Mu’awiyah
ibn Abi Sufyan
(Pembentukan Dinasti dan
Perkembangan Politik)
Oleh: Muh. Ghazali Rahman
A. Pendahuluan
Pribadi
seorang Mu’awiyah merupakan aktor sejarah dengan sosok yang monumental dalam
sejarah Islam. Beliau
tergolong seorang sahabat yang memiliki andil sangat besar dalam Islam baik di
masa kenabian maupun di masa panjang perjalanan sejarah Islam. Bahkan, beliau
termasuk seorang sekretaris Nabi Saw. yang banyak menuliskan wahyu serta
meriwayatkan beberapa hadis.[1]
Ia masuk Islam pada masa Fath Makkah dalam usia 23 tahun.[2]
Nama lengkap bangsawan Quraisy pendiri dinasti Umayyah
ini ialah Mu’awiyah bin Abi Sufyan al-Sakhar bin Harb ibn Umayyah bin Abd Syams
bin Abd Manaf bin Qushai bin Kilab. [3]
Oleh sekian banyak sejarawan, Mu’awiyah disebut sebagai manusia hilm.[4]
Kata ini rumit dan komprehensif serta tidak mudah diterjemahkan, tetapi kata
ini adalah cara terbaik -jika bukan satu-satunya cara- untuk menggambarkan
potensi utama Mu’awiyah. Ia diakui sebagai sosok yang cerdik, politikus,
orator, administrator, berwawasan luas, bijaksana, dan dermawan.
Sifat hilm ini juga dinilai sebagai bakat
Mu’awiyah yang mampu merangkul siapa
saja untuk menjadi
pengikutnya dan bekerja
sama tanpa sadar
bahwa kedudukan mereka sedang dimanfaatkan. Ambisi politiknya bahkan
telah tampak sejak awal ia memeluk Islam, terlebih lagi bias politik dalam
polemik sejarah pengangkatannya sebagai Amir al-Mu’minin semakin jelas
dengan menuntut bela atas kematian
Utsman bin Affan sebagai alasan dan batu loncatannya menuju tangga kekuasaan.
Potensi kepemimpinan Mu’awiyah ini
menyebabkan ia terkadang digelari dengan berbagai gelar kebesaran seperti “Kisra
Arab”, dan ”Khalifah Laut Tengah”. Mu’awiyah sendiri menyebut dirinya “Khalifah
Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah.
B. Pembahasan
1. Pembentukan Dinasti
Mu’awiyah mendirikan dinasti
Umayyah pada tahun 41 H/661 M. Proses pengangkatannya sebagai penguasa telah
melalui proses panjang yang dapat dikatakan sebagai bagian integral dari akar
rumput lahirnya Fitnah al-Kubra dalam dunia Islam masa itu. Berawal dari
masa kematian Utsman bin Affan, Mu’awiyah memang telah berambisi untuk
menduduki jabatan kekhalifahan, namun telah didahului oleh Ali bin Abi Thalib
yang di bai’at oleh masyarakat Madinah serta didukung oleh sebagian besar
sahabat kecuali Thalhah, Zubair, dan Aisyah, ra.
Penolakannya atas kebijakan
dan kekhalifahan Ali, ra. kemudian berkembang dalam bentuk tuntutan atas
kematian Utsman bin Affan yang berakhir dengan timbulnya perang Shiffin (37 H/ 657
M) dan melahirkan the Siffin Arbitration Agreement (Perjanjian Shiffin/Tahkim)
meskipun dari pihak Ali, ra. menolak mentah-mentah hasil keputusan itu karena
dinilai sebagai penipuan dan kecurangan.
Kecerdikan dan keberhasilan
Amr bin Ash sebagai duta Mu’awiyah dalam mengalahkan Abu Musa al-Asy’ari yang
menjadi duta dari pihak Ali dalam proses tahkim diakui telah mengangkat
Muawiyah sebagai pemimpin kaum muslimin pada masa itu. Hasil tahkim saat itu
merupakan awal kemenangan Mu’awiyah atas Ali bin Abi Thalib meskipun tidak diakui
oleh kelompok Ali maupun dari kalangan Khawarij. Pada
kasus ini, Konfrontasi antara Ali dan Muawiyah dalam
perspektif Ibn Khaldun adalah konfrontasi antara kubu “idealistis” dan kubu
“realistis”. Kubu orang-orang saleh untuk sementara memperoleh kemenangan
dengan terpilihnya Ali sebagai pengganti Usman menjadi khalifah. Pemerintahan
Ali yang idealistis ditakdirkan berakhir dalam waktu sangat singkat. Kelas
bawah yang mendukung Ali dalam pemilihannya sebagai khalifah terlalu lemah
untuk dapat menghadapi arus pemikiran “realistik”. Muawiyah memimpin kelompok
oposisi melawan Ali, yang akhirnya mengalahkannya.
Pengukuhan
Mu’awiyah sebagai khalifah baru dipertegas kemudian setelah Hasan ibn Ali bin
Abi Thalib[5]
bersedia mundur dari kekhalifahan dengan beberapa syarat.[6] Pembai’atan Mu’awiyah oleh
Hasan dan rakyat Kufah kemudian dikenal dalam sejarah Islam sebagai “am or
sanat al-Djama’a”, “the year of (unification of) the community” atau “tahun
persatuan”.[7]
Pada dasarnya Mu’awiyah dapat
saja mengalahkan dan menghancurkan Hasan dengan kekuasaan dan kekuatannya,
terlebih setelah penduduk Kufah plin-plan dalam dukungannya terhadap
Hasan. Namun Mu’awiyah tidak menghendaki pengakuan kekhalifahannya diperoleh
melalui jalan perang dengan Hasan, melainkan harus dilegitimasi oleh Hasan
sendiri. Segera setelah wafatnya Hasan, Mu’awiyah mulai aktif menjalankan
rencana untuk memenuhi hasratnya melanggengkan pemerintahan keluarganya (Sufyanid
rule). Hal ini tidak dapat dilakukan selama Hasan masih hidup karena
merupakan bagian dari perjanjian. Hal ini juga bukanlah tugas yang mudah dan
Mu’awiyah harus dengan sangat teliti dan hati-hati untuk menggunakan seluruh
muslihat yang merupakan ciri kepemimpinannya; diplomasi, hadiah-hadiah mewah,
penyogokan serta ancaman dan penindasan.
Bai’at Hasan dan penduduk
Kufah terhadap Mu’awiyah merupakan bagian dari tahapan kemenangannya. Namun,
masih ada satu kelompok lagi yang perlu diatasi, yaitu kelompok Khawarij yang
juga hampir membunuhnya. Kelompok ini tergolong sangat fundamental dalam
bersikap karena sebagian besar mereka adalah masyarakat nomad yang hidup
di pedalaman-pedalaman jazirah Arab.
Di sisi lain, sifat-sifat yang
dimiliki Mu’awiyah mendatarkan jalan baginya untuk meraih kesuksesan dalam
mengendalikan jabatan maha penting yang telah dicapainya. Kedudukannya sebagai
pemerintah sewaktu-waktu memerlukan sifat tegas dan keras, dan kadang-kadang
memerlukan sifat toleransi dan lapang hati. Ibnu Thabathabai berkata tentang
Mu’awiyah sebagaimana dikutip oleh A. Syalabi:
“Mu’awiyah bagus siasatnya, pandai mengatur urusan
duniawi, cerdas, bijaksana, fasih, baligh, di mana ia perlu dapat berlapang
hati dan dapat pula bersikap tegas atau keras, tetapi lebih sering berlapang
dada. Lagipula ia dermawan, rela mengorbankan harta, amat suka memegang
pimpinan, kedermawanannya melebihi para bangsawan dalam kalangan rakyatnya”.
Bagi Ibn Khaldun, pemerintah
khalifah telah berakhir pada masa Mu’awiyah, saat pendiri dinasti Umayyah itu naik
tahta. Ibn Khaldun mengakui bahwa Muawiyah lebih merupakan seorang raja
daripada khalifah, dan tidak ada salahnya yang demikian itu. Menurut
istilahnya, “kerajaan adalah sesuatu yang relatif” dan karena itu tidak bisa
disebut jelek. Seperti semua sifat manusia, jelek manakala digunakan untuk
tujuan yang jelek, dan baik manakala digunakan untuk tujuan yang baik. Nabi
tidak melarang atau mengutuk kerajaan semacam itu, beliau lebih melarang
kebiasaan membiarkan ketidakadilan, kemewahan, dan semacamnya. Dengan kata
lain, apabila kerajaan dipergunakan untuk menegakkan keadilan, melindungi
agama, dan membantu pelaksanaan upacara agama, kerajaan justru menguntungkan.
Mengutuk kerajaan sama saja dengan mengutuk rasa marah atau keinginan seksual.
Dorongan-dorongan ini pada dasarnya tidaklah jelek, dan dimaksud untuk
memelihara ras manusia dan melindunginya dari serangan agresor.
Dorongan-dorongan jelek manakala digunakan secara tidak baik dan dengan tujuan
yang tidak benar.
Konfrontasi antara Ali dan Muawiyah dalam
perspektif Ibn Khaldun adalah konfrontasi antara kubu “idealistis” dan kubu
“realistis”. Kubu orang-orang saleh untuk sementara memperoleh kemenangan
dengan terpilihnya Ali sebagai pengganti Usman menjadi khalifah. Pemerintahan
Ali yang idealistis ditakdirkan berakhir dalam waktu sangat singkat. Kelas
bawah yang mendukung Ali dalam pemilihannya sebagai khalifah terlalu lemah
untuk dapat menghadapi arus pemikiran “realistik”. Muawiyah dalam memimpin
kelompok oposisi melawan Ali, yang akhirnya mengalahkannya. Muawiyah sendiri pernah memproklamirkan
dari mimbar mesjid, bahwa kemenangannya atas Ali merupakan suatu bukti dari
“kebenarannya” di hadapan Tuhan.
Dalam upaya perluasan wilayah kekuasaannya, Mu’awiyah
membangun kekuatan armada yang tak terkalahkan pada waktu itu dengan kekuatan
855 buah kapal untuk menyerang daerah Laut Tengah, yaitu Cyprus, Rhodes,
Sisilia dan Kreta. Daerah-daerah penting yang ditaklukkan oleh Mu’awiyah antara
lain Turki dan Armenia, kedua daerah ini berada di bawah kekuasaan Byzantium.
Sebelumnya operasi-operasi yang sama dilancarkan terhadap Ghazna, Balkh, dan
Kandahar. Pada tahun 676 M Bukhara direbut dan dua tahun kemudian tentara
muslim lainnya terus melaju hingga ke tepi sungai Indus.
Tidak puas dengan penyerbuan ke wilayah Timur, pasukan
Mu’awiyah mengalihkan penaklukkannya ke arah barat dan berhasil menguasai Afrika
Utara, Andalusia, dan bahkan sampai ke Perancis pada masa-masa berikutnya.
Peristiwa paling menyolok pada masa kekuasaannya adalah pengepungan
Konstantinopel melalui kesatuan ekspedisi di bawah kepemimpinan Yazid selama
enam tahun meskipun pada akhirnya pengepungan itu dihentikan dan Mu’awiyah
memerintahkan penarikan pasukan dari pengepungan itu.
2.
Perkembangan Politik
Mu’awiyah mendirikan suatu pemerintahan yang terorganisir
dengan baik. Kesulitan awal kepemimpinannya banyak disebabkan oleh munculnya
anarkisme dan ketidakdisiplinan kaum nomad yang tidak lagi dikendalikan oleh
ikatan agama dan moral yang berimbas pada ketidakstabilan di mana-mana dan
kehilangan kesatuan. ikatan teokrasi yang telah mempersatukan kekhalifahan
sebelumnya tanpa dapat dihindari telah dihancurkan oleh pembunuhan Utsman, oleh
perang saudara serta pemindahan ibu kota dari Madinah ke Kufah di masa Ali,
oleh karena itu pula Mu’awiyah memindahkan pusat kekuasaan ke Damaskus melalui
proses yang panjang.
Oleh Ibn Khaldun,
Muawiyah adalah seorang muslim yang saleh dan raja yang baik. Dia hidup pada
masa kehidupan sangat berbeda dari masa nabi dan masa khalifah penggantinya.
Karena itu kemewahan dan kemegahan diperlukan untuk menjadi seorang raja yang
terhormat. Mengenai pemberontakan Muawiyah melawan khalifah Ali yang sah dan
pengambilalihan kekuasaan khalifah dengan paksaan, Ibn Khaldun menganggap hal
ini sebagai tekanan sosial, yaitu karena ashabiyah (solidaritas)
Muawiyah lebih kuat ketimbang Ali yang ashabiyah-nya sangat lemah,
lambat atau cepat Ali pasti segera diganti oleh pimpinan yang lebih kuat.
Pimpinan ini kebetulan Muawiyah. Apabila Muawiyah menolak untuk memimpin
revolusi melawan Ali, pemimpin lain dari kelompoknya pasti akan melakukannya.
Karena itu Muawiyah melakukan sesuatu yang tidak bisa ditolaknya.
Ketika Mu’awiyah
mengambil alih Kufah setelah wafatnya Ali, para pemimpin suku dan klan yang
kuat dipaksa mengabdi sebagai perantara dalam struktur kekuasaan propinsi itu.
Wewenang pusat di Damaskus tetap mengawasi penggunaan kekuasaan, baik atas
mereka maupun melalui mereka. Desentralisasi atau pemberian otonomi ini
merupakan upaya dan kebijakan dalam membangkitkan gaya lama sukuisme dan memompa
kembali peran pemimpin suku berdasarkan organisasi kesukuan yang pada
gilirannya diharapkan dapat mendukung pemerintahannya.
Kebijakan politik dalam upaya hegemoni kekuasaannnya
adalah dengan memberikan otonomi khusus
kepada tiap-tiap suku ini disebut oleh M.A. Shaban sebagai finesse
politique, atau politik farriq tasud, yaitu dengan menimbulkan ashabiyah
yang kuat dimana masing-masing
kabilah merasa megah dan bangga dengan unsur kesukuannya (fanatisme Arab),
selain itu adalah politik “penghamburan uang”.
Semenjak berkuasa, Mu’awiyah memulai langkah-langkah
rekonstruksi otoritas khilafah, dan menerapkan paham golongan bersama dengan
elite pemerintah. Mu’awiyah mulai mengubah koalisi kesukuan Arab menjadi sebuah
sentralisasi monarkis. Hal yang menjadi masalah bagi Mu’awiyah adalah mencari
suatu dasar baru bagi kepaduan imperium yang ia bangun. Oleh karena itulah ia
mengubah kedaulatan agama menjadi negara sekular, akan tetapi tidak
menghilangkan unsur agama dalam pemerintah dan pemerintahannya. Ia mematuhi
formalitas agama dan kadang-kadang menunjukkan dirinya sebagai pejuang Islam.
Letak Damaskus yang berdekatan dengan ibu kota Byzantin,
Konstantinopel, Istambul sekarang, ikut mempengaruhi pola pemerintahan
Mu’awiyah. Ia banyak meminjam
pola-pola pemerintahan dari kerajaan Byzantin, termasuk atribut-atribut dan
pola hidup raja tetangga itu. Berbagai formalitas, peraturan protokuler mulai
diberlakukan. Khalifah mulai mengambil jarak dengan rakyatnya. Jabatan Hajib
(Urusan pengawalan keselamatan Khalifah) diadakan dengan tugas mengatur
pertemuan atau audiensi dengan khalifah,
baik bagi para pejabat tinggi negara maupun untuk anggota masyarakat biasa.
Jabatan ini kemudian berkembang menjadi perangkat kerajaan
yang besar pengaruhnya, oleh karena pada prakteknya Hajib-lah yang menentukan
apakah seseorang dapat menghadap khalifah dan menentukan tanggalnya.[8]
Kebijakan-kebijakan
lain di bidang politik pemerintahan yaitu pembentukan Dewan Sekretariat Negara
(Diwan al-Kitabah) untuk mengatur berbagai urusan pemerintahan dengan
lima orang sekretaris;
- Katib al-Rasail / Kahatam (Sekretaris Urusan Persuratan)
- Katib al-Kharraj (Sekretaris Urusan Pajak/Keuangan)
- Katib al-Jund (Sekretaris Urusan Ketentaraan)
- Katib al-Syurthah (Sekretaris Urusan Kepolisian)
- Katib al-Qadhi Sekretaris Urusan Kehakiman)
Di samping itu Mu’awiyah juga
membentuk lembaga Barid (Organisasi Pos) dalam tata usaha negara. Al-Imarah
ala al-Buldan, yaitu pembagian provinsi dan perluasan otonomi daerah.
Organisasi tentara di masa Mu’awiyah banyak meniru organisasi tentara Persia serta pembentukan dinas
intelijen/dinas rahasia. Mu’awiyah juga merupakan orang pertama yang
memerintahkan supaya prajurit-prajurit mengangkat senjata bila merka berhadapan
dengannya. Ia juga yang mula-mula memerintahkan agar dibuatkan “anjung” dalam
mesjid untuk menjaga keamanan diri dari musuh-musuhnya ketika ia sedang shalat,
mengingat khalifah sebelumnya ada yang dibunuh ketika sedang shalat.
Berbeda dengan khalifah sebelumnya, Mu’awiyah
menggunakan pakaian dan aksesoris kebesaran Persia, menggunakan pakaian
kebesaran, pemakaian mahkota, pengawalan khusus, gelar-gelar khalifah, dan
menjaga jarak yang ketat terhadap rakyat biasa sehingga terkesan kurang
merakyat.
Pada sisi lain, Perebutan kekuasaan oleh Mu’awiyah telah mengakibatkan
terjadinya prubahan dalam peraturan syura yang menjadi dasar pemilihan Khulafa
al-Rasyidin. Dengan demikian, jabatan khalifah beralih ke tangan raja
dengan satu keluarga yang memerintah dengan kekuatan pedang, politik dan tipu
daya/diplomasi. Penyelewengan semakin jauh
setelah Mu’awiyah mengangkat anaknya (Yazid) menjadi putra mahkota (waliy
al-Ahdi) yang dengan demikian berarti beralihnya organisasi khilafah yang
berdiri atas dasar syura dan bersendikan agama kepada organisasi al-Mulk
(kerajaan) yang tegak atas dasar keturunan serta bersandar kepada politik
daripada agama.
Mu’awiyah meninggal dunia pada usia
58 tahun di Damsyik, tepatnya dalam bulan april 680 M / 60 H dengan masa
pemerintahan selama 16 tahun, 3 bulan, 14 hari. Pada versi lain dikatakan
selama 16 tahun, 3 bulan sejak hasil arbitrase / tahkim ketika ia diangkat oleh Amr bin Ash.
C. Kesimpulan
Tinta sejarah mencatat bahwa
meskipun telah terjadi kontroversi antara kebenaran yang secara umum dinilai
berada di pihak Ali dan kelicikan serta kecurangan di pihak Mu’awiyah, namun
diakui pula bahwa masa-masa kebesaran dan kejayaan Islam masa lalu banyak
diukir oleh sosok negarawan yang ambisius seperti halnya Mu’awiyah.
Tatanan ideal dari suatu format
negara juga sangat ditentukan oleh kemampuan pemimpinnya dalam menyelami watak
rakyatnya serta keberanian melakukan rekonstruksi terhadap pola kepemimpinan
yang dianggap tidak sesuai dengan perubahan dan perkembangan zaman, hal inilah
yang telah dilakukan oleh seorang Mu’awiyah, terlepas dari apakah ambisi itu
adalah ambisi keduniaan, popularitas atau pun kenikmatan semata. Ali ibn Abi
Thalib dapat dipastikan seorang yang fakih dan berilmu, namun tidak semua orang
yang berilmu mampu memimpin, bahkan watak kepemimpinan tidak dapat dimiliki
oleh setiap orang.
Daftar Pustaka
Baali, Fuad. dan Ali Wardi, Ibn
Khaldun and Islamic Thought-Style A Social Perpective, diterjemahkan oleh:
Mansuruddin, Ahmadie Thaha dengan judul Ibn Khaldun dan Pola Pemikiran Islam. Cet.
I; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989.
Al-Baghdady, Abi Bakr. Tarikh al-Baghdady,
Juz. I. Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Djadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah dan
Pemikiran. Edisi 5; Jakarta: UI. Press,
1993.
Glasse, Cyril. The Concise
Encyclopaedia of Islam, diterjemahkan oleh Ghufron A. Mas’adi dalam judul Ensiklopedi
Islam (ringkas), Edisi I. Cet. II;
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999.
Grenaban, G.E. Von.
Classical Islam; A. History 600-1258. Cet. I; Chicago: Aldine, 1970.
Hasjmy, A. Sejarah
Kebudayaan Islam. Cet. V; Jakarta:
Bulan Bintang, 1995.
Hinds, M. “Mu’awiya I” C.E.
Bosworth, et al, (ed.), The Encyclopaedia of Islam, Vol. VII. Leiden:
Brill, 1993.
Ibn Atsir. al-Kamil fi
al-Tarikh, Jilid 4. Beirut: Dar-al-Shadr, 1979.
Jufri, SHM. Origin and
Early Development of Shi’a Islam, diterjemahkan oleh Meth Kieraha dengan
judul Awal dan Sejarah Perkembangan Islam Syi’ah dari Saqifah sampai Imamah.
Cet. II; Bandung: Pustaka Hidayah, 1995.
Lapidus, Ira. M. Sejarah
Sosial Ummat Islam (Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.
Mahmudunnasir, Syed. Islam;
Concepts and History, diterjemahkan oleh Adang Affandi dengan judul Islam,
Konsepsi dan Sejarahnya. Cet. I; Bandung: Rosda, 1988.
Nurhakim, Moh. Sejarah dan
Peradaban Islam. Cet. I; Yogyakarta: UMM Press, 2003.
Al-Suyuthi, Jalaluddin.
Tarikh al-Khulafa’ . Cet. I; Beirut:
Dar al-Katib al-Ilmiyah, 1988.
Shaban, M.A. Sejarah Islam;
Penafsiran Baru. 600-750 H. Cet. I; Jakarta: Rajawali Press, 1993.
Syalabi, Ahmad. Mausu’ah
al-Tarikh al-Islam. Diterjemahkan oleh Mukhtar Yahya dan M. Sunusi Latif
dalam judul Sejarah dan Kebudayaan Islam. Cet.
III; Jakarta: al-Husna Zikra, 1995.
Al-Thabary, Abi Ja’far
Muhammad. Tarikh al-Umam wa al-Mulk, Juz 6. Cet. I; Beirut; Dar al-Fikr,
1987.
Yatim, Badri. Sejarah
Peradaban Islam;Dirasah Islamiyah II. Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1993.
[1]Mu’awiyah tercatat
meriwayatkan 163 hadis.
[2]Mu’awiyah agak
terlambat memeluk Islam, bahkan termasuk salah seorang yang pernah melakukan
banyak kekejaman terhadap orang-orang Islam. akan tetapi, prestasi-prestasi
yang dicapainya setelah memeluk Islam telah mengubur semua masa silamnya yang
buruk terhadap Islam.
[3]Kadang ia disebut
dengan Ibn Hind dan Ibn Akilat.
[4]Shaban menilai
Mu’awiyah sebagai sosok Primus Inter Peres dan oleh M. Hinds kata hilm
ini berarti “the patient and tireless cunning in the manipulation of men
through knowledge of their interests and passions”, which in his case
included “the prudent mildness by which he disarmed and shamed the
opposition, slowness to anger, and the most absolute self-command”.
[5] Hasan ibn Ali bin
Abi Thalib adalah khalifah yang dibai’at oleh rakyat Madinah dan Kufah setelah
Ali bin Abi Thalib wafat karena di bunuh oleh seorang Yahudi yang bernama
Abdurrahman Ibn Muljam, suruhan Khawarij yang dibayar. Lihat, Ibid.
[6]Syarat itu antara
lain: (1) Bahwa Mu’awiyah harus memerintah menurut kitab Allah, sunnah Rasul
dan perangai Khulafa al-Rasyidin; (2) Bahwa Mu’awiyah tidak boleh mengangkat
seseorang untuk memangku khilafah setelah dia dan menyerahkan sepenuhnya kepada
syura kaum muslimin; (3) Bahwa Mu’awiyah harus memberikan amnesty penuh
seluruh pengikut dan sahabat Ali beserta keluarganya serta tidak
menjelek-jelekkan Ali di setiap khutbah. Syarat yang sedikit berbeda
diungkapkan dalam Cyril Glasse sebagai berikut: (1) Mu’awiyah tidak menaruh
dendam terhadap seorang pun dari
penduduk Irak (karena sebelumnya mereka adalah pendukung Ali dan merupakan
orang-orang yang membai’at Hasan sebagai khalifah); (2) Mu’awiyah menjamin
keamanan dan memaafkan kesalahn-kesalahan mereka; (3) Pajak tanah negeri
Ahwaz (sekarang kota di propinsi
Khuziztan Iran) diperuntukkan kepada Hasan dan diberikan tiap tahun; (4)
Mu’awiyah membayar kepada saudaranya, Husein, dua juta dirham; (5) Pemberian
untuk Bani Hasyim harus lebih banyak daripada Bani Abdi Syams (karena
jasa-jasanya terhadap Islam dan karena mereka lebih dahulu masuk Islam).
Ketegangan historis tentang keadaan yang dihadapi Hasan sejak awal
kekhalifahannya menunjukkan bahwa pengunduran dirinya tidak didorong oleh
kesenangan dan kemewahan, melainkan karena sifat cinta damai, tidak menyukai
politik dan perselisihan, serta hasrat menghindari tumpah darah yang besar di
kalangan muslim.
[7]Setelah persetujuan
tercapai, Mu’awiyah memasuki Kufah pada bulan Rabi al-Awwal 41 H dengan
kekuatan penuh tentaranya, majlis umum diadakan, kemudian Hasan dan Husein,
serta berbagai kelompok orang membai’at Mu’awiyah sebagai khalifah.
[8]Sebelum datangnya Islam, daerah
Arabia yang kemudian menjadi wilayah negara Islam yang pertama itu tidak pernah
mengenal kesatuan politik yang lebih
besar daripada negara-negara kota. Di daerah tersebut, masing-masing kota yang
kebetulan jaraknya berjauhan, merupakan kesatuan politik yang mandiri dan
merdeka, dan hanya terdiri dari satu atau beberapa suku
saja, seperti Mekah dan Yathrib misalnya. Oleh karenanya, di antara ciri-ciri
kehidupan masyarakat Arab yang menonjol adalah kemandirian, semangat persamaan
dan tiadanya formalitas. Ciri-ciri tersebut masih tampak jelas pada masa
al-Khulafa al-Rasyidin, khususnya sampai masa akhir pemerintahan Umar. Rakyat
dapat berbicara langsung dengan kepala negaranya di mana pun ia bertemu
dengannya dan menghadap tanpa perjanjian. Tidak jarang pula jika khalifah sedang berbicara dari
mimbar, pembicaraannya dipotong orang, ciri-ciri tersebut mulai hilangsejak
Mu’awiyah berkuasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar