al-Muhkam wa al-Mutasyabih
A. Pendahuluan
Alquran sebagai bahasa Tuhan sekaligus bahasa agama
diakui oleh setiap orang beriman sebagai petunjuk, hidayah, dan mukjizat yang pada dasarnya datang untuk
berdialog dengan setiap umat yang ditemuinya. Kajian ini menjadi postulat mendasar yang pada akhirnya
menimbulkan tanda tanya: “Mengapa ada ayat mutasyabihat yang sulit
dipahami, padahal Alquran diturunkan
untuk menjadi petunjuk bagi umat manusia, dan bukankah akan mudah dipahami jika
semua ayat itu muhkamat ?
Masalah muhkam
dan mutasyabih pada perkembangannya telah menjadi wilayah diskursus
antara ambiguitas dengan distingsi dan merupakan karakteristik teks yang paling
penting dalam kajian-kajian kritis kontemporer, sebab yang membedakan antara
teks yang berwatak murni informatif dengan teks sastra terletak pada kemampuan
teks sastra menciptakan sistem semantiknya yang unik di tengah sistem semantik
umum pada kebudayaan yang relevan dengan teks itu sendiri.[1]
Tataran
bahasa Alquran dapat ditemukan dalam corak informatif yang secara otentik
menguraikan aneka pesan serta corak bahasa sastra yang penuh dengan makna
kreatifitas Ilahy dengan mekanismenya yang khas. Basis pemahaman ini
mengasumsikan bahwa bahasa Alquran merupakan suatu elaborasi antara nilai ilahiah
dengan nilai peradaban, yaitu peradaban Tuhan dan peradaban manusia, yang tidak
hanya menggambarkan peta geografi dunia semata, tetapi juga menggambarkan peta
geografi akhirat.
B. Pembahasan
1. Pengertian
Muhkam [2]
dalam arti yang umum (al-Ihkam al-‘Amm) - Alquran itu seluruhnya muhkam-
menurut al-Qattan yaitu bahwa setiap kata-kata yang terdapat dalam Alquran
adalah kokoh, fasih (indah dan jelas) dan membedakan antara yang hak dengan
yang batil.[3]
Sedangkan mutasyabih [4]
dalam arti umum (al-Tasyabuh al-‘Amm) -Alquran juga seluruhnya
mutasyabih- menurut beliau yaitu bahwa Alquran memiliki kata-kata yang
masing-masing mengandung bagian yang serupa dengan bagian yang lain dalam
kesempurnaan dan keindahannya, dan sebagiannya membenarkan sebagian yang lain
serta sesuai pula maknanya.[5]
Pengertian muhkam dan mutasyabih secara umum tersebut akan
tampak rumit dan hampir memiliki pemahaman yang sama, sebab berdasarkan
pengertian itu maka setiap kata dalam Alquran adalah muhkam yang juga sekaligus
mutasyabih, yaitu bahwa setiap kandungannya adalah serupa dan saling
menjelaskan satu sama lain. Dalam pengertian lain, semua ayat-ayat Alquran
adalah muhkamat apabila yang dimaksudkan adalah keindahan yang tersusun
dengan rapi,[6]
dan semua ayat-ayat Alquran adalah mutasyabihat jika yang dimaksudkan
adalah kesamaan tingkatan i’jaz (mukjizat yang tak tertandingi) dalam
kefasihan bahasa, sehingga sulit untuk menemukan kelebihan antara satu bagian
dengan bagian yang lain.[7]
Perhatian
dalam pembahasan tentang muhkam dan
mutasyabih pada kajian-kajian Ulum
Alquran secara umum adalah berdasarkan QS. Ali Imran (3): 7;
هُوَ الَّذِى
ْ أَنْزَل َ عَلَيْك َ الْكِتَاب َ
مِنْه ُ اَيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ
هُن َّ أُمُّ الْكِتَابِ
وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ, فَأَمَّا
الَّذِيْن َ فِِىْ قُلُوْبِهِمْ
زَيْغ ٌ فَيَتَّبِعُوْن َ مَا تَشَابَه َ مِنْهُ اْبتِغَاءَ
الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيْلِهِ,
وَمَايَعْلَمُ تَأْوِيْلَهُ إِلاَّ اللهُ وَالرَّاسِخُوْنَ فِْي
الْعِلْمِ, يَقُوْلوُْنَ اَمَنَّا بِه ِ كُلّ ٌ مِنْ عِنْدِ
رَبِّنَا...
Terjemahannya:
Dialah yang menurunkan al-Kitab (Alquran) kepadamu.
Di antara (isi) nya ada ayat-ayat muhkamat, itulah pokok-pokok isi Alquran dan
yang lainnya (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya
condong kepada kesesatan, mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat
daripadanya untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal
tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah dan orang-orang yang
mendalam ilmunya, seraya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat,
semuanya itu dari sisi Tuhan kami“…[8]
Berdasarkan
ayat ini ada beberapa pengertian yang berbeda di kalangan ulama -namun tidak
bertentangan- tentang muhkam dan mutasyabih, misalnya muhkam menurut Ibnu
Qayyim al-Jauziyah sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin Rakhmat bermakna sesuatu yang tetap, mapan
dan mantap serta tidak dapat diganggu gugat. Oleh karena itu, muhkamat adalah
ayat-ayat yang jelas dan tegas, mudah dipahami tanpa memerlukan pengkajian dan
riset khusus. Sedangkan mutasyabihat adalah ayat-ayat yang memiliki
komponen yang berbeda dari sesuatu yang subtansinya memiliki kesamaan namun
bersifat samar dan rumit, serta memiliki kemungkinan banyak makna.
Oleh Abd al-Wahhab Khallaf, muhkam adalah sesuatu yang
menunjukkan kepada arti (harfiah) ayat itu sendiri secara jelas yang
tidak menerima pembatalan dan penggantian, dan sama sekali tidak mengandung
takwil. Sedangkan mutasyabih
adalah lafal yang sighat-nya
sendiri tidak menunjukkan pada artinya secara inheren, dan tidak terdapat qarinah
atau indikator lain yang menjelaskan.
Al-Qattan juga mengakui adanya perbedaan mengenai
definisi muhkam dan mutasyabih ini, yang terpenting di antaranya bahwa muhkam
adalah ayat yang hanya mengandung satu wajah serta mudah diketahui
maksudnya secara langsung tanpa memerlukan keterangan lain. Sedangkan
mutasyabih adalah ayat yang mengandung banyak wajah dan hanya Allah yang
mengetahui maksudnya. Kemungkinan untuk mengetahuinya memerlukan penjelasan
dengan merujuk kepada ayat-ayat yang lain.
Menurut al-Shalih, perbedaan pendapat para ulama mengenai
defenisi hal tersebut pada akhirnya hanya berupa takwil bahwa muhkam bermakna
“jelas“ dan mutasyabih bermakna “tidak jelas” dan tidak ada dalil kuat untuk
menafsirkannya secara definitif. Dengan demikian menurut beliau maka yang
termasuk ayat-ayat muhkam ialah ayat yang terang makna dan lafadznya dan
diletakkan untuk suatu makna yang kuat dan cepat dipahami. Sedang mutasyabih
ialah ayat-ayat yang bersifat global (mujmal), memerlukan takwil (mu’awwal),
dan sukar (musykil). Oleh al-Suyuthy dikatakan bahwa ayat-ayat dengan
kriteria seperti itu membutuhkan rincian lebih jauh untuk dapat memahaminya.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut maka secara umum
ada dua hal yang dapat diketahui:
1. Muhkam
dipahami sebagai ayat yang maknanya rasional, tidak ada kesulitan dalam
memahaminya karena adanya kejelasan ayat yang maknanya kuat dan tegas (rajih).
2. Mutasyabih
dipahami sebagai ayat yang tidak mudah dirasionalkan dan ambigu karena
pembahasan tentang hal ini menimbulkan masalah yang perlu dibahas lebih lanjut.
2. Kriteria Ayat-ayat Mutasyabihat
Selain perbedaan dalam segi pengertian, para ulama juga
berbeda pendapat dalam hal kriteria
ayat-ayat mutasyabihat. Sebagian besar ulama[9]
berpendapat bahwa ayat mutasyabih tidak diketahui takwilnya oleh siapapun
selain Allah sendiri. Mereka mewajibkan agar tidak mencari-cari takwilnya dan
menyerahkan persoalan itu kepada Allah swt.
Pendapat
tersebut dibantah oleh Abu Hasan al-Asy’ari karena adanya pernyataan Allah : “والرا سخون فِي العلم “ memberi pemahaman bahwa
orang-orang yang berilmu (cendikiawan) dapat mengetahui takwil ayat-ayat mutasyabihat.
Pendapat senada dari Abu Ishak al-Syirazi dikatakan bahwa:
“Allah
yang menguasai ilmu bukanlah untuk dirinya sendiri, tetapi ulama juga mendapat
limpahan ilmu dan pujian karena ilmunya, jika mereka tidak mengetahui maknanya,
maka tidak ada bedanya antara mereka dengan orang awam”
Al-Raghib
al-Asfahaniy yang bersifat moderat berpendapat bahwa ada tiga kemungkinan
mengenai mutasyabihat;
1. Ayat-ayat
yang tidak bisa ditangkap maknanya kecuali Allah, misalnya tentang kedatangan
hari kiamat.
2. Ayat-ayat
yang dengan berbagai sarana memungkinkan manusia dapat mengetahui maknanya.[10]
3. Ayat-ayat
yang kebanyakan orang tidak mampu memahami maknanya kecuali oleh orang-orang
tertentu yang secara memperoleh ilmu yang mendalam seperti halnya Ibnu Abbas
yang pernah dido’akan Nabi agar dapat mendalami dan menguasai agama serta
memiliki kemampuan takwil.
Dalam
perspektif al-Maraghi, ada dua kriteria mutasyabihat, pertama; suatu
lafaz yang makna lahiriahnya tidak dapat diterima akal, seperti ayat-ayat yang
menggambarkan sifat-sifat Tuhan (maksudnya sifat-sifat antropomorfisme,
misalnya lafaz al-istiwa ‘ala al-‘arsy, lafaz yad, ‘ain, wajh
yang dikaitkan dengan atribut ketuhanan). Terhadap lafaz-lafaz tersebut, akal
tidak dapat menerimanya secara harfiah (makna zahir). Kedua;
mutasyabihat yang tidak dapat ditakwilkan sama sekali, dan harus diterima
sebagaimana adanya, misalnya masalah ghaib, seperti malaikat, jin, situasi hari
kiamat, dan lain-lain. Dalam hal ini antara orang yang mendalam ilmunya dan
yang tidak adalah sama, karena orang yang mendalam ilmunya hanya dapat menjangkau
sesuatu yang berada di bawah hukum indera dan akal, bukan di luar itu.
Hampir
senada dengan pendapat sebelumnya, Harun Nasution membagi mutasyabihat dalam
tiga kategori, yaitu:
1.
Mutasyabihat yang mustahil dapat dijangkau oleh
kemampuan akal manusia untuk memahaminya, seperti mengetahui zat Allah, hakekat
sifat-sifatnya, waktu terjadinya hari kiamat, dan lain-lain.
2. Mutasyabihat yang tidak dapat diketahui oleh
kebanyakan ulama atau ilmuan (terlebih orang awam), namun dapat dipahami oleh
ulama tertentu atau mereka yang mendapatkan kategori al-Rasikhuna fi al-Ilm.
3. Mutasyabihat yang pada dasarnya setiap orang
dapat mengetahui melalui metode pelajaran dan pembahasan tertentu.
Perbedaan pendapat para ulama tersebut pada dasarnya
tidak signifikan untuk dikembangkan jika pemahaman tentang definisi muhkam dan
mutasyabih ini dikembalikan pada pengertiannya secara umum sebagaimana yang
telah diungkap oleh al-Qattan sebelumnya. Dalam diskursus ini pemahaman
terhadap muhkam dan mutasyabih pada pengertian umumnya adalah menyandarkan yang
mutasyabih kepada yang muhkam. Maksudnya, tafsir atas teks yang ambigu
didasarkan pada teks yang jelas.
Meskipun teks-teks ambigu tersebut banyak menjadi patokan
dalam kajian teologi para ulama yang berbeda ideologi dengan klaim-klaim
kebenaran masing-masing, namun perlu disepakati suatu aturan bahwa yang menjadi
kriteria adalah teks itu sendiri dengan menjadikan yang muhkam sebagai panduan
untuk menafsirkan dan memahami yang mutasyabih. Hal ini tentunya tidak lepas
dari berbagai aspek yang membentuk sejumlah ilmu Alquran selain ilmu muhkam dan
mutasyabih sebagai sarana memahami mekanisme dalam memproduksi makna teks.
Berdasarkan itu pula maka makna-makna dari produk interpretasi tersebut
memiliki dua kemungkinan analisa, yaitu makna hasil interpretasi yang bersifat
ijtihadiyah dan makna hasil interpretasi spekulatif.
Dalam perspektif Abu Zaid, seorang mufassir tidak
dituntut untuk menggunakan kriteria-kriteria eksternal didalam mengurai dan
mencari kejelasan makna teks yang samar. Hal ini berpijak pada mainstream
kritik wacana dan sastra yang berasumsi bahwa teks mengandung bagian-bagian
yang dapat dianggap sebagai “kunci-kunci” atau tolak ukur semantik yang
memungkinkan pembaca dapat memasuki dunia teks dan menangkap hal-hal yang
rahasia dan samar.
Adapun sebab-sebab
terjadinya kesamaran dan ambiguitas atau mutasyabih dalam Alquran adalah
disebabkan oleh ketersembunyian maksud Allah dari kalam-Nya baik
ketersembunyian yang bersumber dari teks ataupun dari maknanya serta
ketersembunyian yang bersumber dari teks dan makna sekaligus. Kesamaran teks
ini kemungkinan karena ganjil atau jarangnya kata itu digunakan,[11]
sedangkan kesamaran pada makna biasanya terkait dengan sifat-sifat atau atribut
ketuhanan,[12]
dan adapun kesamaran pada teks dan makna sekaligus adalah disebabkan oleh
terlalu ringkasnya teks itu sendiri atau bahkan terlalu panjang sehingga sulit
dipahami tanpa melihat aspek-aspek lain yang membentuk sistematika ayat.[13]
Sebaliknya,
kemungkinan lain adalah karena kedangkalan ilmu terhadap pemahaman teks. Bahkan
kemungkinan kesamaran itu dapat saja karena asumsi bahwa Alquran tidaklah
memadai untuk membahasakan semua kehendak-kehendak dan ide-ide Tuhan kepada
makhluk-Nya. Dalam arti lain, kebesaran dan keagungan Tuhan tidak cukup dan
tidak mampu dibahasakan dan terbahasakan melalui kalam-Nya, sehingga wajar
bahwa ayat-ayat Tuhan tidak hanya dipahami secara qauliyah tetapi juga
secara kauniyah.
- Contoh-contoh mutasyabihat
Beberapa
contoh mengenai mutasyabih dalam pengertian distingtif antara lain:
“Perempuan-perempuan yang ditalak harus
menunggu selama tiga kali quru’...”(QS. al-Baqarah (2): 228).
Dalam contoh ini, kata quru’
mempunyai dua makna yang berbeda secara leksikal/ etimologi, pertama adalah
menstruasi (haid) dan yang lainnya adalah keadaan suci dari haid (thuhr).
Oleh karena itu muncul keraguan di kalangan fuqaha dalam memahami
maknanya. Sebagian menafsirkan dengan “kesucian” sementara yang lain
menafsirkannya dengan menstruasi.
“Atau
(mas kawin itu) dihapuskan dihapuskan oleh orang-orang yang akad nikah ada di
tangannya”. (QS. al-Baqarah (2): 237)
Tidak
jelas apakah orang yang menghapuskan (mas kawin) itu wali atau suami, sebab hal
itu bisa bermakana salah satu dari keduanya.
“Atau
jika kamu menyentuh perempuan” (aw lamastum al-Nisa’)” QS. al-Nisa’ (4):
43.
Kata
lams (menyentuh) juga tidak jelas, apakah bermakna menyentuh dengan
tangan ataukah melalui hubungan seksual?
- Contoh
mutasyabihat yang menyangkut sifat-sifat antropomorfisme atau sifat-sifat
ketuhanan misalnya pada kalimat ”istawa ala al-Arsy” (Tuhan yang
bersemayam di atas arsy dalam QS. al-A’raf (7): 54. Kalimat “wajah
Tuhanmu yang kekal” dalam QS. al-Rahman (55): 27. Kalimat “dan akan Kami
tempatkan timbangan keadilan pada hari kiamat” dalam QS. al-Anbiya’ (21): 47. Begitupula
dengan kalimat “mereka membuat tipu daya dan Allah pun (membalas) membuat
tipu daya...dalam QS. Ali-Imran (3): 54, dan masih banyak ayat-ayat lain
lagi yang secara khusus perlu dipahami dengan tepat dan benar serta membutuhkan
keahlian dan pengetahuan komprehensif mengenai sumber rujukannya sebagaimana
firman Allah yang mengatakan: “tanyakanlah kepada ahl al-Zikr jika kamu
tidak mengetahui” QS. al-Anbiya’ (21): 7.
- Penggalan
huruf pada awal surat (fawatih al-Suwar) juga tergolong mutasyabih yang
di satu sisi merupakan deskripsi i’jaz Alquran dalam kapasitasnya
sebagai bahasa sastra yang simbolik.
4. Hikmah eksistensi
mutasyabihat.
1. Syaikh
al-Thusi dalam tafsirnya al-Tibyan sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin
Rakhmat mengatakan bahwa cara-cara Allah dalam pengungkapan ayat-ayat-Nya yang
sedemikian mendalam dan kaya memungkinkan manusia mengambil manfaat darinya
serta mencari inspirasi darinya sejalan dengan meningkatkan berbagai kebutuhan
intelektual, spiritual, dan material mereka dalam kehidupan individu dan
sosial. Dengan demikian menempuh jalan perkembangan dan kesempurnaan tanpa
menemuai adanya bentuk stagnasi apapun. Senada dengan itu, oleh al-Maraghi
dikatakan bahwa kehadiran mutasyabih ini adalah agar akal manusia tidak lemah
dan mati, sebab bila akal mereka mati untuk memahami Alquran maka besar
kemungkinan mereka juga lemah dalam memikirkan persoalan-persoalan yang lain.
2. Eksistensi
mutasyabihat dalam Alquran mengisyaratkan adanya kebutuhan manusia akan nabi
dan para penerusnya sebagai representasi dan sumber rujukan di tengah umat
manusia yang tidak sama dalam kapasitas intelektual dan spiritual mereka.
3. Untuk menguji iman umat manusia, apakah mereka
percaya atau tidak. Bila semua ayat muhkamat, dan dapat diterima akal dengan
jelas, tentu tujuan pengujian iman di sini tidak terwujud.
C. Kesimpulan
Sepintas, ayat-ayat al-Qur’an akan tampak bercorak
muhkamat bagi masyarakat awam karena kedangkalan ilmu mereka, atau mungkin juga
sebaliknya tampak bercorak mutasyabihat bagi mereka. Di sinilah hikmah
dicantumkannya kata: “wa al-rasikhuna fi al-‘ilm”, bukan “al-rasikhuna fi al-din”, karena kata al-‘ilm lebih umum dan
lebih mencakup. Pada sisi lain, hal ini lebih mendeskripsikan eksistensi
Alquran sebagai mutiara ilmu yang tak pernah kering, apalagi habis untuk
ditafsirkan secara kaya, tergantung konteks sosial-budaya serta struktur nilai
dan kesadaran pembacanya dalam mencari dan menjelajahi suatu penziarahan hidup
yang tak pernah usai.
Eksistensi muhkam dan mutasyabih juga membuka ruang lebar
bagi interpretasi Alquran sebagai sebuah keniscayaan dalam menjawab tantangan
zaman dan persoalan keumatan. Sehingga konsep-konsep Alquran sebagai
kreatifitas Ilahi yang dikaji melalui penalaran yang dilakukan oleh para
pakarnya tetap dirasakan sebagai
alternatif yang signifikan untuk dijadikan pedoman dalam kehidupan manusia
khususnya umat Islam.
Daftar
Pustaka
Abdul Wahid, Ramli. Ulumul Quran. Cet. III; Jakarta: Raja Grafindi Persada,
1996.
Abu Zaid, Nasr Hamid. Mafhum al-Nash Dirasah fi
‘Ulum Al-Qur’an, diterjemahkan oleh Khoiron Nahdliyyin dalam judul Tekstualitas
Al-Qur’an; Kritik terhadap Ulumul Qur’an. Cet. II; Yogyakarta: LKiS, 2002.
Dahlan, Abd. Rahman. Kaidah-kaidah Penafsiran
Al-Qur’an; Disusun Berdasarkan al-Qawa’id al-Hisan li Tafsir AL-Qur’an karya
al-Sa’di. Cet. II; Bandung: Mizan, 1998.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci
Al-Qur’an, 1985.
Khallaf, Abd al-Wahhab. ‘Ilmu al-Ushul al-Fiqh. Cet.
XII; Kuwait: Dar al-Qalam, 1978.
al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsir al-Maraghi,
Juz I. Cet. III; Beirut: Dar al-Fikr, 1974 .
Marzuki, Kamaluddin. ‘Ulum Al-Qur’an. Cet.
II; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994.
al-Namir, Abd. Al-Mun’im. Ulum al-Qur’an
al-Karim. Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiy, t.th.
Nasution, Harun. Islam Rasional; Gagasan dan
Pemikiran. Cet. V; Bandung: Mizan, 1998.
al-Qattan, Khalil Manna’. Mabahits fi Ulum
Al-Qur’an. Cet. XI; Beirut: Maktabah Wahbah, 1997.
Rakhmat, Jalaluddin. et. al,. Belajar Mudah
‘Ulum Al-Qur’an. Cet. I; Jakarta: Lentera, 2002.
al-Shalih, Subhi. Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an. Cet.
XVII; Beirut: Dar al-Ilm al-Malayin, 1988.
al-Suyuthi, Jalaluddin. al-Itqan fi‘Ulum
al-Qur’an, Juz II. t.t.: Dar al-Fikr, 1951.
[1]Diskursus ambiguitas dan distingsi dalam kajian muhkam dan mutasyabih
ini dikembangkan oleh Abu Zaid dengan berpijak pada asumsi klasifikasi
teks-teks “informatif” murni yang mengandalkan aspek “kejelasan” sebagai ukuran
tinggi rendahnya nilai seni dalam teks yang hal ini bagi Alquran merupakan i’jaz.
[2] Menurut bahasa muhkam berasal dari kata-kata: حكمت الدابة واحكمتyang artinya “saya menahan binatang itu” Kata muhkam yang
berawal dari akar kata h-k-m ini melahirkan banyak bentuk seperti al-Hukm,
hakim, dan hikmah yang berarti memutuskan, menetapkan ataupun
dapat berarti mencegah.
[3]Penegasan pengertian ini dapat dilihat pada QS. Hud /11: 1. Maksud ayat ini
Al-Qur’an adalah kebenaran yang disusun dengan sangat sistematis,
mencapai puncak kerapian dan kebijaksanaan. Semua perintah yang terdapat di dalamnya
berisi kebaikan, petunjuk, keberkatan, dan kemaslahatan. Sedangkan larangannya
berangkat dari semua yang mengandung keburukan, kemudharatan, perilaku tercela,
dan perbuatan jahat manusia.
[4] Mutasyabih secara bahasa berarti tasyabuh,atau mutamatsil
yakni bila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain, dan syubhah
ialah keadaan yang salah satu dari dua hal tidak dapat dibedakan dari yang lain
karena adanya kemiripan baik secara konkrit maupun abstrak.
[5] Pengertian ini berdasarkan QS. al-Zumar/39: 23. Maksud mutasyabih dalam ayat ini
ialah serupa kebaikan, nilai petunjuk dan kebenarannya. Alquran mengemukakan
berbagai pengertian yang bermanfaat, menjernihkan akal dan hati serta
mengajarkan kemaslahatan dalam segala keadaan dan situasi. Lihat,
Abd. Rahman Dahlan, op. cit., h. 50.
[6] Pengertian ini berdasarkan QS. Hud/11: 1 dalam terjemahan yang sedikit berbeda. Oleh
karena itu Manna al-Qattan kemudian membagi muhkam dan mutasyabih ini
dalam pengertian secara umum dan khusus untuk lebih menegaskan
pembahasannya pada kajian Ulum Al-Qur’an lebih lanjut. Lihat, al-Qattan, loc.
cit.
[7] Penegasan pengertian ini juga berdasarkan pada QS. al-Zumar/39: 23. Pengertian senada
tentang Alquran yang muhkamat sekaligus mutasyabihat ini dapat
pula dilihat pada Kamaluddin Marzuki, ‘Ulum Al-Qur’an (Cet. II; Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1994), h. 113.
[8]QS. Ali Imran/3: 7. Pemakalah lebih cenderung untuk memposisikan waw pada
kalimat wa al-Rasikhuna...sebagai ma’tuf daripada sebagai isti’naf
(permulaan), sehingga lafaz wa yaquluna menjadi hal dan waqa-fnya
pada lafaz wa al-Rasikhuna fi al-‘Ilm.
[9] Pendapat ini lebih banyak diperpegangi oleh para ulama salaf. Perbedaan
pendapat ini juga disebabkan perbedaan ulama mengenai makna takwil sebagaimana
diungkapkan oleh al-Qattan dengan tiga makna takwil.
[10] Oleh al-Maraghi disebutkan adanya empat sarana yang merupakan hidayah
bagi manusia untuk memperoleh ilmu dan mencapai kebenaran, yaitu; hidayah panca
indera (al-Hawas), hidayah akal (al-‘Aql), hidayah agama (al-Din) dan hidayah yang berupa ilham atau intuisi.
[11]Contoh tentang kesamaran teks ini yaitu pada lafal “abba” pada
kalimat “wa fakihata wa abba” QS.
Abasa/80: 31,
yang kemudian diartikan dengan rumput-rumputan berdasarkan pemahaman ayat
selanjutnya (ayat 32) yang berbunyi “mata’an lakum wa li an ‘amikum” .
[12]Contoh tentang ini yaitu kata “yad” (tangan) pada kalimat “yad
Allah fauqa aydihim” (tangan Allah di atas tangan-tangan mereka) QS. al-Fath/48: 10.
[13] Contoh ayat tentang ini
adalah pada QS. al-Baqarah (2): 189. al-Zarqani sebagaimana dikutip oleh Ramli
Abd. Wahid menilai perlunya memahami ayat ini dengan menyentuhkannya pada
realitas Arab di masa jahiliah. Dipahami bahwa Alquran yang diturunkan untuk
berdialog dengan umat manusia tidaklah diturunkan kepada manusia yang hampa
budaya, sehingga benturan antara teks dan budaya ini melibatkan suatu realitas,
tata nilai, dan kesadaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar