Hadis
Tentang Larangan Kawin Poligami antara
Seorang Wanita dengan Tantenya
Oleh:
Muh. Gazali Rahman
I.
Pendahuluan
Ketika
sebuah perkawinan menghendaki sakinah – mawaddah wa rahmah dalam proses
perjalanan dan dinamika gelombang rumah tangga, maka hal itu menjadi tujuan
yang sesungguhnya dikehendaki dari berbagai aturan normatif yang secara
ilahiyah mengandung mashlahah yang akses positifnya terkadang tidak disadari
dan bahkan di luar dugaan. Oleh karenanya, penyimpangan-penyimpangan manusia
terhadap aturan normatif tersebut tentu akan berdampak negatif pula terhadap
kemanusiaan itu sendiri.
Sejalan
dengan itu, perkawinan dalam corak poligami sampai saat ini masih menjadi hal
yang kontroversial di kalangan umat islam secara teoritis maupun aplikatifnya.
Pro dan kontra ini tentu tidak signifikan untuk menjadi polemik yang
berkepanjangan sekiranya dipahami bahwasanya bentuk poligami yang dilakukan
oleh Nabi Muhammad Saw. bukan dalam orientasi seksual atau sekadar pemenuhan
hasrat/nafsu seksual semata. Sebab, perkawinan yang dilakukan Nabi terhadap
lebih dari satu orang merupakan bagian dari deskripsi fungsi kenabian beliau
yang dalam hal ini bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat kaum
perempuan yang secara sosiologis sebagian di antara mereka adalah budak,
yatim-piatu dan wanita-wanita yang memang perlu dilindungi.
Salah
satu piranti yang mengatur relasi laki-laki dan perempuan dalam bentuk
perkawinan dan poligami misalnya larangan poligami antara isteri dan tantenya.
Kajian terhadap hal ini merupakan analisis kritis terhadap hadis Nabi yang
perlu disimak dalam semangat wahyu. Begitu banyak hal yang terkait dengan persoalan kehidupan perlu
disikapi secara normatif dengan bersandar pada nilai dan semangat wahyu dan
kenabian. Sebab, kehendak Ilahiah yang termuat dalam teks-teks religius tentu
memuat hikmah kemanusiaan yang terkadang ditemukan belakangan. Seperti halnya
pembahasan pada makalah ini, ternyata masa kenabian penuh dengan respon-respon
sosial yang hendak menata sedikit demi sedikit relasi yang ideal antara sesama
manusia dengan aturan-aturan yang mungkin sepintas dinilai sepele dan diragukan
ke-hujjah-annya.
Oleh karena itu, menampilkan
kapasitas sebuah hadis dalam kualifikasi shahih, hasan dan dha’if
tidak bisa lain kecuali dengan melakukan
verifikasi hadis melalui kritik sanad dan matan. Proses
ini merupakan upaya untuk memastikan -paling tidak, menduga secara kuat- bahwa
hadis tersebut benar-benar berasal dari Nabi, dan secara otentik telah dapat
menjadi hujjah bagi penetapan hukum-hukum sosial. Penelitian
hadis dalam kajian sanad dan matan merupakan studi kesejarahan (historis) atas
semangat kenabian dalam peran dan posisi sentralnya yang diutus sebagai “bayan”,
dalam arti memiliki otoritas dan hak prerogatif dalam menjelaskan makna dan
kehendak Tuhan yang hendak diejawantahkan dalam elaborasi dinamis antara
peradaban manusia dan peradaban Tuhan sendiri.
II.
Pembahasan
A.
Materi
Hadis
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ هِشَامِ بْنِ
حَسَّانَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ عَلَى
عَمَّتِهَا وَلاَ عَلَى خَالَتِهَا .
“Kami diceritakan oleh Abu Bakr bin Abi Syaibah, kami
diceritakan oleh Abu Usamah, dari Hisyam bin Hassan, dari Muhammad bin Sirin,
dari Abu Hurairah dari Nabi saw., beliau bersabda: “Jangnlah seorang perempuan
dimadu dengan bibinya (dari pihak bapak) dan bibinya (dari pihak ibu).
B.
Takhrij al-Hadis
Dalam upaya penelusuran hadis tentang tolak ukur
(kualitas dan kuantitas) penyusuan ini, penulis menggunakan metode takhrij secara
tematik serta menurut lafadz-lafadz yang bersinonim dengan lafaz yang terdapat
dalam matan hadis tersebut. Kata kunci yang menjadi pijakan penulis dalam
penelusuran beberapa riwayat berdasarkan metode tersebut antara lain: نكح dan عمّة. Untuk itu penulis merujuk
pada kitab standar penelusuran hadis, yakni Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz
al-Hadis al-Nabawi yang disusun oleh Arnold John Wensinck serta merujuk
pula pada CD Digital “Maushu’ah al-Hadis al-Syarif”.
Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari kitab Al-Mu'jam
al-Mufahras li Alfadz al-Hadis al-Nabawy di samping bantuan CD digital
tersebut, penulis menemukan hadis-hadis yang semakna dengan hadis tersebut pada
beberapa kitab, yaitu sebagai berikut:
- Shahih Bukhary dengan memuat 3 riwayat yang terdapat dalam kitab al-Nikah, bab La Tunkah al-Mar’ah ‘ala ‘Ammatiha.
- Shahih Muslim dengan memuat 9 riwayat yang terdapat dalam kitab al-Nikah, bab Tahrim al-Jam’i Bayn al-Mar’ah wa ‘Ammatiha aw ‘Khalatiha fi al-Nikah.
- Sunan al-Turmidzy dengan memuat 2 riwayat yang terdapat dalam kitab al-Nikah, bab Ma Ja’a La Tunkah al-Mar’ah ‘Ala ‘Ammatiha wa La ‘Ala Khalatiha.
- Sunan al-Nasa'iy dengan memuat 12 riwayat yang terdapat dalam kitab al-Nikah, bab al-Jam’u Bayn al-Mar’ah wa ‘Ammatiha.
- Sunan Abi Dawud dengan memuat 2 riwayat yang terdapat dalam kitab al-Nikah, bab Maa Yukrahu an Yujma’a Baynahunna min al-Nisa’.
- Sunan Ibnu Majah dengna memuat 3 riwayat yang terdapat dalam kitab al-Nikah, bab La Tunkah al-Mar’ah ‘Ala ‘Ammatiha wa La ‘Ala Khalatiha.
- Musnad Ahmad bin Hanbal dengan memuat 19 riwayat yang terdapat pada Juz I (hal. 77-78, 372), Juz II (hal. 229, 423, 426, 489, 508, 516, 518, 532), Juz III (hal. 338, 382).
- Muwaththa’ Malik dengna memuat 1 riwayat yang terdapat dalam kitab al-Nikah, bab Ma La Yujma’ Baynahu min al-Nisa’.
- Sunan al-Darimy dengan memuat 2 riwayat yang terdapat dalam kitab al-Nikah, bab al-Hal al-Laty Yajuz li al-Rajul an Yakhtuba fiyha.
C. Analisis Sanad Hadis
Dalam penelitian sanad
pada makalah ini penulis mencoba menganalisis salah satu riwayat yang ditakhrij
oleh Ibnu Majah (sebagaimana yang tercantum pada bagian awal bab ini). Dalam hal ini, kritik sanad dilakukan
mulai dari periwayat terakhir (mukharrij al-hadis), kemudian periwayat
sebelumnya hingga sampai pada periwayat pertama (sahabat). Adapun urutan periwayat yang tergabung dalam
rangkaian sanad yang dimaksud ialah:
Ibnu Majah. Nama
lengkapnya ialah Abu Abdullah Muhammad Yazid bin al-Rab’i al-Qazwiny. Ia lahir di kota Qazwin di kawasan Iraq pada
tahun 209 H. (824 M.). Adapun nama
Majah, menurut sebagian ulama seperti Al-Khalili, Ibnu Hajar al-Asqalani dan
Fairuzzabadi bahwa itu adalah nama gelaran (laqab) untuk Yazid, ayah Ibnu
Majah.
Ibnu Majah mulai belajar
hadis pada usia 15 tahun kepada seorang guru bernama Ali bin Muhammad
al-Tanafasi (w. 233 H.). Pada sekitar
tahun 230 H., Ibnu Majah mulai
mengadakan perlawatan ke berbagai kota untuk mencari hadis dan mencatatnya. Di antara
kota yang dikunjunginya ialah Khurasan, Iraq, Basrah, Kufah, Bagdad, Mekah,
Syam, Ray dan Mesir.
Ibnu Majah menerima hadis
dari Muhammad bin Rumh, Abu Bakar bin Abi Syaybah, Muhammad bin Abdullah bin
Numair, Ahmad bin al-Azhar dan lain-lain.
Sedangkan periwayat yang menerima hadis darinya antara lain Ali bin
Sa’id bin Abdillah al-Ghadani, Ibrahim bin Dinar al-Jarasyi al-Hamdani,
Sulaiman bin Yazid al-Qazwaini dan Ibn Sibawayh.
Ibnu Majah adalah salah
seorang ulama yang mempunyai banyak karya tulis (seluruhnya ada 32 macam
kitab), diantaranya adalah Al-Sunan.
Kitab ini merupakan satu-satunya karya tulis Ibnu Majah yang terkenal
dan banyak mendapat perhatian para ulama.
Menurut Subhi al-Shalih, susunan bab-bab yang terdapat dalam Sunan
Ibnu Majah lebih baik dari semua kitab yang tergabung dalam Al-Kutub
al-Khamsah.
Ibnu Majah adalah
periwayat hadis yang terpuji integritas pribadi dan kemampuan
intelektualnya. Terbukti dari penyataan
para kritikus hadis tentang dirinya, seperti :
-
Abu Ya’la al-Khalyly:
“Ibnu Majah adalah tsiqah kabiyr, muttafaq ‘alaih, dan pendapatnya
menjadi hujjah. Dia memiliki
pengetahuan luas dan penghafal hadis”.
-
Al-Dzahaby: “Ibnu
Majah itu ahli hadis dan ahli tafsir, penyusun kitab-kitab al-Sunan,
al-Tafsir dan al-Tarikh”.
-
Ibnu Katsir: “Ibnu
Majah adalah penyusun kitab-kitab Sunan yang termasyhur. Kitab itu merupakan bukti amal dan ilmunya
yang luas”.
Ibnu Majah meninggal pada
hari senin, 21 Ramadhan 273 H. bertepatan dengan tanggal 19 Februari 887 M. dan
dikebumikan pada keesokan harinya (hari Selasa).
Dari
riwayat singkat serta pernyataan para kritikus hadis di atas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa Ibnu Majah adalah salah seorang ulama hadis yang berpredikat
tinggi yang mengisi masa hidupnya dengan menuntut pengetahuan terutama
hadis. Dengan demikian kedhabitannya
tidak disangsikan lagi. Oleh sebab itu, pernyataannya bahwa ia menerima hadis
tersebut dari Abu Bakr bin Abi Syaibah dengan menggunakan shighat حـدثـنا dapat
dipercaya, dan hal tersebut menjadi indikator bahwa sanad antara keduanya
benar-benar bersambung (muttashil).
Abu Bakr bin Abi Syaibah.
Nama lengkapnya ialah Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah Ibrahim bin
‘Utsman. Nama Abu Bakr adalah kuniyahnya,
sedangkan laqabnya ialah al-‘Abbasy, al-Kufiy dan al-Washitiy. Abu Bakr adalah periwayat senior pada tingkat
tabi’ al-tabi’in yang wafat pada tahun 235 H.
Abu Bakr
meriwayatkan hadis dari sejumlah guru, antara lain: Abu Usamah, Ahmad
bin Ishaq bin Zaid dan Ishaq bin Mansur.
Adapun periwayat yang meriwayatkan hadis darinya ialah Bukrahy,
Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad bin Hanbal, Muhammad bin Sa’d dan
lain-lain.
Abu Bakr adalah salah
seorang periwayat yang dinilai tsiqah oleh Abu Hatim al-Razy dan Ibnu
Kharasy. Sementara itu, al-‘Ajaly
menambahkan bahwa selain tsiqah ia adalah hafidz al-hadits. Adapun Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Ma’in,
keduanya menilai Abu Bakr sebagai periwayat yang shaduq, sedangkan
menurut pengakuan Abu Zar’ah al-Razy bahwa ia tidak melihat orang yang lebih ‘hafidz’
dari dia.
Berdasar pada penilaian
yang dikemukakan oleh kritikus hadis tersebut dan adanya pengakuan guru-murid,
memberikan petunjuk adanya ketersambungan sanad antara Abu Bakr bin Abi Syaibah
dan Abu Usamah. Dengan demikian, pernyataan Abu Bakr bahwa beliau meriwayatkan
hadis tersebut dari Abu Usamah dengan menggunakan shighat حـدثـنا adalah benar.
Abu Usamah.
Nama lengkapnya ialah Hammad bin Usamah
bin Zaid. Nama Abu usamah ialah kuniyahnya,
sementara laqabnya ialah al-Qurasyi, al-Kufy, al-Hafidz dan
al-Laitsy. Ia adalah periwayat yunior
pada tingkat tabi’in yang wafat di Kufah pada tahun 201 H.
Beliau
meriwayatkan hadis dari Hisyam bin Hassan, ‘Auf bin Abi Jamilah, Ahwas bin
Hakim bin ‘Amiyr dan lain-lain.
Sementara itu, orang-orang yang meriwayatkan hadis darinya antara lain
ialah Abu Bakr bin Abi Syaibah, Muhammad bin Sulaiman dan Yahya bin Muhammad
bin Sabiq.
Abu Usamah adalah seorang
periwayat yang tsiqah, sebagaimana pernyataan Yahya bin Ma’in dan
al-‘Ajaly. Sementara menurut Ahmad bin
Hanbal bahwa selain tsiqah, ia juga tsabat dan tidak mungkin
melakukan kesalahan (dalam periwayatan hadis – pen.). Pernyataan yang hampir senada dikemukakan
oleh al-Dzahaby bahwa ia hujjah.
Sementara itu, Ibnu Hibban mengemukakan bahwa nama Abu Usamah juga
termuat dalam kitab al-Tsiqaat.
Adapun pernyataan muhammad bin Sa’d bahwa selain tsiqah, Abu
usamah juga ma’mun akan tetapi ia mudallas, namun ia menjelaskan
ketadlisannya.
Dari beberapa pernyataan
yang dikemukakan oleh para kritikus hadis tersebut, nampaknya hanya Muhammad
bin Sa’d yang memberikan penilaian yang agak negatif, namun hal itu tidak dapat
dijadikan ukuran untuk merendahkan kredibilitas Abu Usamah, terlebih karena
Muhammad bin Sa’d menambahkan bahwa meskipun mudallas, Abu Usamah
menjelaskan ketadlisannya. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa Abu Usamah adalah seorang periwayat yang
dapat dipercaya. Karena itu,
pernyataannya bahwa beliau menerima hadis tersebut dari Hisyam bin Hassan
dengan menggunakan shighatعن adalah benar. Hal tersebut didukung oleh adanya pertemuan
antara keduanya berdasarkan pengakuan mereka sendiri sebagai guru dan murid.
Hisyam
bin Hassan. Kuniyah-nya
ialah Abu Abdullah, sementara laqab-nya ialah al-Azdiy, al-Firdausy dan
al-Bishriy. Hisyam adalah periwayat
tingkat keenam yang wafat pada tahun 148 H. Dalam meriwayatkan hadis, Hisyam
berguru pada beberapa orang syekh, antara lain Muhammad bin Sirin, Abu Idris
dan ‘Ashim bin Sulaiman. Sementara itu,
beliau juga menyampaikan hadisnya kepada beberapa orang muridnya yaitu Abu
Usamah, Khalid bin al-Harits, Sufyan bin Halib dan lain-lain.
Kredibilitas Hisyam dalam
hal periwayatan hadis diakui oleh beberapa kritikus hadis, sebagaimana
pernyataan Yahya bin Ma’in dan Muhammad bin Sa’d bahwa ia adalah periwayat yang
tsiqah. Sementara oleh al-‘Ajaly,
bahwa selain tsiqah, hadis-hadis yang diriwayatkannya berstatus hasan. Pernyataan yang hampir senada disampaikan
oleh Abu Hatim al-Raziy bahwa Hisyam shaduq, demikian juga oleh Ahmad
bin Hanbal bahwa ia shalih, la ba’sa bih. Adapun Ibnu Abi ‘Urubah, ia menyatakan bahwa
‘saya tidak melihat orang yang lebih hafidz dari pada Ibnu Sirin kecuali
dia’.
Berdasarkan segenap
penilaian yang dikemukakan oleh para kritikus hadis tersebut, nampak bahwa
tidak seorangpun di antara mereka yang menjarh Hisyam, maka dapat
disimpulkan bahwa Hisyam adalah seorang periwayat hadis yang memiliki
kredibilitas yang tinggi sehingga hadis-hadis yang diriwayatkannya patut
dipercaya dan diperhitungkan. Dengan
demikian, pernyataannya bahwa beliau meriwayatkan hadis tersebut dari Muhammad
bin Sirin dengan menggunakan shighat عن adalah benar. Hal ini
didukung oleh pengakuan mereka sebagai guru-murid.
Muhammad bin Sirin.
Nama lengkapnya ialah Muhammad bin Sirin
Maula Anas bin Malik. Kuniyah-nya
ialah Abu Bakr, sementara di antara laqab-nya ialah al-Bishry dan
al-‘Abid. Ibnu Sirin adalah periwayat
tingkat ketiga, tepatnya pada tingkat pertengahan masa tabi’in. Beliau wafat di Basrah pada 378 H.
Ibnu Sirin meriwayatkan
hadis dari sejumlah sahabat, di antaranya Abu Hurairah. Selain itu, beliau juga berguru pada Katsir
bin Aflah dan Abdullah bin Syaqiq.
Adapun periwayat yang menerima hadis darinya ialah Hisyam bin Hassan, Sulaiman
bin Arqam, Yahya bin ‘Atiyq dan lain-lain.
Ahmad bin Hanbal
menyatakan bahwa Ibnu Sirin adalah salah seorang periwayat yang berstatus tsiqah. Penilaian serupa juga dikemukakan oleh Yahya
bin Ma’in dan al-Ajaly. Sementara itu,
menurut Muhammad bin Sa’d bahwa selain tsiqah, ia juga ma’mun. Adapun menurut Ibnu Hibban bahwa Ibnu Sirin
adalah seorang periwayat yang hafidz lagi mutqin.
Dari segenap penilaian
yang disampaikan oleh para kritikus hadis tersebut, nampaknya tidak seorangpun
di antara mereka yang merendahkan kredibilitas Ibnu Sirin, bahkan memujinya
dengan predikat yang tinggi. Oleh sebab
itu, dapat disimpulkan bahwa haddis-hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Sirin
patut dipercaya dan diperhitungkan.
Dengan demikian, pernyataannya bahwa beliau meriwayatkan hadis tersebut
dari dengan menggunakan shighat عن adalah
benar. Hal itu menunjukkan adanya proses
tahammul wa al-Ada.
Abu Hurairah. Nama lengkapnya adalah Abd
al-Rahman ibn Sakhr, ia lebih dikenal dengan nama Abu Hurairah sebagai kuniyah-nya,
sedangkan al-Dausy, al-Yamany adalah laqab-nya. Imam
Nawawi menyatakan: “Pendapat tentang nama Abu Hurairah terdapat sekitar 30
nama, tetapi yang paling shahih di antara pendapat yang ada ialah Abd al-Rahman
bin Sakhr. Sedangkan di antara
kitab-kitab, ada yang menyebutkan nama lengkap beliau dengan “Abd al Rahman
Sakhr dari keturunan Sa’labah bin Sulaiman bin Fahm bin Ghanam bin Daus al
Yamani”.
Abu Hurairah lahir sekitar
tahun 23 SH. (sekitar 598 M.) di wilayah Yaman, ada juga yang menyebutkan tahun
19 SH. Sedangkan tahun me-ninggalnya,
para ahli sejarah juga berbeda pendapat.
Ada yang mengatakan tahun 57 H., 58 H. dan ada pula yang menyatakan
tahun 59 H. Abu Hurairah meninggal dunia
di Aqiq dan dikebumikan di Baqi’.
Sebagaimana halnya dengan sahabat yang lain, Abu
Hurairah tidak saja menerima hadis-hadis secara langsung dari Nabi saw., tetapi
juga dari sahabat lain, seperti Abu Bakar, Umar bin Khatthab, Utsman bin Affan,
Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair ibn Ka’ab, Utsman ibn Zaid, Aisyah dan
Ka’ab al Ahbar. Sebaliknya, sahabat Nabi
yang lain juga banyak yang meriwayatkan hadis darinya, seperti : Ibn Umar, Ibn
Abbas, Jabir, Anas bin Malik dan lain-lain.
Sedangkan dari kalangan tabi’in yang meriwayatkan hadis darinya,
misalnya : Sa’id bin al Musayyab, Ibn Sirin, Urwah ibn Al-Zubair, Marwan bin al-Hakam dan lain-lain.
Para ulama mengakui
kepiawaian Abu Hurairah terutama dalam bidang hadis, di antara mereka ialah:
o
Imam Syafi’ ra. berkata
bahwa Abu Hurairah adalah orang yang paling hafiz diantara orang yang
meriwayatkan hadis Nabi pada masanya. Beliau adalah seorang tokoh muhaddits
yang meriwayatkan hadis Nabi tanpa disangsikan.
o
Ibn Umar mengatakan
: “Abu Hurairah lebih baik dari pada ayah saya dan lebih luas pengetahuannya.”
Beliau juga mengatakan bahwa Abu Hurairah menjaga umat Islam dengan menjaga
hadis Nabi saw.
- Al-Zuhry mengatakan bahwa Abu Hurairah berkata : “Diriwayatkan bahwa sesungguhnya saya adalah seorang yang miskin yang menyertai Rasulullah saw. pada seluruh waktu saya sedangkan orang Muhajirin sibuk berdagang di pasar dan kaum Anshar sibuk dalam urusan harta mereka. Saya datang ke rumah Nabi saw., beliau bersabda: Barang-siapa yang membeberkan kain selendangnya sehingga aku tumpahkan pembicaraanku ke dalam selendang itu, maka dia tidak lupa sedikitpun apa-apa yang telah didengar dariku. Maka saya membeberkan kain surbannya hingga selesai pembicaraan Rasul saw., lalu saya melipat kembali surban itu. Demi Allah yang diriku berada di dalam kekuasaan-Nya, saya tidak pernah lupa sedikitpun semua yang saya dengar dari Rasulullah setelah itu.
- Imam Bukhari mengatakan bahwa hadis Abu Hurairah diriwayatkan oleh lebih dari 800 ilmuwan baik dari kalangan sahabat ataupun dari kalangan tabi’in.
Dari segenap pernyataan para ulama tersebut,
maka jelaslah bahwa Abu Hurairah lebih banyak mendengarkan dan memperhatikan hadis-hadis
dari Rasulullah saw. dari pada yang didengar oleh para sahabat lainnya. Oleh sebab itu, pernyataan Abu Hurairah bahwa
beliau menerima hadis tersebut langsung dari Rasulullah dengan menggunakan
lambang عن benar
dapat dipercaya.
Lebih lanjut, berpijak
pada kritik sanad tersebut, mulai dari mukharrij hingga sahabat
sebagai periwayat pertama, nampak bahwa para periwayat yang terdapat pada
rentetan sanad tersebut memiliki kredibilitas tinggi dan terpuji. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa secara sanad riwayat melalui jalur
Ibnu Majah ini berkualitas shahih.
D. Analisis Matan Hadis
Materi hadis yang pendek
dan sederhana memberikan peluang besar kepada periwayat untuk dapat
meriwayatkan hadis secara bi al-Makna, namun ternyata hal itu tidak
berlaku pada hadis di atas. Ia memiliki versi matan yang beragam. Hal
itu, salah satunya disebabkan oleh
banyaknya periwayat hadis pada setiap tingkatan ditambah dengan kualitas
intelektual dan daya hafal mereka yang berbeda. Perbedaan-perbedaan itu dapat
dilihat pada hal-hal berikut:
1.المرأة نهى رسول لله صلم أن تنكح
Pada
riwayat lain berbunyi:بين المرأة لا يجمع dengan fi’il majhul, نهى أن يجمع الرجل بين
المرأة dengan fi’il ma’lum, نهى أن تزوج المرأة , كره أن يجمع بين العمة, نهى عن النكاحين أن يجمع
الرجل
نهى عن اربع نسوة أن يجمع بينهن المرأة,. Ungkapan نهى رسول لله صلم أن تنكح dan
بين المرأة لا يجمع adalah yang paling banyak
dipergunakan periwayat, walaupun antara kedua lafadz ini bila ditelusuri
lebih dalam memiliki perbedaan makna. Kata نكح lebih berkonotasi pada العقد (akad)
sedangkan kata جمع
lebih pada makna الوطء (persetubuan).
Tentu bila berangkat dari kedua makna ini ada implikasi hukum yang berbeda,
yaitu untuk kata جمع
dapat berarti bahwa seseorang dapat saja menikahi seorang wanita dengan
tantenya selama tidak terjadi persetubuan. Tetapi untuk kata نكح sama sekali tidak ada
peluang untuk yang seperti itu. Tetapi dengan melihat uslub dan qarinah
yang ada, maka antara kata جمع dan نكح adalah sinonim, yaitu
mengandung makna العقد . Sedangkan riwayat yang
sedikit berbeda adalah riwayat Muslim dan Ibn Majah, masing-masing نهى عن اربع نسوة أن يجمع
بينهن المرأة , نهى عن النكاحين أن يجمع
الرجل . Kemungkinan
besar tambahan kata ini (idraj) adalah berasal dari periwayat sebagai
bentuk penjelasan atau penegasan.
2. نهى أن تنكح المرأة على عمتها أو خالتها
Pada
riwayat lain berbunyi: لا يجمع بين المرأة وعمتها
ولا بين المرأة وخالتها,
Ada juga menambahkan dengan ungkapan فنرى خالت ابيها وعمت ابياهبتلك المنزلة seperti
pada riwayat Bukhari dan Muslim melalui al-Zuhriy, atau versi yang cukup panjang, نهى أن تنكح االمرأة على
عمتها او العمة على ابنة أخيها أو المرأة على
خالتها, أو الخالة على بنت أختها, ولا تنكح الصغرى على الكبرى ولا الكبرى على الصغرى masing-masing
diriwayatkan oleh al-Turmudzi, Abu Daud dan al-Darimiy melalui Daud bin Abi
Hind dari ‘Amir dari Abu Hurairah. Adapun versi riwayat yang dominan digunakan
oleh periwayat adalah versi نهى أن تنكح المرأة على
عمتها أو خالتها dan لا يجمع بين المرأة وعمتها
ولا بين المرأة وخالتها , yang
digunakan oleh hampir seluruh
jalur periwayat kecuali versi yang telah disebutkan di atas (yang panjang itu).
Dengan demikian muncul kontroversi di antara kedua versi riwayat di atas,
periwayat mana yang telah melakukan idraj atau periwayat mana yang telah
membuang sebagian matan hadis.
Di
sisi lain, jika versi matan yang panjang tersebut semuanya melalui
periwayat Abu Hurairah, ‘Amir dan Daud bin Abi Hind, maka Abu Hurairah juga
meriwayatkan versi yang pendek (yang dominan) itu pada sekitar 20 jalur
periwayatan. Satu di antaranya, merupakan riwayat dari Abu Hurairah, al-Sya’biy dan Daud bin Abi
Hind sendiri melalui al-Nasa’i dengan versi matan yang pendek walaupun
sedikit berbeda, yaitu نهى أن تنكح لمرأة على عمتهاوالعمة على بنت أخيها, dan satu lagi
melalui Abu Hurairah, Muhammad ibn Sirin dan Abu Daud ibn Abi Hind melalui
Muslim sesuai dengan versi yang dominan itu disertai dengan tambahan lafadz,
yaituنهى أن تسأل المرأة طلاق أختها لتكتفئ ما فى صحفتها فإن اللهرازقها. Dalam penelusuran lebih
jauh, antara ‘Amir dan al-Sya’biy adalah orang yang sama (lihat biografi
al-Sya’biy pada bagian kritik isnad).
Sebagai perbandingan, bahwa al-Sya’biy juga meriwayatkan hadis ini
dari Jabir melalui 3 jalur, yaitu 2 melalui al-Nasa’i dan 1 yang lainnya
melalui Bukhariy dengan versi matan yang pendek.
Dengan demikian,
cukup sulit untuk menentukan secara pasti versi matan mana yang lemah, karena jalur periwayatannya
cukup kompleks. Namun demikian, sebagaimana disebutkan pada halaman sebelumnya
tentang perbedaan ulama dalam memposisikan Ashim, Jabir dan Abu Hurairah (lihat
pandangan Syafi’i, al-Baihaqiy, Ibn Abd al-Bar, al-Mizziy dan Bukhariy:
pandangan itu muncul karena adanya perbedaan matan ini). Dari kelompok
itu ada yang menerima salah satunya dan menolak yang lainnya, dan ada juga
yang menerima kedua versi itu.
Bagi
penulis, setelah membandingkan antara kandungan makna antara versi matan
yang pendek dengan yang panjang, maka penulis tidak menemukan adanya satu
implikasi hukum yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Jika versi matan
yang panjang mengandung hukum pada tidak bolehnya menikah antara, yaitu:
- Seorang perempuan dengan tantenya
- Tante dengan anak perempuan dari saudara laki-lakinya
- Seorang perempuan dengn bibinya
- Bibi dengan anak perempuan dari saudara perempuannya
- Al-Sughra ala al-Kubra (dari yang kecil atas yang besar); anak perempuannya saudara perempuan dan saudara laki-laki atas saudara perempuannya ibu dan saudara perempuannya bapak.
f. Al-Kubra ala al-Sughra
(dari yang kecil atas yang besar); saudara perempuannya ibu dan saudara
perempuannya bapak atas anak perempuannya saudara perempuan dan saudara
laki-laki.
Maka, pada versi matan
yang pendekpun kesemua kandungan di atas juga telah terakomodasi, bahkan
menurut hemat penulis bila ditinjau dari segi ciri-ciri sabda kenabian, maka
besar kemungkinan versi matan yang pendek itulah yang berasal dari Nabi
Saw., sedangkan versi yang panjang itu merupakan tambahan penjelasan dari diri
periwayat. Nabi biasanya menggunakan bahasa yang rinci jika yang dihadapi itu
adalah orang-orang awam. Tetapi, bila dilihat semua periwayat pada tingkat
sahabat secara umum mereka adalah tokoh-tokoh sahabat yang integritas
keilmuannya tidak diragukan.
E. Analisis Kosa Kata
1. عمّة , kata ini merupakan bentuk mufrad,
sedangkan bentuk jama’nya ialah عمّات yang secara bahasa berarti أخت الأب (saudara
perempuannya bapak, atau dalam konteks Indonesia, biasa disebut ‘bibi’).
2. خالة , kata ini juga
merupakan bentuk mufrad. Adapun
bentuk jama’nya ialah خالات yang berarti أخت
الأم (saudara
perempuannya ibu, atau biasa disebut ‘tante’).
3. تنكح , kata ini merupakan derivasi dari akar kata نكح yang secara etimologi berarti mengawini, menikahi. Adapun
pengertian kata ini secara terminologi ialah perjanjian antara laki-laki dan
perempuan untuk bersuami-istri (dengan resmi) dengan rukun-rukun tertentu.
E.
Pendapat Ulama
Pada dasarnya,
perselisihan pendapat yang terjadi di kalangan ulama bukan dalam hal qath’iy
atau dhzanny-nya petunjuk hadis tersebut, namun terlebih pada sejauh
mana hadis (yang sifatnya dhzanny al-dalalah, terlebih lagi berstatus ahad
lagi masyhur) tersebut memiliki independensi dalam menetapkan sebuah
hukum yang tidak dijelaskan di dalam al-Qur’an (yang sifatnya qath’iy
al-dalalah).
Larangan yang dimaksudkan
pada hadis-hadis tersebut mengandung makna pengharaman, berdasarkan bunyi teks
dari matan-matan hadis tersebut yang berimplikasi pada makna larangan
secara mutlak (dalam artian haram), sehingga tidak dapat dimaknai sebagai
larangan dalam arti makruh. Hal ini juga
didasarkan pada kaedah ushul bahwa pada dasarnya larangan menunjukkan
pada pengharaman.
Dengan demikian,
hadis-hadis tentang Larangan Kawin Poligami Antara Seorang Wanita Dengan
Tantenya yang berstatus ahad tersebut tidak dapat menetapkan suatu hukum
yang tidak termuat di dalam Alquran.
Argumen inilah yang diperpegangi oleh sekelompok ulama dari aliran
Syi’ah dan Khawarij. Argumen mereka juga didasarkan pada QS. al-Nisa’ ayat 24
yang menyebutkan bahwa pelarangan yang termuat pada ayat sebelumnya (ayat 23)
ialah terhadap wanita-wanita yang bersuami kecuali budak-budak yang dimiliki
oleh seorang laki-laki. Dengan demikian,
sekelompok ulama Syi’ah dan Khawarij ini membolehkan menggauli seorang wanita
dengan bibi atau tantenya selama wanita-wanita tersebut adalah budak (milk
al-yamiyn). Bahkan menurut mereka,
dua orang wanita yang bersaudara sekalipun, dapat digauli selama mereka adalah
budak. Dalam hal ini, mereka beralasan
bahwa pelarangan yang secara eksplisit termuat dalam al-Qur’an ialah mengumpulkan
mereka dalam hubungan perkawinan (العقد), dan bukan dalam hubungan persetubuhan (الوطئ).
Sementara itu, jumhur
ulama menetapkan keharaman mengumpul-kan seorang wanita dengan bibi atau
tantenya walaupun mereka itu adalah budak, baik dalam hubungan perkawinan (العقد), terlebih lagi dalam hubungan persetubuhan (الوطئ). Pemahaman ini mereka
dasarkan pada QS. Al-Nisa’ ayat 23 yang mengandung pengertian secara umum, baik
dalam hubungan perkawinan ataupun dalam hubungan persetubuhan. Lebih lanjut
menurut mereka, ketetapan yang tercantum dalam QS. Al-Nisa’ ayat 23 ditakhshish
dengan hadis tersebut, meskipun berstatus ahad, namun hadis-hadis
tersebut dapat berfungsi sebagai penjelasan (bayan), sebagaimana fungsi
Rasulullah sw. sebagai pemberi penjelasan (mubayyin) terhadap al-Qur’an.
Selanjutnya, jumhur ulama juga sepakat dalam
menetapkan pengertian عمّة
dalam hadis tersebut, yaitu bukan hanya terbatas pada saudara perempuan
dari pihak bapaknya wanita (istri) saja, tapi termasuk di dalamnya juga ialah
saudara perempuan kakeknya (dari pihak bapaknya) dan seterusnya ke atas. Demikian pula pengertian خالة yakni
bukan hanya terbatas pada saudara perempuan dari pihak ibunya wanita (istri)
saja, tapi termasuk di dalamnya ialah saudara perempuan neneknya (dari pihak
ibu) dan seterusnya ke atas. Bahkan,
menurut ijma’ ulama pula – sebagaimana yang dikutip oleh Al-‘Ainiy – bahwa termasuk dalam kategori ini
ialah anak perempuannya saudara laki-laki dan anak perempuan nnya saudara
perempuan dari wanita (istri) ke bawah (termasuk cucu dan cicit).
Dengan demikian, persoalan yang
diperdebatkn oleh ulama tentang hadis bukan dari aspek qath’iy atau dzanniy
al-Dalalah. Namun, lebih pada sejauh mana sebuah dalil yang bersifat dzanniy
al-Wurud (hadis Ahad dalam posisi masyhur) memiliki independensi
atau otonomisasi dalam menetapkan sebuah hukum yang tidak dijelaskan oleh
al-Qur’an.
Di dalam ayat al-Qur’an surah/4 al-Nisa’ ayat
22- 24 dinyatakan sebagai berikut:
ولا تنكح ما نكح ءاباؤكم من
النساء إلا ما قد سلف إنه كان فاحشة وساء سبيلا (22) حرمت عليكم أمهتكم وبناتكم
وأخواتكم وعمتكم وخلتكم وبنات الأخ وبنات الأخت وأمهتكم التى أرضعنكم وأخاتكم من
الرضاعة وأمهت نساءكم وربئبكم التى فى حجوركم من نساءكم التى دخلتم بهن فإن لم
تكونوادخلتم بهن فلا جناح عليكم وحلئل أبناءكم الذين من أصلبكم وأن تجمعوا بين
الأختين إلا ما قد سلف إن الله كان غفورا رحيما (23 ) والمحصنات من
النساء إلا ما ملكت أيمنكم كتب الله عليكم وأحل لكم ما وراء ذلكم أن تبتغوا
بأموالكم محصنين غير مسفحين.....(24 ).
Terjemah:
Dan janganlah kamu
mengawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa
yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan
seburuk-buruknya jalan (yang ditempuh).(22) Diharamkan atas kamu (mengawini)
ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-sudaramu yang perempuan,
saudara-sudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan,
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan
dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu
isterimu (mertua), anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri
yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isteri itu (dan
sudah kau ceraikan), maka idak berdosa kamu menikahinya, (dan diharamkam bagimu)
isteri-isteri anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang
telah terjadi pada masa lampau, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang (23) Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami,
kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai
ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian itu (yaitu) mencari
isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina….(24)
Pada ayat di atas,
dijelaskan dengan rinci diantara wanita-wanita yang haram untuk dinikahi, namun
tidak ditemukan sebuah ungkapan secara
eksplisit menyatakan pengharaman untuk mengumpulkan seorang wanita
dengan tante atau bibinya dalam satu perkawinan. Oleh karena itu, penegasan
ayat selanjutnya yang berbunyi: وأحل
لكم ما وراء ذلكمadalah sebuah lampu hijau
untuk menikahi selain yang telah disebutkan itu. Adapun posisi hadis yang
menyatakan pelarangan mengumpulkan seorang wanita dengan tante atau bibinya adalah hadis dalam kualitas ahad.
Sebuh hadis yang berkualitas ahad tidak dapat menetapkan suatu hukum
yang tidak ada dalam al-Qur’an. Pendapat seperti ini diperpegangi oleh
sekelompok ulama dari aliran Syi’ah dan Khawarij.
Berbeda
dengan aliran Syi’ah dan Khawarij, mayoritas ulama dengan berdasar pada hadis
di atas, menetapkan keharaman mengumpulkan
seorang wanita dengan tante atau bibinya dalam satu perkawinan. Mereka
menegaskan bahwa ayat Alquran surah al-Nisa’ ayat 23 itu di-takhsis
dengan hadis di atas. Lebih lanjut, mereka berdalih bahwa sebuah hadis ahad
dapat berfungsi sebagai bayan yang bersifat takhsis terhadap
Alquran. Hal itu dipahami dari posisi Nabi Saw. sebagai mubayyin
terhadap Alquran sehingga dengan demikian, tidak alasan untuk menolak hukum
yang terkandung dalam hadis di atas.
Lebih jauh dari itu,
jumhur ulama berdasarkan pada dalil-dalil Alquran dan hadis-hadis lainnya.
Akhirnya mereka ber-ijma’ bahwa keharaman untuk mengumpulkan seorang
wanita dengan al-Ammah atau al-Khalah tidak hanya dalam arti
saudara perempuan bapak atau saudara perempuan ibu tetapi juga beberapa
keluarga lainnya yang mereka istilahkan al-Ammah wa al-Khalah al-Majaziyah,
yaitu: saudara perempuannya bapaknya bapak (nenek), kakeknya bapak ke atas,
saudara perempuannya ibunya ibu (nenek), neneknya ibu baik dari pihak laki-laki ataupun dari pihak
perempuan ke atas. Bahkan dalam kutipan al-Ainiy yang menyandarkan pandangan
ini atas ijma al-Ulama, menyatakan bahwa termasuk dalam kategori ini
adalah anak perempuannya saudara laki-laki atau saudara perempuan ke bawah
(termasuk cucu dan cicit).
Dalam ayat berikutnya,
surah al-Nisa’ (4) ayat 24, menyambung pelarangan tersebut pada wanita-wanita
yang bersuami kecuali budak-budak yang kamu miliki.
Atas dalil di atas, sekali
lagi, sekelompok ulama Syi’ah dan Khawarij membolehkan menggauli seorang wanita
dengan tante atau bibinya selama wanita-wanita tersebut adalah budak ( ma
malakat aimanukum). Bahkan, dua orang wanita yang bersaudara sekalipun bagi
mereka boleh digauli selama ia itu adalah
seorang budak. Untuk yang terakhir ini, mereka beralasan bahwa yang dilarang
secara eksplisit oleh Alquran adalah mengumpulkan mereka dalam hubungan
perkawinan bukan hubungan persetubuan.
Berbeda dengan itu,
kelompok jumhur ulama tetap mengharamkan
mengumpulkan seorang wanita dengan tante atau bibinya walaupun ia itu adalah
seorang budak; baik dalam hubungan persetubuan (الوطء )
apatah lagi dalam hubungan perkawinan. Pemahaman itu didasarkan bahwa
pengharaman pada ayat 23 itu bersifat umum, baik dalam hubungan persetubuhan
ataupun dalam hubungan perkawinan. Adapun jika seorang laki-laki mengawini
seorang wanita dalam pernikahannya yang pertama, kemudian beberapa lama
kemudian menikah lagi dengan tante atau bibi dari isterinya yang pertama (belum
dicerai) itu, maka nikah yang kedua itu batal atau dalam istilah mafsukh. Sedangkan
nikah yang pertama tetap sah.
Sedang jika seorang laki-laki
melakukan hubungan persetubuhan dengan seorang wanita (milk al-Yamin)
dan selanjutnya melakukan pernikahan (Aqad) dengan tante atau bibi milk al-Yamin tersebut, maka yang sah
adalah nikah melalui aqad sekaligus hubungan persetubuan dengan milk
al-Yamin tersebut menjadi haram setelah terlaksananya aqad.
Dalam skala yang lebih luas, yaitu terhadap putri-putri dari paman
atau tante dan bibi (sepupu sekali) oleh sebagian ulama al-salaf tetap
tidak membolehkan untuk mengumpulkannya dalam satu perkawinan. Sedang secara
umum ulama membolehkan hal tersebut. Hal yang berbeda, mengumpulkan antara
seorang isteri dari seorang laki-laki dengan anak dari suaminya, bukan darinya
(anak tiri), menurut imam al-Nawawiy, Malik, Abu Hanifah dan jumhur
membolehkannya. Sedang menurut sebagian ulama lainnya tetap mengharamkannya,
diantara mereka yang berpendapat seperti itu adalah al-Hasan, ikrimah dan Abi
Lailah.
Hal lain, ada juga
kelompok ulama yang membolehkan untuk mengawini seorang wanita yang kemudian
diikuti oleh tante atau bibinya, jika sebelum mengawini tante atau bibinya
tersebut, terlebih dahulu ia menceraikan isterinya yang pertama atau meninggal
walaupun setelah dukhul. Pandangan ini menurut penulis meng-qiyas-kan
persoalan itu pada kasus wanita yang bersaudara. Seseorang dapat mengawini
saudara isterinya ketika isterinya tersebut meninggal atau telah diceraikannya.
Pendapat seperti ini, menurut hemat penulis adalah sebuah bentuk peng-qiyas-an
yang tidak muqabil, karena antara tante dan saudara itu tidak berada
pada posisi yang sejajar. Menurut hemat penulis, hal itu boleh saja, dalam
artian bahwa seorang laki-laki dapat mengawini seorang wanita bersama tante
atau bibinya jika isteri pertama telah diceraikan atau meninggal sebelumnya
terjadinya dukhul.
Secara umum, penulis melihat bahwa perbedaan pendapat ulama dalam
melihat persoalan ini, didasarkan pada pijakan argumentasi mereka yang berbeda;
baik naqliy ataupun aqliy. Adapun manhaj mereka dapat
dikelompokkan, sebagai berikut:
Sebagian di antara ulama
mengacu pada pemahaman tekstual terhadap Alquran dan mengabaikan posisi sunnah
Nabi Saw. Pandangan seperti ini diwakili oleh kelompok Syi’ah dan Khawarij;
untuk yang terakhir ini dalam sejarah
memang tercatat sebagai kelompok yang dikenal ekstrim dan tekstualis. Berbeda
dengan di atas, menurut analisa penulis, dengan berangkat dari ayat 23 dari
surah al-Nisa’ maka pemahaman akan keharaman mengumpulkan seorang wanita dengan
tante atau bibinya dalam satu perkawinan dapat muncul dengan menggunakan metode
analisis qiyas. Jika pada ayat di atas, keharaman untuk mengawini itu
dibagi pada empat pola, yaitu: 1) Keharaman karena hubungan darah atau nasab,
yaitu: ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-sudaramu yang perempuan,
saudara-sudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan,
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan
dari saudara-saudaramu yang perempuan, 2) keharaman karena hubungan persusuan,
yaitu: ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara
perempuan sepersusuan, 3) keharaman karena hubungan perkawinan, yaitu:
wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, ibu-ibu isterimu (mertua),
anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu
campuri, (dan diharamkam bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu), 4)
keharaman karena penggabungan, yaitu: dua orang yang bersaudara.
Tidak disebutkannya secara
eksplisit pelarangan atas perkawinan yang mengumpulkan antara seorang wanita
dengan tante atau bibinya, karena secara alamiah ketika seseorang mengawini
seorang perempuan dan telah dukhul, itu berarti ia (laki-laki tersebut)
telah masuk dalam lingkaran kerabat wanita tersebut, dalam artian, keluarga
sang wanita (isteri) menjadi bagian dari keluarganya; ibu sang isteri menjadi
ibu baginya, dan seterusnya. Jika pada sesusuan ulama sepakat menjadikannya
sebagai salah satu penyebab keharaman, maka menurut penulis tentu pada hubungan
perkawinan (الوطء ) hal seperti lebih
sepatutnya berlaku.
Sebagian besar ulama
mengacu pada pemahaman tekstual terhadap al-Qur’an ditambah dengan pemahaman
terhadap hadis Nabi Saw.(mereka mengakui otoritas sunnah ahad untuk
menjadi bayan; tafsir atau
takhsis). Sehingga atas dasar itu, mereka menetapkan keharaman
mengumpulkan seorang wanita bersama tante atau bibinya dalam satu perkawinan.
Beberapa ulama mempertegas dengan mengatakan “ aku tidak mengetahui adanya
pendapat yang berbeda dengan pendapat di atas” Selain berargumentasi pada dalil
di atas, dalam riwayat Ibn Hibban dan
al-Tabraniy yang dikutip oleh terdapat
tambahan matan yang berbunyi, yaitu: إنكم إذا فعلتم ذلك قطعتم
أرحامكم
Jika kamu melakukan itu (mengumpulkan dua orang perempuan
bersaudara atau seorang wanita dengan tante atau bibinya dalam satu perkawinan)
berarti kamu memutuskan rahimmu ( hubungan silaturahim)
Mereka memahami bahwa
ketika terjadi hubungan perkawinan seperti di atas, itu berpotensi besar pada
terjadi permusuhan, persengketaan, kecemburuan dan semacamnya yang membawa pada
terputusnya hubungan kekerabatan. Padahal memutuskan silaturrahim memiliki
implikasi hukum yang sangat tidak disenangi oleh syari’at. Pandangan yang lebih
up to date, mengatakan bahwa perkawinan antara keluarga dekat dapat
melahirkan anak cucu yang lemah jasmani dan ruhani.
F. Pokok-pokok Kandungan Hukum
Dalam memahami kandungan
hukum terhadap hadis di atas terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Mayoritas ulama mengatakan bahwa berdasarkan petunjuk hadis tersebut, maka hukum memadukan isteri dengan bibinya
adalah haram. Sebagian ulama memahami bahwa memadukan isteri dengan bibinya
adalah makruh.
III.
Kesimpulan
Melalui kajian analisis
kritik sanad terhadap hadis ini, maka dapat dinyatakan bahwa hadis ini secara
sanad dikatakan shahih. Begitupula melalui kegiatan kritik matan hadis,
ditemukan berbagai riwayat yang menjelaskan adanya perbedaan lafaz dari tiap
periwayat. Oleh karena itu hadis ini diriwayatkan secara makna (riwayat bi
al-Ma’na) dan memiliki kualitas shahih pula berdasarkan kriteria kesahihan
matan hadis.
Secara umum mayoritas ulama memahami hadis ini secara
tekstual yang intinya mengharamkan penyatuan (poligami) isteri dan tantenya
dengan berbagai alasan dan pendekatan yang mereka gunakan. Salah satu yang
urgen menjadi pendekatan dalam hal ini adalah atas dasar psikologi, yakni
kekhawatiran akan menyebabkan terputusnya-merenggangnya hubungan silaturahmi
kekeluargaan.
Daftar
Pustaka
Abu Abd al-Rahman Ahmad bin Syu’aib al-Nasa’i, Sunan
al-Nasa’i, Juz. III (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), h. 95-97.
al-‘Ainiy, Badruddin Abi
Muhammad Mahmud bin Ahmad. ‘Umdah al-Qariy; Syarh Shahih al-Bukhary, Juz
XIX. Mesir: Dar al-Fikr, t. th.
Al-Abadiy,
Abu al-Tayyib Muhammad Syams al-Haq al-Adzim.
Awn al-Ma’bud ma’a Syarh al-Hafidz Ibn al-Jauziy. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990.
al-Abadiy, Abu al-Tayyib
Muhammad Syams al-Haq al-Adzim. ‘Awn al-Ma’bud Ma’a Syarh al-Hafidz Ibnu
al-Jauziy. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1990.
al-Asqalany, Syihab al-Din Abi
Al-Fadhl Ahmad bin Ali bin Hajar. Tahdzib al-Tahdzib, Juz IX. Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1414 H./1994 M.
al-Bandary, Abd al-Gaffar
Sulaiman. Mausu'ah Rijal al-Kutub al-Tis'ah, Juz II. Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, 1413 H/1993 M.
al-Darimiy, Abu Muhammad Abdullah bin Abd al-Rahman. Sunan al-Darimiy,
Juz. I. Beirut: Dar al-Fikr, 1994.
Daqiq, al-‘Iyd Taqyuddin Abi
al-Fath al-Syahir. Ahkam al-Ahkam: Syarh Umdah al-Ahkam, Juz III. Mesir: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th.
Departemen Agama RI, Ensiklopedi
Islam I. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam,
1993
al-Dimasyqy, Abu Fidha
al-Hafidz bin al-Kalir. Al-Bidayah wa al-Nihayah, Jilid VI, juz XI.
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t. th.
al-Dzahaby, Abu Abdillah Syams
al-Din Muhammad. Tadzkirat al-Huffadzh, Juz II. Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiah, t. th.
Fayyad, Mahmud Ali. Manhaj
al Muhadditsin fi Dhabth as Sunnah, diterjemahkan oleh Zarkasyi Chumaidy
dengan judul Metodologi Penetapan Keshahihan Hadis. Bandung: Pustaka
Setia, 1998.
Hakim, Abd al-Hamid. Al-Bayan,
Juz III. Jakarta: Sa’adiyyah Putra, 1992.
Ibrahim, Shalih bin 'Abd
al-'Aziz bin Muhammad. Mausu'ah al-Hadits al-Syarif 'An al-Kutub al-Sittah.
Cet. III; Saudi Arabia, Dar al-Salam, 2000.
Ismail, M. Syuhudi. Pengantar Ilmu Hadis. Cet. II;
Bandung: Angkasa, 1991.
Al-Kandahlawiy,
Muhammad Zakariyyah. Awjaz al-Masalik ila Muwatha’ Malik, Juz IX.
Beirut: Dar al-Fikr, 1980.
al-Kandahlawy, Muhammad
Zakariyyah. Awjaz al-Masalik Ila Muwaththa’ Malik, Juz IX. Beirut: Dar
al-Fikr, 1980.
al-Khatib, M. Ajaj. Ushul al
Hadis, diterjemahkan oleh H.M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq dengan judul Pokok-Pokok
Ilmu Hadis. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998.
Majah, Abu Abdullah Muhammad bin Yazid al-Rab’i. Sunan
Ibn Majah, Juz. I. Beirut: Dar al-Fikr, 1995.
Majah, Abu 'Abdillah Muhammad
ibn Yazid al-Rab'iy. Sunan Ibnu Majah, diterjemahkan oleh H. Abdullah
Shonhaji dengan judul Tarjamah Sunan Ibnu Majah, Jilid 2. Cet. I;
Semarang: Al-Syifa’, 1992.
Ma'luf, Louis. Al-Munjid fi
al-Lughah wa Alam. Cet. XXI; Beirut: Dar al-Fikr, t. th.
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus
al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Edisi II. Cet. XIV; Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997
al-Mubarakfuriy, Al-Hafidz Muhammad bin Abdurrahman bin Abdurrahim. Tuhfah
al-Akhwadziy. Mesir: Dar al-Fikr, 1995.
al-Naisaburi, Abu al-Husain
Muslim bin al-Hajjaj. Shahih Muslim, Juz. I. Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiah, t.th.
al-Nawawiy, Abu Zakariyah Yahya
bin Syaraf. Syarh Shahih Muslim, Juz IX. Mesir: Maktabah al-Mishriyyah,
1942.
al-Nawawiy,
Abu Zakariyyah Yahya Ibn Syaraf. Syarh Muslim bi al-Nawawiy, Juz. IX..
Mesir:Maktabah al-Mishriyyah, 1924.
al-Razy, Abu Muhammad 'Abd
al-Rahman bin Abi Hatim Muhammad bin Idris al-Mundzir al-Tamimy al-Handzaly. Al-Jarh
wa al-Ta'dil, Juz IX. Beirut: Dar al-Fikr, 1372 H/1953 M.
al-Sijistani, Abu Daud Sulaiman
bin al-Asy’ats l-Azdi. Sunan Abi Daud, Juz. II. Beirut: Dar al-Fikr,
1994.
Shihab, Quraish. Wawasan
al-Qur’an; Tafsir Maudhi’iy Atas Pelbagai Persoalan Umat. Cet. VI; Bandung:
Mizan 1997.
al-Turmudziy, Abu Isa Muhammad
bin Isa. Sunan al-Turmudzi, Juz. II. Beirut: Dar al-Fikr, 1994.
Uwainah, Kamil Muhammad. al-Jami’
fi Fiqh al-Nisa’, diterjemahkan oleh M. Abdul Gaffar dengan judul, Fiqih
Wanita. Cet. III; Pustaka al-Kautsar, 1999.
Wensinck, Arnold John. Corcordance
et Indices de la Musulmane, diterjemahkan oleh Muhammad Fu’ad Abd al-Baqy
dengan judul Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadzh al-Hadis al-Nabawy, Juz
VI. Beirut: E. J. Brill, 1967.
Zuhailiy, Wahbah. al-Fiqh
al-Islam wa Adillatuh, Juz. VII.
Cet. III; Beirut: Dar al-Fikr, 1989.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar