaim kebenaran mereka, serta celaan terhadap orang-orang yang melakukan perpecahan umat.
B.   Fanatisme Kelompok, Klaim Kebenaran, dan Celaan Terhadap Orang-orang yang Melakukan Perpecahan
Tidak dapat disangkal bahwasanya wajah dunia Islam dewasa ini sangat fenomenal dengan dua kecenderungan; yakni pertentangan antara kelompok yang ekstrim dan kelompok yang liberal. Perbedaan mazhab, faham, firqah, semakin mereduksi konsep ummatan wahidah (umat yang satu) dalam anatomi dunia Islam.
Meskipun pada dasarnya perbedaan tersebut hanya berkisar pada hal-hal yang sifatnya furu’iah, namun implikasinya begitu luas merambah pada aspek lain yang cukup signifikan dalam penentuan berbagai ketentuan-ketentuan hukum yang menyangkut dimensi-dimensi akidah, ibadah, dan muamalah. Bahkan, ikhtilaf tersebut memiliki akar yang cukup mendasar pada perbedaan metodologis dan teknis dalam istimbath hukum.
Menapaki gerak sejarah Islam, kodifikasi terhadap Alquran dan hadis sesungguhnya merupakan ikhtiar yang telah membuka selebar-lebarnya ruang bagi upaya pembentukan legalisme dan ortodoksi ajaran Islam yang mulanya universal dan global ke arah pembahasan dan defenisi yang lebih tegas terhadap berbagai persoalan. Begitupula dengan upaya-upaya spektakuler dari para imam mazhab yang secara reflektif telah berijtihad guna menentukan epistemologi hukum dari berbagai masalah berdasarkan kebenaran internal Alquran yang dipadukan dengan realitas eksternal masyarakat di zaman mereka.
Meskipun di satu sisi, usaha para ahli fikih dalam mengkodifikasi syariat dinilai telah menutup pintu ijtihad, namun pada dasarnya hal tersebut menegaskan tentang kemustahilan membatasi keragaman faktual terhadap aturan-aturan yang dinilai prinsipil untuk melegitimasi pengamalan ajaran-ajaran agama. Di sisi lain, ortodoksi dan kodifikasi syariat cenderung berupaya mentransendensikan berbagai peristiwa, pelaku, dan ajaran-ajaran Alquran. Praktek hukum yang didasarkan pada usaha pragmatis untuk mengelaborasi ajaran Alquran dengan kebudayaan lokal lambat laun kehilangan pijakan dan menjadi disiplin ilmu, serta memunculkan sistem keulamaan, mazhab, firkah yang mengklaim telah menemukan hukum yang pasti dan tak berubah.
Bertolak dari itu, tidak jarang setiap perselihan tersebut merefleksikan peran politik ulama yang menguntungkan kelompok tertentu dalam melakukan penghakiman terhadap yang lain. Sampai hari ini, pertentangan antara ekstrimitas dengan liberalisme pemahaman terhadap nash-nash Alquran maupun hadis telah menjadi memori kolektif umat Islam dan menjadi embrio fundamentalisme agama, fanatisme kelompok dan klaim-klaim kebenaran.
Oleh Ibn Qayyim al-Jauziyah, fanatisme dan kelompok yang mengklaim berpegang pada kebenaran tersebut dibagi ke dalam tiga golongan yang masing-masing berbeda dalam menyikapi masalah asal (pokok) dan dalam menyikapi masalah furu’ (cabang), yakni perbedaan metodologis dalam membangun epistemologi penetapan hukum suatu kejadian ataupun perbedaan interpretasi terhadap nash-nash (landasan normatif) yang dijadikan dalil atau pijakan penetapan hukum.
Golongan pertama adalah mereka yang menolak qiyas secara mutlak, memperdebatkan qiyas dan mengingkari hukum, ‘illat, dan munasabat. Golongan ini mengklaim diri berpegang pada tamsil (perumpamaan) sehingga mereka merasa perlu untuk memperluas pemahaman secara tekstual dan menggunakan istishab dalam metodologi istimbat hukum. Mereka juga berlebihan dalam menggunakan dan mengembangkan kedua hal itu sehingga pemahaman dan penetapan hukum dari nash tidak lagi memperdulikan hukum yang bersifat tersirat yang ada di balik nash. Jika mereka tidak memahami hukum yang ada di dalam nash, maka mereka menolak hukum tersebut dan menggunakan istishab.
Golongan kedua yaitu mereka yang menganggap nash-nash itu tidak mencakup segala macam hukum yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, sehingga hukum-hukum tersebut harus ditetapkan berdasarkan qiyas. Sedangkan golongan ketiga adalah mereka yang berpandangan bahwa sesungguhnya nash-nash itu mencakup hukum segala peristiwa, sehingga nash-nash tersebut dianggap mencukupi dan memenuhi kebutuhan dalam penetapan hukum, sehingga penggunaan qiyas hanyalah pada dilalah nash yang tersembunyi atau sukar dipahami oleh orang alim sekalipun.
Bahkan, dalam kaitan wacana penerapan syariat pun, terdapat perselisihan pandangan yang tidak hanya dengan non-muslim, tetapi juga dalam internal Islam sendiri yang akibatnya gagasan penerapan syariat Islam dalam tataran tertentu mengalami kemandulan. Paling tidak ada tiga pandangan atau sikap umat Islam terhadap penerapan syariat Islam, pertama, yaitu kelompok skripturalis, yang menginginkan hukum Islam diformalkan sebagaimana tertulis dalam teks Alqur'an dan Sunnah.
Kedua, kelompok substansialis, yang berpandangan bahwa penerapan hukum Islam tidak mesti persis seperti apa yang disebutkan dalam teks Alqur'an dan Sunnah. Qisas, rajam, potong tangan, hanyalah alternatif bagi terciptanya keadilan dan kepastian hukum di masa awal Kemunculan Islam, asalkan maqasid al-syarī’ah (tujuan diterapkannya hukum Islam) bisa terlaksana, maka sah-sah saja hukum lain diterapkan. Misalnya hukuman potong tangan diganti dengan hukuman penjara karena sama-sama bertujuan membatasi si pelaku. Ketiga, yaitu kelompok sekularis, yang menginginkan Islam hanyalah sebagai keyakinan saja.
Jadi pada garis besarnya, pertentangan ketiga kelompok dalam metodologi istimbath hukum tersebut adalah pertentangan dalam memprioritaskan antara qiyas dan istis}ab yang berimplikasi pula pada pertentangan antara pemahaman tekstual dan kontekstual. Lebih jauh Ibn Qayyim memaparkan empat kesalahan dalam ikhtilaf tersebut, yaitu; pertama, penolakan qiyas yang sahih tanpa kecuali meskipun illat-nya berdasarkan nash yang dilihat dari segi keumuman lafaz.
Kedua, kurangnya pemahaman mereka tentang nash. Sangat banyak hukum yang ditunjukkan oleh nash tanpa mereka pahami dilalah-nya karena keterbatasan dalam memahami dilalah yang tersirat, tidak memahami kedalaman makna, peringatan, isyarat, dan tradisi objek hukum. Ketiga, penggunaan istis}ab yang melebihi batas kewajaran bahkan sampai mewajibkannya, dan hal ini disebabkan kedangkalan mereka tentang dalil naqli. Adapun kesalahan keempat yaitu keyakinan mereka bahwa akad (transaksi), syarat, dan muamalat yang dilakukan oleh orang-orang Islam adalah batal jika tidak ditetapkan berdasarkan suatu dalil yang menunjukkan keabsahannya. Apabila mereka tidak menemukan dalil yang dapat menunjukkan kepada keabsahannya, maka mereka menggunakan istis}ab untuk membatalkannya.
Senada dengan itu, Muhammad Maududi sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin Rahmat menyebut kefanatikan mazhab sebagai Khawarijisme dengan karakteristik antara lain:
1)      Pemahaman yang formalistik, mereka sangat patuh pada teks-teks formal Alquran dan hadis, hanya mengambil apa yang tersurat dan hampir tidak dapat menangkap yang tersirat.
2)      Patuh ritual tapi kurang ukhuwah, mereka sangat patuh dalam menjalankan ibadah ritual tetapi sangat kaku dalam hubungan sosial, terutama dengan sesama kaum muslimin.
Setiap tafarruq (perpecahan) merupakan ikhtilaf (perbedaan), namun tidak setiap ikhtilaf (perbedaan) merupakan tafarruq (perpecahan). Namun setiap ikhtilaf bisa dan berpotensi untuk berubah menjadi tafarruq atau iftiraq antara lain karena:
a)      Faktor pengaruh hawa nafsu, yang memunculkan misalnya ta’ashub (fanatisme) yang tercela, sikap kultus individu atau tokoh, sikap mutlak-mutlakan atau menang-menangan dalam berbeda pendapat, dan semacamnya. Faktor pelibatan hawa nafsu inilah secara umum yang mengubah perbedaan wacana dalam masalah-masalah furu’ ijtihadiyah yang ditolerir menjadi perselisihan hati yang tercela.
b)      Salah persepsi (salah mempersepsikan masalah, misalnya salah mempersepsikan masalah furu’ (cabang) sebagai masalah ushul (pokok). Hal ini biasanya terjadi pada sebagian kalangan umat Islam yang tidak mengakui dan tidak memiliki fiqhul ikhtilaf. Yang mereka miliki hanyalah fiqhut tafarruq wal iftiraq (fiqih perpecahan), dimana bagi mereka setiap perbedaan dan perselisihan merupakan bentuk perpecahan yang tidak mereka tolerir.
c)      Tidak menjaga moralitas, akhlak, adab, dan etika dalam berbeda pendapat dan dalam menyikapi para pemilik atau pengikut madzhab dan pendapat lain. (M. Quraish Shihab, 2000: 496)
Fanatisme beberapa kelompok atau mazhab dalam Islam tersebut terkadang memicu tindakan pengkafiran satu sama lain atas dasar klaim kebenaran yang ada pada mereka. Namun sekiranya umat Islam memahami bahwa kebenaran agama adalah apa yang ditemukan manusia dari pemahaman kitab sucinya sehingga kebenaran itu dapat beragam dan Allah merestui perbedaan cara keberagamaan itu (absolutisme kebenaran Allah dan relativisme kebenaran manusia) atau apa yang dikenal dalam ajaran Islam dengna istilah tanawu’ al-ibadah, maka niscaya tidak akan timbul kelompok-kelompok yang fanatik dan mengklaim bahwa kebenaran ada pada mereka.
Asumsi ini sejalan dengan kehendak Allah yang menyatakan: “Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan manusia satu umat (tetapi Allah tidak menghendaki itu) sehingga mereka akan terus menerus berbeda pendapat”. Oleh karena itu, sungguh ironi jika ada yang memutlakkan jatuhnya siksa Allah kepada selain golongannya, seakan-akan ingin membatasi Rahmat Allah. Padahal Allah sendiri menyatakan bahwa rahmat-Nya melebihi Amarah-Nya.
Jika persamaan dalam bidang akidah dan toleransi dalam bidang furu’ dipahami secara benar, maka hal itu dapat mengantarkan kepada pemantapan ukhuwah islamiyah yang didasari oleh:
1)      Konsep tanawu’ al-ibadah, yang mengantar kepada pengakuan akan adanya keragaman yang dipraktekkan Nabi Saw dalam bidang furu’ sehingga semua diakui kebenarannya.
2)      Al-Mukhthi’ fi al-Ijtihad lahu ajr (yang salah pun dalam berijtihad mendapatkan ganjaran, di samping penentuan yang benar dan salah bukan di tangan makhluk tapi di tangan Allah Swt.).
3)      La hukma lillah qabla ijtihad al-Mujtahid (Allah belum menetapkan suatu hukum sebelum upaya ijtihad seorang mujtahid, sehingga hasil ijtihadnya itulah yang merupakan ketetapan hukum Allah bagi masing-masing mujtahid, walaupun berbeda-beda.
Dengan konsep seperti itu, maka yang menjadi urgen untuk dipersoalkan adalah bagaimana pentingnya mengenal dan mengetahui secara benar ajaran Islam yang murni sebagai bentuk filsafat sosial, keyakinan ketuhanan, aturan pola pikir, kepercayaan yang konstruktif, komprehensif, dan akan mengantarkan manusia kepada kebahagiaan dunia akhirat. Lebih jauh lagi adalah pentingnya mengenal dan mengetahui kondisi dan tuntutan zaman dengan berbagai pendekatan yang berorientasi kepada mas}lahah umat secara lebih luas.
Islam adalah agama yang diturunkan Tuhan untuk menjadi rahmat bagi alam semestanya. Pesan kerahmatan dalam Islam benar-benar tersebar dalam teks-teks Islam, baik Alqur’an maupun hadis.
Kata “rahman” yang berarti kasih sayang, berikut derivasinya, disebut berulang-ulang dalam jumlah yang begitu besar, lebih dari 90 ayat dalam Alqur’an. Bahkan, dua kata rahman dan rahim yang diambil dari kata ‘rahmat’ dan selalu disebut-sebut kaum Muslim setiap hari adalah nama-nama Tuhan sendiri (asmaul husna). Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Sayangilah siapa saja yang ada di muka bumi niscaya Tuhan menyanyanginya.”
Alqur’an, sumber Islam paling otoritatif, menyebutkan misi kerahmatan ini, wama ar salnaka illa rahmantan lil’alamin (Aku tidak mengutus Muhammad, kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta). Ibnu Abbas, ahli tafsir awal, mengatakan bahwa kerahmatan Allah meliputi orang-orang Mukmin dan orang kafir. Alqur’an juga menegaskan, rahmat Tuhan meliputi segala hal (QS. al-A’raf/7: 156). Karena itu, para ahli tafsir sepakat bahwa rahmat Allah mencakup orang-orang Mukmin dan orang-orang kafir, orang baik (al-birr) dan yang jahat (al-fajir), serta semua makhluk Allah.
Alqur’an memiliki posisi yang amat vital dan terhormat dalam masyarakat Muslim di seluruh dunia. Di samping sebagai sumber hukum, pedoman moral, bimbingan ibadah, dan doktrin keimanan, Alqur’an juga merupakan sumber peradaban yang bersifat historis dan universal.
Kehadiran sosok Muhammad Rasulullah dan Alqur’an ini telah mengubah orientasi cara berpikir masyarakat Arab yang kala itu sangat kesukuan menjadi berpikir kosmopolit. Tradisi dan energi saling berperang antarsuku diubah menjadi kekuatan, lalu diarahkan untuk membangun peradaban baru yang bersifat kosmopolit, melewati batas etnis dan wilayah kesukuan mereka.
Karena itu, pusat-pusat peradaban Islam bermunculan di berbagai wilayah di luar Makkah-Madinah, tempat Alqur’an diwahyukan. Semua ini terjadi karena kehadiran Alqur’an mampu mengubah pola dan cara berpikir mereka. Pranata dan wibawa hukum ditegakkan sehingga muncul masyarakat Madinah.
Fungsi kerahmatan ini ditegaskan oleh Nabi Muhammad SAW melalui sabdanya, innama bu’istu liutammima makarimal akhlak (Aku diutus Tuhan hanya untuk menyempurnakan akhlak). Akhlak luhur adalah moral dan nilai-nilai kemanusiaan, seperti kejujuran, keadilan, menghormati, dan menyayangi orang lain dan sebagainya. Sementara itu, kekerasan, kesombongan, dan kezaliman adalah berlawanan dengan akhlakul karimah.
Terkait dengan itu, Oleh Hamka Haq dalam pidato pengukuhan guru besarnya, memandang perlunya teologi sebagai landasan filosofis imani untuk mendapat posisi penting sebagai paradigma dalam upaya pemikiran dan pelaksanaan syariat Islam. Secara teologis, Islam mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk paling mulia. Agama yang merupakan makhluk adalah diciptakan Tuhan untuk keperluan manusia, maka dengan sendirinya kepentingan manusia menjadi inti dari ajaran agama.
Kekeliruan besar yang dilakukan sebagian umat Islam selama ini adalah karena mengidentikkan teks-teks agama dengan Tuhan, sehingga setiap yang berkaitan dengan kepentingan agama, selalu dipandang sebagai kepentingan Tuhan. Pandangan ini menurut Hamka Haq jelas-jelas melanggar teologi (aqidah) Islam, sebab Tuhan tidak punya kepentingan sama sekali pada semua ciptaan-Nya, tetapi sebaliknya. Manusia beribadah kepada Tuhan bukan berarti Tuhan Mahafeodal yang butuh penyembahan dari makhluk-Nya. Teologi Islam mengajarkan  bahwa Tuhan memiliki sifat qiyam bi nafsih, yaitu berdiri atas diri-Nya sendiri, dan ganīyan al-alam³n, yaitu tidak butuh terhadap alam ciptaan-Nya.
Berdasar pada itu, dalam pelaksanaan syariat Islam, bukanlah karena untuk kepentingan Allah Swt, melainkan untuk manusia dan kemanusiaan. Melaksanakan syariat Islam tanpa melandaskannya secara benar pada teologi akan cenderung mengarah pada fiqih oriented semata, tanpa mempertimbangkan maksud Tuhan di balik ketetapan hukum-Nya (maqas}id al-syarī’ah). Segala sesuatunya, termasuk syariat adalah diciptakan demi kepentingan manusia, maka mustahil syariat bertentangan dengan kemaslahatan manusia, dan Tuhan tidak mungkin menganiaya hamba-Nya melalui pengadaan syariat tersebut.
C. Kesimpulan
            Idealnya, Islam lahir untuk manusia agar mendapatkan jalan lurus menuju kebahagiaan hidup. Demikian pula syariat-Nya dibuat sedemikian rupa sehingga manusia merasa mudah untuk mengamalkannya. Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan aliran pemikiran, telah melahirkan keragaman interpretasi terhadap Islam yang tak jarang saling bertentangan secara diametris. Metode-metode yang ditempuh oleh banyak tokoh dalam memahami Islam, terutama dalam masalah ritual (fiqh) dinisbatkan oleh para pengikutnya sebagai mazhab yang dijadikan pedoman beribadah, padahal sang tokoh sendiri tidak pernah menamakan dirinya mazhab tertentu, bahkan sang tokoh begitu gigih berpegang teguh dengan sumber asli ajaran Islam. Hal ini dibuktikan dengan jika terjadi perbedaan pendapat di antara mereka, maka mereka salaing menghargai satu sama lain dan rela meniggalkan pendapat mereka.
            Perkembangan polarisasi ini semakin mengkristal dengan berbagai kelompok yang masing-masing mengklaim kebenaran ada pada mereka, lebih parah lagi ketika klaim kebenaran tersebut menjadi akar fanatisme yang eksklusif terhadap kemungkinan kebenaran lain yang datang dari luar kelompok mereka.
            Implikasi hal tersebut terhadap masyarakat Islam yang masih awam tentunya relatif kurang menguntungkan, sebab perbedaan yang terjadi, meskipun amat kecil, dapat saja menimbulkan clash fisik. Namun bagi kalangan intelektual, masalah perbedaan tersebut seharusnya menjadi kontribusi positif bagi pemikiran dan metode-metode yang ditempuh sehingga ikut memperkaya khazanah pemikiran Islam.



Daftar Pustaka

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Intermasa, 1992.
al-Jauziyah, Ibn Qayyim. I’lam al-Muwaqi’īn ‘an Rabb al-Alamīn, diterjemahkan oleh Asep Saefullah dan Kamaluddin Sa’diyatuharamain dalam judul Panduan Hukum Islam. Cet. I; Jakarta: Pustaka Azzam, 2000.
Mas’ud, Abdurrahman. Menuju Paradigma Islam Humanis. Cet. I; Yogyakarta: Gama Media, 2003.
Muthahhari, Murtadha. Islam dan Tantangan Zaman. Cet. I; Bandung: Pustaka Hidayah, 1996Rakhmat, Jalaluddin. Islam Aktual; Refleksi Sosial Seorang Cendekiawan Muslim. Cet. VI; Bandung: Mizan, 1994.
Shihab, M. Quraisy. Membumikan Al-Qur’an. Cet. VI; Bandung: Mizan, 1995.













Tidak ada komentar:

Posting Komentar