Jumat, 21 Februari 2014

Larangan Kawin Poligami



Hadis Tentang Larangan Kawin Poligami antara Seorang Wanita dengan Tantenya
Oleh: Muh. Gazali Rahman

I. Pendahuluan
            Ketika sebuah perkawinan menghendaki sakinah – mawaddah wa rahmah dalam proses perjalanan dan dinamika gelombang rumah tangga, maka hal itu menjadi tujuan yang sesungguhnya dikehendaki dari berbagai aturan normatif yang secara ilahiyah mengandung mashlahah yang akses positifnya terkadang tidak disadari dan bahkan di luar dugaan. Oleh karenanya, penyimpangan-penyimpangan manusia terhadap aturan normatif tersebut tentu akan berdampak negatif pula terhadap kemanusiaan itu sendiri.

            Sejalan dengan itu, perkawinan dalam corak poligami sampai saat ini masih menjadi hal yang kontroversial di kalangan umat islam secara teoritis maupun aplikatifnya. Pro dan kontra ini tentu tidak signifikan untuk menjadi polemik yang berkepanjangan sekiranya dipahami bahwasanya bentuk poligami yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. bukan dalam orientasi seksual atau sekadar pemenuhan hasrat/nafsu seksual semata. Sebab, perkawinan yang dilakukan Nabi terhadap lebih dari satu orang merupakan bagian dari deskripsi fungsi kenabian beliau yang dalam hal ini bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan yang secara sosiologis sebagian di antara mereka adalah budak, yatim-piatu dan wanita-wanita yang memang perlu dilindungi.
            Salah satu piranti yang mengatur relasi laki-laki dan perempuan dalam bentuk perkawinan dan poligami misalnya larangan poligami antara isteri dan tantenya. Kajian terhadap hal ini merupakan analisis kritis terhadap hadis Nabi yang perlu disimak dalam semangat wahyu. Begitu banyak hal yang terkait dengan persoalan kehidupan perlu disikapi secara normatif dengan bersandar pada nilai dan semangat wahyu dan kenabian. Sebab, kehendak Ilahiah yang termuat dalam teks-teks religius tentu memuat hikmah kemanusiaan yang terkadang ditemukan belakangan. Seperti halnya pembahasan pada makalah ini, ternyata masa kenabian penuh dengan respon-respon sosial yang hendak menata sedikit demi sedikit relasi yang ideal antara sesama manusia dengan aturan-aturan yang mungkin sepintas dinilai sepele dan diragukan ke-hujjah-annya.
            Oleh karena itu, menampilkan kapasitas sebuah hadis dalam kualifikasi shahih, hasan dan dha’if tidak bisa lain kecuali dengan melakukan  verifikasi hadis melalui kritik sanad dan matan. Proses ini merupakan upaya untuk memastikan -paling tidak, menduga secara kuat- bahwa hadis tersebut benar-benar berasal dari Nabi, dan secara otentik telah dapat menjadi hujjah bagi penetapan hukum-hukum sosial. Penelitian hadis dalam kajian sanad dan matan merupakan studi kesejarahan (historis) atas semangat kenabian dalam peran dan posisi sentralnya yang diutus sebagai “bayan”, dalam arti memiliki otoritas dan hak prerogatif dalam menjelaskan makna dan kehendak Tuhan yang hendak diejawantahkan dalam elaborasi dinamis antara peradaban manusia dan peradaban Tuhan sendiri.


II. Pembahasan
A.     Materi Hadis

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ هِشَامِ بْنِ حَسَّانَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا وَلاَ عَلَى خَالَتِهَا .  

“Kami diceritakan oleh Abu Bakr bin Abi Syaibah, kami diceritakan oleh Abu Usamah, dari Hisyam bin Hassan, dari Muhammad bin Sirin, dari Abu Hurairah dari Nabi saw., beliau bersabda: “Jangnlah seorang perempuan dimadu dengan bibinya (dari pihak bapak) dan bibinya (dari pihak ibu).
B.     Takhrij al-Hadis
Dalam upaya penelusuran hadis tentang tolak ukur (kualitas dan kuantitas) penyusuan ini, penulis menggunakan metode takhrij secara tematik serta menurut lafadz-lafadz yang bersinonim dengan lafaz yang terdapat dalam matan hadis tersebut. Kata kunci yang menjadi pijakan penulis dalam penelusuran beberapa riwayat berdasarkan metode tersebut antara lain: نكح  dan عمّة. Untuk itu penulis merujuk pada kitab standar penelusuran hadis, yakni Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Hadis al-Nabawi yang disusun oleh Arnold John Wensinck serta merujuk pula pada CD Digital “Maushu’ah al-Hadis al-Syarif”.
Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari kitab Al-Mu'jam al-Mufahras li Alfadz al-Hadis al-Nabawy di samping bantuan CD digital tersebut, penulis menemukan hadis-hadis yang semakna dengan hadis tersebut pada beberapa kitab, yaitu sebagai berikut:
  • Shahih Bukhary dengan memuat 3 riwayat yang terdapat dalam kitab al-Nikah, bab La Tunkah al-Mar’ah ‘ala ‘Ammatiha.
  • Shahih Muslim dengan memuat 9 riwayat yang terdapat dalam kitab al-Nikah, bab Tahrim al-Jam’i Bayn al-Mar’ah wa ‘Ammatiha aw ‘Khalatiha fi al-Nikah.  
  • Sunan al-Turmidzy dengan memuat 2 riwayat yang terdapat dalam kitab al-Nikah, bab Ma Ja’a La Tunkah al-Mar’ah ‘Ala ‘Ammatiha wa La ‘Ala Khalatiha.
  • Sunan al-Nasa'iy dengan memuat 12 riwayat yang terdapat dalam kitab al-Nikah, bab al-Jam’u Bayn al-Mar’ah wa ‘Ammatiha.
  • Sunan Abi Dawud dengan memuat 2 riwayat yang terdapat dalam kitab al-Nikah, bab Maa Yukrahu an Yujma’a Baynahunna min al-Nisa’.   
  • Sunan Ibnu Majah dengna memuat 3 riwayat yang terdapat dalam kitab al-Nikah, bab La Tunkah al-Mar’ah ‘Ala ‘Ammatiha wa La ‘Ala Khalatiha. 
  • Musnad Ahmad bin Hanbal dengan memuat 19 riwayat yang terdapat pada Juz I (hal. 77-78, 372), Juz II (hal. 229, 423, 426, 489, 508, 516, 518, 532), Juz III (hal. 338, 382).     
  • Muwaththa’ Malik dengna memuat 1 riwayat yang terdapat dalam kitab al-Nikah, bab Ma La Yujma’ Baynahu min al-Nisa’.  
  • Sunan al-Darimy dengan memuat 2 riwayat yang terdapat dalam kitab al-Nikah, bab al-Hal al-Laty Yajuz li al-Rajul an Yakhtuba fiyha.  
C.     Analisis Sanad Hadis
Dalam penelitian sanad pada makalah ini penulis mencoba menganalisis salah satu riwayat yang ditakhrij oleh Ibnu Majah (sebagaimana yang tercantum pada bagian awal bab ini).  Dalam hal ini, kritik sanad dilakukan mulai dari periwayat terakhir (mukharrij al-hadis), kemudian periwayat sebelumnya hingga sampai pada periwayat pertama (sahabat).  Adapun urutan periwayat yang tergabung dalam rangkaian sanad yang dimaksud ialah:
Ibnu Majah. Nama lengkapnya ialah Abu Abdullah Muhammad Yazid bin al-Rab’i al-Qazwiny.  Ia lahir di kota Qazwin di kawasan Iraq pada tahun 209 H. (824 M.).  Adapun nama Majah, menurut sebagian ulama seperti Al-Khalili, Ibnu Hajar al-Asqalani dan Fairuzzabadi bahwa itu adalah nama gelaran (laqab) untuk Yazid, ayah Ibnu Majah.
Ibnu Majah mulai belajar hadis pada usia 15 tahun kepada seorang guru bernama Ali bin Muhammad al-Tanafasi (w. 233 H.).  Pada sekitar tahun 230 H., Ibnu  Majah mulai mengadakan perlawatan ke berbagai kota untuk mencari hadis dan mencatatnya. Di antara kota yang dikunjunginya ialah Khurasan, Iraq, Basrah, Kufah, Bagdad, Mekah, Syam, Ray dan Mesir.
Ibnu Majah menerima hadis dari Muhammad bin Rumh, Abu Bakar bin Abi Syaybah, Muhammad bin Abdullah bin Numair, Ahmad bin al-Azhar dan lain-lain.  Sedangkan periwayat yang menerima hadis darinya antara lain Ali bin Sa’id bin Abdillah al-Ghadani, Ibrahim bin Dinar al-Jarasyi al-Hamdani, Sulaiman bin Yazid al-Qazwaini dan Ibn Sibawayh.
Ibnu Majah adalah salah seorang ulama yang mempunyai banyak karya tulis (seluruhnya ada 32 macam kitab), diantaranya adalah Al-Sunan.  Kitab ini merupakan satu-satunya karya tulis Ibnu Majah yang terkenal dan banyak mendapat perhatian para ulama.  Menurut Subhi al-Shalih, susunan bab-bab yang terdapat dalam Sunan Ibnu Majah lebih baik dari semua kitab yang tergabung dalam Al-Kutub al-Khamsah.
Ibnu Majah adalah periwayat hadis yang terpuji integritas pribadi dan kemampuan intelektualnya.  Terbukti dari penyataan para kritikus hadis tentang dirinya, seperti :
-          Abu Ya’la al-Khalyly: “Ibnu Majah adalah tsiqah kabiyr, muttafaq ‘alaih, dan pendapatnya menjadi hujjah.  Dia memiliki pengetahuan luas dan penghafal hadis”.
-          Al-Dzahaby: “Ibnu Majah itu ahli hadis dan ahli tafsir, penyusun kitab-kitab al-Sunan, al-Tafsir dan al-Tarikh”.
-          Ibnu Katsir: “Ibnu Majah adalah penyusun kitab-kitab Sunan yang termasyhur.  Kitab itu merupakan bukti amal dan ilmunya yang luas”.
Ibnu Majah meninggal pada hari senin, 21 Ramadhan 273 H. bertepatan dengan tanggal 19 Februari 887 M. dan dikebumikan pada keesokan harinya (hari Selasa).
Dari riwayat singkat serta pernyataan para kritikus hadis di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Ibnu Majah adalah salah seorang ulama hadis yang berpredikat tinggi yang mengisi masa hidupnya dengan menuntut pengetahuan terutama hadis.  Dengan demikian kedhabitannya tidak disangsikan lagi. Oleh sebab itu, pernyataannya bahwa ia menerima hadis tersebut dari Abu Bakr bin Abi Syaibah dengan menggunakan shighat  حـدثـنا  dapat dipercaya, dan hal tersebut menjadi indikator bahwa sanad antara keduanya benar-benar bersambung (muttashil).    
Abu Bakr bin Abi Syaibah. Nama lengkapnya ialah Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman.  Nama Abu Bakr adalah kuniyahnya, sedangkan laqabnya ialah al-‘Abbasy, al-Kufiy dan al-Washitiy.  Abu Bakr adalah periwayat senior pada tingkat tabi’ al-tabi’in yang wafat pada tahun 235 H.
            Abu Bakr meriwayatkan hadis dari sejumlah guru, antara lain: Abu Usamah, Ahmad bin Ishaq bin Zaid dan Ishaq bin Mansur.  Adapun periwayat yang meriwayatkan hadis darinya ialah Bukrahy, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad bin Hanbal, Muhammad bin Sa’d dan lain-lain.
Abu Bakr adalah salah seorang periwayat yang dinilai tsiqah oleh Abu Hatim al-Razy dan Ibnu Kharasy.  Sementara itu, al-‘Ajaly menambahkan bahwa selain tsiqah ia adalah hafidz al-hadits.  Adapun Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Ma’in, keduanya menilai Abu Bakr sebagai periwayat yang shaduq, sedangkan menurut pengakuan Abu Zar’ah al-Razy bahwa ia tidak melihat orang yang lebih ‘hafidz’ dari dia.
Berdasar pada penilaian yang dikemukakan oleh kritikus hadis tersebut dan adanya pengakuan guru-murid, memberikan petunjuk adanya ketersambungan sanad antara Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Abu Usamah.  Dengan demikian,  pernyataan Abu Bakr bahwa beliau meriwayatkan hadis tersebut dari Abu Usamah dengan menggunakan shighat  حـدثـنا  adalah benar.
Abu Usamah.  Nama lengkapnya ialah Hammad bin Usamah bin Zaid.  Nama Abu usamah ialah kuniyahnya, sementara laqabnya ialah al-Qurasyi, al-Kufy, al-Hafidz dan al-Laitsy.  Ia adalah periwayat yunior pada tingkat tabi’in yang wafat di Kufah pada tahun 201 H.
            Beliau meriwayatkan hadis dari Hisyam bin Hassan, ‘Auf bin Abi Jamilah, Ahwas bin Hakim bin ‘Amiyr dan lain-lain.  Sementara itu, orang-orang yang meriwayatkan hadis darinya antara lain ialah Abu Bakr bin Abi Syaibah, Muhammad bin Sulaiman dan Yahya bin Muhammad bin Sabiq.
Abu Usamah adalah seorang periwayat yang tsiqah, sebagaimana pernyataan Yahya bin Ma’in dan al-‘Ajaly.  Sementara menurut Ahmad bin Hanbal bahwa selain tsiqah, ia juga tsabat dan tidak mungkin melakukan kesalahan (dalam periwayatan hadis – pen.).  Pernyataan yang hampir senada dikemukakan oleh al-Dzahaby bahwa ia hujjah.   Sementara itu, Ibnu Hibban mengemukakan bahwa nama Abu Usamah juga termuat dalam kitab al-Tsiqaat.  Adapun pernyataan muhammad bin Sa’d bahwa selain tsiqah, Abu usamah juga ma’mun akan tetapi ia mudallas, namun ia menjelaskan ketadlisannya. 
Dari beberapa pernyataan yang dikemukakan oleh para kritikus hadis tersebut, nampaknya hanya Muhammad bin Sa’d yang memberikan penilaian yang agak negatif, namun hal itu tidak dapat dijadikan ukuran untuk merendahkan kredibilitas Abu Usamah, terlebih karena Muhammad bin Sa’d menambahkan bahwa meskipun mudallas, Abu Usamah menjelaskan ketadlisannya.  Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Abu Usamah adalah seorang periwayat yang dapat dipercaya.  Karena itu, pernyataannya bahwa beliau menerima hadis tersebut dari Hisyam bin Hassan dengan menggunakan shighatعن  adalah benar.  Hal tersebut didukung oleh adanya pertemuan antara keduanya berdasarkan pengakuan mereka sendiri sebagai guru dan murid.
            Hisyam bin Hassan.  Kuniyah-nya ialah Abu Abdullah, sementara laqab-nya ialah al-Azdiy, al-Firdausy dan al-Bishriy.  Hisyam adalah periwayat tingkat keenam yang wafat pada tahun 148 H. Dalam meriwayatkan hadis, Hisyam berguru pada beberapa orang syekh, antara lain Muhammad bin Sirin, Abu Idris dan ‘Ashim bin Sulaiman.  Sementara itu, beliau juga menyampaikan hadisnya kepada beberapa orang muridnya yaitu Abu Usamah, Khalid bin al-Harits, Sufyan bin Halib dan lain-lain.
Kredibilitas Hisyam dalam hal periwayatan hadis diakui oleh beberapa kritikus hadis, sebagaimana pernyataan Yahya bin Ma’in dan Muhammad bin Sa’d bahwa ia adalah periwayat yang tsiqah.  Sementara oleh al-‘Ajaly, bahwa selain tsiqah, hadis-hadis yang diriwayatkannya berstatus hasan.  Pernyataan yang hampir senada disampaikan oleh Abu Hatim al-Raziy bahwa Hisyam shaduq, demikian juga oleh Ahmad bin Hanbal bahwa ia shalih, la ba’sa bih.  Adapun Ibnu Abi ‘Urubah, ia menyatakan bahwa ‘saya tidak melihat orang yang lebih hafidz dari pada Ibnu Sirin kecuali dia’.
Berdasarkan segenap penilaian yang dikemukakan oleh para kritikus hadis tersebut, nampak bahwa tidak seorangpun di antara mereka yang menjarh Hisyam, maka dapat disimpulkan bahwa Hisyam adalah seorang periwayat hadis yang memiliki kredibilitas yang tinggi sehingga hadis-hadis yang diriwayatkannya patut dipercaya dan diperhitungkan.  Dengan demikian, pernyataannya bahwa beliau meriwayatkan hadis tersebut dari Muhammad bin Sirin dengan menggunakan shighat عن adalah benar.  Hal ini didukung oleh pengakuan mereka sebagai guru-murid.
Muhammad bin Sirin.  Nama lengkapnya ialah Muhammad bin Sirin Maula Anas bin Malik.  Kuniyah-nya ialah Abu Bakr, sementara di antara laqab-nya ialah al-Bishry dan al-‘Abid.  Ibnu Sirin adalah periwayat tingkat ketiga, tepatnya pada tingkat pertengahan masa tabi’in.  Beliau wafat di Basrah pada 378 H.   
Ibnu Sirin meriwayatkan hadis dari sejumlah sahabat, di antaranya Abu Hurairah.  Selain itu, beliau juga berguru pada Katsir bin Aflah dan Abdullah bin Syaqiq.  Adapun periwayat yang menerima hadis darinya ialah Hisyam bin Hassan, Sulaiman bin Arqam, Yahya bin ‘Atiyq dan lain-lain. 
Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa Ibnu Sirin adalah salah seorang periwayat yang berstatus tsiqah.  Penilaian serupa juga dikemukakan oleh Yahya bin Ma’in dan al-Ajaly.  Sementara itu, menurut Muhammad bin Sa’d bahwa selain tsiqah, ia juga ma’mun.  Adapun menurut Ibnu Hibban bahwa Ibnu Sirin adalah seorang periwayat yang hafidz lagi mutqin.   
Dari segenap penilaian yang disampaikan oleh para kritikus hadis tersebut, nampaknya tidak seorangpun di antara mereka yang merendahkan kredibilitas Ibnu Sirin, bahkan memujinya dengan predikat yang tinggi.  Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa haddis-hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Sirin patut dipercaya dan diperhitungkan.  Dengan demikian, pernyataannya bahwa beliau meriwayatkan hadis tersebut dari dengan menggunakan shighat عن adalah benar.  Hal itu menunjukkan adanya proses tahammul wa al-Ada. 
Abu Hurairah.  Nama lengkapnya adalah Abd al-Rahman ibn Sakhr, ia lebih dikenal dengan nama Abu Hurairah sebagai kuniyah-nya, sedangkan al-Dausy, al-Yamany adalah laqab-nya. Imam Nawawi menyatakan: “Pendapat tentang nama Abu Hurairah terdapat sekitar 30 nama, tetapi yang paling shahih di antara pendapat yang ada ialah Abd al-Rahman bin Sakhr.  Sedangkan di antara kitab-kitab, ada yang menyebutkan nama lengkap beliau dengan “Abd al Rahman Sakhr dari keturunan Sa’labah bin Sulaiman bin Fahm bin Ghanam bin Daus al Yamani”.
Abu Hurairah lahir sekitar tahun 23 SH. (sekitar 598 M.) di wilayah Yaman, ada juga yang menyebutkan tahun 19 SH.  Sedangkan tahun me-ninggalnya, para ahli sejarah juga berbeda pendapat.  Ada yang mengatakan tahun 57 H., 58 H. dan ada pula yang menyatakan tahun 59 H.  Abu Hurairah meninggal dunia di Aqiq dan dikebumikan di Baqi’. 
Sebagaimana halnya dengan sahabat yang lain, Abu Hurairah tidak saja menerima hadis-hadis secara langsung dari Nabi saw., tetapi juga dari sahabat lain, seperti Abu Bakar, Umar bin Khatthab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair ibn Ka’ab, Utsman ibn Zaid, Aisyah dan Ka’ab al Ahbar.  Sebaliknya, sahabat Nabi yang lain juga banyak yang meriwayatkan hadis darinya, seperti : Ibn Umar, Ibn Abbas, Jabir, Anas bin Malik dan lain-lain.  Sedangkan dari kalangan tabi’in yang meriwayatkan hadis darinya, misalnya : Sa’id bin al Musayyab, Ibn Sirin, Urwah ibn Al-Zubair, Marwan  bin al-Hakam dan lain-lain.
            Para ulama mengakui kepiawaian Abu Hurairah terutama dalam bidang hadis, di antara mereka ialah:
o   Imam Syafi’ ra. berkata bahwa Abu Hurairah adalah orang yang paling hafiz diantara orang yang meriwayatkan hadis Nabi pada masanya. Beliau adalah seorang tokoh muhaddits yang meriwayatkan hadis Nabi tanpa disangsikan.
o   Ibn Umar mengatakan : “Abu Hurairah lebih baik dari pada ayah saya dan lebih luas pengetahuannya.” Beliau juga mengatakan bahwa Abu Hurairah menjaga umat Islam dengan menjaga hadis Nabi saw.
  • Al-Zuhry mengatakan bahwa Abu Hurairah berkata : “Diriwayatkan bahwa sesungguhnya saya adalah seorang yang miskin yang menyertai Rasulullah saw. pada seluruh waktu saya sedangkan orang Muhajirin sibuk berdagang di pasar dan kaum Anshar sibuk dalam urusan harta mereka.  Saya datang ke rumah Nabi saw., beliau bersabda: Barang-siapa yang membeberkan kain selendangnya sehingga aku tumpahkan pembicaraanku ke dalam selendang itu, maka dia tidak lupa sedikitpun apa-apa yang telah didengar dariku. Maka saya membeberkan kain surbannya hingga selesai pembicaraan Rasul saw., lalu saya melipat kembali surban itu.  Demi Allah yang diriku berada di dalam kekuasaan-Nya, saya tidak pernah lupa sedikitpun semua yang saya dengar dari Rasulullah setelah itu.
  • Imam Bukhari mengatakan bahwa hadis Abu Hurairah diriwayatkan oleh lebih dari 800 ilmuwan baik dari kalangan sahabat ataupun dari kalangan tabi’in.
Dari segenap pernyataan para ulama tersebut, maka jelaslah bahwa Abu Hurairah lebih banyak mendengarkan dan memperhatikan hadis-hadis dari Rasulullah saw. dari pada yang didengar oleh para sahabat lainnya.  Oleh sebab itu, pernyataan Abu Hurairah bahwa beliau menerima hadis tersebut langsung dari Rasulullah dengan menggunakan lambang عن benar dapat dipercaya. 
Lebih lanjut, berpijak pada kritik sanad tersebut, mulai dari mukharrij hingga sahabat sebagai periwayat pertama, nampak bahwa para periwayat yang terdapat pada rentetan sanad tersebut memiliki kredibilitas tinggi dan terpuji. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa secara sanad riwayat melalui jalur Ibnu Majah ini berkualitas shahih.
D.    Analisis Matan Hadis
Materi hadis yang pendek dan sederhana memberikan peluang besar kepada periwayat untuk dapat meriwayatkan hadis secara bi al-Makna, namun ternyata hal itu tidak berlaku pada hadis di atas. Ia memiliki versi matan yang beragam. Hal itu, salah satunya  disebabkan oleh banyaknya periwayat hadis pada setiap tingkatan ditambah dengan kualitas intelektual dan daya hafal mereka yang berbeda. Perbedaan-perbedaan itu dapat dilihat pada hal-hal berikut:
1.المرأة نهى رسول لله صلم أن تنكح
            Pada riwayat lain berbunyi:بين المرأة لا يجمع dengan fi’il majhul, نهى أن يجمع الرجل بين المرأة  dengan  fi’il ma’lum, نهى أن تزوج المرأة , كره أن يجمع بين العمة, نهى عن النكاحين أن يجمع الرجل  نهى عن اربع نسوة أن يجمع بينهن المرأة,. Ungkapan  نهى رسول لله صلم أن تنكح dan بين المرأة لا يجمع adalah yang paling banyak dipergunakan periwayat, walaupun antara kedua lafadz ini bila ditelusuri lebih dalam memiliki perbedaan makna. Kata نكح   lebih berkonotasi pada العقد (akad) sedangkan kata جمع lebih pada makna الوطء (persetubuan). Tentu bila berangkat dari kedua makna ini ada implikasi hukum yang berbeda, yaitu untuk kata جمع dapat berarti bahwa seseorang dapat saja menikahi seorang wanita dengan tantenya selama tidak terjadi persetubuan. Tetapi untuk kata نكح   sama sekali tidak ada peluang untuk yang seperti itu. Tetapi dengan melihat uslub dan qarinah yang ada, maka antara kata جمع    dan نكح   adalah sinonim, yaitu mengandung makna العقد  . Sedangkan riwayat yang sedikit berbeda adalah riwayat Muslim dan Ibn Majah, masing-masing نهى عن اربع نسوة أن يجمع بينهن المرأة , نهى عن النكاحين أن يجمع الرجل . Kemungkinan besar tambahan kata ini (idraj) adalah berasal dari periwayat sebagai bentuk penjelasan atau penegasan.
2.  نهى أن تنكح المرأة على عمتها أو خالتها
            Pada riwayat lain berbunyi:  لا يجمع بين المرأة وعمتها ولا بين المرأة وخالتها,
Ada juga menambahkan dengan ungkapan فنرى خالت ابيها  وعمت ابياهبتلك المنزلة seperti pada riwayat Bukhari dan Muslim melalui al-Zuhriy, atau  versi yang cukup panjang, نهى أن تنكح االمرأة على عمتها او العمة على  ابنة أخيها أو المرأة على خالتها, أو الخالة على بنت أختها, ولا تنكح الصغرى على الكبرى ولا الكبرى على الصغرى masing-masing diriwayatkan oleh al-Turmudzi, Abu Daud dan al-Darimiy melalui Daud bin Abi Hind dari ‘Amir dari Abu Hurairah. Adapun versi riwayat yang dominan digunakan oleh periwayat adalah versi  نهى أن تنكح المرأة على عمتها أو خالتها dan لا يجمع بين المرأة وعمتها ولا بين المرأة وخالتها , yang digunakan oleh hampir  seluruh jalur periwayat kecuali versi yang telah disebutkan di atas (yang panjang itu). Dengan demikian muncul kontroversi di antara kedua versi riwayat di atas, periwayat mana yang telah melakukan idraj atau periwayat mana yang telah membuang sebagian matan hadis.  
            Di sisi lain, jika versi matan yang panjang tersebut semuanya melalui periwayat Abu Hurairah, ‘Amir dan Daud bin Abi Hind, maka Abu Hurairah juga meriwayatkan versi yang pendek (yang dominan) itu pada sekitar 20 jalur periwayatan. Satu di antaranya, merupakan riwayat dari  Abu Hurairah, al-Sya’biy dan Daud bin Abi Hind sendiri melalui al-Nasa’i dengan versi matan yang pendek walaupun sedikit berbeda, yaitu  نهى أن تنكح لمرأة على   عمتهاوالعمة على بنت أخيها, dan satu lagi melalui Abu Hurairah, Muhammad ibn Sirin dan Abu Daud ibn Abi Hind melalui Muslim sesuai dengan versi yang dominan itu disertai dengan tambahan lafadz, yaituنهى أن تسأل المرأة طلاق أختها لتكتفئ ما فى صحفتها فإن اللهرازقها. Dalam penelusuran lebih jauh, antara ‘Amir dan al-Sya’biy adalah orang yang sama (lihat biografi al-Sya’biy pada bagian kritik isnad).
Sebagai perbandingan,  bahwa al-Sya’biy juga meriwayatkan hadis ini dari Jabir melalui 3 jalur, yaitu 2 melalui al-Nasa’i dan 1 yang lainnya melalui Bukhariy dengan versi matan yang pendek. 
            Dengan demikian, cukup sulit untuk menentukan secara pasti versi matan  mana yang lemah, karena jalur periwayatannya cukup kompleks. Namun demikian, sebagaimana disebutkan pada halaman sebelumnya tentang perbedaan ulama dalam memposisikan Ashim, Jabir dan Abu Hurairah (lihat pandangan Syafi’i, al-Baihaqiy, Ibn Abd al-Bar, al-Mizziy dan Bukhariy: pandangan itu muncul karena adanya perbedaan matan ini). Dari kelompok itu ada yang menerima salah satunya dan menolak yang lainnya, dan ada juga yang  menerima kedua versi itu.
            Bagi penulis, setelah membandingkan antara kandungan makna antara versi matan yang pendek dengan yang panjang, maka penulis tidak menemukan adanya satu implikasi hukum yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Jika versi matan yang panjang mengandung hukum pada tidak bolehnya menikah antara, yaitu:
  1. Seorang perempuan dengan tantenya
  2. Tante dengan anak perempuan dari saudara laki-lakinya
  3. Seorang perempuan dengn bibinya
  4. Bibi dengan anak perempuan dari saudara perempuannya
  5. Al-Sughra ala al-Kubra (dari yang kecil atas yang besar); anak perempuannya saudara perempuan dan saudara laki-laki atas saudara perempuannya ibu dan saudara perempuannya bapak.
f.   Al-Kubra ala al-Sughra (dari yang kecil atas yang besar); saudara perempuannya ibu dan saudara perempuannya bapak atas anak perempuannya saudara perempuan dan saudara laki-laki. 
Maka, pada versi matan yang pendekpun kesemua kandungan di atas juga telah terakomodasi, bahkan menurut hemat penulis bila ditinjau dari segi ciri-ciri sabda kenabian, maka besar kemungkinan versi matan yang pendek itulah yang berasal dari Nabi Saw., sedangkan versi yang panjang itu merupakan tambahan penjelasan dari diri periwayat. Nabi biasanya menggunakan bahasa yang rinci jika yang dihadapi itu adalah orang-orang awam. Tetapi, bila dilihat semua periwayat pada tingkat sahabat secara umum mereka adalah tokoh-tokoh sahabat yang integritas keilmuannya tidak diragukan.
E. Analisis Kosa Kata
1.      عمّة , kata ini merupakan bentuk mufrad, sedangkan bentuk jama’nya ialah عمّات yang secara bahasa berarti أخت الأب (saudara perempuannya bapak, atau dalam konteks Indonesia, biasa disebut ‘bibi’). 
2.      خالة  , kata ini juga merupakan bentuk mufrad.  Adapun bentuk jama’nya ialah خالات yang berarti أخت الأم (saudara perempuannya ibu, atau biasa disebut ‘tante’).
3.      تنكح , kata ini merupakan derivasi dari akar kata نكح yang secara etimologi berarti mengawini, menikahi. Adapun pengertian kata ini secara terminologi ialah perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami-istri (dengan resmi) dengan rukun-rukun tertentu.

E.     Pendapat Ulama
Pada dasarnya, perselisihan pendapat yang terjadi di kalangan ulama bukan dalam hal qath’iy atau dhzanny-nya petunjuk hadis tersebut, namun terlebih pada sejauh mana hadis (yang sifatnya dhzanny al-dalalah, terlebih lagi berstatus ahad lagi masyhur) tersebut memiliki independensi dalam menetapkan sebuah hukum yang tidak dijelaskan di dalam al-Qur’an (yang sifatnya qath’iy al-dalalah).  
Larangan yang dimaksudkan pada hadis-hadis tersebut mengandung makna pengharaman, berdasarkan bunyi teks dari matan-matan hadis tersebut yang berimplikasi pada makna larangan secara mutlak (dalam artian haram), sehingga tidak dapat dimaknai sebagai larangan dalam arti makruh.  Hal ini juga didasarkan pada kaedah ushul bahwa pada dasarnya larangan menunjukkan pada pengharaman.  
Dengan demikian, hadis-hadis tentang Larangan Kawin Poligami Antara Seorang Wanita Dengan Tantenya yang berstatus ahad tersebut tidak dapat menetapkan suatu hukum yang tidak termuat di dalam Alquran.  Argumen inilah yang diperpegangi oleh sekelompok ulama dari aliran Syi’ah dan Khawarij. Argumen mereka juga didasarkan pada QS. al-Nisa’ ayat 24 yang menyebutkan bahwa pelarangan yang termuat pada ayat sebelumnya (ayat 23) ialah terhadap wanita-wanita yang bersuami kecuali budak-budak yang dimiliki oleh seorang laki-laki.  Dengan demikian, sekelompok ulama Syi’ah dan Khawarij ini membolehkan menggauli seorang wanita dengan bibi atau tantenya selama wanita-wanita tersebut adalah budak (milk al-yamiyn).  Bahkan menurut mereka, dua orang wanita yang bersaudara sekalipun, dapat digauli selama mereka adalah budak.  Dalam hal ini, mereka beralasan bahwa pelarangan yang secara eksplisit termuat dalam al-Qur’an ialah mengumpulkan mereka dalam hubungan perkawinan (العقد), dan bukan dalam hubungan persetubuhan (الوطئ).    
Sementara itu, jumhur ulama menetapkan keharaman mengumpul-kan seorang wanita dengan bibi atau tantenya walaupun mereka itu adalah budak, baik dalam hubungan perkawinan (العقد), terlebih lagi dalam hubungan persetubuhan (الوطئ).  Pemahaman ini mereka dasarkan pada QS. Al-Nisa’ ayat 23 yang mengandung pengertian secara umum, baik dalam hubungan perkawinan ataupun dalam hubungan persetubuhan. Lebih lanjut menurut mereka, ketetapan yang tercantum dalam QS. Al-Nisa’ ayat 23 ditakhshish dengan hadis tersebut, meskipun berstatus ahad, namun hadis-hadis tersebut dapat berfungsi sebagai penjelasan (bayan), sebagaimana fungsi Rasulullah sw. sebagai pemberi penjelasan (mubayyin) terhadap al-Qur’an.  
Selanjutnya, jumhur ulama juga sepakat dalam menetapkan pengertian عمّة  dalam hadis tersebut, yaitu bukan hanya terbatas pada saudara perempuan dari pihak bapaknya wanita (istri) saja, tapi termasuk di dalamnya juga ialah saudara perempuan kakeknya (dari pihak bapaknya) dan seterusnya ke atas.  Demikian pula pengertian خالة yakni bukan hanya terbatas pada saudara perempuan dari pihak ibunya wanita (istri) saja, tapi termasuk di dalamnya ialah saudara perempuan neneknya (dari pihak ibu) dan seterusnya ke atas.  Bahkan, menurut ijma’ ulama pula – sebagaimana yang dikutip oleh  Al-‘Ainiy – bahwa termasuk dalam kategori ini ialah anak perempuannya saudara laki-laki dan anak perempuan nnya saudara perempuan dari wanita (istri) ke bawah (termasuk cucu dan cicit).                                                              
    Dengan demikian, persoalan yang diperdebatkn oleh ulama tentang hadis bukan dari aspek qath’iy atau dzanniy al-Dalalah. Namun, lebih pada sejauh mana sebuah dalil yang bersifat dzanniy al-Wurud (hadis Ahad dalam posisi masyhur) memiliki independensi atau otonomisasi dalam menetapkan sebuah hukum yang tidak dijelaskan oleh al-Qur’an.
             Di dalam ayat al-Qur’an surah/4 al-Nisa’ ayat 22- 24 dinyatakan sebagai berikut:
ولا تنكح ما نكح ءاباؤكم من النساء إلا ما قد سلف إنه كان فاحشة وساء سبيلا (22) حرمت عليكم أمهتكم وبناتكم وأخواتكم وعمتكم وخلتكم وبنات الأخ وبنات الأخت وأمهتكم التى أرضعنكم وأخاتكم من الرضاعة وأمهت نساءكم وربئبكم التى فى حجوركم من نساءكم التى دخلتم بهن فإن لم تكونوادخلتم بهن فلا جناح عليكم وحلئل أبناءكم الذين من أصلبكم وأن تجمعوا بين الأختين  إلا ما قد سلف  إن الله كان غفورا رحيما (23 ) والمحصنات من النساء إلا ما ملكت أيمنكم كتب الله عليكم وأحل لكم ما وراء ذلكم أن تبتغوا بأموالكم محصنين غير مسفحين.....(24 ).
Terjemah:
Dan janganlah kamu mengawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruknya jalan (yang ditempuh).(22) Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-sudaramu yang perempuan, saudara-sudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu,  saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isteri itu (dan sudah kau ceraikan), maka idak berdosa kamu menikahinya, (dan diharamkam bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan  (dalam perkawinan)  dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (23) Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu  selain yang demikian itu (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina….(24)
Pada ayat di atas, dijelaskan dengan rinci diantara wanita-wanita yang haram untuk dinikahi, namun tidak ditemukan sebuah ungkapan secara  eksplisit menyatakan pengharaman untuk mengumpulkan seorang wanita dengan tante atau bibinya dalam satu perkawinan. Oleh karena itu, penegasan ayat selanjutnya yang berbunyi: وأحل لكم ما وراء ذلكمadalah sebuah lampu hijau untuk menikahi selain yang telah disebutkan itu. Adapun posisi hadis yang menyatakan pelarangan mengumpulkan seorang wanita dengan tante atau bibinya  adalah hadis dalam kualitas ahad. Sebuh hadis yang berkualitas ahad tidak dapat menetapkan suatu hukum yang tidak ada dalam al-Qur’an. Pendapat seperti ini diperpegangi oleh sekelompok ulama dari aliran Syi’ah dan Khawarij.
            Berbeda dengan aliran Syi’ah dan Khawarij, mayoritas ulama dengan berdasar pada hadis di atas, menetapkan  keharaman mengumpulkan seorang wanita dengan tante atau bibinya dalam satu perkawinan. Mereka menegaskan bahwa ayat Alquran surah al-Nisa’ ayat 23 itu di-takhsis dengan hadis di atas. Lebih lanjut, mereka berdalih bahwa sebuah hadis ahad dapat berfungsi sebagai bayan yang bersifat takhsis terhadap Alquran. Hal itu dipahami dari posisi Nabi Saw. sebagai mubayyin terhadap Alquran sehingga dengan demikian, tidak alasan untuk menolak hukum yang terkandung dalam hadis di atas. 
Lebih jauh dari itu, jumhur ulama berdasarkan pada dalil-dalil Alquran dan hadis-hadis lainnya. Akhirnya mereka ber-ijma’ bahwa keharaman untuk mengumpulkan seorang wanita dengan al-Ammah atau al-Khalah tidak hanya dalam arti saudara perempuan bapak atau saudara perempuan ibu tetapi juga beberapa keluarga lainnya yang mereka istilahkan al-Ammah wa al-Khalah al-Majaziyah, yaitu: saudara perempuannya bapaknya bapak (nenek), kakeknya bapak ke atas, saudara perempuannya ibunya ibu (nenek), neneknya ibu  baik dari pihak laki-laki ataupun dari pihak perempuan ke atas. Bahkan dalam kutipan al-Ainiy yang menyandarkan pandangan ini atas ijma al-Ulama, menyatakan bahwa termasuk dalam kategori ini adalah anak perempuannya saudara laki-laki atau saudara perempuan ke bawah (termasuk cucu dan cicit).
 Dalam ayat berikutnya, surah al-Nisa’ (4) ayat 24, menyambung pelarangan tersebut pada wanita-wanita yang bersuami kecuali budak-budak yang kamu miliki.
Atas dalil di atas, sekali lagi, sekelompok ulama Syi’ah dan Khawarij membolehkan menggauli seorang wanita dengan tante atau bibinya selama wanita-wanita tersebut adalah budak ( ma malakat aimanukum). Bahkan, dua orang wanita yang bersaudara sekalipun bagi mereka boleh  digauli selama ia itu adalah seorang budak. Untuk yang terakhir ini, mereka beralasan bahwa yang dilarang secara eksplisit oleh Alquran adalah mengumpulkan mereka dalam hubungan perkawinan bukan hubungan persetubuan.  
Berbeda dengan itu, kelompok jumhur ulama  tetap mengharamkan mengumpulkan seorang wanita dengan tante atau bibinya walaupun ia itu adalah seorang budak; baik dalam hubungan persetubuan (الوطء ) apatah lagi dalam hubungan perkawinan. Pemahaman itu didasarkan bahwa pengharaman pada ayat 23 itu bersifat umum, baik dalam hubungan persetubuhan ataupun dalam hubungan perkawinan. Adapun jika seorang laki-laki mengawini seorang wanita dalam pernikahannya yang pertama, kemudian beberapa lama kemudian menikah lagi dengan tante atau bibi dari isterinya yang pertama (belum dicerai) itu, maka nikah yang kedua itu batal atau dalam istilah mafsukh. Sedangkan nikah yang pertama tetap sah.
Sedang jika seorang laki-laki melakukan hubungan persetubuhan dengan seorang wanita (milk al-Yamin) dan selanjutnya melakukan pernikahan (Aqad) dengan tante atau bibi  milk al-Yamin tersebut, maka yang sah adalah nikah melalui aqad sekaligus hubungan persetubuan dengan milk al-Yamin tersebut menjadi haram setelah terlaksananya aqad.
   Dalam skala yang lebih luas, yaitu terhadap putri-putri dari paman atau tante dan bibi (sepupu sekali) oleh sebagian ulama al-salaf tetap tidak membolehkan untuk mengumpulkannya dalam satu perkawinan. Sedang secara umum ulama membolehkan hal tersebut. Hal yang berbeda, mengumpulkan antara seorang isteri dari seorang laki-laki dengan anak dari suaminya, bukan darinya (anak tiri), menurut imam al-Nawawiy, Malik, Abu Hanifah dan jumhur membolehkannya. Sedang menurut sebagian ulama lainnya tetap mengharamkannya, diantara mereka yang berpendapat seperti itu adalah al-Hasan, ikrimah dan Abi Lailah.
Hal lain, ada juga kelompok ulama yang membolehkan untuk mengawini seorang wanita yang kemudian diikuti oleh tante atau bibinya, jika sebelum mengawini tante atau bibinya tersebut, terlebih dahulu ia menceraikan isterinya yang pertama atau meninggal walaupun setelah dukhul.  Pandangan ini menurut penulis meng-qiyas-kan persoalan itu pada kasus wanita yang bersaudara. Seseorang dapat mengawini saudara isterinya ketika isterinya tersebut meninggal atau telah diceraikannya. Pendapat seperti ini, menurut hemat penulis adalah sebuah bentuk peng-qiyas-an yang tidak muqabil, karena antara tante dan saudara itu tidak berada pada posisi yang sejajar. Menurut hemat penulis, hal itu boleh saja, dalam artian bahwa seorang laki-laki dapat mengawini seorang wanita bersama tante atau bibinya jika isteri pertama telah diceraikan atau meninggal sebelumnya terjadinya dukhul.    
   Secara umum, penulis melihat bahwa perbedaan pendapat ulama dalam melihat persoalan ini, didasarkan pada pijakan argumentasi mereka yang berbeda; baik naqliy ataupun aqliy. Adapun manhaj mereka dapat dikelompokkan,  sebagai berikut:
Sebagian di antara ulama mengacu pada pemahaman tekstual terhadap Alquran dan mengabaikan posisi sunnah Nabi Saw. Pandangan seperti ini diwakili oleh kelompok Syi’ah dan Khawarij; untuk yang  terakhir ini dalam sejarah memang tercatat sebagai kelompok yang dikenal ekstrim dan tekstualis. Berbeda dengan di atas, menurut analisa penulis, dengan berangkat dari ayat 23 dari surah al-Nisa’ maka pemahaman akan keharaman mengumpulkan seorang wanita dengan tante atau bibinya dalam satu perkawinan dapat muncul dengan menggunakan metode analisis qiyas. Jika pada ayat di atas, keharaman untuk mengawini itu dibagi pada empat pola, yaitu: 1) Keharaman karena hubungan darah atau nasab, yaitu: ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-sudaramu yang perempuan, saudara-sudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, 2) keharaman karena hubungan persusuan, yaitu: ibu-ibumu yang menyusui kamu,  saudara perempuan sepersusuan, 3) keharaman karena hubungan perkawinan, yaitu: wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, (dan diharamkam bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu), 4) keharaman karena penggabungan, yaitu: dua orang yang bersaudara.
Tidak disebutkannya secara eksplisit pelarangan atas perkawinan yang mengumpulkan antara seorang wanita dengan tante atau bibinya, karena secara alamiah ketika seseorang mengawini seorang perempuan dan telah dukhul, itu berarti ia (laki-laki tersebut) telah masuk dalam lingkaran kerabat wanita tersebut, dalam artian, keluarga sang wanita (isteri) menjadi bagian dari keluarganya; ibu sang isteri menjadi ibu baginya, dan seterusnya. Jika pada sesusuan ulama sepakat menjadikannya sebagai salah satu penyebab keharaman, maka menurut penulis tentu pada hubungan perkawinan (الوطء ) hal seperti lebih sepatutnya berlaku.
Sebagian besar ulama mengacu pada pemahaman tekstual terhadap al-Qur’an ditambah dengan pemahaman terhadap hadis Nabi Saw.(mereka mengakui otoritas sunnah ahad untuk menjadi bayan;  tafsir atau takhsis). Sehingga atas dasar itu, mereka menetapkan keharaman mengumpulkan seorang wanita bersama tante atau bibinya dalam satu perkawinan. Beberapa ulama mempertegas dengan mengatakan “ aku tidak mengetahui adanya pendapat yang berbeda dengan pendapat di atas” Selain berargumentasi pada dalil di atas,  dalam riwayat Ibn Hibban dan al-Tabraniy yang dikutip oleh  terdapat tambahan matan yang berbunyi, yaitu: إنكم إذا فعلتم ذلك قطعتم أرحامكم Jika kamu melakukan itu (mengumpulkan dua orang perempuan bersaudara atau seorang wanita dengan tante atau bibinya dalam satu perkawinan) berarti kamu memutuskan rahimmu ( hubungan silaturahim)
Mereka memahami bahwa ketika terjadi hubungan perkawinan seperti di atas, itu berpotensi besar pada terjadi permusuhan, persengketaan, kecemburuan dan semacamnya yang membawa pada terputusnya hubungan kekerabatan. Padahal memutuskan silaturrahim memiliki implikasi hukum yang sangat tidak disenangi oleh syari’at. Pandangan yang lebih up to date, mengatakan bahwa perkawinan antara keluarga dekat dapat melahirkan anak cucu yang lemah jasmani dan ruhani.
F.      Pokok-pokok Kandungan Hukum
Dalam memahami kandungan hukum terhadap hadis di atas terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Mayoritas ulama mengatakan bahwa berdasarkan petunjuk hadis tersebut,  maka hukum memadukan isteri dengan bibinya adalah haram. Sebagian ulama memahami bahwa memadukan isteri dengan bibinya adalah makruh.

III. Kesimpulan
Melalui kajian analisis kritik sanad terhadap hadis ini, maka dapat dinyatakan bahwa hadis ini secara sanad dikatakan shahih. Begitupula melalui kegiatan kritik matan hadis, ditemukan berbagai riwayat yang menjelaskan adanya perbedaan lafaz dari tiap periwayat. Oleh karena itu hadis ini diriwayatkan secara makna (riwayat bi al-Ma’na) dan memiliki kualitas shahih pula berdasarkan kriteria kesahihan matan hadis.
Secara umum mayoritas ulama memahami hadis ini secara tekstual yang intinya mengharamkan penyatuan (poligami) isteri dan tantenya dengan berbagai alasan dan pendekatan yang mereka gunakan. Salah satu yang urgen menjadi pendekatan dalam hal ini adalah atas dasar psikologi, yakni kekhawatiran akan menyebabkan terputusnya-merenggangnya hubungan silaturahmi kekeluargaan.

Daftar Pustaka

Abu Abd al-Rahman  Ahmad bin Syu’aib al-Nasa’i, Sunan al-Nasa’i, Juz. III (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), h. 95-97.
al-‘Ainiy, Badruddin Abi Muhammad Mahmud bin Ahmad. ‘Umdah al-Qariy; Syarh Shahih al-Bukhary, Juz XIX. Mesir: Dar al-Fikr, t. th.
Al-Abadiy, Abu al-Tayyib Muhammad Syams al-Haq al-Adzim.  Awn al-Ma’bud ma’a Syarh al-Hafidz Ibn al-Jauziy.  Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990.
al-Abadiy, Abu al-Tayyib Muhammad Syams al-Haq al-Adzim. ‘Awn al-Ma’bud Ma’a Syarh al-Hafidz Ibnu al-Jauziy. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1990.
al-Asqalany, Syihab al-Din Abi Al-Fadhl Ahmad bin Ali bin Hajar. Tahdzib al-Tahdzib, Juz IX. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1414 H./1994 M.
al-Bandary, Abd al-Gaffar Sulaiman. Mausu'ah Rijal al-Kutub al-Tis'ah, Juz II. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1413 H/1993 M. 
al-Darimiy, Abu  Muhammad Abdullah  bin Abd al-Rahman. Sunan al-Darimiy, Juz. I. Beirut: Dar al-Fikr, 1994.
Daqiq, al-‘Iyd Taqyuddin Abi al-Fath al-Syahir. Ahkam al-Ahkam: Syarh Umdah al-Ahkam, Juz III.  Mesir: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th.
Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam I. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1993
al-Dimasyqy, Abu Fidha al-Hafidz bin al-Kalir. Al-Bidayah wa al-Nihayah, Jilid VI, juz XI. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t. th.
al-Dzahaby, Abu Abdillah Syams al-Din Muhammad. Tadzkirat al-Huffadzh, Juz II. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, t. th.
Fayyad, Mahmud Ali. Manhaj al Muhadditsin fi Dhabth as Sunnah, diterjemahkan oleh Zarkasyi Chumaidy dengan judul Metodologi Penetapan Keshahihan Hadis. Bandung: Pustaka Setia, 1998.
Hakim, Abd al-Hamid. Al-Bayan, Juz III. Jakarta: Sa’adiyyah Putra, 1992. 
Ibrahim, Shalih bin 'Abd al-'Aziz bin Muhammad. Mausu'ah al-Hadits al-Syarif 'An al-Kutub al-Sittah. Cet. III; Saudi Arabia, Dar al-Salam, 2000.
Ismail, M. Syuhudi.  Pengantar Ilmu Hadis. Cet. II; Bandung: Angkasa, 1991. 
Al-Kandahlawiy, Muhammad Zakariyyah. Awjaz al-Masalik ila Muwatha’ Malik, Juz IX. Beirut: Dar al-Fikr, 1980.
al-Kandahlawy, Muhammad Zakariyyah. Awjaz al-Masalik Ila Muwaththa’ Malik, Juz IX. Beirut: Dar al-Fikr, 1980.
al-Khatib, M. Ajaj. Ushul al Hadis, diterjemahkan oleh H.M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq dengan judul Pokok-Pokok Ilmu Hadis. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998.
Majah, Abu  Abdullah Muhammad bin Yazid al-Rab’i. Sunan Ibn Majah, Juz. I. Beirut: Dar al-Fikr, 1995.
Majah, Abu 'Abdillah Muhammad ibn Yazid al-Rab'iy. Sunan Ibnu Majah, diterjemahkan oleh H. Abdullah Shonhaji dengan judul Tarjamah Sunan Ibnu Majah, Jilid 2. Cet. I; Semarang: Al-Syifa’, 1992.
Ma'luf, Louis. Al-Munjid fi al-Lughah wa Alam. Cet. XXI; Beirut: Dar al-Fikr, t. th.
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Edisi II. Cet. XIV; Surabaya: Pustaka Progressif, 1997
al-Mubarakfuriy,  Al-Hafidz Muhammad bin  Abdurrahman bin Abdurrahim.  Tuhfah  al-Akhwadziy. Mesir: Dar al-Fikr, 1995.
al-Naisaburi, Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj. Shahih Muslim, Juz. I. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, t.th.
al-Nawawiy, Abu Zakariyah Yahya bin Syaraf. Syarh Shahih Muslim, Juz IX. Mesir: Maktabah al-Mishriyyah, 1942.
al-Nawawiy, Abu Zakariyyah Yahya Ibn Syaraf. Syarh Muslim bi al-Nawawiy, Juz. IX.. Mesir:Maktabah al-Mishriyyah, 1924.
al-Razy, Abu Muhammad 'Abd al-Rahman bin Abi Hatim Muhammad bin Idris al-Mundzir al-Tamimy al-Handzaly. Al-Jarh wa al-Ta'dil, Juz IX. Beirut: Dar al-Fikr, 1372 H/1953 M.
al-Sijistani, Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’ats l-Azdi. Sunan Abi Daud, Juz. II. Beirut: Dar al-Fikr, 1994.
Shihab, Quraish. Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhi’iy Atas Pelbagai Persoalan Umat. Cet. VI; Bandung: Mizan 1997. 
al-Turmudziy, Abu Isa Muhammad bin Isa. Sunan al-Turmudzi, Juz. II. Beirut: Dar al-Fikr, 1994.
Uwainah, Kamil Muhammad. al-Jami’ fi Fiqh al-Nisa’, diterjemahkan oleh M. Abdul Gaffar dengan judul, Fiqih Wanita. Cet. III; Pustaka al-Kautsar, 1999. 
Wensinck, Arnold John. Corcordance et Indices de la Musulmane, diterjemahkan oleh Muhammad Fu’ad Abd al-Baqy dengan judul Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadzh al-Hadis al-Nabawy, Juz VI. Beirut: E. J. Brill, 1967.
Zuhailiy, Wahbah. al-Fiqh al-Islam wa  Adillatuh, Juz. VII. Cet. III; Beirut: Dar al-Fikr, 1989.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar