Sabtu, 22 Februari 2014

Eksistensi Maslahat dan Mafsadat



Eksistensi Maslahat dan Mafsadat dalam Diktum-Diktum Syariah

Pendahuluan
Dalam kehidupan manusia tidak jarang terjadi kekeliruan dalam memprioritaskan aktivitasnya yang sebenarnya dapat mengorbankan amalan lain, bahkan acapkali menimbulkan mudarat yang dapat merugikan diri sendiri dan masyarakat banyak. Hal ini sering dilakukan karena kesengajaan tanpa ada kesadaran moral, ataupun karena ketidaksengajaan disebabkan ketidaktahuan terhadap tuntunan agama dan kaidah-kaidah umum dalam mewujudkan kemaslahatan dan mencegah kemudaratan.
Banyak kasus terjadi yang dapat menjadi contoh representatif dalam mendukung hipotesis tersebut, antara lain bahwa sebagian umat Islam bahkan mayoritas dari mereka dengan egoisme pribadi lebih asyik dengan ritual pribadi seperti melaksanakan shalat tapi mengabaikan ibadah sosial, tidak peduli pada kesejahteraan dan kemaslahatan umum seperti meningkatkan kualitas keimanan dan kesadaran masyarakat, bakti sosial dengan kebersihan dan memberantas kemiskinan, partisipasi aktif dalam mewujudkan keadilan, perdamaian serta keutuhan masyarakat, bangsa dan negara.
Dengan perasaan kagum dan bangga ada segelintir orang yang menunaikan ibadah haji beberapa kali dengan mengeluarkan materi yang demikian banyak, sementara mungkin ada masalah-masalah sosial yang sangat mendesak untuk dibenahi, seperti kebutuhan masyarakat banyak sebagaimana yang dipaparkan tersebut. Sekiranya dana itu dikumpul dan dikelola secara profesional untuk kepentingan Islam, akan dapat membuka jalan untuk lebih memajukan kualitas umat. Allah Swt berfirman:
أَجَعَلْتُمْ سِقَايَةَ الْحَاجِّ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ كَمَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَجَاهَدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَوُونَ عِنْدَ اللَّهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ . الَّذِينَ ءَامَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ أَعْظَمُ دَرَجَةً عِنْدَ اللَّهِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ  التوبة أَجَعَلْتُمْ سِقَايَةَ الْحَاجِّ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ كَمَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَجَاهَدَ فِي سَبِيلِ اللّهِ لاَ يَسْتَوُونَ عِندَ اللّهِ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ ﴿١٩﴾ الَّذِينَ آمَنُواْ وَهَاجَرُواْ وَجَاهَدُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ أَعْظَمُ دَرَجَةً عِندَ اللّهِ وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ ﴿٢٠﴾
(Apakah orang-orang yang memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus masjidilharam kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah, dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum zalim. Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah, itulah orang-orang yang mendapat keuntungan). Q.S. al-Taubah/9:19-20.
Dengan demikian, jihad yang dalam hal ini amar ma’ruf nahi munkar dengan pengertian yang lebih luas mencakup segala dimensi kehidupan manusia, sepatutnya lebih diprioritaskan daripada kewajiban-kewajiban lain.
Dalam hal ibadah shalat, ada kecenderungan sebagian orang lebih mengkhusyukkan diri pada shalat sunnat daripada shalat wajib, padahal ibadah sunat dapat menjadi sempurna jika ibadah wajib telah terpenuhi. Syatibi menyatakan, d..konsisten pada ibadah sunat dan tidak mengakibatkan rusaknya ibadah yang lebih tinggi nilai perintahnya, bukanlah hal yang muskil.[1] Pada bulan Ramadhan mayoritas umat Islam bepuasa menahan lapar, tapi dari sekian banyak yang berpuasa ada yang tidak mendirikan shalat, dan banyak lagi kasus-kasus yang terjadi baik dalam ibadah ritual maupun kenyataan sosial masyarakat. Kehidupan seperti ini merupakan fenomena yang membawa kepada kehidupan yang tidak stabil, akan membawa kekacauan dan ketimpangan.

Pembahasan
Diktum berasal dari kata ddictumd, berarti: An authoritative utterence or pronouncement; a saying or maxim. Law, an expression of opinion by judge on a legal point aside from the issues of the case under consideration; also obiter dictum.[2] Pernyataan atau ungkapan yang memiliki otoritas, bernilai semboyan, aksioma (kaidah). Hukum, gagasan atas sikap dari hakim sebagai penunjukan yang sah atas berbagai kasus yang ada setelah melalui pertimbangan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan, Diktum: ucapan (pernyataan) resmi. Keputusan; bagian dari ketetapan yang mengandung keputusan. Hukum bagian yang memuat hal yang ditetapkan di putusan pengadilan; amar putusan.[3]
Syari’ah menurut bahasa, berarti tempat yang dialiri air tanpa henti-hentinya, tidak membutuhkan alat untuk mengalirkannya. Menurut terminologi bermakna segala sesuatu yang disyari’atkan Allah untuk hamba-Nya berupa agama dengan melaksanakan perintah-Nya seperti shalat, puasa, haji dan sebagainya.[4] Syari’ah juga dapat berarti segala yang berkaitan dengan hukum taklif yang sifatnya aplikatif, karena itu terformulasi dalam bentuk perintah, larangan Hudud dan faraid.[5]
Ditum-diktum syari’ah yang dimaksud dalam tulisan ini adalah kaidah-kaidah fiqh, kaidah-kaidah usul dan dhawabit fiqh. Penulis berasumsi bahwa istilah diktum-diktum Syari’ah mencakup tiga hal tersebut, sekalipun dalam istilah hukum modern semua itu dapat dikategorikan sebagai Kaidah,[6] namun dalam referensi fiqh dan usul-nya, istilah kaidah (qa’idah) fiqh dibedakan antara dhawabit fiqh, apalagi perbedaan itu nampak kontras jika diperbandingkan dengan kaidah usul. Karena itu, efesiensi penggunaan diktum dan dihubungkan dengan syari’ah dapat mewakili tiga istilah tersebut.
Maslahah[7] (maslahat/unrestricted interest) secara etimologi berasal dari bahasa arab yang setimbang maf’alah dan searti dengan manfa’ah, bentuk jamak Maslahah yaitu masalih. Segala sesuatu yang dapat mendatangkan keuntungan dan dapat menjauhkan dari bencana, dikategorikan sebagai maslahat.[8]
 Setiap manusia menginginkan kondisi aman terhindar dari malapetaka yang dapat mengancam stabilitas jiwa dan raganya, dengan mengharapkan kemasalahatan yang didambakan. Karena itu, terlepas dari konsep syari’ah Islam, konsep maslahat sangat relatif adanya, sesuai orientasi setiap individu dan aliran-aliran dari faham tertentu yang memaknainya. Ada yang memfokuskan maslahat dengan berorientasi pada dunia semata atau hal-hal yang bersifat material. Ada pula yang hanya berfokus pada kebutuhan biologis manusia semata tanpa peduli dengan hal yang bersifat spritual, dan sebagainya.
            Maslahat secara umum dalam konteks duniawi maupun ukhrawi dapat dikelompokkan pada dua bagian; pertama, kelezatan atau kenyamanan dan segala hal yang berkaitan dengannya, dan kedua, kegembiraan dan segala yang berkaitan dengannya. Sedangkan mafsadat juga dibagi atas kesengsaraan atau kesusahan dan segala yang berkaitan dengannya, dan yang kedua adalah duka dan segala yang berkaitan dengannya.[9]  
Maslahat, lebih ekslusif dalam terminologi Islam berarti manfaat yang menjadi tujuan syari’ah, tercakup dalam tujuh hal, yakni a) memelihara agama, b) memelihara jiwa, c) memelihara akal, d) memelihara keterunan, dan e) memelihara harta, f) memelihara lingkungan, dan g) memelihara keutuhan jamaah. Tujuh hal tersebut diurut sesuai dengan prioritas tingkat urgensinya. Merasakan dampak positif dari pemeliharaan tujuh hal tersebut, dan menghindari dampak negatif akibat tidak adanya penjagaan dari ketujuh hal tersebut adalah manfaat atau maslahat yang menjadi tujuan syari’ah Islam.[10]
Adapun spesifikasi Maslahah dalam syari’ah Islam dapat dilihat sebagai berikut: Pertama, maslahat dan mafsadat tidak hanya terbatas pada kehidupan dunia saja, tapi mencakup juga kehidupan akhirat. Adanya spesifik seperti ini menunjukkan bahwa aktifitas manusia hasilnya bukan hanya diperoleh di dunia tapi juga di akhirat. Kedua, maslahat bukan hanya dirasakan dalam bentuk material saja, tapi dapat meliputi pada dua dimensi yaitu jasmani dan rohani, hal ini terjadi karena maslahat yang ditetapkan syari’ah sebagai pemenuhan kebutuhan dan tuntutan fitrah manusia.
Terlepas dari pro dan kontra ulama kalam tentang apakah Allah bertindak didasari atas tujuan atau maksud tertentu, yang jelas bahwa dalam pandangan syari’ah, aplikasi nilai-nilai ajaran Islam adalah hal yang mutlak bersentuhan dengan manusia sebagai mukallaf. Perintah dan larangan itu tentu didasari pada sebuah maslahat yakni kebahagiaan yang kembalinya kepada manusia sendiri.[11]
Dengan konsepsi Maslahah, perintah dan larangan dapat diklasifikasi dalam tingkatan hukumnya, secara detail Syatibi menyatakan:[12]
الاوامر والنواهى فى التأكيد ليست على رتبة واحدة فى الطلب الفعلي أو التركي وانما ذلك بحسب تفاوت المصالح الناشئة عن امتثال الاوامر واجتناب النواهى.
Secara pasti, perintah dan larangan tidak sama dalam satu tingkatan baik tuntutan untuk mengerjakan atau perintah untuk meninggalkan, yang membedakan adalah dampak maslahat mengerjakan perintah dan meninggalkan larangan.
Dengan demikian, perintah maupun larangan yang terdapat dalam syari’ah adalah untuk kepentingan dan kemaslahatan manusia baik kapasitasnya sebagai mashalih Syari’ah (essentials), mashalih Hajiyah (complementary) ataupun mashalih taHsiniyah (embellishments).[13]   
Hal yang cukup krusial adalah menetapkan ukuran suatu perbuatan untuk dianggap maslahat atau mafsadat. Sebab adalah sebuah fakta untuk ukuran dunia bukan ibadah, bahwa suatu maslahat duniawi bukanlah hal yang mustahil di dalamnya terdapat kerugian, kesusahan, dan sebagainya. Orang yang ingin memiliki kendaraan tentunya tidak begitu saja diperoleh, tapi harus melalui kerja keras untuk mendapatkan dana sesuai dengan harga kendaraan yang diinginkan. Setelah memiliki kendaraan tersebut ia butuh dana untuk perbaikan jika terdapat kerusakan dan yang pasti alokasi dana untuk bahan bakarnya.
Untuk ukuran maslahat syari’ah, Syatibi membuat neraca perbandingan antara maslahat dan mafsadat dengan sebuah konsep jihah galibah (sesuatu yang dominan) dan jihah maglubah (sisi yang terkalahkan), berikut pernyataan Syatibi:[14]
المصلحة اذا كانت هي الغالبة عند مناظرتها مع المفسدة فهي المقصود شرعا, والمفسدة اذاكانت هي الغالبة بالنظر الى المصلحة فرفعها هو المقصود شرعا
Maslahat apabila dominan jika dipersandingkan dengan mafsadat, maka ia menjadi patokan, namun jika mafsadat lebih menonjol, maka ia tidak dapat dijadikan landasan.
Jika manfaat (nilai positif)-nya lebih dominan daripada mudarat (kerusakan) yang ditimbulkan, dikategorikan sebagai maslahat. Jika sebaliknya yang terjadi, mudarat (kerusakan) yang ditimbulkan lebih dominan dari faedahnya, digolongkan sebagai mafasadat. Jika satu perbuatan seimbang antara masalahat dan mafsadatnya, kedudukannya manjadi mubah.
Apresiasi positif manusia terhadap perintah adalah ketaatan dan melakukan pelanggaran adalah maksiat. Adalah wajar, ketaatan dan maksiat bervariasi tingkatannya sesuai dengan tingkatan maslahat dan mafsdatnya. Syatibi menyatakan:
ان الطاعة او المعصية تعظم بحسب عظم المصلحة او المفسدة الناشئة عنها[15]
Taat dan maksiat berfluktuasi sesuai dengan ukuran maslahat dan mafsadat yang ditimbulkan.
Adapun kategorisasi maslahat-mafsadat dalam bentuk aplikasi dan konsekuensi hukum dapat dilihat dari hukum taklif kepada enam bagian dimulai dari wajib, mandub, haram, makruh tahrim, makruh tanzih, dan mubah. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa mashalih terdapat pada tiga bagian; mashalih mubahat, mashalih mandubat, mashalih wajibat. Begitu pula mafasid, berupa mafasid makruhat dan mafasid muharramat.[16]
Semakin tinggi kadar sebuah perintah yang dalam hal ini wajib, semakin tinggi pula nilai maslahat yang dikandung, hingga pada urutan mandub dan bahkan mubah. Demikian pula semakin tinggi kadar larangan yang dalam hal ini haram dengan berbagai tingkatannya hingga pada makruh, akan bervariasi pada tingkat mudarat yang ditimbulkannya. Sebagai konsekuensi hukum yang ditimbulkan, diberi balasan berupa pahala yang merealisasikan perintah sesuai dengan kadarnya, dan bagi yang tidak merealisasikannya dikenakan sanksi atau dosa akibat mafsadat yang ditimbulkannya karena meninggalkan maslahat.   
Perintah menurut sasaran pelakunya dibagi atas beberapa hal: Pertama, wajib atau fardu kifayah yang lebih bersifat kolektif dan wajib ‘ain atau keharusan yang bersifat person. Kedua, sunat kifayah seperti azan, iqamat, memberi salam, dan sebagainya, dan sunat ‘ain seperti shalat rawatib dan sebagainya. Dari tingkatan prioritasnya, yang lebih utama didahulukan dapat dilihat dari tingkat urgensi dan efek yang dikandung dari maslahat dan mafsadat. Tingkatan itu dimulai dari afdhal al-mashalih (lebih utama), mashalih al-mafdul (tingkatan rendah) dan fadhil (tengah: antara afdhal dangan mafdhul).
Dalam sejarah tabi’tabi’in, perilakunya yang selalu mengedepankan persatuan umat Islam (tawhid shufuf al-muslimin), mereka bepandangan bahwa persaudaraan dalam seagama dan menjadikan hati mereka saling terpaut adalah hal paling utama daripada yang lainnya. Karena itu pula mereka rela untuk tidak mengamalkan pendapatnya ketika melaksanakan ibadah secara bersama, sekalipun menurutnya pendapatnya yang paling benar. Ada sebuah prinsip yang mereka  tanamkan dalam beribadah secara berjama’ah yaitu:فعل المفضول وترك الفاضل  bahwa rela mengerjakan atau mengamalkan pendapat yang menurutnya tidak kuat dasarnya dan meninggalkan pendapat yang dasarnya lebih kuat.
Dengan sikap seperti itu, akan terlihat suasana toleransi dan saling menghargai dalam melaksanakan ibadah. Seorang imam yang tidak men-jahar (membesarkan suara) basmalah dapat diikuti oleh makmum yang men-jahar basmalah, sekalipun membaca menurutnya afdal. Seorang imam yang membaca qunut ketika shalat subuh mengimami makmum yang menganggap bahwa qunut bukan sunat dalam shalat. Ulama klasik melakukan seperti ini, sebab bagi mereka mempermaslahkan fur­’iyyah akan membawa pada perpecahan internal umat.
Para imam mazhab seperti Imam Ahmad dan sebagainya berpendapat ….sebaiknya seorang imam meninggalkan yang afdal demi untuk menyatukan hati orang mukmin, dalam hal shalat witir, imam sebaiknya mengikuti kondisi makmum yang tidak shalat witir kecuali dengan cara fashl yakni menyisakan satu raka’at di akhir shalat.[17] 
Kenyataan seperti ini terkadang nampak sulit ditemukan sekarang ini, justru sebaliknya yang terjadi, ada orang mengaku pengikut Syafi’i tapi dlebih Syafi’id dari Imam Syafi’i, dlebih Hanbald dari dari Imam Hanbal dan sebagainya. Fenomena yang muncul di tangah masyarakat terkadang memperuncing masalah yang sifatnya khilafiyah (perbedaan pandangan), bahkan menjadi ajang perdebatan internal umat. Upacara-upacara (tahniah dan ta’ziah) dengan tardisi dan ritual tertentu, rangkaian-rangkaian shalat seperti baca basmalah, qunut, do’a bersama setelah shalat dan sebagainya, masalah pakaian, memelihara jenggot dan sebagainya adalah masih menjadi lahan dan sumber perselisihan yang berdampak pada pengkotak-kotakan dalam tubuh umat Islam, dengan saling menyalahkan tanpa berusaha melihat kondisi seperti itu merupakan khazanah Islam yang memberi hidup secara variatif. 
Kasus-kasus yang ditampilkan tersebut, dan banyak lagi kasus yang akan muncul dalam kehidupan manusia yang demikian kompleks, jika manusia tidak mampu menyelesaikan dengan memilih aktifitasnya dalam skala prioritas kepentingan, dipastikan akan terjadi kepincangan dalam kehidupannya.
Ini memberi ilustrasi sederhana namun cukup substantif tentang bagaimana sulitnya sebagian orang menempatkan nilai-nilai hidup dalam susunan maslahat-mafsadat, besar-kecil, tinggi-rendah, primer-sekunder, universal-partikular, secara tepat dan benar, dan bagaimana ketimpangan itu dapat berakibat pada pembelengguan mental dan ritual ibadah.[18]
Memang ayat-ayat al-Qur’an tidak tampil dengan rinci memecahkan masalah secara prioritatif, namun demikian, secara umum prinsip dan pokok-pokok masalah terdapat dalam al-Quran. Dengan demikian setiap peristiwa yang dihadapi manusia jalan penyelesaiannya akan didapatkan dalam al-Qur’an. Ayat-ayat yang menunjukkan hukum yang agak rinci biasanya terdapat pada ayat ibadah dan hukum keluarga, sementara yang berkaitan dengan hukum kebendaan, ekonomi, perjanjian, kenegaraan dan sebagainya berbentuk prinsip-prinsip dasar.
Kiranya agama tidak berhenti pada masalah-masalah yang sudah jelas hukumnya semata, maka dibukalah pintu ijtihad dengan mengoptimalkan segala daya dan kemampuan untuk memahami nash al-Qur’an dan Sunah. Oleh karena itu, dengan pendekatan linguistik (lugawiyah) dan pendekatan hukum (tasyri’iyyah), para usuliyyin dan fuqaha berusaha menetapkan qawa’id fiqhiyah, qawa’id ushuliyah dan dhawabit fiqhiyah, yang selanjutnya dinamakan dengan diktum-diktum syari’ah atau kaidah-kaidah hukum.

Kesimpulan
Dimensi-dimensi Islam yang mencakup akidah dan syari’ah, ahkam taklif, maqashid syari’ah, qath’i dan zhanni menjadi instrumen utama dan indikasi kuat dalam membangun konsepsi prioritas, yang kemudian dielaborasi dalam bentuk diktum-diktum syari’ah (kaidah-kaidah hukum). Diharapkan dapat diaplikasikan bagi penataan entitas dinamika kehidupan manusia, menjadi parameter dalam beperilaku dalam mendahulukan beberapa alternatif sesuai dengan tuntunan syari’ah.
Konsep prioritas dalam Islam yang dimaksud adalah mengklasifikasi berbagai aktifitas yang menuntut skala prioritas dalam dua langkah; langkah aktif dan inovatif yakni mendahulukan salahsatu dari berbagai pilihan yang patut didahulukan, dan langkah pasif dan preventif meninggalkan hal yang patut dan harus ditinggalkan. Maka dalam konteks instrumen-instrumen tersebut, seseorang akan lebih arif dalam menyikapi perintah antara wajib dan sunat, bijaksana menyikapi antara haram dan makruh, Islam yang besifat ushul dan Islam yang yang bersifat furu’, sesuatu yang bersifat kebutuhan dan sesuatu yang bersifat pelengkap, maslahat (kepentingan) umum atau pribadi dan seterusnya. Dengan perkataan lain, konsep ini memberi ilustrasi sederhana namun cukup substantif tentang bagaimana menempatkan nilai-nilai hidup dalam susunan maslahat-mafsadat, besar-kecil, primer-sekunder, universal-partikular, secara tepat dan benar, dan bagaimana ketimpangan itu dapat berakibat fatal pada aktifitas rutin, sosial dan ritual manusia. Orientasi utama bukan lagi pada hal yang sifatnya formalistik, akan tetapi lebih bersifat substansialistik, makna (konteks) lebih utama daripada lafal (teks).


[1]Al-Syatibi, t.th.: 321.
[2]The Lexion Webster Dictionary, 1978: 278.
[3]Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1995: 234.
[4]al-Qardhawi, 1993: 9. 
[5]Yusuf Hamid Alim, t.th.: 19.   
[6]Kaidah: Rumusan asas-asas yang menjadi hukum aturan yang sudah pasti; patokan; dalil. Lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia: 430.
[7]Peranan Maslahat dalam konsep Islam sangat beragam sesuai dengan kontribusi ulama dalam memaknainya. Jumhur ulama lebih condong menempatkan masalahat digolongkan dalam urutan sumber hukum ijtihad. Lihat, Ali Hasbullah, 1982: 132. Sebagian lainnya mengurutkan setelah qaul sahabi pada posisi keenam dan istishab pada posisi kedelapan. Lihat, al-Tufi, 1993: 14. Al-Tufi berpandangan lain, dari kesembilan belas dalil syari’ah, yang paling kuat ke-hujjah-annya adalah nas dan ijma’, namun jika nas dan ijma’ betentangan dengan maslahat, maka yang diutamakan adalah maslahat sebagai penjelas atas maksud nas dan ijma’, bukan dalam rangka membatalkan (ta’lil). Bagi Tufi, maslahat yang dapat diketahui hamba, arealnya hanya berkisar pada masalah muamalah, dapat diketahui melalui akal pikiran manusia. Semantara hal yang bersifat ibadah, yang lebih mengetahui persis secara mutlak adalah Allah. Imam Malik yang dalam manhaj hukumnya juga menerapkan maslahah mursalah dengan beberapa kriteria antara lain: a) Sejalan dengan maqasid syari’ah, b) Maslahat tersebut tidak bertentangan dengan akal sehat, dan c) Keberadaanya dapat menjamin sebuah kehidupan yang stabil sesuai tuntutan syari’ah. Lihat Sabri al-Asyukh, 1997: 148.  
[8]Ibn Manzur, 1993:31. Lihat pula; Said Ramadhan al-Buti, 1992: 27.
[9]‘Izzuddin Abdu al-Salam, 1990: 12. Lihat pula ‘Izzuddin Abdu al-Salam, 1996: 111. Sebagaimana di bawah ini:
"كل ما غم وآلم فهي مفسدة"
Segala yang dapat meyengsarakan dan membuat pedih adalah mafsadat”.
"كل ما كان وسيلة الى غم او الى آلم دنيوي او أخروي فهو مفسدة لكونه سببا للمفسدة"
Segala apa yang mengantar kepada kesengsaraan dan kepedihan dunia maupun akhirat adalah mafsadat, karena mengantar ke sana”.
"كل ما كان وسيلة الى فرح او لذة عاجلة او آجلة فهو مصلحة"
Segala yang mengantar kegembiraan dan kenikmatan lambat atau cepat adalah maslahat”.
[10]al-Buli, Dawabith…: 27. Abu Zahrah, t.th.: 366. Tambahan dua hal (memelihara lingkungan dan jamaah) merupakan tambahan berdasarkan penelitian penulis.
[11]Ada banyak dalil al-Qur’an yang menjelaskan bahwa Allah berbuat karena ada maksud tertentu yang ingin dicapai anatara lain pada Q.S. al-Anbiya/21:107 (Tiadalah Kami mengutus kamu melainkan sebagai rahmat kepada seluruh alam raya), begitupula pada Q.S. al-Jatsiyah/45:20 (Sesungguhnya Allah memerintahkan keadilan dan kebaikan dan memberi kepada kerabat serta mencegah kekejian, kemungkaran dan bagy agar kalian mengingat).
[12]al-Syatibi, t.th.: 138.
[13]Pembahasan ini sangat erat dengan maqasid syari’ah, Lihat, Muhammad Abu Zahrah, 1964: 42.
[14]Syatibi, al-Muwafaqat, Juz ke 2: 17.
[15]Syatibi, al-Muwafaqat, Juz ke 2: 209.
[16]‘Izzuddin Abdu al-Salam, Qawa’id al-Ahkam: 9. Wacana maslahat-mafsadat kaitannya dengan perintah-larangan, ‘Izzuddin menyatakan dalam beberapa kaidah di bawah ini: Lihat ‘Izzuddin Abdu al-Salam, al-Fawaid fi Ikhtisar: 51.
"كل مصلحة أوجبها الله عز وجل فتركها مفسدة محرمة"
Semua maslahat yang diwajibkan oleh Allah Swt maka meninggalkannya adalah mafsadat (dengan tingkatan) haram”.
كل مفسدة حرمها الله تعالى فتركها مصلحة واجبة
Semua mafsadat yang Allah Swt. haramkan maka meninggalkannya adalah maslahat (dengan tingkatan) wajib”.
"كل مفسدة كرهها الله فتركها مفسدة غير محرمة"
Semua mafsadat yang Allah Swt makruhkan maka meninggalkannya adalah mafsadat yang tidak sampai pada haram”.
"كل مصلحة ندب الله سبحانه وتعالى اليها فتركها قد يكون مفسدة مكروهة وقد لا يكون مكروهة"
Semua maslahat yang Allah SWT anjurkan maka meninggalkanya adalah mafsadat yang kadang bernilai makruh dan kadang pula tidak bernilai makruh”.
"كل مصلحة خالصة عن المفاسد فهي واجبة او مندوبة او ما دونه"
Semua maslahat yang murni tanpa mengandung mafsadat adalah wajib atau mandub”.
"كل مفسدة خالصة من المصالح فهي محرمة او مكروهة"
Semua mafsadat murni tanpa mengandung maslahat adalah haram atau makruh“.
[17]Abu ‘Asim, 1991: 26.
[18]Nurcholis Madjid, 1995:37.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar