Jumat, 21 Februari 2014

PENDEKATAN INTEGRAL PAKAR HADIS DAN PAKAR FIkiH DALAM TELAAH KONTROVERSIAL HADIS


PENDEKATAN INTEGRAL PAKAR HADIS DAN PAKAR FIkiH
DALAM TELAAH KONTROVERSIAL HADIS

Oleh: Muhammad Ghazali Rahman

A. Pendahuluan
          Seperti lazimnya diketahui bahwa sunah sebagai pernyataan, pengamalan, taqrir, dan hal ihwal nabi Muhammad saw. merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah Alquran. Ketentuan-ketentuan mengenai halal dan haram berdiri sejajar dengan Alquran. Kata-kata nabi, sebagaimana diungkapkan Alquran merupakan wahyu Allah dengan wilayah otonom dalam kemandiriannya menetapkan hukum, meskipun pokoknya terdapat dalam Alquran.

Begitu pula perbuatan dan ajaran-ajarannya yang menjadi sumber ketentuan syari’ah, merupakan dalil yang mengikat. Ucapan beliau merupakan hujjah bagi para sahabat yang mendengar langsung Nabi mengucapkannya. Sementara bagi umumnya umat Islam yang menerimanya melalui riwayat-riwayat lisan dan tertulis dari para periwayat, otentisitasnya perlu dipastikan. Bukti otentisitas tersebut, dapat bersifat definitif (qat’iy) dan dapat pula bersifat spekulatif (zhanny).
Hal itu tidak lepas dari proses penghimpunan hadis yang baru dilakukan secara formal kurang lebih dua abad setelah meninggalnya Rasulullah. Hal ini berakibat pada panjangnya jalur periwayatan hadis yang tidak menutup kemungkinan dari perjalanannya tersebut, terintegrasinya unsur-unsur yang mempengaruhinya, baik sosial maupun budaya. Oleh karena itu penelitian terhadap otentisitas hadis sangat dibutuhkan.
Penelitan terhadap hadis telah banyak dilakukan oleh para ulama, dan mereka telah menyusun kaidah-kaidah yang berkaitan dengan penelitian tersebut untuk membuktikan apakah suatu hadis benar-benar bersumber dari Rasulullah. Namun, meskipun telah dilakukan suatu penelitian hadis dan disimpulkan bahwa hadis itu sahih berasal dari Nabi, pada kenyataannya masih ada yang tampaknya bertentangan satu sama lain, karena itulah disebut kontroversial.
Masalah kontroversial hadis telah dibahas oleh para ulama dengan cara-cara yang berbeda dalam menyelesaikannya. Namun perlu ditegaskan, bahwa hadis-hadis yang menjadi diskursus itu adalah yang sanadnya sama-sama sahih, minimal hasan. Hadis yang sanadnya lemah tentunya tidak menjadi obyek diskursus, karena hadis tersebut ditolak sebagai representasi apapun. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang bagaimana pendekatan yang dipakai oleh para ulama dalam menyelesaikan hal ini, maka penulis akan menguraikannya secara umum.
B. Pembahasan
1.    Pendekatan Integral
“Pendekatan” dalam bahasa Inggris disinonimkan dengan kata “aproach” yang berarti jalan, metode, dan cara pendekatan. Sedangkan menurut Abuddin Nata bahwa pendekatan berarti:
Suatu cara pandang yang digunakan untuk menjelaskan suatu data yang dihasilkan dalam penelitian. Suatu data dari hasil penelitian dapat menimbulkan pengertian dan gambaran yang berbeda-beda tergantung pada pendekatan yang digunakan.
Sedangkan “integral” adalah kata sifat yang berarti bulat atau utuh. Dengan demikian pendekatan integral berarti cara pandang yang utuh, bulat dalam memahami sebuah objek.
2.    Kontroversi Hadis
“Kontroversi” oleh ulama hadis didefinisikan sebagai berikut:
العلم الذى يبحث فى الأحاديث التي ظهرها متعارض فيزيل تعارضها أو يوافق بينها كما يبحث فى الأحاديث التي يشكل فهمها أوتصورها فيدفع أشكالها ويوضح حقيقتها.
Ilmu yang membahas tentang hadis hadis yang tampaknya saling bertentangan, lalu dihilangkan pertentangan itu atau dikompromikan, di samping membahas hadis-hadis yang sulit dipahami atau dimengerti, lalu dihilangkan kesulitan itu dan menjelaskan hakikatnya.
   Berpijak pada defenisi tersebut maka dapat dirumuskan bahwa kontroversi hadis adalah hadis-hadis yang lahirnya bertentangan dengan hadis lain atau ketentuan hukum lainnya serta kaedah-kaedah baku sehingga mengesankan ambivalensi makna dan kerancuan.

3.   Pakar Fikih dan Hadis
Pertentangan dua tipe ideal ulama; ahli hadis (muhaddis) dan ahli hukum (fakih) terkadang digambarkan sebagai pertentangan antara teoretisi dan pragmatis yang terejawantahkan dalam sikap yang berbeda secara fundamental terhadap hadis. Muhaddis terutama memperhatikan sanad hadis dan mendasarkan penilaian mereka tentang keaslian hadis sepenuhnya pada dasar-dasar formal. Sedangkan fakih memperhatikan isi, semangat, dan relevansi sebuah hadis dalam konteks syari’ah secara utuh. Ciri utama metode fakih adalah keinginan untuk keluar dari kritik eksternal hadis untuk menelaah isi atau matan hadis dengan asumsi bahwa ukuran puncak keotentikan hadis terletak dalam isinya, bukan pada rantai periwayatannya.
Diskursus ini lebih jauh memberi atribut yang mengklasifikasi kelompok pertama sebagai golongan tekstualis dan kelompok kedua sebagai golongan kontekstualis. Namun klasifikasi ini tidak sepenuhnya tepat karena kapasitas seperti Imam Syafi’i, Malik, Ahmad, dan Abu Hanifah tidak saja sebagai pakar fikih, ilmu mereka tentang hadis juga tidak diragukan. Oleh karena itu, ukuran untuk mengklasifikasikan mereka didasarkan pada persentase popularitas ulama tersebut dalam pandangan ulama lainnya.
Meskipun demikian tidaklah signifikan untuk lebih membahas diskursus kedua tipe ulama tersebut dalam kajian ini, sebab diskursus mereka bertolak pada klaim dikotomi urgensitas antara sanad dan matan, sedangkan penekanan pada pembahasan kontroversi hadis ini hanya meninjau pada aspek yang mengupayakan integralisasi metode dari kedua pakar tersebut.
4.   Kontroversi Hadis sebagai Objek Ulum al-Hadis
          Hadis kontroversial dalam ilmu hadis biasa disebut dengan Musykil al-Hadis atau Mukhtalif al-Hadis, kadang disebut dengan istilah mukhalafat al-Hadis dan dalam istilah fikih disebut al-Ta’arudh’ atau al-Ta’adul atau al-Taqabul. Mukhtalif al-Hadis dimaknai dengan hadis-hadis yang lahirnya bertentangan dengan kaedah-kaedah baku sehingga mengesankan ambivalensi makna atau kerancuan serta bertentangan dengan hadis lain atau ketentuan hukum yang lain.
Munculnya hadis-hadis yang tampaknya saling bertentangan tentu menjadi suatu hal yang sulit diterima secara rasional, betapa tidak hadis-hadis tersebut berasal dari satu orang dengan klaim atau keyakinan bahwa Nabi berada di bawah bimbingan dan pengawasan Tuhan. Secara hakiki, tidak mungkin satu kebenaran berbenturan dengan kebenaran lainnya, sehingga kalaupun kemudian disinyalir adanya hadis-hadis yang saling bertentangan, maka hal itu hanyalah terjadi pada aspek tekstual hadis (makna lahiriah) dan dalam tataran keterbatasan rasio manusia.
 Keterbatasan ini dapat berupa kedangkalan terhadap latar belakang ataupun fakta-fakta historis, sifatnya yang temporal, kondisional, lokal dan universal, termasuk dalam hal ini adalah terjadinya periwayatan bi al-ma’na tanpa dukungan fakta historis yang melingkupi hadis. Hal itu menyebabkan terjadinya simplikasi, distorsi, dan reduksi dari rentetan panjang generasi yang pada akhirnya tampaklah hadis-hadis tersebut bertentangan.
Secara umum hadis yang dimaksud bertentangan dengan kaidah-kaidah baku adalah apabila menyalahi pandangan umum yang lazim, menyimpang dari kaidah-kaidah umum tentang hukum dan akhlak, menyalahi realitas indrawi, menyalahi kebenaran aksiomatik dalam dunia sains dan ilmu pengetahuan, bertentangan dengan rasio sehubungan dengan pokok aqidah termasuk sifat-sifat Allah dan Rasul-Nya, bertentangan dengan sunnatullah pada alam semesta dan kehidupan manusia dan bertentangan dengan fakta historis yang otentik mengenai zaman Rasulullah.
Adapun yang dimaksud bertentangan dengan ketentuan hukum (nash syara) yaitu apabila menyalahi Alquran dan Hadis yang telah jelas hukumnya dan menyalahi ijma ulama yaitu hukum yang telah disepakati ulama berdasarkan Alquran dan Hadis.
Upaya penyelesaian diskursus hadis-hadis kontroversi di kalangan pakar hadis dan fikih ternyata juga memiliki perbedaan metode yang signifikansinya masih perlu ditelaah lebih jauh. Perbedaan itu terletak pada urutan antara nasakh, tarjih, dan tauqif, hal tersebut dapat dipahami melalui pendapat-pendapat ulama sebagai berikut:
1.   Sebagian ahli ushul menetapkan bahwa hal pertama yang diupayakan ialah melihat historisitas datangnya teks/nash. Nash yang datang lebih akhir tentu lebih kuat daripada yang datang lebih dahulu, karena ia menjadi nāsikh (penghapus) terhadap nash yang datang lebih awal. Kemudian bila usaha itu tidak berhasil, maka selanjutnya adalah men-tarjih salah satu dari keduanya. Bila usaha mentarjih ini juga gagal, maka diusahakan untuk men-taufiq kedua dalil itu. Akhirnya bila seorang tidak mampu men-taufiq-kannya maka sebaiknya tidak mengamalkan kedua dalil itu.
2.  Menurut Imam al-Gazali sebagaimana yang dikutip M. Yahya bahwa usaha-usaha untuk menghadapi hadis yang kontroversial ialah dengan men-jama’-kan keduanya bila mungkin. Bila tidak mungkin lalu mencari sejarah datangnya. Kalaupun mencari sejarahnya tidak berhasil maka meninggalkan ber-istidālal dari keduanya dan selanjutnya mencari hukum dari dari dalil yang lain. Jika tidak mendapatkan dalil lain maka ia dapat memilih di antara keduanya.
3.       Abdul Wahab al-Khallaf menertibkannya dengan urutan: men-jama’-kan sekaligus men-taufiq, mentarjihkan salah satunya, meneliti sejarah datangnya kedua nash tersebut untuk ditetapkan yang datang kemudian sebagai nasikh terhadap apa yang datang lebih dahulu dan bila tidak juga mengetahui sisi historisnya maka berpaling untuk ber-istidālal dari kedua nash tersebut.
4. al-Syafi’i sebagaimana dikutip oleh Syuhudi Ismail memberi gambaran bahwa mungkin saja matan-matan hadis yang tampak bertentangan itu mengandung petunjuk bahwa matan yang satu bersifat global dan yang satunya lebih spesifik, mungkin yang satu bersifat umum dan yang lain bersifat khusus, mungkin satu sebagai penghapus (al-Nāsikh) dan yang lain sebagai yang dihapus (al-Mansukh) atau mungkin kedua-duanya menunjukkan kebolehan untuk diamalkan.
5. Masih menurut Syuhudi, Ibn Hajar al-Asqalani menempuh empat tahap yaitu al-Jam’u, al-Nasikh wa al- Mansukh, tarjih dan taufiq.
6.   Yusuf Qardawi menguraikan beberapa upaya untuk menghilangkan pertentangan antara nash hadis, yaitu;
a. Memahami sunnah dengan berpedoman pada Al-Qur’an.
b. Mengumpulkan hadis-hadis dalam satu objek.
c. Menggabungkan atau mentarjih.
d. Memahami hadis dengan berpedoman pada sebab, hubungan, dan tujuannya.
e.    Membedakan antara sarana yang berubah-ubah dan tujuan permanen hadis.
f.     Membedakan antara esensi dan majas dalam memahami hadis.
g.    Membedakan antara yang transenden dan yang empiris.
h.   Mengkonfirmasikan pengertian leksikal hadis secara etimologi dan epistemologi.
7.  Amir Syarifuddin menawarkan metode penyelesaian terhadap nash yang berbenturan sebagai berikut:
a.    Mengamalkan dua nash yang berbenturan
1)  Melakukan taufiq, yaitu mempertemukan dan mendekatkan pengertian dua nash yang diperkirakan berbenturan atau menjelaskan kedudukan hukum yang ditunjuk keduanya.
2)  Apabila taufiq tidak mungkin dilakukan maka usaha yang ditempuh adalah dengan melakukan takhsis, sehingga nash khusus diamalkan untuk mengatur hal yang khusus menurut kekhususannya sedangkan yang umum diamalkan menurut keumumannya setelah dikurangi dengan ketentuan yang diatur secara khusus.
b.   Mengamalkan satu di antara dua nash yang berbenturan
1)  Melakukan nasakh setelah mengetahui secara pasti historisitas nash.
2)  Apabila tidak mengetahui secara pasti historisitas nash maka dilakukan tarjih secara lebih komprehensif.
3)  Apabila kedua upaya sebelumnya tidak dapat dilakukan maka ditempuh penyelesaian secara takhyir, yaitu memilih salah satu di antaranya untuk diamalkan.
c.    Meninggalkan dua nash yang berbenturan
1)  Melakukan tawaquf, yaitu menangguhkan pengamalan kedua nash sambil menunggu kemungkinan adanya petunjuk lain untuk mengamalkan salah satunya.
2)  Melakukan tasaquth, yaitu dengan meninggalkan/ menggugurkan kedua nash sekaligus.
Berdasarkan ulasan pendapat tersebut, maka diketahui bahwa upaya integralisasi yang ditempuh oleh pakar hadis dan pakar fikih dalam penyelesaian hadis-hadis yang kontroversial ada tujuh cara, yaitu:
1. al-Jam’u, yaitu terlebih dahulu mengumpulkan hadis yang bertentangan untuk diklasifikasi dalam satu objek untuk melihat sebab kontroversi, kemungkinan hubungannya, dan tujuannya.
2. al-Tarjih, yaitu mencari qarinah atau petunjuk lain yang mungkin menguatkan salah satu di antara hadis. Tarjih dalam pengertian lain ialah menjadikan sesuatu lebih kuat atau mempunyai kelebihan daripada yang lain. atau menyatakan keistimewaan salah satu dari dua dalil yang sama dengan suatu sifat yang menjadikan lebih utama dilihat dari yang lain. Ada tiga metode tarjih yang berlaku dalam sunnah yaitu;
a.    Tarjih melalui sanad, yaitu;
1)      Mendahulukan hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih tsiqah daripada perawi yang kurang tsiqah.
2)      Mendahulukan periwayatan orang yang menerima Hadis atau mengetahui peristiwa secara langsung daripada orang yang menerimanya tidak langsung.
3)      Mendahulukan periwayatan orang yang banyak bergaul dengan Nabi daripada orang yang tidak banyak bergaul.
4)      Mendahulukan periwayatan orang yang masih kuat hafalannya daripada orang yang sudah rusak hafalannya lantaran lanjut usia.
5)      Mendahulukan periwayatan sahabat besar daripada periwayatan sahabat kecil.
6)      Mendahulukan hadis yang ditakhrijkan oleh Bukhari dan Muslim daripada yang ditakhrijkan oleh selainnya.
7)      Mendahulukan hadits yang banyak diriwayatkan orang.
b.   Tarjih melalui matan
Adapun tarjih dari segi matan, antara lain mentarjih dalil yang lebih jelas atau kuat dalalah-nya daripada yang kurang kuat. Seperti mendahulukan lafaz haqiqat daripada lafaz majaz, lafaz sharih daripada lafaz kinayah, lafaz muhkam daripada lafaz mufassar, lafaz mufassar daripada lafaz nash, lafaz nash daripada lafaz zhahir dan lafaz khafi daripada lafaz musykil. Dari segi kuatnya dalalah ialah mendahulukan dalalah ibarah daripada dalalah isyarah, dalalah isyarah daripada dalalatu dalalah, dan dalalatu dalalah daripada dalalatu iqtidha.
c.    Tarjih melalui madlul (apa yang ditunjuk oleh hadis)
d.   Tarjih dengan melihat segi pengaruh eksternal hadis, termasuk dalam meninjau sisi historis hadis.
3.  al-Nāsikh, yaitu menggugurkan salah satu hadis. Dalam pengertian lain, nasikh adalah penghapusan syar’i terhadap suatu hukum syari’at dengan suatu dalil syar’i yang datang kemudian.
4. al-Taufiq, yaitu mencari titik temu hadis atau melakukan kompromi terhadap hadis. Taufiq dapat dilakukan dengan cara mentakwilkan hadis agar tidak kontroversi dengan hadis lain.
5. al-Takhsis dan al-Takhyir, yaitu dengan mengkhususkan salah satu hadis dari yang umum untuk berijtihad memilih di antara keduanya.
6.  al-Tawaquf; membekukan atau menangguhkan mengamalkan hadis.
7.  al-Tasaquth; menggugurkan kedua hadis untuk tidak dijadikan dalil atau hujah.
Upaya integralisasi ini dapat dilihat pada beberapa contoh hadis berikut:
عن أبي سعيد قال قال رسول الله صلي الله عليه وسلم لاتكتبوا عن شيئا سوى القرأن ومن كتب شيئا سوى القرأن فاليمسحه
Dari Abu Sa’id al-Khudri berkata; Rasulullah Saw. telah bersabda: Janganlah kalian menulis sesuatupun dariku selain Alquran, dan barang siapa yang menulisnya maka hapuslah.
عن عبد الله بن عمر وقال: كنت أكتب كل شيء أسمعه من رسول الله صعلم أرد حفظه فنهتني قريش وقالوا: أتكتب كل شيء {تسمعه} ورسول الله صعلم بشر يتكلم في الغضب والرضا فأمسكت عن الكتاب, فذكرت {ذلك} لرسول الله صعلم فأوما بإصبعه إلى فيه فقال: اكتب, فوالذى نفسي بيده ما يخرج منه إلا حق.
Abdullah bin Amr telah berkata: Saya menulis setiap yang saya dengar dari Rasulullah Saw., saya bermaksud menghafalnya. Orang-orang Quraisy mencegah saya dan mereka berkata: Apakah anda menulis setiap yang anda dengar (dari Rasulullah) padahal Rasulullah itu manusia biasa juga yang (mungkin) bersabda dalam keadaan marah dan dalam rela (tidak marah), maka anda berpegang pada kitab (yang anda tulis) itu. Saya mengemukakan hal itu kepada Rasulullah Saw. Beliau mengisyaratkan jari-jarinya ke lidahnya seraya berkata: Tulislah,demi yang jiwaku berada di tangannya, tidaklah keluar daripadanya selain kebenaran.
          Di antara ulama ada yang menerapkan metode al-Nasakh wa al-Manshukh dalam hadis ini, sehingga hadis pertama muncul di-nasakh oleh hadis kedua yang datang kemudian. Dalam hal ini, hadis tentang larangan menuliskan hadis itu di-nasakh oleh hadis yang membolehkannya. Sedangkan mayoritas ulama menerapkan metode al-Jam’u dengan memahami hadis tentang larangan penulisan hadis itu ditujukan pada sahabat yang kekuatan hafalannya tidak diragukan, sedangkan dibolehkannya menulis hadis bagi mereka yang diragukan kemampuan hafalannya.
أن أبا هريرة رضي الله عنه قال إن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: لا عدوى ولا طيرة ولا هامة ولاصفر .
Tidak ada penularan, ramalan jelek, penyusupan (reinkarnasi) roh (orang yang meninggal kepada burung hantu) dan tidak ada bencana bulan safar.
Hadis tersebut menjelaskan bahwa penularan penyakit dari seseorang kepada orang lain itu tidak ada. Seseorang jika tidak ditakdirkan sakit, tidak akan sakit sekalipun ia bercampur dengan orang yang sedang sakit. Hadis ini secara lahirnya berlawanan dengan hadis:
فر من المجزوم كماتفر من الأسد.
“Larilah dari orang yang sakit lepra, sebagaimana kamu lari dari singa.”
Letak pertentangan pada kandungan hadis ini yaitu kesan adanya penularan penyakit. Untuk men-jama’ dan men-taufiq-kan dua buah hadis tersebut dapat ditempuh dengan menakwilkan arti عدوى لا hadis pertama dengan: penyakit itu tidak dapat menular dengan sendirinya. Tetapi yang menularkannya secara hakiki adalah Allah dengan sebab adanya percampuran antara orang yang sakit dengan orang yang sehat melalui media-media yang berbeda-beda satu sama lain.
Metode lain adalah menjadikan salah satu nash sebagai takhsish terhadap nash yang lain, misalnya:
عن ابن عمر قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو يسأل عن الماء يكون في الفلاة من الأرض وما ينوبه من السباع والدواب قال فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم:" إذا كان الماء قلتين لم يحمل الخبث "
Nabi Muhammad saw. ditanya tentang air yang berada di tanah lapang dan yang silih berganti dimanfaatkan oleh binatang buas dan binatang melata. Rasulullah saw. menjawab: " Bila air itu mencapai dua kullah, maka tidak mengandung najis".
Hadis tersebut menunjukkan kesucian air yang sebanyak dua kullah secara mutlak, baik berubah rasa, bau dan warnanya maupun tidak berubah sama sekali. Hadis tersebut nampaknya berlawanan dengan hadis:
عنْ أبي أمامة الباهلي قال رسول الله صىم: إن الماء لا ينجسه شيء إلا ما غلب على ريحه وطعمه ولونه
Rasulullah saw bersabda: sesungguhnya air tidak dapat menjadikannya najis, selain apa yang merubah rasa, warna atau baunya.
Adapun cara mengumpulkan dan mengkompromikan kedua hadis itu ialah keumuman hadis pertama bahwa setiap air yang mencapai jumlah dua kullah adalah suci dan dapat mensucikan di-takhsis oleh hadis kedua. Dengan demikian bahwa air yang sebanyak dua kullah itu dapat menjadi najis bila berubah rasa, warna atau baunya.
Metode tarjih dapat disimak pada contoh berikut:
عن عائش قالت: إذا جاوز الختان الختان فقد وجب الغسل فعلته أنا ورسول الله صى .م. فاغتسلنا.
Dari Aisyah, ia berkata: Jika alat kelamin melampaui alat kelamin yang lain, maka wajib mandi. Aku dan Rasulullah melakukan hal itu dan kami terus mandi.
Hadis di atas tampaknya bertentangan dengan hadis:
عن أبي سعيد الخدري أن رسول الل ه صلى اللهم عليه وسلم قال الماء من الماء وكان أبو سلمة يفعل ذلك.
Dari Abi Said al-Khudri bahwa sanya Rasulullah saw bersabda: “Mandi itu wajib lantaran mengeluarkan air (mani). Dan Abu Salamah melakukan hal yang tersebut”.
Hadis dari Aisyah lebih kuat dari hadis yang diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri, sebab Aisyah adalah salah seorang isteri Rasulullah saw. yang selalu bergaul dengan beliau. Terlebih lagi masalah yang dikemukakan itu adalah masalah yang berhubungan langsung dengan dirinya. Sedang Abu Said terbatas pergaulannya dengan Nabi pada waktu-waktu tertentu saja.
C. Kesimpulan
          Pada dasarnya tidak ada dikotomi yang tajam antara fikih dan hadis, bahkan pada diri seorang ulama fikih dan ulama hadis terintegrasikan kedua ilmu itu, sehingga menjadi suatu hal yang sulit untuk menemukan seorang ahli fikih yang tidak tahu hadis atau sebaliknya. Keharusan seorang ulama fikih belajar hadis adalah karena hadis merupakan rekaman verbal dari sunnah Nabi. Sedang sunnah Nabi sendiri menjadi sumber hukum Islam yang kedua setelah Alquran, bahkan Nabi sendiri merupakan manifestasi faktual dari ayat-ayat Alquran dengan legitimasi ma’shum dari Allah Swt.
Kehadiran agama dalam bentuk bahasa wahyu yang tertuang melalui Alquran maupun bahasa wahyu dalam bentuk sunnah semakin dituntut agar ikut secara aktif dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi oleh umat manusia. Agama tidak boleh hanya menjadi lambang kesalehan melainkan secara aktif harus menjadi kompas dalam pemecahan masalah-masalah kehidupan yang berkembang dinamis.
          Kehadiran agama secara fungsional akan dirasakan oleh penganutnya melalui berbagai pendekatan. Sebaliknya, menafikan pendekatan dan upaya integralisasi dalam memahami agama boleh jadi menjadi bumerang yang pada akhirnya membuat masyarakat akan mencari pemecahan masalah di luar versi agama.
Oleh karena itu, dalam menguak persoalan kontroversial hadis di kalangan para pakar hadis dan fikih, dipandang perlu pendekatan integral yang komprehensif. Hal ini disebabkan tidak semua pendekatan relevan dan signifikan dalam obyek bahasannya, sehingga pendekatan integral ini dapat mengungkapkan suatu nilai kebenaran yang sesuai dengan kerangka paradigmanya.
          Bahkan bila persoalan ini ditelusuri secara seksama maka akan ditemukan bahwa Rasulullah saw. dalam mengungkapkan masalah-masalah agama terkadang memberi kelonggaran kepada umatnya untuk menggunakan kemampuan akal secara maksimal dalam memahami dan mengamalkan syari’at, namun terkadang pula ada hadis-hadis yang bersifat temporal, kondisional, lokal, dan sebagainya, atau karena adanya maksud-maksud tertentu atau latar belakang historis munculnya hadis.


DAFTAR PUSTAKA

Amin, Muhammadiyah. “Metode Penyelesaian Hadis-Hadis yang Tampak Bertentangan” Lekture; Academic Journal for Islamic Education, Seri XVII, 2003.
Brown, Daniel W.Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought, diterjemahkan oleh Jaziar Radianti dan Entin Sriani Muslim dalam judul: Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern. Cet. I; Bandung: Mizan, 2000.
al-Bukhari, Abi Abdillah ibn Ismail. Sahih al-Bukhari, Juz. VII. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1992.
al-Darimi, Sunan al-Darimi, Juz 1. Beirut: Dar la-Kutub al-Ilmiyah, t.th.
Daud, Abu. “Sunan Abi Daud” dalam Muhammad Ibrahim, Shalih ibn Abd al-Aziz, Maushu’ah al-Hadis al-Syarif al-Kutub al-Sittah. Cet. III; Arab Saudi: Darussalam, 1421 H/2000 M.
al-Gazali, Muhammad. al-Sunnah al-Nabawiyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadis, diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir dengan judul Studi Kritis atas Hadis Nabi Saw.; Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual. Cet. VI; Bandung: Mizan, 1998.
Hakim, Abdul Hamid. al-Bayan, Juz 3. Jakarta: al-Sa’adiyah Putra, t.th.
Ismail, M. Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
__________ .Hadis Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya. Cet.1; Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Itr, Nuruddin. Manhaj an-Naqd Fi Ulūm al-Hadis diterjemahkan oleh Mujiyo dengan judul Ulum al-Hadis. Cet. II; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997.
al-Khalaf, Abd. Wahab. Ilmu Ushūl al-Fiqh. Cet. XII; t.tp: Dar al-Ilm, 1978.
al-Khatib, Muhammad Ajjaj. Ushul al-Hadis; Ulumuhu wa Musthalahu. Beirut: Dar al-Fikr, 1989.
Nasution, Harun. et al,. Ensikolpedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1972.
Nata, Abuddin. Metodologi Penelitian Studi Islam. Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Majah, Ibnu. “Sunan Ibn Majah” dalam Muhammad Ibrahim, Shalih ibn Abd al-Aziz, Maushu’ah al-Hadis al-Syarif al-Kutub al-Sittah. Cet. III; Arab Saudi: Darussalam, 1421 H/2000 M.
al-Qardhawi, Yusuf. Kaifa Nata’amal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah, Ma’ālim wa Dhawābith. Diterjemahkan oleh Saifullah Kamalie dalam judul Metode Memahami al-Sunnah dengan Benar. Cet. I; Jakarta: Media Dakwah, 1994.
al-Qusyairi, Abu Husain Muslim bin Hajjaj. Shahih Muslim, Juz 4. Cet. I; Beirut: Ihya Tiras, 1965.
Salim, Peter. The Contemporery Inggris-Indonesia Dictionary. Jakarta: Modern English, 1986.
al-Shalih, Subhi. Ulūm al-Hadits wa Musthalahuhu. Cet. XVII; Beirut: Dār al-‘Ilm lil Malāyin, 1988.
al-Siba’iy, Mustafa. al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri al-Islamy. t.tp: Dar al-Qawmiyyah, 1996.
al-Syafi’i, Muhammad bin Idris. Ikhtilaf al-Hadis. Cet. I; Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1986.
Syarifuddin, Amir. Ushūl Fiqh, Jilid 1. Cet. I: Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
al-Tirmizdi, “Sunan al-Tirmidzi” dalam Muhammad Ibrahim, Shalih ibn Abd al-Aziz, Maushu’ah al-Hadis al-Syarif al-Kutub al-Sittah. Cet. III; Arab Saudi: Darussalam, 1421 H/2000 M.
Yahya, Mukhtar. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam. Cet. IV; Bandung: al-Ma’arif, 1997.
Yaqub, Ali Mustafa. Peran Ilmu hadis dalam Pembinaan Hukum Islam. Cet. I; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999.


2 komentar: