KONSEP PENDIDIKAN KH. AHMAD DAHLAN
Oleh: Sitti
Rahmah Syarifuddin
Pendahuluan
Sejak manusia menghendaki sebuah tatanan masyarakat yang romantis dan
harmonis, maka sejak itu pula manusia melakukan aktivitas kontemplasi merenungi
fenomena-fenomena kehidupan. Hasil dari perenungan panjang manusia tersebut,
dimufakatilah pendidikan sebagai instrumen terbaik dalam menciptakan sebuah
kehidupan yang harmonis dan romantis.[1]
Berpijak pada itu, secara
potensial pendidikan menjadi sangat urgen karena merupakan suatu cara yang
mapan untuk memperkenalkan seseorang pada keputusan sosial yang timbul, juga
dapat menanggulangi masalah sosial tertentu, dapat memperlihatkan kemampuan
yang meningkat untuk menerima dan mengimplementasikan alternatif-alternatif
baru dan merupakan cara terbaik yang ditempuh masyarakat untuk membimbing
perkembangan manusia sehingga menjadi filter in self sekaligus memberi
motivasi untuk memberikan kontribusi pada kebudayaan hari esok.[2]
Pada sisi yang lain, pendidikan
merupakan sebuah elemen kehidupan dan basis prinsip kesempurnaan personal
maupun kolektif yang berupaya secara serius untuk melestarikan nilai-nilai
hidup tertentu. Lebih dari itu, penddikan merupakan proses pembudayaan yang
bermetamorfosis dalam bentuk konstruk peradaban yang diharapkan dapat lebih
memanusiakan manusia. Karena itu, tak jarang kajian pendidikan didahului oleh
kajian mendalam mengenai konsep, dasar berpijak, dan arah yang akan dicapai
dari kegiatan pendidikan itu.
Signifikansi pendidikan secara metodologis dengan berbagai perangkat
epistemologinya telah disadari jauh sebelumnya oleh para tokoh-tokoh pendidikan
yang kemudian dikembangkan lebih luas dalam bentuk institusionalisasi
pendidikan yang diharapkan dapat berperan aktif dalam akselerasi pembangunan
dan perubahan masyarakat ke arah kehidupan yang lebih baik. Salah satu tokoh
yang pendidikan Islam yang akan diketengahkan dalam makalah ini adalah KH.
Ahmad Dahlan dengan beberapa uraian singkat tentang biografi dan kontribusinya
dalam konsep pendidikan Islam di Indonesia.
B. Pembahasan
1.
Biografi
KH. Ahmad Dahlan
Ahmad Dahlan lahir di
Kampung Kauman-Yogyakarta pada tahun 1868 M dengan nama Muhammad Darwis.
Ayahnya K.H. Abu Bakar adalah imam dan khatib Masjid Besar Kauman-Yogyakarta,
sementara ibunya Siti Aminah adalah anak K.H. Ibrahim, penghulu besar di
Yogyakarta.[3]
Seperti layaknya anak-anak di Kampung Kauman pada waktu itu yang diarahkan pada
pendidikan informal agama Islam, sejak kecil Muhammad Darwis sudah belajar
membaca Quran di kampung sendiri atau di tempat lain. Ia belajar membaca Quran
dan pengetahuan agama Islam pertama kali dari ayahnya sendiri dan pada usia
delapan tahun ia sudah lancar dan tamat membaca Quran.[4]
Setelah menamatkan
pendidikan dasarnya di suatu madrasah dalam bidang nahwu, fikih, dan tafsir di
Yogyakarta, ia pergi ke Mekkah pada tahun 1890 selama lima tahun untuk menuntut
ilmu agama Islam seperti qira’at, tauhid, tafsir, fikih, tawawuf, ilmu mantik
dan falak. Sekembalinya dari Makkah, ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.[5]
Sekitar tahun 1903 ia kembali ke Mekkah selama dua tahun dan banya belajar pada
adalah Syekh Ahmad Khatib.[6]
Dalam pengembaraan
intelektualnya, KH. Ahmad Dahlan banyak tertarik dan dipengaruhi oleh pemikiran
Ibn Taimiyah, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha.
Tafsir al-Manar adalah salah satu kitab tafsir yang menjadi sumber
inspirasi dan motivasinya untuk mengadakan perbaikan dan pembaruan umat Islam
di Indonesia.[7]
Sebelum mendirikan
organisasi Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan aktif dalam beberapa organisasi yang
terkenal pada saat itu seperti Budi Utomo, Jami’at Khair, dan Sarekat Islam. Di
samping itu ia juga menjadi tenaga pengajar pada beberapa sekolah negeri, dan
pada tahun 1911 ia berhasil mendirikan sekolah yang teratur secara
organisatoris dengan sistem kelas sebagaimana sekolah Belanda pada masa itu.[8]
Dalam perjalanan
perjuangannya, purifikasi praktek keagamaan yang diusung oleh KH. Ahmad Dahlan
cenderung kontroversi dengan sebagian ulama konservatis yang menilainya tidak
sejalan dengan ajaran Islam. KH. Ahmad Dahlan wafat pada tanggal 23 Februari
1923 / 7 Rajab 1340 di Kauman-Yogyakarta dalam usia 55 tahun dengan mewariskan
sebuah organisasi Islam yang cukup besar di Indonesia.[9]
2.
Konsep
Pendidikan KH. Ahmad Dahlan
Pembentukan ide progresif dan aktivitas baru pada diri KH. Ahmad Dahlan
tidak dapat dipisahkan dari proses sosialisasi dirinya sebagai ulama dan serta
dengan alur pergerakan sosial-keagamaan, kultural, dan kebangsaan yang sedang
berlangsung di Indonesia pada awal abad XX. Beliau secara aktif banyak terlibat
dalam dialog-dialog yang yang mengupas masalah agama Islam maupun masalah umum
yang terjadi dalam realitas masyarakat, terutama yang secara langsung
berhubungan dengan kestatisan, atau keterbelakangan penduduk muslim pribumi di
tengah- tengah masyarakat kolonial.[10]
Hal ini mencerminkan suatu kesadaran mengenai kebutuhan untuk mengatasi
persoalan yang dihadapi orang-orang muslim Indonesia melalui usaha mengubah
makna iman dari aspek-aspek luar kehidupan agama kepada pengetahuan yang lebih
mendalam tentang dasar-dasar Islam. Usaha ini juga menekankan pemenuhan
spiritual sebagai pra-kondisi bagi pembaruan Islam yang memberikan tekanan pada
prinsip pemahaman dan pengamalan ajaran-ajaran dasar Islam yang benar dalam
kehidupan sehari-hari. Oleh karenanya, KH. Ahmad Dahlan berpendapat bahwa
meskipun terdapat perbedaan-perbedaan dalam tradisi otentik agama, namun
perbedaan-perbedaan itu harus mendorong umat Islam untuk lebih mengkaji spirit
ajaran agama secara rasional untuk menemukan kebenaran yang inheren dengan
kehendak Ilahiah.[11]
Bagi KH. Ahmad Dahlan, kemerosotan keagamaan tidak disebabkan oleh
kekurangan Islam, sebaliknya kemerosotan itu dikaitkan dengan kondisi di mana
Islam itu dipraktekkan. Dengan kata lain, proses islamisasi mungkin membawa
sebagian besar umat Islam kepada taklid dalam upaya mereka memahami
ajaran-ajaran Islam. Di satu sisi, mereka tidak menerima Islam secara formal
melalui bai’at di hadapan seorang yang memiliki otoritas spiritual (sebagaimana
sahabat berbai’at kepada Rasulullah), dan di sisi lain mereka juga tidak
menerima pengajaran apapun tentang dasar-dasar iman mereka. Penerimaan terhadap
Islam dalam model ini di satu pihak menumbuhkan semangat emosi keagamaan yang
berlebihan, tetapi di pihak lain melahirkan kekurangan wawasan tentang ajaran
Islam.[12]
Salah satu mainstream yang menjadi pijakan KH. Ahmad Dahlan dalam
merefleksikan konsep pendidikannya adalah pandangan beliau yang menilai bahwa
pengetahuan merupakan elemen perubahan sosial yang penting. Karena itu, setiap
muslim ditekankan untuk menguasai ilmu-ilmu dunia sebagaimana ia juga harus
menguasai ilmu-ilmu agama yang kemudian tidak hanya dipahami secara teoritis
tetapi juga harus diimplementasikan untuk kepentingan masyarakat. KH. Ahmad
Dahlan berulang kali menekankan bahwa setiap manusia harus menggunakan akal
untuk memperbaiki keyakinan, usaha, dan tujuan kehidupan ini, serta memahami
Kebenaran. [13]
Agama sebagai kebutuhan dasar manusia harus diorientasikan pada kemajuan
dan perbaikan, karena itu penafsiran ajaran agama harus didasarkan pada akal
untuk diterapkan dalam kehidupan praktis. Hubungan fungsional antara agama dan
akal ini menjadi penting; pertama, untuk memahami kebenaran yang
terkandung dalam Alqur’an dan al-Sunnah; kedua, untuk mengungkapkan
tujuan-tujuan yang terkandung dalamkedua sumber itu; ketiga, untuk
mempertimbangkan situasi di mana perintah agama bisa diimplementasikan; dan keempat,
untuk meratakan jalan bagi pelaksanaan ajaran Islam yang berkaitan dengan
urusan-urusan keduniaan.[14]
KH. Ahmad Dahlan menyadari bahwa akal harus dikembangkan melalui
pendidikan. Ia berpendapat bahwa secara prinsipil, akal bisa menerima setiap
pengetahuan, karena pengetahuan itu merupakan prasyaratnya. Alat paling penting
pengembangan akal ialah logika yang mengkaji segala sesuatu yang sesuai dengan
kehidupan nyata. Bagi KH. Ahmad Dahlan, logika merupakan metode yang menyatukan
antara ideal dan realitas. Mengenai ajaran Islam yang ideal, logika menuntut
implementasi konkrit ajaran Alqur’an dan penerjemahannya ke dalam realitas
sosial.
Lebih jauh, KH. Ahmad Dahlan menekankan enam elemen penting pengetahuan: pertama,
masalah harus dirumuskan atas dasar pemahaman terhadap realitas; kedua,
berpikir dan bertindak harus dilakukan secara sungguh-sungguh; ketiga, setiap
tindakan harus didasarkan pada akal yang jelas untuk menghindari kesalahan; keempat,
seseorang harus memlihara apa yagn telah dicapai karena ia merupakan modal yang
berharga; kelima, harus ada keyakinan yang teguh dalam membuat pilihan; keenam,
seseorang harus mampu menempatkan dan memecahkan masalah secara benar, karena
pengetahuan hanya akan menjadi sia-sia jika tidak diamalkan sesuai dengan
situasi nyata. Semua kriteria ini mendorong individu-individu untuk memiliki
integritas intelektual dan moral, yang pada gilirannya akan membawa pada
kebijaksanaan.[15]
Kesadaran terhadap signifikansi pengetahuan inilah yang menjadi mainstream
KH. Ahmad Dahlan dalam upayanya melakukan pengembangan pendidikan yang
kemudian dilatari pula oleh situasi pendidikan Islam yang secara internal
memperihatinkan dan bertentangan dengan sistem pendidikan penjajah yang
dikembangkan di Indonesia. Atas dasar itu maka KH. Ahmad Dahlan kemudian
memperkenalkan metode baru sistem pendidikan Islam yang dikembangkan melalui
sintesa antara sistem pendidikan Islam tradisional yang berbasis di pesantren
dengan sistem pendidikan modern, kolonial. Visi pendidikan yang ditawarkan
adalah mencoba memadukan aspek-aspek keagamaan semata yang dikembangkan dalam
pendidikan Islam, dengan yang bersifat duniawi (profene) dari sistem
pendidikan kolonial. Sedangkan tujuan akhirnya (the ultimate goal) yang
ingin dicapai ialah untuk menghasilkan output yang memiliki pengetahuan
umum yang memadai atau yang juga diistilahkan dengan “ulama intelek”.[16]
Upaya yang dilakukan KH. Ahmad Dahalan secara eksplisit dapat ditemukan
melalui format kurikulum pada beberapa institusi pendidikan yang dibangun oleh
Muhammadiyah. Sikap mengambil jalan tengah dalam sistem pendidikan ini sangat
penting dalam upaya rekonsiliasi antara Islam dan pemikiran Barat. Output-nya
pun dapat menjembatani kesenjangan antara kaum santri tradisional dan
intelektual lulusan pendidikan Barat. Di samping itu juga membawa pengaruh yang
cukup luas pada perkembangan kehidupan keagamaan di Indonesia, yakni menepis
budaya “paternalistik Kiai-Santri”, melahirkan paham egaliterian serta membawa
nuansa baru perkembangan pemikiran Islam di Indonesia. Sehingga studi-studi
tentang pembaharuan Islam di Indonesia diangap kurang valid jika tidak
melibatkan Muhammadiyah sebagai objek kajiannya.[17]
Berdasar pada uraian tersebut maka dapat diketahui konsepsi pendidikan yang
dikemukakan KH. Ahmad Dahlan sebagai berikut;
1.
Membawa
pembaharuan dalam bidang pembentukan lembaga pendidikan Islam yang semula
sistem pesantren menjadi sistem sekolah.
2.
Memasukkan
pelajaran umum kepada sekolah-sekolah agama atau madrasah.
3.
Mengadakan
perubahan dalam metode pengajaran dari semula pengajaran sorogan (monoton)
kepada metode pengajaran yang lebih variatif.
4.
Mengajarkan
sikap hidup yang terbuka dan toleran.
5.
Melalui
organisasi Muhammadiyah telah mengembangkan lembaga pendidikan yang lebih
bervariasi dan memperkenalkan manajemen yang modern ke dalam sistem pendidikan.
C. Penutup
Sepanjang sejarah manusia, pendidikan telah mengalami
perkembangan yang sejalan dengan perkembangan manusia itu sendiri, ketika manusia berada pada kebudayaan
yang serba sederhana, pendidikanpun masih sangat sederhana. Akan tetapi,
di saat manusia telah mulai mengembangkan kebudayaanya yang serba kompleks,
maka dengan sendirinya pendidikan menjadi suatu hal yang sangat kompleks.
Di sisi lain, universalitas Alqur’an dan ajaran-ajaran sunnah yang
diperkaya oleh penafsiran ulama sesungguhnya telah banyak memberikan inspirasi
bagi konstruk epistemologi pendidikan dengan konsepsinya yang khas. Hal ini
pula yang menjadi motivasi dan spirit bagi KH. Ahmad Dahlan untuk melakukan berbagai
revormasi terhadap sistem pendidikan di masanya yang hingga kini masih dapat
dirasakan pengaruh dan manfaatnya.
Bahkan,
melalui organisasi Muhammadiyah yang banyak meneruskan ide-ide KH. Ahmad Dahlan
ditemukan pula suatu bentuk kesadaran kolektif untuk membawa perubahan bangsa
ke arah yang lebih baik sebagai makhluk berbudaya. Dengan kesadaran budaya dan
segala potensinya, manusia dituntut untuk mampu mengelola alam semesta menjadi
alam budaya sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan hidupnya. Tuntutan ini pada
akhirnya menjadikan manusia mampu melahirkan kebudayaan yang lebih besar.
Sebagai sebuah
elemen kehidupan dan basis prinsip kesempurnaan personal, pendidikan berperan sangat srategis dalam
pembinaan suatu keluarga, masyarakat atau bangsa. Kestrategisan peranan ini
pada intinya merupakan suatu ikhtiar yang dilaksanakan secara sadar,
sistematis, terarah dan terpadu untuk memanusiakan peserta didik dan menjadikan
mereka sebagai khalifah di muka bumi. Oleh karena itu, pendidikan sangat
berperan di dalam menentukan maju tidaknya suatu peradaban manusia. Sebab,
pendidikan adalah rancangan kegiatan yang paling banyak berpengaruh terhadap
perubahan perilaku seseorang dan suatu masyarakat.
Hal ini mengindikasikan peradaban
sebagai pencerminan watak dan keperibadian manusia yang terpola lewat
pendidikan. Maka absah jika dikatakan bahwa baik buruk atau berkualitas
tidaknya watak dan keperibadian seseorang dan suatu masyarakat tergantung pada
faktor pendidikan sebagai dasar serta subtansi untuk melakukan transformasi
dalam berbagai dimensi aktivitas hidup.
[1]M.
Arifin, 2000: 1.
[2]Harold
G. Shane, 2002: 39.
[3]Menurut salah satu
silsilah, keluarga Muhammad Darwis dapat dihubungkan dengan Maulana Malik
Ibrahim, salah seorang wali penyebar agama Islam yang dikenal di Pulau Jawa. Sebagai anak keempat dari
keluarga K.H. Abubakar, Muhammad Darwis mempunyai 5 orang saudara perempuan dan
seorang saudara laki-laki. Lihat, A. Adaby Darban, 1994: 21.
[6]Deliar
Noer, 1996: 85.
[7]Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, loc. cit.
[9]Lihat,
Sartono
Kartodirdjo, 1992: 57.
[10]Ibid:
59.
[11]Lihat,
Achmad Jainuri, 2002: 78.
[12]Ibid:
84.
[13]Ibid:
101-102.
[14]Ibid.
[15]Ibid:
104-105.
[16]Hasbullah,
1995: 102-103. Lihat pula, Abuddin Nata, 1997: 206.
[17]Hasbullah,
op. cit: 103. Bandingkan, Kuntowijoyo, 1991: 96.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar