Jumat, 21 Februari 2014

Mu’awiyah ibn Abi Sufyan (Pembentukan Dinasti dan Perkembangan Politik)



Mu’awiyah ibn Abi Sufyan
(Pembentukan Dinasti dan Perkembangan Politik)
Oleh:  Muh. Ghazali Rahman

A.     Pendahuluan

Pribadi seorang Mu’awiyah merupakan aktor sejarah dengan sosok yang monumental dalam sejarah Islam. Beliau tergolong seorang sahabat yang memiliki andil sangat besar dalam Islam baik di masa kenabian maupun di masa panjang perjalanan sejarah Islam. Bahkan, beliau termasuk seorang sekretaris Nabi Saw. yang banyak menuliskan wahyu serta meriwayatkan beberapa hadis.[1] Ia masuk Islam pada masa Fath Makkah dalam usia 23 tahun.[2]

Nama lengkap bangsawan Quraisy pendiri dinasti Umayyah ini ialah Mu’awiyah bin Abi Sufyan al-Sakhar bin Harb ibn Umayyah bin Abd Syams bin Abd Manaf bin Qushai bin Kilab. [3] Oleh sekian banyak sejarawan, Mu’awiyah disebut sebagai manusia hilm.[4] Kata ini rumit dan komprehensif serta tidak mudah diterjemahkan, tetapi kata ini adalah cara terbaik -jika bukan satu-satunya cara- untuk menggambarkan potensi utama Mu’awiyah. Ia diakui sebagai sosok yang cerdik, politikus, orator, administrator, berwawasan luas, bijaksana, dan dermawan.
Sifat hilm ini juga dinilai sebagai bakat Mu’awiyah yang mampu merangkul siapa   saja   untuk   menjadi   pengikutnya   dan   bekerja   sama  tanpa  sadar  bahwa kedudukan mereka sedang dimanfaatkan. Ambisi politiknya bahkan telah tampak sejak awal ia memeluk Islam, terlebih lagi bias politik dalam polemik sejarah pengangkatannya sebagai Amir al-Mu’minin semakin jelas dengan  menuntut bela atas kematian Utsman bin Affan sebagai alasan dan batu loncatannya menuju tangga kekuasaan.
            Potensi kepemimpinan Mu’awiyah ini menyebabkan ia terkadang digelari dengan berbagai gelar kebesaran seperti “Kisra Arab”, dan ”Khalifah Laut Tengah”. Mu’awiyah sendiri menyebut dirinya “Khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah.
           
B. Pembahasan
1.  Pembentukan Dinasti
Mu’awiyah mendirikan dinasti Umayyah pada tahun 41 H/661 M. Proses pengangkatannya sebagai penguasa telah melalui proses panjang yang dapat dikatakan sebagai bagian integral dari akar rumput lahirnya Fitnah al-Kubra dalam dunia Islam masa itu. Berawal dari masa kematian Utsman bin Affan, Mu’awiyah memang telah berambisi untuk menduduki jabatan kekhalifahan, namun telah didahului oleh Ali bin Abi Thalib yang di bai’at oleh masyarakat Madinah serta didukung oleh sebagian besar sahabat kecuali Thalhah, Zubair, dan Aisyah, ra.
Penolakannya atas kebijakan dan kekhalifahan Ali, ra. kemudian berkembang dalam bentuk tuntutan atas kematian Utsman bin Affan yang berakhir dengan timbulnya perang Shiffin (37 H/ 657 M) dan melahirkan the Siffin Arbitration Agreement (Perjanjian Shiffin/Tahkim) meskipun dari pihak Ali, ra. menolak mentah-mentah hasil keputusan itu karena dinilai sebagai penipuan dan kecurangan.
Kecerdikan dan keberhasilan Amr bin Ash sebagai duta Mu’awiyah dalam mengalahkan Abu Musa al-Asy’ari yang menjadi duta dari pihak Ali dalam proses tahkim diakui telah mengangkat Muawiyah sebagai pemimpin kaum muslimin pada masa itu. Hasil tahkim saat itu merupakan awal kemenangan Mu’awiyah atas Ali bin Abi Thalib meskipun tidak diakui oleh kelompok Ali maupun dari kalangan Khawarij. Pada kasus ini, Konfrontasi antara Ali dan Muawiyah dalam perspektif Ibn Khaldun adalah konfrontasi antara kubu “idealistis” dan kubu “realistis”. Kubu orang-orang saleh untuk sementara memperoleh kemenangan dengan terpilihnya Ali sebagai pengganti Usman menjadi khalifah. Pemerintahan Ali yang idealistis ditakdirkan berakhir dalam waktu sangat singkat. Kelas bawah yang mendukung Ali dalam pemilihannya sebagai khalifah terlalu lemah untuk dapat menghadapi arus pemikiran “realistik”. Muawiyah memimpin kelompok oposisi melawan Ali, yang akhirnya mengalahkannya.
Pengukuhan Mu’awiyah sebagai khalifah baru dipertegas kemudian setelah Hasan ibn Ali bin Abi Thalib[5] bersedia mundur dari kekhalifahan dengan beberapa syarat.[6] Pembai’atan Mu’awiyah oleh Hasan dan rakyat Kufah kemudian dikenal dalam sejarah Islam sebagai “am or sanat al-Djama’a”, “the year of (unification of) the community” atau “tahun persatuan”.[7]
Pada dasarnya Mu’awiyah dapat saja mengalahkan dan menghancurkan Hasan dengan kekuasaan dan kekuatannya, terlebih setelah penduduk Kufah plin-plan dalam dukungannya terhadap Hasan. Namun Mu’awiyah tidak menghendaki pengakuan kekhalifahannya diperoleh melalui jalan perang dengan Hasan, melainkan harus dilegitimasi oleh Hasan sendiri. Segera setelah wafatnya Hasan, Mu’awiyah mulai aktif menjalankan rencana untuk memenuhi hasratnya melanggengkan pemerintahan keluarganya (Sufyanid rule). Hal ini tidak dapat dilakukan selama Hasan masih hidup karena merupakan bagian dari perjanjian. Hal ini juga bukanlah tugas yang mudah dan Mu’awiyah harus dengan sangat teliti dan hati-hati untuk menggunakan seluruh muslihat yang merupakan ciri kepemimpinannya; diplomasi, hadiah-hadiah mewah, penyogokan serta ancaman dan penindasan.
Bai’at Hasan dan penduduk Kufah terhadap Mu’awiyah merupakan bagian dari tahapan kemenangannya. Namun, masih ada satu kelompok lagi yang perlu diatasi, yaitu kelompok Khawarij yang juga hampir membunuhnya. Kelompok ini tergolong sangat fundamental dalam bersikap karena sebagian besar mereka adalah masyarakat nomad yang hidup di pedalaman-pedalaman jazirah Arab.
Di sisi lain, sifat-sifat yang dimiliki Mu’awiyah mendatarkan jalan baginya untuk meraih kesuksesan dalam mengendalikan jabatan maha penting yang telah dicapainya. Kedudukannya sebagai pemerintah sewaktu-waktu memerlukan sifat tegas dan keras, dan kadang-kadang memerlukan sifat toleransi dan lapang hati. Ibnu Thabathabai berkata tentang Mu’awiyah sebagaimana dikutip oleh A. Syalabi:
“Mu’awiyah bagus siasatnya, pandai mengatur urusan duniawi, cerdas, bijaksana, fasih, baligh, di mana ia perlu dapat berlapang hati dan dapat pula bersikap tegas atau keras, tetapi lebih sering berlapang dada. Lagipula ia dermawan, rela mengorbankan harta, amat suka memegang pimpinan, kedermawanannya melebihi para bangsawan dalam kalangan rakyatnya”.
            Bagi Ibn Khaldun, pemerintah khalifah telah berakhir pada masa Mu’awiyah, saat pendiri dinasti Umayyah itu naik tahta. Ibn Khaldun mengakui bahwa Muawiyah lebih merupakan seorang raja daripada khalifah, dan tidak ada salahnya yang demikian itu. Menurut istilahnya, “kerajaan adalah sesuatu yang relatif” dan karena itu tidak bisa disebut jelek. Seperti semua sifat manusia, jelek manakala digunakan untuk tujuan yang jelek, dan baik manakala digunakan untuk tujuan yang baik. Nabi tidak melarang atau mengutuk kerajaan semacam itu, beliau lebih melarang kebiasaan membiarkan ketidakadilan, kemewahan, dan semacamnya. Dengan kata lain, apabila kerajaan dipergunakan untuk menegakkan keadilan, melindungi agama, dan membantu pelaksanaan upacara agama, kerajaan justru menguntungkan. Mengutuk kerajaan sama saja dengan mengutuk rasa marah atau keinginan seksual. Dorongan-dorongan ini pada dasarnya tidaklah jelek, dan dimaksud untuk memelihara ras manusia dan melindunginya dari serangan agresor. Dorongan-dorongan jelek manakala digunakan secara tidak baik dan dengan tujuan yang tidak benar.
            Konfrontasi antara Ali dan Muawiyah dalam perspektif Ibn Khaldun adalah konfrontasi antara kubu “idealistis” dan kubu “realistis”. Kubu orang-orang saleh untuk sementara memperoleh kemenangan dengan terpilihnya Ali sebagai pengganti Usman menjadi khalifah. Pemerintahan Ali yang idealistis ditakdirkan berakhir dalam waktu sangat singkat. Kelas bawah yang mendukung Ali dalam pemilihannya sebagai khalifah terlalu lemah untuk dapat menghadapi arus pemikiran “realistik”. Muawiyah dalam memimpin kelompok oposisi melawan Ali, yang akhirnya mengalahkannya.  Muawiyah sendiri pernah memproklamirkan dari mimbar mesjid, bahwa kemenangannya atas Ali merupakan suatu bukti dari “kebenarannya” di hadapan Tuhan.
            Dalam upaya perluasan wilayah kekuasaannya, Mu’awiyah membangun kekuatan armada yang tak terkalahkan pada waktu itu dengan kekuatan 855 buah kapal untuk menyerang daerah Laut Tengah, yaitu Cyprus, Rhodes, Sisilia dan Kreta. Daerah-daerah penting yang ditaklukkan oleh Mu’awiyah antara lain Turki dan Armenia, kedua daerah ini berada di bawah kekuasaan Byzantium. Sebelumnya operasi-operasi yang sama dilancarkan terhadap Ghazna, Balkh, dan Kandahar. Pada tahun 676 M Bukhara direbut dan dua tahun kemudian tentara muslim lainnya terus melaju hingga ke tepi sungai Indus.
Tidak puas dengan penyerbuan ke wilayah Timur, pasukan Mu’awiyah mengalihkan penaklukkannya ke arah barat dan berhasil menguasai Afrika Utara, Andalusia, dan bahkan sampai ke Perancis pada masa-masa berikutnya. Peristiwa paling menyolok pada masa kekuasaannya adalah pengepungan Konstantinopel melalui kesatuan ekspedisi di bawah kepemimpinan Yazid selama enam tahun meskipun pada akhirnya pengepungan itu dihentikan dan Mu’awiyah memerintahkan penarikan pasukan dari pengepungan itu.
2. Perkembangan Politik
Mu’awiyah mendirikan suatu pemerintahan yang terorganisir dengan baik. Kesulitan awal kepemimpinannya banyak disebabkan oleh munculnya anarkisme dan ketidakdisiplinan kaum nomad yang tidak lagi dikendalikan oleh ikatan agama dan moral yang berimbas pada ketidakstabilan di mana-mana dan kehilangan kesatuan. ikatan teokrasi yang telah mempersatukan kekhalifahan sebelumnya tanpa dapat dihindari telah dihancurkan oleh pembunuhan Utsman, oleh perang saudara serta pemindahan ibu kota dari Madinah ke Kufah di masa Ali, oleh karena itu pula Mu’awiyah memindahkan pusat kekuasaan ke Damaskus melalui proses yang panjang.
Oleh  Ibn Khaldun, Muawiyah adalah seorang muslim yang saleh dan raja yang baik. Dia hidup pada masa kehidupan sangat berbeda dari masa nabi dan masa khalifah penggantinya. Karena itu kemewahan dan kemegahan diperlukan untuk menjadi seorang raja yang terhormat. Mengenai pemberontakan Muawiyah melawan khalifah Ali yang sah dan pengambilalihan kekuasaan khalifah dengan paksaan, Ibn Khaldun menganggap hal ini sebagai tekanan sosial, yaitu karena ashabiyah (solidaritas) Muawiyah lebih kuat ketimbang Ali yang ashabiyah-nya sangat lemah, lambat atau cepat Ali pasti segera diganti oleh pimpinan yang lebih kuat. Pimpinan ini kebetulan Muawiyah. Apabila Muawiyah menolak untuk memimpin revolusi melawan Ali, pemimpin lain dari kelompoknya pasti akan melakukannya. Karena itu Muawiyah melakukan sesuatu yang tidak bisa ditolaknya.
 Ketika Mu’awiyah mengambil alih Kufah setelah wafatnya Ali, para pemimpin suku dan klan yang kuat dipaksa mengabdi sebagai perantara dalam struktur kekuasaan propinsi itu. Wewenang pusat di Damaskus tetap mengawasi penggunaan kekuasaan, baik atas mereka maupun melalui mereka. Desentralisasi atau pemberian otonomi ini merupakan upaya dan kebijakan dalam membangkitkan gaya lama sukuisme dan memompa kembali peran pemimpin suku berdasarkan organisasi kesukuan yang pada gilirannya diharapkan dapat mendukung pemerintahannya.
Kebijakan politik dalam upaya hegemoni kekuasaannnya adalah dengan memberikan otonomi  khusus kepada tiap-tiap suku ini disebut oleh M.A. Shaban sebagai finesse politique, atau politik farriq tasud, yaitu dengan menimbulkan ashabiyah yang kuat dimana  masing-masing kabilah merasa megah dan bangga dengan unsur kesukuannya (fanatisme Arab), selain itu adalah politik “penghamburan uang”.
Semenjak berkuasa, Mu’awiyah memulai langkah-langkah rekonstruksi otoritas khilafah, dan menerapkan paham golongan bersama dengan elite pemerintah. Mu’awiyah mulai mengubah koalisi kesukuan Arab menjadi sebuah sentralisasi monarkis. Hal yang menjadi masalah bagi Mu’awiyah adalah mencari suatu dasar baru bagi kepaduan imperium yang ia bangun. Oleh karena itulah ia mengubah kedaulatan agama menjadi negara sekular, akan tetapi tidak menghilangkan unsur agama dalam pemerintah dan pemerintahannya. Ia mematuhi formalitas agama dan kadang-kadang menunjukkan dirinya sebagai pejuang Islam.
Letak Damaskus yang berdekatan dengan ibu kota Byzantin, Konstantinopel, Istambul sekarang, ikut mempengaruhi pola pemerintahan Mu’awiyah. Ia banyak meminjam pola-pola pemerintahan dari kerajaan Byzantin, termasuk atribut-atribut dan pola hidup raja tetangga itu. Berbagai formalitas, peraturan protokuler mulai diberlakukan. Khalifah mulai mengambil jarak dengan rakyatnya. Jabatan Hajib (Urusan pengawalan keselamatan Khalifah) diadakan dengan tugas mengatur pertemuan  atau audiensi dengan khalifah, baik bagi para pejabat tinggi negara maupun untuk anggota masyarakat biasa. Jabatan ini kemudian berkembang menjadi perangkat  kerajaan  yang besar pengaruhnya, oleh karena pada prakteknya Hajib-lah yang menentukan apakah seseorang dapat menghadap khalifah dan menentukan tanggalnya.[8]
Kebijakan-kebijakan lain di bidang politik pemerintahan yaitu pembentukan Dewan Sekretariat Negara (Diwan al-Kitabah) untuk mengatur berbagai urusan pemerintahan dengan lima orang sekretaris;
  1. Katib al-Rasail / Kahatam (Sekretaris Urusan Persuratan)
  2. Katib al-Kharraj (Sekretaris Urusan Pajak/Keuangan)
  3. Katib al-Jund (Sekretaris Urusan Ketentaraan)
  4. Katib al-Syurthah (Sekretaris Urusan Kepolisian)
  5. Katib al-Qadhi Sekretaris Urusan Kehakiman)
Di samping itu Mu’awiyah juga membentuk lembaga Barid (Organisasi Pos) dalam tata usaha negara. Al-Imarah ala al-Buldan, yaitu pembagian provinsi dan perluasan otonomi daerah. Organisasi tentara di masa Mu’awiyah banyak meniru organisasi tentara  Persia serta pembentukan dinas intelijen/dinas rahasia. Mu’awiyah juga merupakan orang pertama yang memerintahkan supaya prajurit-prajurit mengangkat senjata bila merka berhadapan dengannya. Ia juga yang mula-mula memerintahkan agar dibuatkan “anjung” dalam mesjid untuk menjaga keamanan diri dari musuh-musuhnya ketika ia sedang shalat, mengingat khalifah sebelumnya ada yang dibunuh ketika sedang shalat.
Berbeda dengan khalifah sebelumnya, Mu’awiyah menggunakan pakaian dan aksesoris kebesaran Persia, menggunakan pakaian kebesaran, pemakaian mahkota, pengawalan khusus, gelar-gelar khalifah, dan menjaga jarak yang ketat terhadap rakyat biasa sehingga terkesan kurang merakyat.
            Pada sisi lain, Perebutan kekuasaan oleh Mu’awiyah telah mengakibatkan terjadinya prubahan dalam peraturan syura yang menjadi dasar pemilihan Khulafa al-Rasyidin. Dengan demikian, jabatan khalifah beralih ke tangan raja dengan satu keluarga yang memerintah dengan kekuatan pedang, politik dan tipu daya/diplomasi. Penyelewengan semakin jauh setelah Mu’awiyah mengangkat anaknya (Yazid) menjadi putra mahkota (waliy al-Ahdi) yang dengan demikian berarti beralihnya organisasi khilafah yang berdiri atas dasar syura dan bersendikan agama kepada organisasi al-Mulk (kerajaan) yang tegak atas dasar keturunan serta bersandar kepada politik daripada agama.
            Mu’awiyah meninggal dunia pada usia 58 tahun di Damsyik, tepatnya dalam bulan april 680 M / 60 H dengan masa pemerintahan selama 16 tahun, 3 bulan, 14 hari. Pada versi lain dikatakan selama 16 tahun, 3 bulan sejak hasil arbitrase / tahkim  ketika ia diangkat oleh Amr bin Ash.

C. Kesimpulan
            Tinta sejarah mencatat bahwa meskipun telah terjadi kontroversi antara kebenaran yang secara umum dinilai berada di pihak Ali dan kelicikan serta kecurangan di pihak Mu’awiyah, namun diakui pula bahwa masa-masa kebesaran dan kejayaan Islam masa lalu banyak diukir oleh sosok negarawan yang ambisius seperti halnya Mu’awiyah.
            Tatanan ideal dari suatu format negara juga sangat ditentukan oleh kemampuan pemimpinnya dalam menyelami watak rakyatnya serta keberanian melakukan rekonstruksi terhadap pola kepemimpinan yang dianggap tidak sesuai dengan perubahan dan perkembangan zaman, hal inilah yang telah dilakukan oleh seorang Mu’awiyah, terlepas dari apakah ambisi itu adalah ambisi keduniaan, popularitas atau pun kenikmatan semata. Ali ibn Abi Thalib dapat dipastikan seorang yang fakih dan berilmu, namun tidak semua orang yang berilmu mampu memimpin, bahkan watak kepemimpinan tidak dapat dimiliki oleh setiap orang.

Daftar Pustaka

Baali, Fuad. dan Ali Wardi, Ibn Khaldun and Islamic Thought-Style A Social Perpective, diterjemahkan oleh: Mansuruddin, Ahmadie Thaha dengan judul  Ibn Khaldun dan Pola Pemikiran Islam. Cet. I; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989.
Al-Baghdady, Abi Bakr. Tarikh al-Baghdady, Juz. I. Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Djadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran.  Edisi 5; Jakarta: UI. Press, 1993.
Glasse, Cyril. The Concise Encyclopaedia of Islam, diterjemahkan oleh Ghufron A. Mas’adi dalam judul Ensiklopedi Islam (ringkas),  Edisi I. Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999.
Grenaban, G.E. Von. Classical Islam; A. History 600-1258. Cet. I; Chicago: Aldine, 1970.
Hasjmy, A. Sejarah Kebudayaan Islam.  Cet. V; Jakarta: Bulan Bintang, 1995.
Hinds, M. “Mu’awiya I” C.E. Bosworth, et al, (ed.), The Encyclopaedia of Islam, Vol. VII. Leiden: Brill, 1993.
Ibn Atsir. al-Kamil fi al-Tarikh, Jilid 4. Beirut: Dar-al-Shadr, 1979.
Jufri, SHM. Origin and Early Development of Shi’a Islam, diterjemahkan oleh Meth Kieraha dengan judul Awal dan Sejarah Perkembangan Islam Syi’ah dari Saqifah sampai Imamah. Cet. II; Bandung: Pustaka Hidayah, 1995.
Lapidus, Ira. M. Sejarah Sosial Ummat Islam (Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.
Mahmudunnasir, Syed. Islam; Concepts and History, diterjemahkan oleh Adang Affandi dengan judul Islam, Konsepsi dan Sejarahnya. Cet. I; Bandung: Rosda, 1988.
Nurhakim, Moh. Sejarah dan Peradaban Islam. Cet. I; Yogyakarta: UMM Press, 2003.
Al-Suyuthi, Jalaluddin. Tarikh al-Khulafa’ . Cet. I;  Beirut: Dar al-Katib al-Ilmiyah, 1988.
Shaban, M.A. Sejarah Islam; Penafsiran Baru. 600-750 H. Cet. I; Jakarta: Rajawali Press, 1993.
Syalabi, Ahmad. Mausu’ah al-Tarikh al-Islam. Diterjemahkan oleh Mukhtar Yahya dan M. Sunusi Latif dalam judul Sejarah dan Kebudayaan Islam. Cet. III; Jakarta: al-Husna Zikra, 1995.
Al-Thabary, Abi Ja’far Muhammad. Tarikh al-Umam wa al-Mulk, Juz 6. Cet. I; Beirut; Dar al-Fikr, 1987.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam;Dirasah Islamiyah II. Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993.


[1]Mu’awiyah tercatat meriwayatkan 163 hadis.
[2]Mu’awiyah agak terlambat memeluk Islam, bahkan termasuk salah seorang yang pernah melakukan banyak kekejaman terhadap orang-orang Islam. akan tetapi, prestasi-prestasi yang dicapainya setelah memeluk Islam telah mengubur semua masa silamnya yang buruk terhadap Islam.
[3]Kadang ia disebut dengan Ibn Hind dan Ibn Akilat.
[4]Shaban menilai Mu’awiyah sebagai sosok Primus Inter Peres dan oleh M. Hinds kata hilm ini berarti “the patient and tireless cunning in the manipulation of men through knowledge of their interests and passions”, which in his case included “the prudent mildness by which he disarmed and shamed the opposition, slowness to anger, and the most absolute self-command”.
[5] Hasan ibn Ali bin Abi Thalib adalah khalifah yang dibai’at oleh rakyat Madinah dan Kufah setelah Ali bin Abi Thalib wafat karena di bunuh oleh seorang Yahudi yang bernama Abdurrahman Ibn Muljam, suruhan Khawarij yang dibayar. Lihat, Ibid.
[6]Syarat itu antara lain: (1) Bahwa Mu’awiyah harus memerintah menurut kitab Allah, sunnah Rasul dan perangai Khulafa al-Rasyidin; (2) Bahwa Mu’awiyah tidak boleh mengangkat seseorang untuk memangku khilafah setelah dia dan menyerahkan sepenuhnya kepada syura kaum muslimin; (3) Bahwa Mu’awiyah harus memberikan amnesty penuh seluruh pengikut dan sahabat Ali beserta keluarganya serta tidak menjelek-jelekkan Ali di setiap khutbah. Syarat yang sedikit berbeda diungkapkan dalam Cyril Glasse sebagai berikut: (1) Mu’awiyah tidak menaruh dendam terhadap seorang pun  dari penduduk Irak (karena sebelumnya mereka adalah pendukung Ali dan merupakan orang-orang yang membai’at Hasan sebagai khalifah); (2) Mu’awiyah menjamin keamanan dan memaafkan kesalahn-kesalahan mereka; (3) Pajak tanah negeri Ahwaz  (sekarang kota di propinsi Khuziztan Iran) diperuntukkan kepada Hasan dan diberikan tiap tahun; (4) Mu’awiyah membayar kepada saudaranya, Husein, dua juta dirham; (5) Pemberian untuk Bani Hasyim harus lebih banyak daripada Bani Abdi Syams (karena jasa-jasanya terhadap Islam dan karena mereka lebih dahulu masuk Islam). Ketegangan historis tentang keadaan yang dihadapi Hasan sejak awal kekhalifahannya menunjukkan bahwa pengunduran dirinya tidak didorong oleh kesenangan dan kemewahan, melainkan karena sifat cinta damai, tidak menyukai politik dan perselisihan, serta hasrat menghindari tumpah darah yang besar di kalangan muslim.
[7]Setelah persetujuan tercapai, Mu’awiyah memasuki Kufah pada bulan Rabi al-Awwal 41 H dengan kekuatan penuh tentaranya, majlis umum diadakan, kemudian Hasan dan Husein, serta berbagai kelompok orang membai’at Mu’awiyah sebagai khalifah.
[8]Sebelum datangnya Islam, daerah Arabia yang kemudian menjadi wilayah negara Islam yang pertama itu tidak pernah mengenal kesatuan politik yang  lebih besar daripada negara-negara kota. Di daerah tersebut, masing-masing kota yang kebetulan jaraknya berjauhan, merupakan kesatuan politik yang mandiri dan merdeka, dan hanya terdiri dari satu atau beberapa suku saja, seperti Mekah dan Yathrib misalnya. Oleh karenanya, di antara ciri-ciri kehidupan masyarakat Arab yang menonjol adalah kemandirian, semangat persamaan dan tiadanya formalitas. Ciri-ciri tersebut masih tampak jelas pada masa al-Khulafa al-Rasyidin, khususnya sampai masa akhir pemerintahan Umar. Rakyat dapat berbicara langsung dengan kepala negaranya di mana pun ia bertemu dengannya dan menghadap tanpa perjanjian. Tidak jarang  pula jika khalifah sedang berbicara dari mimbar, pembicaraannya dipotong orang, ciri-ciri tersebut mulai hilangsejak Mu’awiyah berkuasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar