PENDEKATAN INTEGRAL
PAKAR HADIS DAN PAKAR FIkiH
DALAM TELAAH
KONTROVERSIAL HADIS
Oleh: Muhammad
Ghazali Rahman
A.
Pendahuluan
Seperti lazimnya diketahui bahwa sunah
sebagai pernyataan, pengamalan, taqrir, dan hal ihwal nabi Muhammad saw.
merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah Alquran. Ketentuan-ketentuan
mengenai halal dan haram berdiri sejajar dengan Alquran. Kata-kata nabi,
sebagaimana diungkapkan Alquran merupakan wahyu Allah dengan wilayah otonom
dalam kemandiriannya menetapkan hukum, meskipun pokoknya terdapat dalam
Alquran.
Begitu pula perbuatan
dan ajaran-ajarannya yang menjadi sumber ketentuan syari’ah, merupakan dalil
yang mengikat. Ucapan beliau merupakan hujjah bagi para sahabat yang
mendengar langsung Nabi mengucapkannya. Sementara bagi umumnya umat Islam yang
menerimanya melalui riwayat-riwayat lisan dan tertulis dari para periwayat,
otentisitasnya perlu dipastikan. Bukti otentisitas tersebut, dapat bersifat
definitif (qat’iy) dan dapat pula bersifat spekulatif (zhanny).
Hal
itu tidak lepas dari proses penghimpunan hadis yang baru dilakukan secara
formal kurang lebih dua abad setelah meninggalnya Rasulullah. Hal ini berakibat
pada panjangnya jalur periwayatan hadis yang tidak menutup kemungkinan dari
perjalanannya tersebut, terintegrasinya unsur-unsur yang mempengaruhinya, baik
sosial maupun budaya. Oleh karena itu penelitian terhadap otentisitas hadis
sangat dibutuhkan.
Penelitan
terhadap hadis telah banyak dilakukan oleh para ulama, dan mereka telah
menyusun kaidah-kaidah yang berkaitan dengan penelitian tersebut untuk
membuktikan apakah suatu hadis benar-benar bersumber dari Rasulullah. Namun,
meskipun telah dilakukan suatu penelitian hadis dan disimpulkan bahwa hadis itu
sahih berasal dari Nabi, pada kenyataannya masih ada yang tampaknya
bertentangan satu sama lain, karena itulah disebut kontroversial.
Masalah kontroversial hadis telah
dibahas oleh para ulama dengan cara-cara yang berbeda dalam menyelesaikannya.
Namun perlu ditegaskan, bahwa hadis-hadis yang menjadi diskursus itu adalah
yang sanadnya sama-sama sahih, minimal hasan. Hadis yang sanadnya lemah
tentunya tidak menjadi obyek diskursus, karena hadis tersebut ditolak sebagai
representasi apapun. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang bagaimana pendekatan
yang dipakai oleh
para ulama dalam menyelesaikan hal ini, maka penulis akan menguraikannya secara
umum.
B. Pembahasan
1.
Pendekatan Integral
“Pendekatan” dalam bahasa Inggris
disinonimkan dengan kata “aproach” yang berarti jalan, metode, dan cara
pendekatan. Sedangkan menurut Abuddin Nata bahwa
pendekatan berarti:
Suatu cara pandang yang digunakan untuk
menjelaskan suatu data yang dihasilkan dalam penelitian. Suatu data dari hasil
penelitian dapat menimbulkan pengertian dan gambaran yang berbeda-beda
tergantung pada pendekatan yang digunakan.
Sedangkan “integral” adalah kata sifat
yang berarti bulat atau utuh. Dengan demikian pendekatan integral berarti cara
pandang yang utuh, bulat dalam memahami sebuah objek.
2.
Kontroversi Hadis
“Kontroversi” oleh ulama hadis
didefinisikan sebagai berikut:
العلم الذى يبحث فى الأحاديث التي
ظهرها متعارض فيزيل تعارضها أو يوافق بينها كما يبحث فى الأحاديث التي يشكل فهمها
أوتصورها فيدفع أشكالها ويوضح حقيقتها.
Ilmu yang
membahas tentang hadis hadis yang tampaknya saling bertentangan, lalu
dihilangkan pertentangan itu atau dikompromikan, di samping membahas
hadis-hadis yang sulit dipahami atau dimengerti, lalu dihilangkan kesulitan itu
dan menjelaskan hakikatnya.
Berpijak pada defenisi tersebut maka dapat
dirumuskan bahwa kontroversi hadis adalah hadis-hadis yang lahirnya
bertentangan dengan hadis lain atau ketentuan hukum lainnya serta kaedah-kaedah
baku sehingga mengesankan ambivalensi makna dan kerancuan.
3. Pakar Fikih dan Hadis
Pertentangan dua tipe ideal ulama; ahli
hadis (muhaddis) dan ahli hukum (fakih) terkadang digambarkan
sebagai pertentangan antara teoretisi dan pragmatis yang terejawantahkan dalam
sikap yang berbeda secara fundamental terhadap hadis. Muhaddis terutama
memperhatikan sanad hadis dan mendasarkan penilaian mereka tentang keaslian
hadis sepenuhnya pada dasar-dasar formal. Sedangkan fakih memperhatikan
isi, semangat, dan relevansi sebuah hadis dalam konteks syari’ah secara utuh.
Ciri utama metode fakih adalah keinginan untuk keluar dari kritik
eksternal hadis untuk menelaah isi atau matan hadis dengan asumsi bahwa ukuran
puncak keotentikan hadis terletak dalam isinya, bukan pada rantai
periwayatannya.
Diskursus ini lebih jauh memberi atribut
yang mengklasifikasi kelompok pertama sebagai golongan tekstualis dan kelompok
kedua sebagai golongan kontekstualis. Namun klasifikasi ini tidak sepenuhnya
tepat karena kapasitas seperti Imam Syafi’i, Malik, Ahmad, dan Abu Hanifah
tidak saja sebagai pakar fikih, ilmu mereka tentang hadis juga tidak diragukan.
Oleh karena itu, ukuran untuk mengklasifikasikan mereka didasarkan pada
persentase popularitas ulama tersebut dalam pandangan ulama lainnya.
Meskipun demikian tidaklah signifikan
untuk lebih membahas diskursus kedua tipe ulama tersebut dalam kajian ini,
sebab diskursus mereka bertolak pada klaim dikotomi urgensitas antara sanad dan
matan, sedangkan penekanan pada pembahasan kontroversi hadis ini hanya meninjau
pada aspek yang mengupayakan integralisasi metode dari kedua pakar tersebut.
4. Kontroversi Hadis sebagai Objek Ulum
al-Hadis
Hadis kontroversial dalam ilmu hadis biasa disebut dengan Musykil
al-Hadis atau Mukhtalif al-Hadis, kadang disebut dengan istilah mukhalafat
al-Hadis dan dalam istilah fikih disebut al-Ta’arudh’ atau al-Ta’adul
atau al-Taqabul. Mukhtalif al-Hadis dimaknai dengan
hadis-hadis yang lahirnya bertentangan dengan kaedah-kaedah baku sehingga
mengesankan ambivalensi makna atau kerancuan serta bertentangan dengan hadis
lain atau ketentuan hukum yang lain.
Munculnya
hadis-hadis yang tampaknya saling bertentangan tentu menjadi suatu hal yang
sulit diterima secara rasional, betapa tidak hadis-hadis tersebut berasal dari
satu orang dengan klaim atau keyakinan bahwa Nabi berada di bawah bimbingan dan
pengawasan Tuhan. Secara hakiki, tidak mungkin satu kebenaran berbenturan
dengan kebenaran lainnya, sehingga kalaupun kemudian disinyalir adanya
hadis-hadis yang saling bertentangan, maka hal itu hanyalah terjadi pada aspek
tekstual hadis (makna lahiriah) dan dalam tataran keterbatasan rasio manusia.
Keterbatasan ini dapat berupa kedangkalan
terhadap latar belakang ataupun fakta-fakta historis, sifatnya yang temporal,
kondisional, lokal dan universal, termasuk dalam hal ini adalah terjadinya
periwayatan bi al-ma’na tanpa dukungan fakta historis yang melingkupi
hadis. Hal itu menyebabkan terjadinya simplikasi, distorsi, dan reduksi dari
rentetan panjang generasi yang pada akhirnya tampaklah hadis-hadis
tersebut bertentangan.
Secara umum hadis
yang dimaksud bertentangan dengan kaidah-kaidah baku adalah apabila menyalahi
pandangan umum yang lazim, menyimpang dari kaidah-kaidah umum tentang hukum dan
akhlak, menyalahi realitas indrawi, menyalahi kebenaran aksiomatik dalam dunia
sains dan ilmu pengetahuan, bertentangan dengan rasio sehubungan dengan pokok
aqidah termasuk sifat-sifat Allah dan Rasul-Nya, bertentangan dengan
sunnatullah pada alam semesta dan kehidupan manusia dan bertentangan dengan
fakta historis yang otentik mengenai zaman Rasulullah.
Adapun yang
dimaksud bertentangan dengan ketentuan hukum (nash syara) yaitu apabila
menyalahi Alquran dan Hadis yang telah jelas hukumnya dan menyalahi ijma ulama
yaitu hukum yang telah disepakati ulama berdasarkan Alquran dan Hadis.
Upaya penyelesaian
diskursus hadis-hadis kontroversi di kalangan pakar hadis dan fikih ternyata
juga memiliki perbedaan metode yang signifikansinya masih perlu ditelaah lebih
jauh. Perbedaan itu terletak pada urutan antara nasakh, tarjih, dan
tauqif, hal tersebut dapat dipahami melalui pendapat-pendapat ulama
sebagai berikut:
1.
Sebagian ahli
ushul menetapkan bahwa hal pertama yang diupayakan ialah melihat historisitas
datangnya teks/nash. Nash yang datang lebih akhir tentu lebih kuat daripada
yang datang lebih dahulu, karena ia menjadi nāsikh (penghapus) terhadap
nash yang datang lebih awal. Kemudian bila usaha itu tidak berhasil, maka
selanjutnya adalah men-tarjih salah satu dari keduanya. Bila usaha
mentarjih ini juga gagal, maka diusahakan untuk men-taufiq kedua dalil
itu. Akhirnya bila seorang tidak mampu men-taufiq-kannya maka sebaiknya
tidak mengamalkan kedua dalil itu.
2. Menurut
Imam al-Gazali sebagaimana yang dikutip M. Yahya bahwa usaha-usaha untuk
menghadapi hadis yang kontroversial ialah dengan men-jama’-kan keduanya
bila mungkin. Bila tidak mungkin lalu mencari sejarah datangnya. Kalaupun
mencari sejarahnya tidak berhasil maka meninggalkan ber-istidālal dari
keduanya dan selanjutnya mencari hukum dari dari dalil yang lain. Jika tidak
mendapatkan dalil lain maka ia dapat memilih di antara keduanya.
3. Abdul Wahab al-Khallaf menertibkannya
dengan urutan: men-jama’-kan sekaligus men-taufiq, mentarjihkan
salah satunya, meneliti sejarah datangnya kedua nash tersebut untuk ditetapkan
yang datang kemudian sebagai nasikh terhadap apa yang datang lebih dahulu dan
bila tidak juga mengetahui sisi historisnya maka berpaling untuk ber-istidālal
dari kedua nash tersebut.
4. al-Syafi’i
sebagaimana dikutip oleh Syuhudi Ismail memberi gambaran bahwa mungkin saja
matan-matan hadis yang tampak bertentangan itu mengandung petunjuk bahwa matan
yang satu bersifat global dan yang satunya lebih spesifik, mungkin yang satu
bersifat umum dan yang lain bersifat khusus, mungkin satu sebagai penghapus (al-Nāsikh)
dan yang lain sebagai yang dihapus (al-Mansukh) atau mungkin
kedua-duanya menunjukkan kebolehan untuk diamalkan.
5. Masih
menurut Syuhudi, Ibn Hajar al-Asqalani menempuh empat tahap yaitu al-Jam’u,
al-Nasikh wa al- Mansukh, tarjih dan taufiq.
6. Yusuf Qardawi menguraikan beberapa upaya untuk menghilangkan pertentangan
antara nash hadis, yaitu;
a. Memahami
sunnah dengan berpedoman pada Al-Qur’an.
b. Mengumpulkan
hadis-hadis dalam satu objek.
c. Menggabungkan atau
mentarjih.
d. Memahami hadis dengan berpedoman pada sebab, hubungan, dan
tujuannya.
e.
Membedakan antara sarana yang berubah-ubah dan tujuan
permanen hadis.
f.
Membedakan antara esensi dan majas dalam memahami hadis.
g.
Membedakan antara yang transenden dan yang empiris.
h.
Mengkonfirmasikan pengertian leksikal hadis secara etimologi
dan epistemologi.
7. Amir Syarifuddin
menawarkan metode penyelesaian terhadap nash yang berbenturan sebagai berikut:
a. Mengamalkan dua
nash yang berbenturan
1) Melakukan taufiq,
yaitu mempertemukan dan mendekatkan pengertian dua nash yang diperkirakan berbenturan
atau menjelaskan kedudukan hukum yang ditunjuk keduanya.
2) Apabila taufiq
tidak mungkin dilakukan maka usaha yang ditempuh adalah dengan melakukan takhsis,
sehingga nash khusus diamalkan untuk mengatur hal yang khusus menurut
kekhususannya sedangkan yang umum diamalkan menurut keumumannya setelah
dikurangi dengan ketentuan yang diatur secara khusus.
b. Mengamalkan satu
di antara dua nash yang berbenturan
1) Melakukan nasakh
setelah mengetahui secara pasti historisitas nash.
2) Apabila tidak
mengetahui secara pasti historisitas nash maka dilakukan tarjih secara
lebih komprehensif.
3) Apabila kedua
upaya sebelumnya tidak dapat dilakukan maka ditempuh penyelesaian secara takhyir,
yaitu memilih salah satu di antaranya untuk diamalkan.
c. Meninggalkan dua
nash yang berbenturan
1) Melakukan tawaquf,
yaitu menangguhkan pengamalan kedua nash sambil menunggu kemungkinan adanya
petunjuk lain untuk mengamalkan salah satunya.
2) Melakukan tasaquth,
yaitu dengan meninggalkan/ menggugurkan kedua nash sekaligus.
Berdasarkan ulasan
pendapat tersebut, maka diketahui bahwa upaya integralisasi yang ditempuh oleh
pakar hadis dan pakar fikih dalam penyelesaian hadis-hadis yang kontroversial
ada tujuh cara, yaitu:
1. al-Jam’u, yaitu
terlebih dahulu mengumpulkan hadis yang bertentangan untuk diklasifikasi dalam
satu objek untuk melihat sebab kontroversi, kemungkinan hubungannya, dan
tujuannya.
2. al-Tarjih, yaitu
mencari qarinah atau petunjuk lain yang mungkin menguatkan salah satu di
antara hadis. Tarjih dalam pengertian lain ialah menjadikan sesuatu
lebih kuat atau mempunyai kelebihan daripada yang lain. atau menyatakan
keistimewaan salah satu dari dua dalil yang sama dengan suatu sifat yang
menjadikan lebih utama dilihat dari yang lain. Ada tiga metode tarjih yang berlaku
dalam sunnah yaitu;
a. Tarjih melalui
sanad, yaitu;
1) Mendahulukan hadis
yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih tsiqah daripada perawi yang
kurang tsiqah.
2) Mendahulukan
periwayatan orang yang menerima Hadis atau mengetahui peristiwa secara langsung
daripada orang yang menerimanya tidak langsung.
3) Mendahulukan
periwayatan orang yang banyak bergaul dengan Nabi daripada orang yang tidak
banyak bergaul.
4) Mendahulukan
periwayatan orang yang masih kuat hafalannya daripada orang yang sudah rusak
hafalannya lantaran lanjut usia.
5) Mendahulukan
periwayatan sahabat besar daripada periwayatan sahabat kecil.
6) Mendahulukan hadis
yang ditakhrijkan oleh Bukhari dan Muslim daripada yang ditakhrijkan oleh
selainnya.
7) Mendahulukan hadits
yang banyak diriwayatkan orang.
b. Tarjih melalui
matan
Adapun tarjih dari segi matan, antara lain mentarjih dalil
yang lebih jelas atau kuat dalalah-nya daripada yang kurang kuat.
Seperti mendahulukan lafaz haqiqat daripada lafaz majaz, lafaz sharih
daripada lafaz kinayah, lafaz muhkam daripada lafaz mufassar,
lafaz mufassar daripada lafaz nash, lafaz nash daripada
lafaz zhahir dan lafaz khafi daripada lafaz musykil. Dari
segi kuatnya dalalah ialah mendahulukan dalalah ibarah daripada dalalah
isyarah, dalalah isyarah daripada dalalatu dalalah, dan dalalatu
dalalah daripada dalalatu iqtidha.
c. Tarjih melalui madlul
(apa yang ditunjuk oleh hadis)
d. Tarjih dengan
melihat segi pengaruh eksternal hadis, termasuk dalam meninjau sisi historis
hadis.
3. al-Nāsikh, yaitu menggugurkan
salah satu hadis. Dalam
pengertian lain, nasikh adalah penghapusan syar’i terhadap suatu hukum syari’at dengan suatu
dalil syar’i yang datang kemudian.
4. al-Taufiq, yaitu mencari
titik temu hadis atau melakukan kompromi terhadap hadis. Taufiq dapat
dilakukan dengan cara mentakwilkan hadis agar tidak kontroversi dengan hadis
lain.
5. al-Takhsis dan
al-Takhyir, yaitu dengan mengkhususkan salah satu hadis dari yang umum
untuk berijtihad memilih di antara keduanya.
6. al-Tawaquf;
membekukan atau menangguhkan mengamalkan hadis.
7. al-Tasaquth; menggugurkan
kedua hadis untuk tidak dijadikan dalil atau hujah.
Upaya integralisasi
ini dapat dilihat pada beberapa contoh hadis berikut:
عن أبي
سعيد قال قال رسول الله صلي الله عليه وسلم لاتكتبوا عن شيئا سوى القرأن ومن كتب
شيئا سوى القرأن فاليمسحه
Dari Abu Sa’id al-Khudri berkata;
Rasulullah Saw. telah bersabda: Janganlah kalian menulis sesuatupun dariku
selain Alquran, dan barang siapa yang menulisnya maka hapuslah.
عن عبد الله بن عمر وقال: كنت
أكتب كل شيء أسمعه من رسول الله صعلم أرد حفظه فنهتني قريش وقالوا: أتكتب كل شيء
{تسمعه} ورسول الله صعلم بشر يتكلم في الغضب والرضا فأمسكت عن الكتاب, فذكرت {ذلك} لرسول الله صعلم فأوما بإصبعه إلى فيه فقال: اكتب, فوالذى
نفسي بيده ما يخرج منه إلا حق.
Abdullah bin Amr
telah berkata: Saya menulis setiap yang saya dengar dari Rasulullah Saw., saya
bermaksud menghafalnya. Orang-orang Quraisy mencegah saya dan mereka berkata:
Apakah anda menulis setiap yang anda dengar (dari Rasulullah) padahal
Rasulullah itu manusia biasa juga yang (mungkin) bersabda dalam keadaan marah
dan dalam rela (tidak marah), maka anda berpegang pada kitab (yang anda tulis)
itu. Saya mengemukakan hal itu kepada Rasulullah Saw. Beliau mengisyaratkan
jari-jarinya ke lidahnya seraya berkata: Tulislah,demi yang jiwaku berada di
tangannya, tidaklah keluar daripadanya selain kebenaran.
Di
antara ulama ada yang menerapkan metode al-Nasakh wa al-Manshukh dalam
hadis ini, sehingga hadis pertama muncul di-nasakh oleh hadis kedua yang
datang kemudian. Dalam hal ini, hadis tentang larangan menuliskan hadis itu di-nasakh
oleh hadis yang membolehkannya. Sedangkan mayoritas ulama menerapkan metode
al-Jam’u dengan memahami hadis tentang larangan penulisan hadis itu
ditujukan pada sahabat yang kekuatan hafalannya tidak diragukan, sedangkan
dibolehkannya menulis hadis bagi mereka yang diragukan kemampuan hafalannya.
أن أبا
هريرة رضي الله عنه قال إن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: لا عدوى ولا طيرة ولا هامة ولاصفر .
Tidak ada
penularan, ramalan jelek, penyusupan (reinkarnasi) roh (orang yang meninggal kepada
burung hantu) dan tidak ada bencana bulan safar.
Hadis tersebut
menjelaskan bahwa penularan penyakit dari seseorang kepada orang lain itu tidak
ada. Seseorang jika tidak ditakdirkan sakit, tidak akan sakit sekalipun ia
bercampur dengan orang yang sedang sakit. Hadis ini secara lahirnya berlawanan
dengan hadis:
فر من
المجزوم كماتفر من الأسد.
“Larilah dari orang yang sakit lepra,
sebagaimana kamu lari dari singa.”
Letak pertentangan
pada kandungan hadis ini yaitu kesan adanya penularan penyakit. Untuk men-jama’
dan men-taufiq-kan dua buah hadis tersebut dapat ditempuh dengan
menakwilkan arti عدوى لا hadis pertama
dengan: penyakit itu tidak dapat menular dengan sendirinya. Tetapi yang
menularkannya secara hakiki adalah Allah dengan sebab adanya percampuran antara
orang yang sakit dengan orang yang sehat melalui media-media yang berbeda-beda
satu sama lain.
Metode lain adalah
menjadikan salah satu nash sebagai takhsish terhadap nash yang lain,
misalnya:
عن ابن
عمر قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو يسأل عن الماء يكون في الفلاة من
الأرض وما ينوبه من السباع والدواب قال فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم:"
إذا كان الماء قلتين لم يحمل الخبث "
Nabi Muhammad saw.
ditanya tentang air yang berada di tanah lapang dan yang silih berganti
dimanfaatkan oleh binatang buas dan binatang melata. Rasulullah saw. menjawab: " Bila air itu
mencapai dua kullah, maka tidak mengandung najis".
Hadis tersebut
menunjukkan kesucian air yang sebanyak dua kullah secara mutlak, baik
berubah rasa, bau dan warnanya maupun tidak berubah sama sekali. Hadis tersebut
nampaknya berlawanan dengan hadis:
عنْ أبي أمامة
الباهلي قال رسول الله صىم: إن الماء لا ينجسه شيء إلا ما غلب على ريحه وطعمه
ولونه
Rasulullah saw
bersabda: sesungguhnya air tidak dapat menjadikannya najis, selain apa yang
merubah rasa, warna atau baunya.
Adapun cara
mengumpulkan dan mengkompromikan kedua hadis itu ialah keumuman hadis pertama
bahwa setiap air yang mencapai jumlah dua kullah adalah suci dan dapat
mensucikan di-takhsis oleh hadis kedua.
Dengan demikian bahwa air yang sebanyak dua kullah itu dapat menjadi
najis bila berubah rasa, warna atau baunya.
Metode tarjih dapat
disimak pada contoh
berikut:
عن
عائش قالت: إذا جاوز
الختان الختان فقد وجب الغسل فعلته أنا ورسول الله صى .م. فاغتسلنا.
Dari Aisyah, ia
berkata: Jika alat kelamin melampaui alat kelamin yang lain, maka wajib mandi.
Aku dan Rasulullah melakukan hal itu dan kami terus mandi.
Hadis di atas
tampaknya bertentangan dengan hadis:
عن أبي
سعيد الخدري أن رسول الل ه صلى اللهم عليه وسلم قال الماء من الماء وكان أبو سلمة يفعل ذلك.
Dari Abi Said
al-Khudri bahwa sanya Rasulullah saw bersabda: “Mandi itu wajib lantaran
mengeluarkan air (mani). Dan Abu Salamah melakukan hal yang tersebut”.
Hadis dari Aisyah
lebih kuat dari hadis yang diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri, sebab Aisyah
adalah salah seorang isteri Rasulullah saw. yang selalu bergaul dengan beliau.
Terlebih lagi masalah yang dikemukakan itu adalah masalah yang berhubungan
langsung dengan dirinya. Sedang Abu Said terbatas pergaulannya dengan Nabi pada
waktu-waktu tertentu saja.
C. Kesimpulan
Pada
dasarnya tidak ada dikotomi yang tajam antara fikih dan hadis, bahkan pada diri
seorang ulama fikih dan ulama hadis terintegrasikan kedua ilmu itu, sehingga
menjadi suatu hal yang sulit untuk menemukan seorang ahli fikih yang tidak tahu
hadis atau sebaliknya. Keharusan seorang ulama fikih belajar hadis adalah
karena hadis merupakan rekaman verbal dari sunnah Nabi. Sedang sunnah Nabi
sendiri menjadi sumber hukum Islam yang kedua setelah Alquran, bahkan Nabi
sendiri merupakan manifestasi faktual dari ayat-ayat Alquran dengan legitimasi ma’shum
dari Allah Swt.
Kehadiran agama
dalam bentuk bahasa wahyu yang tertuang melalui Alquran maupun bahasa wahyu
dalam bentuk sunnah semakin dituntut agar ikut secara aktif dalam memecahkan
berbagai masalah yang dihadapi oleh umat manusia. Agama tidak boleh hanya
menjadi lambang kesalehan melainkan secara aktif harus menjadi kompas dalam
pemecahan masalah-masalah kehidupan yang berkembang dinamis.
Kehadiran
agama secara fungsional akan dirasakan oleh penganutnya melalui berbagai
pendekatan. Sebaliknya, menafikan pendekatan dan upaya integralisasi dalam
memahami agama boleh jadi menjadi bumerang yang pada akhirnya membuat
masyarakat akan mencari pemecahan masalah di luar versi agama.
Oleh karena itu,
dalam menguak persoalan kontroversial hadis di kalangan para pakar hadis dan
fikih, dipandang perlu pendekatan integral yang komprehensif. Hal ini
disebabkan tidak semua pendekatan relevan dan signifikan dalam obyek
bahasannya, sehingga pendekatan integral ini dapat mengungkapkan suatu nilai
kebenaran yang sesuai dengan kerangka paradigmanya.
Bahkan bila
persoalan ini ditelusuri secara seksama maka akan ditemukan bahwa Rasulullah
saw. dalam mengungkapkan masalah-masalah agama terkadang memberi kelonggaran
kepada umatnya untuk menggunakan kemampuan akal secara maksimal dalam memahami
dan mengamalkan syari’at, namun terkadang pula ada hadis-hadis yang bersifat
temporal, kondisional, lokal, dan sebagainya, atau karena adanya maksud-maksud
tertentu atau latar belakang historis munculnya hadis.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Muhammadiyah. “Metode Penyelesaian Hadis-Hadis yang
Tampak Bertentangan” Lekture; Academic Journal for Islamic Education, Seri
XVII, 2003.
Brown, Daniel W.Rethinking Tradition
in Modern Islamic Thought, diterjemahkan oleh Jaziar Radianti dan Entin Sriani
Muslim dalam judul: Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern. Cet. I;
Bandung: Mizan, 2000.
al-Bukhari, Abi
Abdillah ibn Ismail. Sahih al-Bukhari, Juz. VII. Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiah, 1992.
al-Darimi, Sunan
al-Darimi, Juz 1. Beirut: Dar la-Kutub al-Ilmiyah, t.th.
Daud, Abu. “Sunan
Abi Daud” dalam Muhammad Ibrahim, Shalih ibn Abd al-Aziz, Maushu’ah
al-Hadis al-Syarif al-Kutub al-Sittah. Cet. III; Arab Saudi: Darussalam,
1421 H/2000 M.
al-Gazali,
Muhammad. al-Sunnah al-Nabawiyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadis,
diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir dengan judul Studi Kritis atas Hadis
Nabi Saw.; Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual. Cet. VI; Bandung: Mizan, 1998.
Hakim, Abdul
Hamid. al-Bayan, Juz 3. Jakarta: al-Sa’adiyah Putra, t.th.
Ismail, M. Syuhudi. Metodologi
Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan
Bintang, 1992.
__________ .Hadis Nabi Menurut Pembela
Pengingkar dan Pemalsunya. Cet.1; Jakarta:
Gema Insani Press, 1995.
Itr, Nuruddin. Manhaj an-Naqd Fi Ulūm al-Hadis diterjemahkan
oleh Mujiyo dengan judul Ulum al-Hadis. Cet. II;
Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997.
al-Khalaf, Abd. Wahab. Ilmu Ushūl al-Fiqh. Cet. XII; t.tp:
Dar al-Ilm, 1978.
al-Khatib, Muhammad Ajjaj. Ushul al-Hadis; Ulumuhu wa
Musthalahu. Beirut: Dar al-Fikr, 1989.
Nasution, Harun. et al,. Ensikolpedi Islam Indonesia. Jakarta:
Djambatan, 1972.
Nata, Abuddin. Metodologi Penelitian Studi Islam. Cet. I;
Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Majah, Ibnu. “Sunan
Ibn Majah” dalam Muhammad Ibrahim, Shalih ibn Abd al-Aziz, Maushu’ah
al-Hadis al-Syarif al-Kutub al-Sittah. Cet. III; Arab Saudi: Darussalam,
1421 H/2000 M.
al-Qardhawi, Yusuf.
Kaifa Nata’amal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah, Ma’ālim wa Dhawābith. Diterjemahkan
oleh Saifullah Kamalie dalam judul Metode Memahami al-Sunnah dengan Benar. Cet. I; Jakarta: Media Dakwah, 1994.
al-Qusyairi, Abu
Husain Muslim bin Hajjaj. Shahih Muslim, Juz 4. Cet. I; Beirut: Ihya
Tiras, 1965.
Salim, Peter. The Contemporery
Inggris-Indonesia Dictionary. Jakarta: Modern English, 1986.
al-Shalih, Subhi. Ulūm al-Hadits wa
Musthalahuhu. Cet. XVII; Beirut: Dār al-‘Ilm lil Malāyin, 1988.
al-Siba’iy, Mustafa. al-Sunnah wa
Makanatuha fi al-Tasyri al-Islamy. t.tp: Dar al-Qawmiyyah, 1996.
al-Syafi’i, Muhammad bin Idris. Ikhtilaf
al-Hadis. Cet. I; Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1986.
Syarifuddin, Amir. Ushūl Fiqh, Jilid
1. Cet. I: Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
al-Tirmizdi, “Sunan
al-Tirmidzi” dalam Muhammad Ibrahim, Shalih ibn Abd al-Aziz, Maushu’ah
al-Hadis al-Syarif al-Kutub al-Sittah. Cet. III; Arab Saudi: Darussalam,
1421 H/2000 M.
Yahya, Mukhtar. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam. Cet.
IV; Bandung: al-Ma’arif, 1997.
Yaqub, Ali Mustafa. Peran Ilmu hadis
dalam Pembinaan Hukum Islam. Cet. I; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999.
Dibayar kah? kalo dibaca tulisan ini pak?
BalasHapusGratis dong
BalasHapus