Senin, 06 Januari 2014

Konsep Pendidikan KH. Ahmad Dahlan



KONSEP PENDIDIKAN KH. AHMAD DAHLAN
Oleh: Sitti Rahmah Syarifuddin

Pendahuluan


Sejak manusia menghendaki sebuah tatanan masyarakat yang romantis dan harmonis, maka sejak itu pula manusia melakukan aktivitas kontemplasi merenungi fenomena-fenomena kehidupan. Hasil dari perenungan panjang manusia tersebut, dimufakatilah pendidikan sebagai instrumen terbaik dalam menciptakan sebuah kehidupan yang harmonis dan romantis.[1]

Berpijak pada itu, secara potensial pendidikan menjadi sangat urgen karena merupakan suatu cara yang mapan untuk memperkenalkan seseorang pada keputusan sosial yang timbul, juga dapat menanggulangi masalah sosial tertentu, dapat memperlihatkan kemampuan yang meningkat untuk menerima dan mengimplementasikan alternatif-alternatif baru dan merupakan cara terbaik yang ditempuh masyarakat untuk membimbing perkembangan manusia sehingga menjadi filter in self sekaligus memberi motivasi untuk memberikan kontribusi pada kebudayaan hari esok.[2]
Pada sisi yang lain, pendidikan merupakan sebuah elemen kehidupan dan basis prinsip kesempurnaan personal maupun kolektif yang berupaya secara serius untuk melestarikan nilai-nilai hidup tertentu. Lebih dari itu, penddikan merupakan proses pembudayaan yang bermetamorfosis dalam bentuk konstruk peradaban yang diharapkan dapat lebih memanusiakan manusia. Karena itu, tak jarang kajian pendidikan didahului oleh kajian mendalam mengenai konsep, dasar berpijak, dan arah yang akan dicapai dari kegiatan pendidikan itu.
Signifikansi pendidikan secara metodologis dengan berbagai perangkat epistemologinya telah disadari jauh sebelumnya oleh para tokoh-tokoh pendidikan yang kemudian dikembangkan lebih luas dalam bentuk institusionalisasi pendidikan yang diharapkan dapat berperan aktif dalam akselerasi pembangunan dan perubahan masyarakat ke arah kehidupan yang lebih baik. Salah satu tokoh yang pendidikan Islam yang akan diketengahkan dalam makalah ini adalah KH. Ahmad Dahlan dengan beberapa uraian singkat tentang biografi dan kontribusinya dalam konsep pendidikan Islam di Indonesia.
B. Pembahasan
1.       Biografi KH. Ahmad Dahlan
Ahmad Dahlan lahir di Kampung Kauman-Yogyakarta pada tahun 1868 M dengan nama Muhammad Darwis. Ayahnya K.H. Abu Bakar adalah imam dan khatib Masjid Besar Kauman-Yogyakarta, sementara ibunya Siti Aminah adalah anak K.H. Ibrahim, penghulu besar di Yogyakarta.[3] Seperti layaknya anak-anak di Kampung Kauman pada waktu itu yang diarahkan pada pendidikan informal agama Islam, sejak kecil Muhammad Darwis sudah belajar membaca Quran di kampung sendiri atau di tempat lain. Ia belajar membaca Quran dan pengetahuan agama Islam pertama kali dari ayahnya sendiri dan pada usia delapan tahun ia sudah lancar dan tamat membaca Quran.[4]
Setelah menamatkan pendidikan dasarnya di suatu madrasah dalam bidang nahwu, fikih, dan tafsir di Yogyakarta, ia pergi ke Mekkah pada tahun 1890 selama lima tahun untuk menuntut ilmu agama Islam seperti qira’at, tauhid, tafsir, fikih, tawawuf, ilmu mantik dan falak. Sekembalinya dari Makkah, ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.[5] Sekitar tahun 1903 ia kembali ke Mekkah selama dua tahun dan banya belajar pada adalah Syekh Ahmad Khatib.[6]
Dalam pengembaraan intelektualnya, KH. Ahmad Dahlan banyak tertarik dan dipengaruhi oleh pemikiran Ibn Taimiyah, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha. Tafsir al-Manar adalah salah satu kitab tafsir yang menjadi sumber inspirasi dan motivasinya untuk mengadakan perbaikan dan pembaruan umat Islam di Indonesia.[7]
Sebelum mendirikan organisasi Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan aktif dalam beberapa organisasi yang terkenal pada saat itu seperti Budi Utomo, Jami’at Khair, dan Sarekat Islam. Di samping itu ia juga menjadi tenaga pengajar pada beberapa sekolah negeri, dan pada tahun 1911 ia berhasil mendirikan sekolah yang teratur secara organisatoris dengan sistem kelas sebagaimana sekolah Belanda pada masa itu.[8]
Dalam perjalanan perjuangannya, purifikasi praktek keagamaan yang diusung oleh KH. Ahmad Dahlan cenderung kontroversi dengan sebagian ulama konservatis yang menilainya tidak sejalan dengan ajaran Islam. KH. Ahmad Dahlan wafat pada tanggal 23 Februari 1923 / 7 Rajab 1340 di Kauman-Yogyakarta dalam usia 55 tahun dengan mewariskan sebuah organisasi Islam yang cukup besar di Indonesia.[9]
2.      Konsep Pendidikan KH. Ahmad Dahlan
Pembentukan ide progresif dan aktivitas baru pada diri KH. Ahmad Dahlan tidak dapat dipisahkan dari proses sosialisasi dirinya sebagai ulama dan serta dengan alur pergerakan sosial-keagamaan, kultural, dan kebangsaan yang sedang berlangsung di Indonesia pada awal abad XX. Beliau secara aktif banyak terlibat dalam dialog-dialog yang yang mengupas masalah agama Islam maupun masalah umum yang terjadi dalam realitas masyarakat, terutama yang secara langsung berhubungan dengan kestatisan, atau keterbelakangan penduduk muslim pribumi di tengah- tengah masyarakat kolonial.[10]
Hal ini mencerminkan suatu kesadaran mengenai kebutuhan untuk mengatasi persoalan yang dihadapi orang-orang muslim Indonesia melalui usaha mengubah makna iman dari aspek-aspek luar kehidupan agama kepada pengetahuan yang lebih mendalam tentang dasar-dasar Islam. Usaha ini juga menekankan pemenuhan spiritual sebagai pra-kondisi bagi pembaruan Islam yang memberikan tekanan pada prinsip pemahaman dan pengamalan ajaran-ajaran dasar Islam yang benar dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karenanya, KH. Ahmad Dahlan berpendapat bahwa meskipun terdapat perbedaan-perbedaan dalam tradisi otentik agama, namun perbedaan-perbedaan itu harus mendorong umat Islam untuk lebih mengkaji spirit ajaran agama secara rasional untuk menemukan kebenaran yang inheren dengan kehendak Ilahiah.[11]
Bagi KH. Ahmad Dahlan, kemerosotan keagamaan tidak disebabkan oleh kekurangan Islam, sebaliknya kemerosotan itu dikaitkan dengan kondisi di mana Islam itu dipraktekkan. Dengan kata lain, proses islamisasi mungkin membawa sebagian besar umat Islam kepada taklid dalam upaya mereka memahami ajaran-ajaran Islam. Di satu sisi, mereka tidak menerima Islam secara formal melalui bai’at di hadapan seorang yang memiliki otoritas spiritual (sebagaimana sahabat berbai’at kepada Rasulullah), dan di sisi lain mereka juga tidak menerima pengajaran apapun tentang dasar-dasar iman mereka. Penerimaan terhadap Islam dalam model ini di satu pihak menumbuhkan semangat emosi keagamaan yang berlebihan, tetapi di pihak lain melahirkan kekurangan wawasan tentang ajaran Islam.[12]
Salah satu mainstream yang menjadi pijakan KH. Ahmad Dahlan dalam merefleksikan konsep pendidikannya adalah pandangan beliau yang menilai bahwa pengetahuan merupakan elemen perubahan sosial yang penting. Karena itu, setiap muslim ditekankan untuk menguasai ilmu-ilmu dunia sebagaimana ia juga harus menguasai ilmu-ilmu agama yang kemudian tidak hanya dipahami secara teoritis tetapi juga harus diimplementasikan untuk kepentingan masyarakat. KH. Ahmad Dahlan berulang kali menekankan bahwa setiap manusia harus menggunakan akal untuk memperbaiki keyakinan, usaha, dan tujuan kehidupan ini, serta memahami Kebenaran. [13]
Agama sebagai kebutuhan dasar manusia harus diorientasikan pada kemajuan dan perbaikan, karena itu penafsiran ajaran agama harus didasarkan pada akal untuk diterapkan dalam kehidupan praktis. Hubungan fungsional antara agama dan akal ini menjadi penting; pertama, untuk memahami kebenaran yang terkandung dalam Alqur’an dan al-Sunnah; kedua, untuk mengungkapkan tujuan-tujuan yang terkandung dalamkedua sumber itu; ketiga, untuk mempertimbangkan situasi di mana perintah agama bisa diimplementasikan; dan keempat, untuk meratakan jalan bagi pelaksanaan ajaran Islam yang berkaitan dengan urusan-urusan keduniaan.[14]
KH. Ahmad Dahlan menyadari bahwa akal harus dikembangkan melalui pendidikan. Ia berpendapat bahwa secara prinsipil, akal bisa menerima setiap pengetahuan, karena pengetahuan itu merupakan prasyaratnya. Alat paling penting pengembangan akal ialah logika yang mengkaji segala sesuatu yang sesuai dengan kehidupan nyata. Bagi KH. Ahmad Dahlan, logika merupakan metode yang menyatukan antara ideal dan realitas. Mengenai ajaran Islam yang ideal, logika menuntut implementasi konkrit ajaran Alqur’an dan penerjemahannya ke dalam realitas sosial.
Lebih jauh, KH. Ahmad Dahlan menekankan enam elemen penting pengetahuan: pertama, masalah harus dirumuskan atas dasar pemahaman terhadap realitas; kedua, berpikir dan bertindak harus dilakukan secara sungguh-sungguh; ketiga, setiap tindakan harus didasarkan pada akal yang jelas untuk menghindari kesalahan; keempat, seseorang harus memlihara apa yagn telah dicapai karena ia merupakan modal yang berharga; kelima, harus ada keyakinan yang teguh dalam membuat pilihan; keenam, seseorang harus mampu menempatkan dan memecahkan masalah secara benar, karena pengetahuan hanya akan menjadi sia-sia jika tidak diamalkan sesuai dengan situasi nyata. Semua kriteria ini mendorong individu-individu untuk memiliki integritas intelektual dan moral, yang pada gilirannya akan membawa pada kebijaksanaan.[15]
Kesadaran terhadap signifikansi pengetahuan inilah yang menjadi mainstream KH. Ahmad Dahlan dalam upayanya melakukan pengembangan pendidikan yang kemudian dilatari pula oleh situasi pendidikan Islam yang secara internal memperihatinkan dan bertentangan dengan sistem pendidikan penjajah yang dikembangkan di Indonesia. Atas dasar itu maka KH. Ahmad Dahlan kemudian memperkenalkan metode baru sistem pendidikan Islam yang dikembangkan melalui sintesa antara sistem pendidikan Islam tradisional yang berbasis di pesantren dengan sistem pendidikan modern, kolonial. Visi pendidikan yang ditawarkan adalah mencoba memadukan aspek-aspek keagamaan semata yang dikembangkan dalam pendidikan Islam, dengan yang bersifat duniawi (profene) dari sistem pendidikan kolonial. Sedangkan tujuan akhirnya (the ultimate goal) yang ingin dicapai ialah untuk menghasilkan output yang memiliki pengetahuan umum yang memadai atau yang juga diistilahkan dengan “ulama intelek”.[16]
Upaya yang dilakukan KH. Ahmad Dahalan secara eksplisit dapat ditemukan melalui format kurikulum pada beberapa institusi pendidikan yang dibangun oleh Muhammadiyah. Sikap mengambil jalan tengah dalam sistem pendidikan ini sangat penting dalam upaya rekonsiliasi antara Islam dan pemikiran Barat. Output-nya pun dapat menjembatani kesenjangan antara kaum santri tradisional dan intelektual lulusan pendidikan Barat. Di samping itu juga membawa pengaruh yang cukup luas pada perkembangan kehidupan keagamaan di Indonesia, yakni menepis budaya “paternalistik Kiai-Santri”, melahirkan paham egaliterian serta membawa nuansa baru perkembangan pemikiran Islam di Indonesia. Sehingga studi-studi tentang pembaharuan Islam di Indonesia diangap kurang valid jika tidak melibatkan Muhammadiyah sebagai objek kajiannya.[17]
Berdasar pada uraian tersebut maka dapat diketahui konsepsi pendidikan yang dikemukakan KH. Ahmad Dahlan sebagai berikut;
1.      Membawa pembaharuan dalam bidang pembentukan lembaga pendidikan Islam yang semula sistem pesantren menjadi sistem sekolah.
2.      Memasukkan pelajaran umum kepada sekolah-sekolah agama atau madrasah.
3.      Mengadakan perubahan dalam metode pengajaran dari semula pengajaran sorogan (monoton) kepada metode pengajaran yang lebih variatif.
4.      Mengajarkan sikap hidup yang terbuka dan toleran.
5.      Melalui organisasi Muhammadiyah telah mengembangkan lembaga pendidikan yang lebih bervariasi dan memperkenalkan manajemen yang modern ke dalam sistem pendidikan.
C. Penutup
            Sepanjang sejarah manusia, pendidikan telah mengalami perkembangan yang sejalan dengan perkembangan manusia itu sendiri, ketika manusia berada pada kebudayaan yang serba sederhana, pendidikanpun masih sangat sederhana. Akan tetapi, di saat manusia telah mulai mengembangkan kebudayaanya yang serba kompleks, maka dengan sendirinya pendidikan menjadi suatu hal yang sangat kompleks.
Di sisi lain, universalitas Alqur’an dan ajaran-ajaran sunnah yang diperkaya oleh penafsiran ulama sesungguhnya telah banyak memberikan inspirasi bagi konstruk epistemologi pendidikan dengan konsepsinya yang khas. Hal ini pula yang menjadi motivasi dan spirit bagi KH. Ahmad Dahlan untuk melakukan berbagai revormasi terhadap sistem pendidikan di masanya yang hingga kini masih dapat dirasakan pengaruh dan manfaatnya.
            Bahkan, melalui organisasi Muhammadiyah yang banyak meneruskan ide-ide KH. Ahmad Dahlan ditemukan pula suatu bentuk kesadaran kolektif untuk membawa perubahan bangsa ke arah yang lebih baik sebagai makhluk berbudaya. Dengan kesadaran budaya dan segala potensinya, manusia dituntut untuk mampu mengelola alam semesta menjadi alam budaya sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan hidupnya. Tuntutan ini pada akhirnya menjadikan manusia mampu melahirkan kebudayaan yang lebih besar.
Sebagai sebuah elemen kehidupan dan basis prinsip kesempurnaan personal, pendidikan berperan sangat srategis dalam pembinaan suatu keluarga, masyarakat atau bangsa. Kestrategisan peranan ini pada intinya merupakan suatu ikhtiar yang dilaksanakan secara sadar, sistematis, terarah dan terpadu untuk memanusiakan peserta didik dan menjadikan mereka sebagai khalifah di muka bumi. Oleh karena itu, pendidikan sangat berperan di dalam menentukan maju tidaknya suatu peradaban manusia. Sebab, pendidikan adalah rancangan kegiatan yang paling banyak berpengaruh terhadap perubahan perilaku seseorang dan suatu masyarakat.
            Hal ini mengindikasikan peradaban sebagai pencerminan watak dan keperibadian manusia yang terpola lewat pendidikan. Maka absah jika dikatakan bahwa baik buruk atau berkualitas tidaknya watak dan keperibadian seseorang dan suatu masyarakat tergantung pada faktor pendidikan sebagai dasar serta subtansi untuk melakukan transformasi dalam berbagai dimensi aktivitas hidup.





[1]M. Arifin, 2000: 1.
[2]Harold G. Shane, 2002: 39.
[3]Menurut salah satu silsilah, keluarga Muhammad Darwis dapat dihubungkan dengan Maulana Malik Ibrahim, salah seorang wali penyebar agama Islam yang dikenal di Pulau Jawa. Sebagai anak keempat dari keluarga K.H. Abubakar, Muhammad Darwis mempunyai 5 orang saudara perempuan dan seorang saudara laki-laki. Lihat, A. Adaby Darban, 1994: 21.
                [4]Ibid.
[5]Lihat, Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1994: 83. Bandingkan, A. Adaby Darban, op. cit: 22.
[6]Deliar Noer, 1996: 85.
[7]Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, loc. cit.
[8]Ibid: 84.
[9]Lihat, Sartono Kartodirdjo, 1992: 57.
[10]Ibid: 59.
[11]Lihat, Achmad Jainuri, 2002: 78.
[12]Ibid: 84.
[13]Ibid: 101-102.
[14]Ibid.
[15]Ibid: 104-105.
[16]Hasbullah, 1995: 102-103. Lihat pula, Abuddin Nata, 1997: 206.
[17]Hasbullah, op. cit: 103. Bandingkan, Kuntowijoyo, 1991: 96.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar