Jumat, 21 Februari 2014

al-Muhkam wa al-Mutasyabih



al-Muhkam wa al-Mutasyabih

A. Pendahuluan
            Alquran sebagai bahasa Tuhan sekaligus bahasa agama diakui oleh setiap orang beriman sebagai petunjuk, hidayah, dan  mukjizat yang pada dasarnya datang untuk berdialog dengan setiap umat yang ditemuinya. Kajian  ini menjadi postulat mendasar yang pada akhirnya menimbulkan tanda tanya: “Mengapa ada ayat mutasyabihat  yang sulit dipahami,  padahal Alquran diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi umat manusia, dan bukankah akan mudah dipahami jika semua ayat itu muhkamat ?

Masalah muhkam dan mutasyabih pada perkembangannya telah menjadi wilayah diskursus antara ambiguitas dengan distingsi dan merupakan karakteristik teks yang paling penting dalam kajian-kajian kritis kontemporer, sebab yang membedakan antara teks yang berwatak murni informatif dengan teks sastra terletak pada kemampuan teks sastra menciptakan sistem semantiknya yang unik di tengah sistem semantik umum pada kebudayaan yang relevan dengan teks itu sendiri.[1]
Tataran bahasa Alquran dapat ditemukan dalam corak informatif yang secara otentik menguraikan aneka pesan serta corak bahasa sastra yang penuh dengan makna kreatifitas Ilahy dengan mekanismenya yang khas. Basis pemahaman ini mengasumsikan bahwa bahasa Alquran merupakan suatu elaborasi antara nilai ilahiah dengan nilai peradaban, yaitu peradaban Tuhan dan peradaban manusia, yang tidak hanya menggambarkan peta geografi dunia semata, tetapi juga menggambarkan peta geografi akhirat.

B.  Pembahasan
      1. Pengertian
            Muhkam [2] dalam arti yang umum (al-Ihkam al-‘Amm) - Alquran itu seluruhnya muhkam- menurut al-Qattan yaitu bahwa setiap kata-kata yang terdapat dalam Alquran adalah kokoh, fasih (indah dan jelas) dan membedakan antara yang hak dengan yang batil.[3] Sedangkan mutasyabih [4] dalam arti umum (al-Tasyabuh al-‘Amm) -Alquran juga seluruhnya mutasyabih- menurut beliau yaitu bahwa Alquran memiliki kata-kata yang masing-masing mengandung bagian yang serupa dengan bagian yang lain dalam kesempurnaan dan keindahannya, dan sebagiannya membenarkan sebagian yang lain serta sesuai pula maknanya.[5]
            Pengertian muhkam dan mutasyabih secara umum tersebut akan tampak rumit dan hampir memiliki pemahaman yang sama, sebab berdasarkan pengertian itu maka setiap kata dalam Alquran adalah muhkam yang juga sekaligus mutasyabih, yaitu bahwa setiap kandungannya adalah serupa dan saling menjelaskan satu sama lain. Dalam pengertian lain, semua ayat-ayat Alquran adalah muhkamat apabila yang dimaksudkan adalah keindahan yang tersusun dengan rapi,[6] dan semua ayat-ayat Alquran adalah mutasyabihat jika yang dimaksudkan adalah kesamaan tingkatan i’jaz (mukjizat yang tak tertandingi) dalam kefasihan bahasa, sehingga sulit untuk menemukan kelebihan antara satu bagian dengan bagian yang lain.[7]
Perhatian dalam  pembahasan tentang muhkam dan mutasyabih  pada kajian-kajian Ulum Alquran secara umum adalah berdasarkan QS. Ali Imran (3): 7;
هُوَ  الَّذِى  ْ أَنْزَل َ  عَلَيْك َ  الْكِتَاب َ  مِنْه ُ  اَيَاتٌ  مُحْكَمَاتٌ  هُن َّ   أُمُّ  الْكِتَابِ   وَأُخَرُ   مُتَشَابِهَاتٌ,   فَأَمَّا  الَّذِيْن َ  فِِىْ   قُلُوْبِهِمْ  زَيْغ ٌ  فَيَتَّبِعُوْن َ  مَا تَشَابَه َ مِنْهُ  اْبتِغَاءَ  الْفِتْنَةِ  وَابْتِغَاءَ  تَأْوِيْلِهِ,  وَمَايَعْلَمُ  تَأْوِيْلَهُ  إِلاَّ اللهُ وَالرَّاسِخُوْنَ  فِْي  الْعِلْمِ,    يَقُوْلوُْنَ  اَمَنَّا بِه ِ كُلّ ٌ مِنْ  عِنْدِ  رَبِّنَا...

Terjemahannya:
Dialah yang menurunkan al-Kitab (Alquran) kepadamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat muhkamat, itulah pokok-pokok isi Alquran dan yang lainnya (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat daripadanya untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya, seraya berkata: Kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami“…[8]

Berdasarkan ayat ini ada beberapa pengertian yang berbeda di kalangan ulama -namun tidak bertentangan- tentang muhkam dan mutasyabih, misalnya muhkam menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin  Rakhmat bermakna sesuatu yang tetap, mapan dan mantap serta tidak dapat diganggu gugat. Oleh karena itu, muhkamat adalah ayat-ayat yang jelas dan tegas, mudah dipahami tanpa memerlukan pengkajian dan riset khusus. Sedangkan mutasyabihat adalah ayat-ayat yang memiliki komponen yang berbeda dari sesuatu yang subtansinya memiliki kesamaan namun bersifat samar dan rumit, serta memiliki kemungkinan banyak makna.
            Oleh Abd al-Wahhab Khallaf, muhkam adalah sesuatu yang menunjukkan kepada arti (harfiah) ayat itu sendiri secara jelas yang tidak menerima pembatalan dan penggantian, dan sama sekali tidak mengandung takwil.  Sedangkan mutasyabih adalah lafal yang  sighat-nya sendiri tidak menunjukkan pada artinya secara inheren, dan tidak terdapat qarinah atau indikator lain yang menjelaskan.
            Al-Qattan juga mengakui adanya perbedaan mengenai definisi muhkam dan mutasyabih ini, yang terpenting di antaranya bahwa muhkam adalah ayat yang hanya mengandung satu wajah serta mudah diketahui maksudnya secara langsung tanpa memerlukan keterangan lain. Sedangkan mutasyabih adalah ayat yang mengandung banyak wajah dan hanya Allah yang mengetahui maksudnya. Kemungkinan untuk mengetahuinya memerlukan penjelasan dengan merujuk kepada ayat-ayat yang lain.
            Menurut al-Shalih, perbedaan pendapat para ulama mengenai defenisi hal tersebut pada akhirnya hanya berupa takwil bahwa muhkam bermakna “jelas“ dan mutasyabih bermakna “tidak jelas” dan tidak ada dalil kuat untuk menafsirkannya secara definitif. Dengan demikian menurut beliau maka yang termasuk ayat-ayat muhkam ialah ayat yang terang makna dan lafadznya dan diletakkan untuk suatu makna yang kuat dan cepat dipahami. Sedang mutasyabih ialah ayat-ayat yang bersifat global (mujmal), memerlukan takwil (mu’awwal), dan sukar (musykil). Oleh al-Suyuthy dikatakan bahwa ayat-ayat dengan kriteria seperti itu membutuhkan rincian lebih jauh untuk dapat memahaminya.
            Berdasarkan beberapa pendapat tersebut maka secara umum ada dua hal yang dapat diketahui:
1.   Muhkam dipahami sebagai ayat yang maknanya rasional, tidak ada kesulitan dalam memahaminya karena adanya kejelasan ayat yang maknanya kuat dan tegas (rajih).
2.   Mutasyabih dipahami sebagai ayat yang tidak mudah dirasionalkan dan ambigu karena pembahasan tentang hal ini menimbulkan masalah yang perlu dibahas lebih lanjut.

2. Kriteria Ayat-ayat Mutasyabihat
            Selain perbedaan dalam segi pengertian, para ulama juga berbeda  pendapat dalam hal kriteria ayat-ayat mutasyabihat. Sebagian besar ulama[9] berpendapat bahwa ayat mutasyabih tidak diketahui takwilnya oleh siapapun selain Allah sendiri. Mereka mewajibkan agar tidak mencari-cari takwilnya dan menyerahkan persoalan itu kepada Allah swt.
Pendapat tersebut dibantah oleh Abu Hasan al-Asy’ari karena adanya pernyataan Allah : والرا سخون فِي العلم “ memberi pemahaman bahwa orang-orang yang berilmu (cendikiawan) dapat mengetahui takwil ayat-ayat mutasyabihat. Pendapat senada dari Abu Ishak al-Syirazi dikatakan bahwa:
“Allah yang menguasai ilmu bukanlah untuk dirinya sendiri, tetapi ulama juga mendapat limpahan ilmu dan pujian karena ilmunya, jika mereka tidak mengetahui maknanya, maka tidak ada bedanya antara mereka dengan orang awam”
             Al-Raghib al-Asfahaniy yang bersifat moderat berpendapat bahwa ada tiga kemungkinan mengenai mutasyabihat;
1.   Ayat-ayat yang tidak bisa ditangkap maknanya kecuali Allah, misalnya tentang kedatangan hari kiamat.
2.   Ayat-ayat yang dengan berbagai sarana memungkinkan manusia dapat mengetahui maknanya.[10]
3.   Ayat-ayat yang kebanyakan orang tidak mampu memahami maknanya kecuali oleh orang-orang tertentu yang secara memperoleh ilmu yang mendalam seperti halnya Ibnu Abbas yang pernah dido’akan Nabi agar dapat mendalami dan menguasai agama serta memiliki kemampuan takwil.
Dalam perspektif al-Maraghi, ada dua kriteria mutasyabihat, pertama; suatu lafaz yang makna lahiriahnya tidak dapat diterima akal, seperti ayat-ayat yang menggambarkan sifat-sifat Tuhan (maksudnya sifat-sifat antropomorfisme, misalnya lafaz al-istiwa ‘ala al-‘arsy, lafaz yad, ‘ain, wajh yang dikaitkan dengan atribut ketuhanan). Terhadap lafaz-lafaz tersebut, akal tidak dapat menerimanya secara harfiah (makna zahir). Kedua; mutasyabihat yang tidak dapat ditakwilkan sama sekali, dan harus diterima sebagaimana adanya, misalnya masalah ghaib, seperti malaikat, jin, situasi hari kiamat, dan lain-lain. Dalam hal ini antara orang yang mendalam ilmunya dan yang tidak adalah sama, karena orang yang mendalam ilmunya hanya dapat menjangkau sesuatu yang berada di bawah hukum indera dan akal, bukan di luar itu.
Hampir senada dengan pendapat sebelumnya, Harun Nasution membagi mutasyabihat dalam tiga kategori, yaitu:
1.      Mutasyabihat yang mustahil dapat dijangkau oleh kemampuan akal manusia untuk memahaminya, seperti mengetahui zat Allah, hakekat sifat-sifatnya, waktu terjadinya hari kiamat, dan lain-lain.
2.      Mutasyabihat yang tidak dapat diketahui oleh kebanyakan ulama atau ilmuan (terlebih orang awam), namun dapat dipahami oleh ulama tertentu atau mereka yang mendapatkan kategori al-Rasikhuna fi al-Ilm.
3.      Mutasyabihat yang pada dasarnya setiap orang dapat mengetahui melalui metode pelajaran dan pembahasan tertentu.
            Perbedaan pendapat para ulama tersebut pada dasarnya tidak signifikan untuk dikembangkan jika pemahaman tentang definisi muhkam dan mutasyabih ini dikembalikan pada pengertiannya secara umum sebagaimana yang telah diungkap oleh al-Qattan sebelumnya. Dalam diskursus ini pemahaman terhadap muhkam dan mutasyabih pada pengertian umumnya adalah menyandarkan yang mutasyabih kepada yang muhkam. Maksudnya, tafsir atas teks yang ambigu didasarkan pada teks yang jelas.
            Meskipun teks-teks ambigu tersebut banyak menjadi patokan dalam kajian teologi para ulama yang berbeda ideologi dengan klaim-klaim kebenaran masing-masing, namun perlu disepakati suatu aturan bahwa yang menjadi kriteria adalah teks itu sendiri dengan menjadikan yang muhkam sebagai panduan untuk menafsirkan dan memahami yang mutasyabih. Hal ini tentunya tidak lepas dari berbagai aspek yang membentuk sejumlah ilmu Alquran selain ilmu muhkam dan mutasyabih sebagai sarana memahami mekanisme dalam memproduksi makna teks. Berdasarkan itu pula maka makna-makna dari produk interpretasi tersebut memiliki dua kemungkinan analisa, yaitu makna hasil interpretasi yang bersifat ijtihadiyah dan makna hasil interpretasi spekulatif.
            Dalam perspektif Abu Zaid, seorang mufassir tidak dituntut untuk menggunakan kriteria-kriteria eksternal didalam mengurai dan mencari kejelasan makna teks yang samar. Hal ini berpijak pada mainstream kritik wacana dan sastra yang berasumsi bahwa teks mengandung bagian-bagian yang dapat dianggap sebagai “kunci-kunci” atau tolak ukur semantik yang memungkinkan pembaca dapat memasuki dunia teks dan menangkap hal-hal yang rahasia dan samar.
            Adapun sebab-sebab  terjadinya kesamaran dan ambiguitas atau mutasyabih dalam Alquran adalah disebabkan oleh ketersembunyian maksud Allah dari kalam-Nya baik ketersembunyian yang bersumber dari teks ataupun dari maknanya serta ketersembunyian yang bersumber dari teks dan makna sekaligus. Kesamaran teks ini kemungkinan karena ganjil atau jarangnya kata itu digunakan,[11] sedangkan kesamaran pada makna biasanya terkait dengan sifat-sifat atau atribut ketuhanan,[12] dan adapun kesamaran pada teks dan makna sekaligus adalah disebabkan oleh terlalu ringkasnya teks itu sendiri atau bahkan terlalu panjang sehingga sulit dipahami tanpa melihat aspek-aspek lain yang membentuk sistematika ayat.[13]
Sebaliknya, kemungkinan lain adalah karena kedangkalan ilmu terhadap pemahaman teks. Bahkan kemungkinan kesamaran itu dapat saja karena asumsi bahwa Alquran tidaklah memadai untuk membahasakan semua kehendak-kehendak dan ide-ide Tuhan kepada makhluk-Nya. Dalam arti lain, kebesaran dan keagungan Tuhan tidak cukup dan tidak mampu dibahasakan dan terbahasakan melalui kalam-Nya, sehingga wajar bahwa ayat-ayat Tuhan tidak hanya dipahami secara qauliyah tetapi juga secara kauniyah.
  1. Contoh-contoh  mutasyabihat
Beberapa contoh mengenai mutasyabih dalam pengertian distingtif antara lain:
      “Perempuan-perempuan yang ditalak harus menunggu selama tiga kali quru’...”(QS. al-Baqarah (2): 228).
                  Dalam contoh ini, kata quru’ mempunyai dua makna yang berbeda secara leksikal/ etimologi, pertama adalah menstruasi (haid) dan yang lainnya adalah keadaan suci dari haid (thuhr). Oleh karena itu muncul keraguan di kalangan fuqaha dalam memahami maknanya. Sebagian menafsirkan dengan “kesucian” sementara yang lain menafsirkannya dengan menstruasi.

      “Atau (mas kawin itu) dihapuskan dihapuskan oleh orang-orang yang akad nikah ada di tangannya”. (QS. al-Baqarah (2): 237)
                  Tidak jelas apakah orang yang menghapuskan (mas kawin) itu wali atau suami, sebab hal itu bisa bermakana salah satu dari keduanya.

      “Atau jika kamu menyentuh perempuan” (aw lamastum al-Nisa’)” QS. al-Nisa’ (4): 43.
                  Kata lams (menyentuh) juga tidak jelas, apakah bermakna menyentuh dengan tangan ataukah melalui hubungan seksual?
-     Contoh mutasyabihat yang menyangkut sifat-sifat antropomorfisme atau sifat-sifat ketuhanan misalnya pada kalimat ”istawa ala al-Arsy” (Tuhan yang bersemayam di atas arsy dalam QS. al-A’raf (7): 54. Kalimat “wajah Tuhanmu yang kekal” dalam QS. al-Rahman (55): 27. Kalimat “dan akan Kami tempatkan timbangan keadilan pada hari kiamat”  dalam QS. al-Anbiya’ (21): 47. Begitupula dengan kalimat “mereka membuat tipu daya dan Allah pun (membalas) membuat tipu daya...dalam QS. Ali-Imran (3): 54, dan masih banyak ayat-ayat lain lagi yang secara khusus perlu dipahami dengan tepat dan benar serta membutuhkan keahlian dan pengetahuan komprehensif mengenai sumber rujukannya sebagaimana firman Allah yang mengatakan: “tanyakanlah kepada ahl al-Zikr jika kamu tidak mengetahui” QS. al-Anbiya’ (21): 7.
-     Penggalan huruf pada awal surat (fawatih al-Suwar) juga tergolong mutasyabih yang di satu sisi merupakan deskripsi i’jaz Alquran dalam kapasitasnya sebagai bahasa sastra yang simbolik.
4.      Hikmah eksistensi mutasyabihat.
1.   Syaikh al-Thusi dalam tafsirnya al-Tibyan sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin Rakhmat mengatakan bahwa cara-cara Allah dalam pengungkapan ayat-ayat-Nya yang sedemikian mendalam dan kaya memungkinkan manusia mengambil manfaat darinya serta mencari inspirasi darinya sejalan dengan meningkatkan berbagai kebutuhan intelektual, spiritual, dan material mereka dalam kehidupan individu dan sosial. Dengan demikian menempuh jalan perkembangan dan kesempurnaan tanpa menemuai adanya bentuk stagnasi apapun. Senada dengan itu, oleh al-Maraghi dikatakan bahwa kehadiran mutasyabih ini adalah agar akal manusia tidak lemah dan mati, sebab bila akal mereka mati untuk memahami Alquran maka besar kemungkinan mereka juga lemah dalam memikirkan persoalan-persoalan yang lain.
2.   Eksistensi mutasyabihat dalam Alquran mengisyaratkan adanya kebutuhan manusia akan nabi dan para penerusnya sebagai representasi dan sumber rujukan di tengah umat manusia yang tidak sama dalam kapasitas intelektual dan spiritual mereka.
3.    Untuk menguji iman umat manusia, apakah mereka percaya atau tidak. Bila semua ayat muhkamat, dan dapat diterima akal dengan jelas, tentu tujuan pengujian iman di sini tidak terwujud.
C. Kesimpulan
            Sepintas, ayat-ayat al-Qur’an akan tampak bercorak muhkamat bagi masyarakat awam karena kedangkalan ilmu mereka, atau mungkin juga sebaliknya tampak bercorak mutasyabihat bagi mereka. Di sinilah hikmah dicantumkannya kata: “wa al-rasikhuna fi al-‘ilm”,  bukan “al-rasikhuna fi al-din”,  karena kata al-‘ilm lebih umum dan lebih mencakup. Pada sisi lain, hal ini lebih mendeskripsikan eksistensi Alquran sebagai mutiara ilmu yang tak pernah kering, apalagi habis untuk ditafsirkan secara kaya, tergantung konteks sosial-budaya serta struktur nilai dan kesadaran pembacanya dalam mencari dan menjelajahi suatu penziarahan hidup yang tak pernah usai.
            Eksistensi muhkam dan mutasyabih juga membuka ruang lebar bagi interpretasi Alquran sebagai sebuah keniscayaan dalam menjawab tantangan zaman dan persoalan keumatan. Sehingga konsep-konsep Alquran sebagai kreatifitas Ilahi yang dikaji melalui penalaran yang dilakukan oleh para pakarnya tetap dirasakan  sebagai alternatif yang signifikan untuk dijadikan pedoman dalam kehidupan manusia khususnya umat Islam.
Daftar Pustaka

Abdul Wahid,  Ramli. Ulumul Quran.  Cet. III; Jakarta: Raja Grafindi Persada, 1996.
Abu Zaid, Nasr Hamid. Mafhum al-Nash Dirasah fi ‘Ulum Al-Qur’an, diterjemahkan oleh Khoiron Nahdliyyin dalam judul Tekstualitas Al-Qur’an; Kritik terhadap Ulumul Qur’an. Cet. II; Yogyakarta: LKiS, 2002.
Dahlan, Abd. Rahman. Kaidah-kaidah Penafsiran Al-Qur’an; Disusun Berdasarkan al-Qawa’id al-Hisan li Tafsir AL-Qur’an karya al-Sa’di. Cet. II; Bandung: Mizan, 1998.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya.  Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, 1985.
Khallaf, Abd al-Wahhab. ‘Ilmu al-Ushul al-Fiqh. Cet. XII; Kuwait: Dar al-Qalam, 1978.
al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsir al-Maraghi, Juz I. Cet. III; Beirut: Dar al-Fikr, 1974 .
Marzuki, Kamaluddin. ‘Ulum Al-Qur’an. Cet. II; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994.
al-Namir, Abd. Al-Mun’im. Ulum al-Qur’an al-Karim. Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiy, t.th.
Nasution, Harun. Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran. Cet. V; Bandung: Mizan, 1998.
al-Qattan, Khalil Manna’. Mabahits fi Ulum Al-Qur’an. Cet. XI; Beirut: Maktabah Wahbah, 1997.
Rakhmat, Jalaluddin. et. al,. Belajar Mudah ‘Ulum Al-Qur’an. Cet. I; Jakarta: Lentera, 2002.
al-Shalih, Subhi. Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an. Cet. XVII; Beirut: Dar al-Ilm al-Malayin, 1988.
al-Suyuthi, Jalaluddin. al-Itqan fi‘Ulum al-Qur’an, Juz II. t.t.: Dar al-Fikr, 1951.



[1]Diskursus ambiguitas dan distingsi dalam kajian muhkam dan mutasyabih ini dikembangkan oleh Abu Zaid dengan berpijak pada asumsi klasifikasi teks-teks “informatif” murni yang mengandalkan aspek “kejelasan” sebagai ukuran tinggi rendahnya nilai seni dalam teks yang hal ini bagi Alquran merupakan i’jaz.
[2] Menurut bahasa muhkam berasal dari kata-kata:  حكمت الدابة واحكمتyang artinya “saya menahan binatang itu” Kata muhkam yang berawal dari akar kata h-k-m ini melahirkan banyak bentuk seperti al-Hukm, hakim, dan hikmah yang berarti memutuskan, menetapkan ataupun dapat berarti mencegah.
[3]Penegasan pengertian ini dapat dilihat pada QS. Hud /11: 1. Maksud ayat ini Al-Qur’an  adalah kebenaran  yang disusun dengan sangat sistematis, mencapai puncak kerapian dan kebijaksanaan. Semua perintah yang terdapat di dalamnya berisi kebaikan, petunjuk, keberkatan, dan kemaslahatan. Sedangkan larangannya berangkat dari semua yang mengandung keburukan, kemudharatan, perilaku tercela, dan perbuatan jahat manusia.
[4] Mutasyabih secara bahasa berarti tasyabuh,atau mutamatsil yakni bila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain, dan syubhah ialah keadaan yang salah satu dari dua hal tidak dapat dibedakan dari yang lain karena adanya kemiripan baik secara konkrit maupun abstrak.
[5] Pengertian ini berdasarkan QS. al-Zumar/39: 23. Maksud mutasyabih dalam ayat ini ialah serupa kebaikan, nilai petunjuk dan kebenarannya. Alquran mengemukakan berbagai pengertian yang bermanfaat, menjernihkan akal dan hati serta mengajarkan kemaslahatan dalam segala keadaan dan situasi.  Lihat,  Abd. Rahman Dahlan, op. cit., h. 50.
[6] Pengertian ini berdasarkan QS. Hud/11: 1 dalam terjemahan yang sedikit berbeda. Oleh karena itu Manna al-Qattan kemudian membagi muhkam dan mutasyabih ini dalam pengertian secara umum dan khusus untuk lebih menegaskan pembahasannya pada kajian Ulum Al-Qur’an lebih lanjut. Lihat, al-Qattan, loc. cit.
[7] Penegasan pengertian ini juga berdasarkan pada QS. al-Zumar/39: 23. Pengertian senada tentang Alquran yang muhkamat sekaligus mutasyabihat ini dapat pula dilihat pada Kamaluddin Marzuki, ‘Ulum Al-Qur’an (Cet. II; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), h. 113.
[8]QS. Ali Imran/3: 7. Pemakalah lebih cenderung untuk memposisikan waw pada kalimat wa al-Rasikhuna...sebagai ma’tuf daripada sebagai isti’naf (permulaan), sehingga lafaz wa yaquluna menjadi hal dan waqa-fnya pada lafaz wa al-Rasikhuna fi al-‘Ilm.
[9] Pendapat ini lebih banyak diperpegangi oleh para ulama salaf. Perbedaan pendapat ini juga disebabkan perbedaan ulama mengenai makna takwil sebagaimana diungkapkan oleh al-Qattan dengan tiga makna takwil.
[10] Oleh al-Maraghi disebutkan adanya empat sarana yang merupakan hidayah bagi manusia untuk memperoleh ilmu dan mencapai kebenaran, yaitu; hidayah panca indera (al-Hawas), hidayah akal (al-‘Aql), hidayah agama (al-Din) dan hidayah yang berupa ilham atau intuisi.
[11]Contoh tentang kesamaran teks ini yaitu pada lafal “abba” pada kalimat “wa fakihata wa abba”  QS. Abasa/80: 31, yang kemudian diartikan dengan rumput-rumputan berdasarkan pemahaman ayat selanjutnya (ayat 32) yang berbunyi “mata’an lakum wa li an ‘amikum” .
[12]Contoh tentang ini yaitu kata “yad” (tangan) pada kalimat “yad Allah fauqa aydihim” (tangan Allah di atas tangan-tangan mereka) QS. al-Fath/48: 10.
[13] Contoh ayat tentang ini adalah pada QS. al-Baqarah (2): 189. al-Zarqani sebagaimana dikutip oleh Ramli Abd. Wahid menilai perlunya memahami ayat ini dengan menyentuhkannya pada realitas Arab di masa jahiliah. Dipahami bahwa Alquran yang diturunkan untuk berdialog dengan umat manusia tidaklah diturunkan kepada manusia yang hampa budaya, sehingga benturan antara teks dan budaya ini melibatkan suatu realitas, tata nilai, dan kesadaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar