Eksistensi
Maslahat dan Mafsadat dalam Diktum-Diktum Syariah
Pendahuluan
Dalam kehidupan manusia tidak jarang terjadi
kekeliruan dalam memprioritaskan aktivitasnya yang sebenarnya dapat
mengorbankan amalan lain, bahkan acapkali menimbulkan mudarat yang dapat
merugikan diri sendiri dan masyarakat banyak. Hal ini sering dilakukan karena
kesengajaan tanpa ada kesadaran moral, ataupun karena ketidaksengajaan
disebabkan ketidaktahuan terhadap tuntunan agama dan kaidah-kaidah umum dalam
mewujudkan kemaslahatan dan mencegah kemudaratan.
Banyak kasus terjadi yang dapat menjadi contoh representatif dalam
mendukung hipotesis tersebut, antara lain bahwa sebagian umat Islam bahkan
mayoritas dari mereka dengan egoisme pribadi lebih asyik dengan ritual pribadi
seperti melaksanakan shalat tapi mengabaikan ibadah sosial, tidak peduli pada
kesejahteraan dan kemaslahatan umum seperti meningkatkan kualitas keimanan dan
kesadaran masyarakat, bakti sosial dengan kebersihan dan memberantas
kemiskinan, partisipasi aktif dalam mewujudkan keadilan, perdamaian serta
keutuhan masyarakat, bangsa dan negara.
Dengan perasaan kagum dan bangga ada segelintir orang yang menunaikan
ibadah haji beberapa kali dengan mengeluarkan materi yang demikian banyak,
sementara mungkin ada masalah-masalah sosial yang sangat mendesak untuk
dibenahi, seperti kebutuhan masyarakat banyak sebagaimana yang dipaparkan
tersebut. Sekiranya dana itu dikumpul dan dikelola secara profesional
untuk kepentingan Islam, akan dapat membuka jalan untuk lebih memajukan
kualitas umat. Allah Swt
berfirman:
أَجَعَلْتُمْ سِقَايَةَ
الْحَاجِّ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ كَمَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَجَاهَدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَوُونَ عِنْدَ
اللَّهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ . الَّذِينَ ءَامَنُوا وَهَاجَرُوا
وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ أَعْظَمُ
دَرَجَةً عِنْدَ اللَّهِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ التوبة أَجَعَلْتُمْ سِقَايَةَ الْحَاجِّ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
كَمَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَجَاهَدَ فِي سَبِيلِ اللّهِ لاَ يَسْتَوُونَ
عِندَ اللّهِ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ ﴿١٩﴾ الَّذِينَ آمَنُواْ
وَهَاجَرُواْ وَجَاهَدُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ أَعْظَمُ
دَرَجَةً عِندَ اللّهِ وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ ﴿٢٠﴾
(Apakah
orang-orang yang memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan haji dan
mengurus masjidilharam kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada
Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di
sisi Allah, dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum zalim. Orang-orang
yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan
diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah, itulah orang-orang
yang mendapat keuntungan). Q.S. al-Taubah/9:19-20.
Dengan
demikian, jihad yang dalam hal ini amar ma’ruf nahi munkar dengan
pengertian yang lebih luas mencakup segala dimensi kehidupan manusia,
sepatutnya lebih diprioritaskan daripada kewajiban-kewajiban lain.
Dalam hal
ibadah shalat, ada kecenderungan sebagian orang lebih mengkhusyukkan diri pada
shalat sunnat daripada shalat wajib, padahal ibadah sunat dapat menjadi sempurna jika
ibadah wajib telah terpenuhi. Syatibi menyatakan, d..konsisten pada ibadah
sunat dan tidak mengakibatkan rusaknya ibadah yang lebih tinggi nilai
perintahnya, bukanlah hal yang muskil.[1]
Pada bulan Ramadhan mayoritas umat Islam bepuasa menahan lapar, tapi dari
sekian banyak yang berpuasa ada yang tidak mendirikan shalat, dan banyak lagi
kasus-kasus yang terjadi baik dalam ibadah ritual maupun kenyataan sosial
masyarakat. Kehidupan seperti ini merupakan fenomena yang membawa kepada
kehidupan yang tidak stabil, akan membawa kekacauan dan ketimpangan.
Pembahasan
Diktum
berasal dari kata ddictumd, berarti: An authoritative utterence or
pronouncement; a saying or maxim. Law, an expression of opinion by judge on a
legal point aside from the issues of the case under consideration; also obiter
dictum.[2] Pernyataan atau ungkapan yang
memiliki otoritas, bernilai semboyan, aksioma (kaidah). Hukum, gagasan atas
sikap dari hakim sebagai penunjukan yang sah atas berbagai kasus yang ada
setelah melalui pertimbangan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
dijelaskan, Diktum: ucapan (pernyataan) resmi. Keputusan; bagian dari ketetapan
yang mengandung keputusan. Hukum bagian yang memuat hal yang ditetapkan di
putusan pengadilan; amar putusan.[3]
Syari’ah
menurut bahasa, berarti tempat yang dialiri air tanpa henti-hentinya, tidak
membutuhkan alat untuk mengalirkannya. Menurut terminologi bermakna segala
sesuatu yang disyari’atkan Allah untuk hamba-Nya berupa agama dengan
melaksanakan perintah-Nya seperti shalat, puasa, haji dan sebagainya.[4] Syari’ah juga dapat berarti
segala yang berkaitan dengan hukum taklif
yang sifatnya aplikatif, karena itu terformulasi dalam bentuk perintah,
larangan Hudud dan faraid.[5]
Ditum-diktum syari’ah yang dimaksud dalam tulisan
ini adalah kaidah-kaidah fiqh, kaidah-kaidah usul dan dhawabit
fiqh. Penulis berasumsi bahwa istilah diktum-diktum Syari’ah mencakup tiga hal
tersebut, sekalipun dalam istilah hukum modern semua itu dapat dikategorikan
sebagai Kaidah,[6] namun dalam referensi fiqh dan
usul-nya, istilah kaidah (qa’idah) fiqh dibedakan antara dhawabit
fiqh, apalagi perbedaan itu nampak kontras jika diperbandingkan dengan kaidah usul.
Karena itu, efesiensi penggunaan diktum dan dihubungkan dengan syari’ah dapat
mewakili tiga istilah tersebut.
Maslahah[7]
(maslahat/unrestricted interest) secara etimologi berasal dari bahasa
arab yang setimbang maf’alah dan searti dengan manfa’ah, bentuk
jamak Maslahah yaitu masalih. Segala sesuatu yang dapat
mendatangkan keuntungan dan dapat menjauhkan dari bencana, dikategorikan
sebagai maslahat.[8]
Setiap manusia menginginkan kondisi aman
terhindar dari malapetaka yang dapat mengancam stabilitas jiwa dan raganya,
dengan mengharapkan kemasalahatan yang didambakan. Karena itu, terlepas dari
konsep syari’ah Islam, konsep maslahat sangat relatif adanya, sesuai orientasi
setiap individu dan aliran-aliran dari faham tertentu yang memaknainya. Ada
yang memfokuskan maslahat dengan berorientasi pada dunia semata atau hal-hal
yang bersifat material. Ada pula yang hanya berfokus pada kebutuhan biologis
manusia semata tanpa peduli dengan hal yang bersifat spritual, dan sebagainya.
Maslahat
secara umum dalam konteks duniawi maupun ukhrawi dapat dikelompokkan pada dua
bagian; pertama, kelezatan atau kenyamanan dan segala hal yang berkaitan
dengannya, dan kedua, kegembiraan dan segala yang berkaitan dengannya.
Sedangkan mafsadat juga dibagi atas kesengsaraan atau kesusahan dan segala yang
berkaitan dengannya, dan yang kedua adalah duka dan segala yang
berkaitan dengannya.[9]
Maslahat, lebih ekslusif dalam terminologi
Islam berarti manfaat yang menjadi tujuan syari’ah, tercakup dalam tujuh hal, yakni a) memelihara agama, b)
memelihara jiwa, c) memelihara akal, d) memelihara keterunan, dan e) memelihara harta, f) memelihara lingkungan, dan g) memelihara keutuhan
jamaah. Tujuh hal
tersebut diurut sesuai dengan prioritas tingkat urgensinya. Merasakan dampak
positif dari pemeliharaan tujuh
hal tersebut, dan menghindari dampak negatif akibat tidak adanya penjagaan dari
ketujuh hal tersebut
adalah manfaat atau maslahat yang menjadi tujuan syari’ah Islam.[10]
Adapun spesifikasi Maslahah dalam syari’ah
Islam dapat dilihat sebagai berikut: Pertama, maslahat dan mafsadat
tidak hanya terbatas pada kehidupan dunia saja, tapi mencakup juga kehidupan
akhirat. Adanya spesifik seperti ini
menunjukkan bahwa aktifitas manusia hasilnya bukan hanya diperoleh di dunia
tapi juga di akhirat. Kedua, maslahat bukan hanya dirasakan dalam bentuk
material saja, tapi dapat meliputi pada dua dimensi yaitu jasmani dan rohani,
hal ini terjadi karena maslahat yang ditetapkan syari’ah sebagai pemenuhan
kebutuhan dan tuntutan fitrah manusia.
Terlepas
dari pro dan kontra ulama kalam tentang apakah Allah bertindak didasari atas
tujuan atau maksud tertentu, yang jelas bahwa dalam pandangan syari’ah,
aplikasi nilai-nilai ajaran Islam adalah hal yang mutlak bersentuhan dengan
manusia sebagai mukallaf. Perintah dan larangan itu tentu didasari pada sebuah
maslahat yakni kebahagiaan yang kembalinya kepada manusia sendiri.[11]
Dengan
konsepsi Maslahah, perintah dan larangan dapat diklasifikasi dalam
tingkatan hukumnya, secara detail Syatibi menyatakan:[12]
الاوامر والنواهى فى التأكيد ليست على رتبة واحدة فى الطلب
الفعلي أو التركي وانما ذلك بحسب تفاوت المصالح الناشئة عن امتثال الاوامر واجتناب
النواهى.
Secara
pasti, perintah dan larangan tidak sama dalam satu tingkatan baik tuntutan
untuk mengerjakan atau perintah untuk meninggalkan, yang membedakan adalah
dampak maslahat mengerjakan perintah dan meninggalkan larangan.
Dengan
demikian, perintah maupun larangan yang terdapat dalam syari’ah adalah untuk
kepentingan dan kemaslahatan manusia baik kapasitasnya sebagai mashalih
Syari’ah (essentials), mashalih Hajiyah (complementary)
ataupun mashalih taHsiniyah (embellishments).[13]
Hal yang
cukup krusial adalah menetapkan ukuran suatu perbuatan untuk dianggap maslahat
atau mafsadat. Sebab adalah sebuah fakta untuk ukuran dunia bukan ibadah, bahwa
suatu maslahat duniawi bukanlah hal yang mustahil di dalamnya terdapat
kerugian, kesusahan, dan sebagainya. Orang yang ingin memiliki kendaraan
tentunya tidak begitu saja diperoleh, tapi harus melalui kerja keras untuk
mendapatkan dana sesuai dengan harga kendaraan yang diinginkan. Setelah
memiliki kendaraan tersebut ia butuh dana untuk perbaikan jika terdapat
kerusakan dan yang pasti alokasi dana untuk bahan bakarnya.
Untuk
ukuran maslahat syari’ah, Syatibi membuat neraca perbandingan antara maslahat
dan mafsadat dengan sebuah konsep jihah galibah (sesuatu yang dominan)
dan jihah maglubah (sisi yang terkalahkan), berikut pernyataan Syatibi:[14]
المصلحة اذا كانت هي الغالبة عند مناظرتها مع المفسدة فهي
المقصود شرعا, والمفسدة اذاكانت هي الغالبة بالنظر الى المصلحة فرفعها هو المقصود
شرعا
Maslahat apabila dominan jika dipersandingkan dengan mafsadat, maka ia
menjadi patokan, namun jika mafsadat lebih menonjol, maka ia tidak dapat
dijadikan landasan.
Jika
manfaat (nilai positif)-nya lebih dominan daripada mudarat (kerusakan) yang
ditimbulkan, dikategorikan sebagai maslahat. Jika sebaliknya yang terjadi,
mudarat (kerusakan) yang ditimbulkan lebih dominan dari faedahnya, digolongkan
sebagai mafasadat. Jika satu perbuatan seimbang antara masalahat dan
mafsadatnya, kedudukannya manjadi mubah.
Apresiasi
positif manusia terhadap perintah adalah ketaatan dan melakukan pelanggaran
adalah maksiat. Adalah wajar, ketaatan dan maksiat bervariasi tingkatannya sesuai dengan tingkatan maslahat dan mafsdatnya.
Syatibi menyatakan:
ان الطاعة او المعصية تعظم بحسب عظم المصلحة او المفسدة
الناشئة عنها[15]
Taat dan maksiat berfluktuasi sesuai dengan ukuran maslahat dan mafsadat
yang ditimbulkan.
Adapun
kategorisasi maslahat-mafsadat dalam bentuk aplikasi dan konsekuensi hukum
dapat dilihat dari hukum taklif kepada enam bagian dimulai dari wajib,
mandub, haram, makruh tahrim, makruh tanzih, dan mubah. Lebih lanjut
dapat dikatakan bahwa mashalih terdapat pada tiga bagian; mashalih
mubahat, mashalih mandubat, mashalih wajibat. Begitu pula mafasid,
berupa mafasid makruhat dan mafasid muharramat.[16]
Semakin
tinggi kadar sebuah perintah yang dalam hal ini wajib, semakin tinggi pula
nilai maslahat yang dikandung, hingga pada urutan mandub dan bahkan mubah.
Demikian pula semakin tinggi kadar larangan yang dalam hal ini haram dengan
berbagai tingkatannya hingga pada makruh, akan bervariasi pada tingkat mudarat
yang ditimbulkannya. Sebagai konsekuensi hukum yang ditimbulkan, diberi balasan
berupa pahala yang merealisasikan perintah sesuai dengan kadarnya, dan bagi
yang tidak merealisasikannya dikenakan sanksi atau dosa akibat mafsadat yang
ditimbulkannya karena meninggalkan maslahat.
Perintah
menurut sasaran pelakunya dibagi atas beberapa hal: Pertama, wajib atau
fardu kifayah yang lebih bersifat kolektif dan wajib ‘ain atau
keharusan yang bersifat person. Kedua, sunat kifayah seperti
azan, iqamat, memberi salam, dan sebagainya, dan sunat ‘ain seperti
shalat rawatib dan sebagainya. Dari tingkatan prioritasnya, yang lebih
utama didahulukan dapat dilihat dari tingkat urgensi dan efek yang dikandung
dari maslahat dan mafsadat. Tingkatan itu dimulai dari afdhal al-mashalih
(lebih utama), mashalih al-mafdul (tingkatan rendah) dan fadhil
(tengah: antara afdhal dangan mafdhul).
Dalam
sejarah tabi’tabi’in, perilakunya yang selalu mengedepankan persatuan
umat Islam (tawhid shufuf al-muslimin), mereka bepandangan bahwa
persaudaraan dalam seagama dan menjadikan hati mereka saling terpaut adalah hal
paling utama daripada yang lainnya. Karena itu pula mereka rela untuk tidak
mengamalkan pendapatnya ketika melaksanakan ibadah secara bersama, sekalipun
menurutnya pendapatnya yang paling benar. Ada sebuah prinsip yang mereka tanamkan dalam beribadah secara berjama’ah
yaitu:فعل
المفضول وترك الفاضل bahwa rela
mengerjakan atau mengamalkan pendapat yang menurutnya tidak kuat dasarnya dan
meninggalkan pendapat yang dasarnya lebih kuat.
Dengan sikap seperti itu, akan terlihat suasana toleransi dan saling
menghargai dalam melaksanakan ibadah. Seorang imam yang tidak men-jahar (membesarkan
suara) basmalah dapat diikuti oleh makmum yang men-jahar basmalah,
sekalipun membaca menurutnya afdal. Seorang imam yang membaca qunut ketika
shalat subuh mengimami makmum yang menganggap bahwa qunut bukan sunat dalam
shalat. Ulama klasik melakukan seperti ini, sebab bagi mereka mempermaslahkan fur’iyyah
akan membawa pada perpecahan internal umat.
Para imam
mazhab seperti Imam Ahmad dan sebagainya berpendapat ….sebaiknya seorang imam
meninggalkan yang afdal demi untuk menyatukan hati orang mukmin, dalam hal
shalat witir, imam sebaiknya mengikuti kondisi makmum yang tidak shalat witir
kecuali dengan cara fashl yakni menyisakan satu raka’at di akhir shalat.[17]
Kenyataan
seperti ini terkadang nampak sulit ditemukan sekarang ini, justru sebaliknya
yang terjadi, ada orang mengaku pengikut Syafi’i tapi dlebih Syafi’id dari Imam
Syafi’i, dlebih Hanbald dari dari Imam Hanbal dan sebagainya. Fenomena yang
muncul di tangah masyarakat terkadang memperuncing masalah yang sifatnya khilafiyah
(perbedaan pandangan), bahkan menjadi ajang perdebatan internal umat.
Upacara-upacara (tahniah dan ta’ziah) dengan tardisi dan ritual
tertentu, rangkaian-rangkaian shalat seperti baca basmalah, qunut, do’a bersama
setelah shalat dan sebagainya, masalah pakaian, memelihara jenggot dan
sebagainya adalah masih menjadi lahan dan sumber perselisihan yang berdampak
pada pengkotak-kotakan dalam tubuh umat Islam, dengan saling menyalahkan tanpa
berusaha melihat kondisi seperti itu merupakan khazanah Islam yang memberi
hidup secara variatif.
Kasus-kasus
yang ditampilkan tersebut, dan banyak lagi kasus yang akan
muncul dalam kehidupan manusia yang demikian kompleks, jika manusia tidak mampu
menyelesaikan dengan memilih aktifitasnya dalam skala prioritas kepentingan,
dipastikan akan terjadi kepincangan dalam kehidupannya.
Ini
memberi ilustrasi sederhana namun cukup substantif tentang bagaimana sulitnya
sebagian orang menempatkan nilai-nilai hidup dalam susunan maslahat-mafsadat,
besar-kecil, tinggi-rendah, primer-sekunder, universal-partikular, secara tepat
dan benar, dan bagaimana ketimpangan itu dapat berakibat pada pembelengguan
mental dan ritual ibadah.[18]
Memang
ayat-ayat al-Qur’an tidak tampil dengan rinci memecahkan masalah secara
prioritatif, namun demikian, secara umum prinsip dan pokok-pokok masalah
terdapat dalam al-Quran. Dengan demikian setiap peristiwa yang dihadapi manusia
jalan penyelesaiannya akan didapatkan dalam
al-Qur’an. Ayat-ayat yang menunjukkan hukum yang agak rinci biasanya terdapat
pada ayat ibadah dan hukum keluarga, sementara yang berkaitan dengan hukum
kebendaan, ekonomi, perjanjian, kenegaraan dan sebagainya berbentuk
prinsip-prinsip dasar.
Kiranya agama tidak berhenti pada masalah-masalah
yang sudah jelas hukumnya semata, maka dibukalah pintu ijtihad dengan
mengoptimalkan segala daya dan kemampuan untuk memahami nash al-Qur’an
dan Sunah. Oleh karena itu, dengan pendekatan linguistik (lugawiyah) dan
pendekatan hukum (tasyri’iyyah), para usuliyyin dan fuqaha
berusaha menetapkan qawa’id fiqhiyah, qawa’id ushuliyah dan dhawabit
fiqhiyah, yang selanjutnya dinamakan dengan diktum-diktum syari’ah atau
kaidah-kaidah hukum.
Kesimpulan
Dimensi-dimensi Islam yang mencakup akidah dan syari’ah, ahkam taklif, maqashid
syari’ah, qath’i dan zhanni menjadi instrumen utama dan indikasi
kuat dalam membangun konsepsi prioritas, yang kemudian dielaborasi dalam bentuk
diktum-diktum syari’ah (kaidah-kaidah hukum). Diharapkan dapat
diaplikasikan bagi penataan entitas dinamika kehidupan manusia, menjadi parameter
dalam beperilaku dalam mendahulukan beberapa alternatif sesuai dengan tuntunan
syari’ah.
Konsep prioritas dalam Islam yang
dimaksud adalah mengklasifikasi berbagai aktifitas yang menuntut skala
prioritas dalam dua langkah; langkah aktif dan inovatif yakni mendahulukan
salahsatu dari berbagai pilihan yang patut didahulukan, dan langkah pasif dan
preventif meninggalkan hal yang patut dan harus ditinggalkan. Maka dalam
konteks instrumen-instrumen tersebut, seseorang akan lebih arif dalam menyikapi
perintah antara wajib dan sunat, bijaksana menyikapi antara haram dan makruh,
Islam yang besifat ushul dan Islam yang yang bersifat furu’,
sesuatu yang bersifat kebutuhan dan sesuatu yang bersifat pelengkap, maslahat
(kepentingan) umum atau pribadi dan seterusnya. Dengan perkataan lain, konsep
ini memberi ilustrasi sederhana namun
cukup substantif tentang bagaimana menempatkan nilai-nilai hidup dalam susunan
maslahat-mafsadat, besar-kecil, primer-sekunder, universal-partikular, secara
tepat dan benar, dan bagaimana ketimpangan itu dapat berakibat fatal pada
aktifitas rutin, sosial dan ritual manusia. Orientasi utama bukan lagi
pada hal yang sifatnya formalistik, akan tetapi lebih bersifat
substansialistik, makna (konteks) lebih utama daripada lafal (teks).
[4]al-Qardhawi, 1993: 9.
[5]Yusuf
Hamid Alim, t.th.: 19.
[6]Kaidah: Rumusan asas-asas yang menjadi
hukum aturan yang sudah pasti; patokan; dalil. Lihat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia: 430.
[7]Peranan Maslahat dalam konsep Islam
sangat beragam sesuai dengan kontribusi ulama dalam memaknainya. Jumhur ulama
lebih condong menempatkan masalahat digolongkan dalam urutan sumber hukum
ijtihad. Lihat, Ali Hasbullah,
1982: 132. Sebagian lainnya mengurutkan setelah qaul sahabi pada posisi
keenam dan istishab pada posisi kedelapan. Lihat, al-Tufi, 1993: 14.
Al-Tufi berpandangan lain, dari kesembilan belas dalil syari’ah, yang paling
kuat ke-hujjah-annya adalah nas dan ijma’, namun jika nas
dan ijma’ betentangan dengan maslahat, maka yang diutamakan adalah
maslahat sebagai penjelas atas maksud nas dan ijma’, bukan dalam
rangka membatalkan (ta’lil). Bagi Tufi, maslahat yang dapat diketahui
hamba, arealnya hanya berkisar pada masalah muamalah, dapat diketahui melalui
akal pikiran manusia. Semantara hal yang bersifat ibadah, yang lebih mengetahui
persis secara mutlak adalah Allah. Imam Malik yang dalam manhaj hukumnya juga
menerapkan maslahah mursalah dengan beberapa kriteria antara lain: a)
Sejalan dengan maqasid syari’ah, b) Maslahat tersebut tidak bertentangan
dengan akal sehat, dan c) Keberadaanya dapat menjamin sebuah kehidupan yang
stabil sesuai tuntutan syari’ah. Lihat Sabri al-Asyukh, 1997: 148.
[8]Ibn Manzur, 1993:31. Lihat pula; Said
Ramadhan al-Buti, 1992: 27.
[9]‘Izzuddin Abdu al-Salam, 1990: 12.
Lihat pula ‘Izzuddin Abdu al-Salam, 1996: 111. Sebagaimana di bawah ini:
"كل
ما غم وآلم فهي مفسدة"
“Segala yang dapat meyengsarakan dan membuat pedih
adalah mafsadat”.
"كل
ما كان وسيلة الى غم او الى آلم دنيوي او أخروي فهو مفسدة لكونه سببا
للمفسدة"
“Segala apa
yang mengantar kepada kesengsaraan dan kepedihan dunia maupun akhirat adalah
mafsadat, karena mengantar ke sana”.
"كل ما كان وسيلة الى فرح او لذة عاجلة او آجلة فهو مصلحة"
“Segala yang
mengantar kegembiraan dan kenikmatan lambat atau cepat adalah maslahat”.
[10]al-Buli, Dawabith…: 27. Abu
Zahrah, t.th.: 366. Tambahan dua hal (memelihara lingkungan dan jamaah)
merupakan tambahan berdasarkan penelitian penulis.
[11]Ada banyak dalil
al-Qur’an yang menjelaskan bahwa Allah berbuat karena ada maksud tertentu yang
ingin dicapai anatara lain pada Q.S. al-Anbiya/21:107 (Tiadalah Kami
mengutus kamu melainkan sebagai rahmat kepada seluruh alam raya),
begitupula pada Q.S. al-Jatsiyah/45:20 (Sesungguhnya Allah memerintahkan
keadilan dan kebaikan dan memberi kepada kerabat serta mencegah kekejian,
kemungkaran dan bagy agar kalian mengingat).
[12]al-Syatibi, t.th.:
138.
[13]Pembahasan ini
sangat erat dengan maqasid syari’ah, Lihat, Muhammad Abu Zahrah, 1964:
42.
[14]Syatibi, al-Muwafaqat, Juz ke 2:
17.
[15]Syatibi, al-Muwafaqat, Juz ke 2:
209.
[16]‘Izzuddin Abdu al-Salam, Qawa’id
al-Ahkam: 9. Wacana maslahat-mafsadat kaitannya dengan perintah-larangan,
‘Izzuddin menyatakan dalam beberapa kaidah di bawah ini: Lihat ‘Izzuddin Abdu
al-Salam, al-Fawaid fi Ikhtisar: 51.
"كل مصلحة أوجبها
الله عز وجل فتركها مفسدة محرمة"
“Semua
maslahat yang diwajibkan oleh Allah Swt maka meninggalkannya adalah mafsadat
(dengan tingkatan) haram”.
كل مفسدة حرمها
الله تعالى فتركها مصلحة واجبة
“Semua
mafsadat yang Allah Swt. haramkan maka meninggalkannya adalah maslahat (dengan
tingkatan) wajib”.
"كل مفسدة كرهها
الله فتركها مفسدة غير محرمة"
“Semua
mafsadat yang Allah Swt makruhkan maka meninggalkannya adalah mafsadat yang
tidak sampai pada haram”.
"كل
مصلحة ندب الله سبحانه وتعالى اليها فتركها قد يكون مفسدة مكروهة وقد لا يكون
مكروهة"
“Semua
maslahat yang Allah SWT anjurkan maka meninggalkanya adalah mafsadat yang
kadang bernilai makruh dan kadang pula tidak bernilai makruh”.
"كل
مصلحة خالصة عن المفاسد فهي واجبة او مندوبة او ما دونه"
“Semua
maslahat yang murni tanpa mengandung mafsadat adalah wajib atau mandub”.
"كل مفسدة خالصة من المصالح فهي محرمة او
مكروهة"
“Semua
mafsadat murni tanpa mengandung maslahat adalah haram atau makruh“.
[17]Abu ‘Asim, 1991: 26.
[18]Nurcholis Madjid, 1995:37.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar