إن وأخواتها
(Inna dan Sejenisnya)
Oleh: Muhammad Ghazali Rahman
A. Pendahuluan
Bahasa merupakan alat komunikasi dan sarana yang sangat penting digunakan
dalam menyampaikan pikiran dan perasaan seseorang kepada orang lain, baik
secara tertulis maupun lisan. Oleh karena itulah, manusia sejak lahir telah
dibekali potensi kebahasaan yang memungkinkan Ia dapat mengungkapkan apa yang
terjadi dalam diri dan lingkungannya.
Bahasa
Arab yang menjadi objek pembahasan tulisan ini merupakan Bahasa Alqur’an
sekaligus menjadi bahasa Agama. Selain itu, bahasa Arab juga merupakan alat (wasilah)
dalam membantu seseorang dalam mencapai tujuannya. Misalnya dalam mengkaji
berbagai literatur yang menggunakan bahasa Arab. Hal tersebut juga dapat
dipergunakan dalam mengkaji Alqur’an dan Sunnah sebagai dua sumber pokok ajaran
Islam.
Oleh
karena itu, ia disebut pula sebagai bahasa kedua (second language) yang
telah dipelajari dan dipergunakan oleh berbagai negara. Bukan hanya negara yang
ada di kawasan Timur Tengah tetapi juga negara-negara lain. Bahkan menempati
posisi sebagai bahasa resmi internasional yang dipergunakan oleh kurang lebih
dua puluh negara.1
Keberadaan
Bahasa Arab sebagai Bahasa Asing, memiliki peranan yang sangat penting bagi
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Demikian pentingnya, negara-negara
non Arab telah mempelajarinya dengan berbagai macam faktor dan interest, baik
faktor ekonomi, politik, budaya (culture) maupun kaitannya dengan faktor
lain seiring dengan perkembangan dan kemajuan zaman. Bahkan, di negara-negara
adi kuasa, Amerika dan Eropa misalnya, telah berupaya mencari metodologi yang
efektif untuk menguasai bahasa Arab dalam waktu singkat.2
Demikian
urgennya, pengaruh bahasa Arab tampak semakin luas dalam pergaulan dunia
internasional. Pada perkembangan selanjutnya, sejak tahun 1973 bahasa Arab
diakui secara resmi sebagai bahasa yang sah untuk dipergunakan dalam lingkungan
Perserikatan Bangsa-Bangsa.3
Adapun
spesifikasi pembahasan bahasa Arab pada tulisan ini adalah Inna wa Akhwatuha
(Inna dan Sejenisnya) sebagai awamil yang masuk pada mubtada
dan khabar, dan mengubah kedudukan lafaz dan pengertiannya dari
pengertian semula. Yakni beberapa aspek yang berkaitan dengan jenis-jenisnya,
kedudukan dan fungsi/pengaruhnya dalam kalimat, i’rab, serta
contoh-contohnya dalam beberapa bentuk kalimat.
B. Pembahasan
Inna dan sejenisnya merupakan
salah satu dari sekian awamil yang masuk pada mubtada dan khabar,
dan mengubah kedudukan lafaz dan pengertiannya dari pengertian semula. Oleh
karena itu, awamil tersebut juga dinamakan “nawasikh”, artinya
yang menghapus atau mengubah hukum / pengertian jumlah dari asalnya.
Adapun yang
dimaksud inna dan sejenisnya ini adalah enam huruf yang mencakup:
إن
, أن , لكن , كأن , ليت , لعل .Keenam jenis huruf tersebut merupakan kelompok kata yang merubah bunyi mubtada’
yang semula marfu’ menjadi manshub, sekaligus tetap
mempertahankan khabar pada keadaan semula, yaitu marfu’. ( رَجُلٌ قَائِمٌ
→ إِنَّ رَجُلاً
قَائِمٌ ) Jadi, inna
dan sejenisnya tersebut me-nashab-kan isim yang semula mubtada dan me-rafa’-kan khabar
yang semula marfu’ oleh mubtada. Oleh karena itu pula maka isim kalimat yang
dimasukinya disebut dengan isim-nya inna dan khabar kalimat
tersebut adalah khabar inna. Jenis dan fungsi inna tersebut
secara lebih rinci dapat dilihat sebagai berikut:
1.
إن : Sesungguhnya
2.
أن : Sesungguhnya, bahwasanya.
إن dan أن , keduanya berfungsi sebagai huruf ta’kid
(التأكيد), تقوية المعنى في
ذهن السامع ,yakni untuk menguatkan atau meyakinkan, dengan
catatan bahwa إن bisa terletak di awal atau di tengah kalimat,
sedangkan أن pasti terletak di tengah kalimat.
Contoh: إن مسعودًا غنيٌّ dan بلغني أن مسعودًا فقيرٌ.
3.
لكن : Akan tetapi, tapi, namun; kata ini berfungsi sebagai istidrak (إستدراك
), تعقيد الكلام برفع
ما يتوهم شبوته او نفيه ,yakni untuk menyusulkan keterangan
atau “menyangkal” pernyataan sebelumnya. Oleh karenanya, pasti ada pernyataan
atau kalimat sebelumnya. Contoh: قام علي لكن
مسعودأ ناعم .
4.
كأن : Seolah-olah, seakan-akan; berfungsi sebagai tasybih (
التشبيه ), مشاركة أمر لأم
في المعنى , yakni untuk menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Contoh:كأن
زيدًا اسدٌ
.
5.
ليت : Semoga, kiranya, mudah-mudahan atau barangkali;
berfungsi sebagai tamanny ( التمني ) , طلب ملا طهم فيه او ما فيه عسر
,yakni untuk mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin atau sulit dicapai. Contoh:
ليت زيدًا ذكيٌ .
6.
لعل : Semoga, mudah-mudahan atau agar; berfungsi sebagai tarajjiy
atau tawaqqu’ (الترجي ), طلب الأمر المحبوب
او الإشفاق في المكروه , yakni untuk mengharapkan sesuatu
yang mungkin atau mudah dicapai, atau menharapkan terjadinya sesuatu yang
disukai atau tidak terjadinya sesuatu yang
tidak dikehendaki. Contoh:
الحبيب
َقادمٌ
لعل atau لعل زيدا هالكٌ .
Inna atau sejenisnya merupakan ‘amil (penyebab)
lain terjadinya perubahan pada jumlah ismiyyah yang terdiri dari mubtada’
dan khabar. Perubahan yang terjadi apabila inna atau
sejenisnya memasuki mubtada’ dan khabar yaitu:
1.
Kalimah isim yang semula berkedudukan sebagai mubtada’ berubah
kedudukannya menjadi isim inna atau sejenisnya, dan kata yang semula
berkedudukan sebagai khabar berubah menjadi khabar inna atau yang
sejenisnya.
2.
تنصيب الاسم وترفع
الخبر , inna atau yang sejenisnya itu me-nashab-kan
isim-nya dan me-rafa’-kan khabar-nya. Maksudnya, sebagaimana telah diketahui
bahwa mubtada’ dan khabar harus dibaca rafa’ ( مرفوع
), maka ketika kedudukannya berubah, akan terjadi perubahan sebagai berikut:
isim inna atau sejenisnya harus dibaca nashab ( منصوب
), sedangkan khabar inna atau yang sejenisnya tetap harus dibaca rafa’ ( مرفوع ).
Isim inna atau yang sejenisnya terkadang berupa isim zhahir dan adakalanya
berupa isim dhamir, dan khabar inna atau yang sejenisnya
terkadang berupa kalimah isim (khabar mufrad), adakalanya berupa jumlah
ismiyyah atau jumlah fi’liyyah dan terkadang pula berupa jar-majrur.
Setiap kalimah isim yang berkedudukan sebagai isim
inna atau yang sejenisnya berupa isim zhahir, maka tanda nashab-nya
tergantung pada bentuk kalimah-nya. Begitupula setiap kalimah isim yang
berkedudukan sebagai khabar inna atau
yang sejenisnya berupa isim zhahir, maka tanda rafa’-nya
tergantung pula pada bentuk kalimah-nya.
Bentuk
|
اسم إن خبر إن
منصوب مرفوع
|
إن
|
الخبر
|
المبتدأ
|
|
Mufrad
Mufrad
Jama’ taksir
Jama’
muannats
Maqshur
Manqush
Mutsanna
Jama’ mudzakkar
Asma’
khamsah
|
غفورٌ
كريمةٌ
كرماءُ
كريماتٌ
كريمٌ
كريمٌ
كريمانِ
كريمتانِ
كريمونَ
ذو
علمٍ
اخوناَ
|
الله
َ
العابدةَ
العبادَ
العابداتِ
موسَى
القاضيَ
العابدينِ
العابدتينِ
العابدينَ
حماك
ابا
بكرٍ
|
إن
إن
إن
إن
إن
إن
إن
إن
إن
|
غفورٌ
كريمةٌ
كرماءُ
كريماتٌ
كريمٌ
كريمٌ
كريمانِ
كريمتانِ
كريمونَ
ذو علمٍ
اخوناَ
|
الله ُ
العابدةٌ
العبادُ
العابداتُ
موسَى
القاضىْ
العابدانِ
العابدتانِ
العابدونَ
حموك
ابو بكرٍ
|
Beberapa hal lain
menyangkut pembahasan ini antara lain:
1.
Khusus
pada khabar inna (bukan anna atau yang lainnya) boleh dimasuki lam
ta’kid (ل ,
artinya: benar-benar atau sungguh-sungguh), baik khabar-nya berupa kalimah
isim (khabar mufrad), jumlah, atau berupa jar-majrur.
Contoh:
-
QS.
81: 19; إِنَّهُ
لَقَوْلُ رَسُوْلٍ كَرِيْمٍ (Sesungguhnya ia
(Al-Qur’an) itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia
(jibril).
-
QS.
25: 20; اِلآّ
اِنَّهُمْ لَيَأْكُلُوْنَ الطَّعَامَ (…, melainkan mereka
sungguh (benar-benar) memakan makanan….
-
QS.
103: 2; اِنَّ
الإِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍ (Sesungguhnya manusia
itu benar-benar berada dalam kerugian)
2.
Jika أن dan كأن
di-takhfif ( تخفيف ), yakni dibaca ringan, ( أن dan كأن) maka isim
an dan ka’an harus berupa dhamir sya’an ( ضمير
الشأن ), yakni هُ , dan dhamir sya’an itu harus
dibuang (tidak ditampakkan), sedangkan khabar-nya harus berupa jumlah ismiyyah atau jumlah fi’liyyah. Khabar-nya
tidak boleh berupa kalimah isim (khabar mufrad) atau berupa jar-majrur,
seperti pada contoh:
- Kalimat Syahadat: أَشْهَدُ
اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ (Aku bersaksi bahwa sesungguhnya
samasekali tidak ada Tuhan selain Allah).
- QS. 10: 24; ... كَأَنْ
لَمْ تَغْنَ باِلاَْنْسِ (…, seakan-akan
tanaman itu belum pernah tumbuh kemarin…
Isim an dan ka’an pada
contoh tersebut adalah dhamir sya’an, yakni هُ yang dibuang, sehingga tidak ditemukan
artinya. Sekiranya dhamir itu ditampakkan maka akan dibaca أنه
dan كأنه . sedangkan khabar masing-masing, yaitu rangkaian kalimat
yang digarisbawahi berupa jumlah, yakni jumlah ismiyyah sebagai
khabar an dan jumlah fi’liyyah sebagai khabar ka’an.
2.
Jika
لَكِنَّ di-takhfif,
yakni dibaca لَكِنْ , maka ia tidak lagi mengakibatkan terjadinya perubahan pada mubtada’
dan khabar, tetapi ia berfungsi sebagai huruf ‘athaf, seperti halnya وَ .
Adapun
ketentuan inna yang dibaca kasrah hamzah-nya antara lain dapat
dijumpai dalam beberapa tempat dan syarat.
1. Apabila terletak di permulaan
kalimat, contoh: إن اللهَ معنا .
2. Apabila terletak di belakan حيث , contoh: اجلس حيث إن العلم موجود.
3. Apabila terletak di belakang اذ, contoh: جئت
اذ إن الشمس تطلع
.
4. Apabila terletak di belakang sumpah,
contoh: والله
إن العلم نور
.
5. Apabila terletak di belakang قول , contoh: قال
إني عبد الله
.
6. Apabila terletak di awal jumlah yang
menjadi الصفة
والاموصوف , contoh: جاءالذين
إنه مجتهد .
7. Apabila حال , contoh: جئت وإن الشمس تغرب .
8. Apabila ia adalah sifat dari kata
yang mendahuluinya, contoh: جاء رحل إنه كريم .
Pada
contoh tersebut, inna harus di-kasrah hamzah-nya karena kalimat
yang terletak setelahnya tidak boleh diubah menjadi mashdar bersama
dengannya untuk menggantikan tempatnya. Sebaliknya, harus dibaca anna yang
di-fathah hamzah-nya apabila ia dan kalimat setelahnya dapat diubah
menjadi mashdar untuk menggantikan tempatnya.
KEPUSTAKAAN
1. Dikatakan the
second language karena bahasa tersebut dipelajari setelah bahasa ibu yang
dikategorikan the first language, sementara bahasa asing adalah bahasa
yang dipelajari setelah bahasa kedua, lihat Yudi Cahyono, Kristal-kristal
Bahasa (Cet. I; Surabaya: Airlangga pers, 1995), h. 14.
2. Lihat Azhar
Arsyad, Suatu Penafsiran Psikodinamik terhadap Metodologi Pengajaran Bahasa
Asing Inovatif (Jakarta: al-Qushwa, 1989), h. 1.
3. Chatibul
Umam, Aspek-aspek Fundamental dalam Bahasa Arab (Cet. I; Bandung: PT.
Alma’arif, 1980), h. 15.
4. Musthafa
Ghalayayny, Jami al-Durus al-Arabiyyah, Juz I (Cet. XXI; Beirut:
al-Maktabah al-Ashriyyah, 1987), h. 313-315.
5. Akrom Fahmi,
Ilmu Nahwa dan Sharaf 3; Tata Bahasa Arab
(Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), h.
180-185.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar