Membangun
Moralitas dan Integritas Kader Pimpinan di Era Multi Peradaban
Era
globalisasi sebagai sebuah ruang sejarah, telah memberikan kebebasan kepada
siapa saja untuk melakukan sesuatu atau menampilkan budaya masing-masing sesuai
dengan kebiasaan mereka masing-masing pula. negara-negara asing akan masuk ke
wilayah Indonesia untuk memasarkan berbagai produk yang tentunya akan membawa
pengaruh besar bagi perubahan sosial masyarakat dan kesemuanya akan banyak
bertentangan dengan konsep dasar normatifitas agama atau mungkin dapat
mengaburkan nilai-nilai agama dan etos sosial penganutnya.
Dari
sisi lain kita dapat melihat bahwa mahasiswa sebagai komunitas intelektual
mempunyai peran dan tanggung jawab yang besar sebagai subyek sejarah -jika
meminjam istilah agent of historical change- dalam mewarnai perubahan
sosial yang cenderung pada orientasi degredasi moral dan dishumanitas. Berbagai
ideologi telah memasuki masyarakat dan kesemuanya itu telah memberikan spirit
untuk melakukan perubahan-perubahan di tengah masyarakat, termasuk masyarakat
mahasiswa sebagai komunitas intelektual. Beraneka ragam ideologi-ideologi Barat termasuk
ideologi kapitalis-sosialis dan berbagai ideologi lainnya telah banyak mewarnai
berbagai perubahan tanpa terikat dengan konstitusi Sang Pencipta alam. Sehingga
dapat diprediksi bahwa masyarakat kita ke depan akan seperti drakula
yang menghisap darah-darah manusia lainnya demi memenuhi kebutuhannya, atau
seperti srigala di tengah hutan yang menerkam mangsanya dalam altar hukum
rimba.
Di dalam masyarakat yang relatif
stabil, mahasiswa mengkonsentrasikan perhatiannya kepada studi dan persiapan
masa depan, sehingga peran perubahan sosial yang dimainkannya menjadi bagian
inheren dari perubahan dirinya sendiri. Sedangkan dalam masyarakat yang mengalami
krisis, mahasiswa berperan penuh sebagai lokomotif perubahan secara
terorganisir yang berbasis pada sebuah kesadaran kolektif yang lebih mondial,
dengan mengambil fokus sasaran pada perubahan struktural.
Bila kita melihat dengan jujur
kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat dewasa ini, kita segera
melihat bahwa kita sedang menghadapi krisis nasional yang bersifat
multidimensional. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa dewasa ini kita
menghadapi krisis sosial, krisis akhlak/moral, krisis politik, krisis disiplin
nasional, krisis moneter/ekonomi, dan bahkan krisis kemanusiaan.
Harus diakui, ketimpangan sosial di
berbagai sisi-sisi kehidupan masyarakat lebih banyak disebabkan oleh
kebobrokan sistem yang berakibat kepada
rusaknya akhlak/moral sebagai pemimpin dan masyarakat yang cenderung
morat-marit yang pada akhirnya menimbulkan fenomena kemunafikan dan berujung
pada krisis kepercayaan masyarakat terhadap elit birokrasi.
Merujuk kepada berbagai fenomena
tersebut, maka mahasiswa sebagai salah satu kader di tengah eksistensinya dituntut untuk menjadi garda depan dalam
membangun moralitas yang nyaris hilang akhir-akhir ini. Sehingga tampak
diperlukan adanya rekonstruksi dan redefinisi arah gerakan terhadap peran kesejarahan
mahasiswa dalam kultur pendidikan sekaligus dalam bingkai realitas
sosial-politik untuk lebih melihat konsentrasi arah gerakan kader.
Perlu disadari bahwa integritas kader
pimpinan tidak lebih akan mengacu kembali kepada visi dan misi nahasiswa sebagai
insan intelek yang peduli terhadap persoalan umat. Selayaknya, visi dan misi
ideal tersebut berpijak pada keyakinan ideologis normatif; berbasis keagamaan,
moralitas filsafat humanis, kritik tradisi dan kemapanan, atau yang lain.
Wacana komprehensif keagamaan sebagai ideologi gerakan mahasiswa ke depan diformulasi
secara lebih sistematis demi mengantarkan pada telaah realitas sekaligus
sebagai pisau analisis menyusun strategi pengabdian masyarakat sebagai refleksi
ibadah sosial di era multi peradaban ini.
Melalui ini, kepeloporan mahasiswa diharapkan mampu merealisasikan manifesto
keadilan-kesejahteraan dalam ranah bangsa dan negara.
Pada akhirnya disepakati bahwa sebagai
mahasiswa Islam sekaligus sebagai kader pimpinan, hendaknya mampu menampilkan
identitas kader yang selalu menginvestsikan progresivitas dengan semangat
idealisme yang tetap terikat pada konstitusi ilahiah. Sehingga dari postulat
ini pula, kader pimpinan di tengah benturan paradaban dan perubahan sosial
diharapkan mampu menampilkan keteladanan, mengedepankan moralitas/akhlak untuk
mewarnai setiap perubahan, baik dari segi pemikiran, maupun dari aspek
perilaku.
Makassar, 8 Desember 2003,
بسم الله ألسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Yang terhormat,
Ukhty Fatma
Semoga Allah meridhai kita.
Entah, alasan apa
yang tepat untuk melegitimasi terkirimnya surat ini untukmu, yang jelasnya,
kamu adalah salah seorang yang tahu tentang masalah saya (meskipun mungkin ada
yang lebih tahu dari kamu).
Sampai detik surat
ini tertulis, saya belum tahu harus bersikap bagaimana terhadap masalah itu,
dan saya pun tak tahu harus memberi jawaban yang bagaimana dan dengan cara dan
bahasa apa yang tepat untuk (dia).
Kejadian kemarin tatkala buka puasa
bersama di rumahmu mungkin sudah menjadi indikator dari ketidakdewasaan saya
dalam bersikap. Meskipun niat awal saya baik, namun caranya ternyata salah. Apa
yang ada di kepala kita, hati kita, tidak semua sama, termasuk persepsi kita
tentang nilai. Jika saya menilai apa yang telah saya lakukan kemarin itu benar,
maka bagi kamu ternyata tidak. Kalau kamu saja sudah merasa jengkel dengan
pernyataan saya saat itu, bagaimana dengan (dia) ?, tapi ternyata (dia) adalah
sosok yang tegar. Saya sadari telah
sering melukai perasaannya.
Bagi saya, masalah ini bisa
saja tidak jadi masalah jika saya bersikap tidak peduli (dan tidak
menganggapnya sebagai masalah yang butuh penyelesaian), namun ternyata, ini
tetap jadi masalah juga. Sebab, jujur saja, hal ini terasa cukup mengganggu
saya, mengganggu belajar saya, shalat saya, dan sampai-sampai tanpa saya sadari
telah melibatkannya dalam do’a saya. (terserah, apakah kamu mau menilainya
sebagai kesombongan atau tidak).
Ukhty…, terkadang, indahnya
persahabatan, indahnya kebersamaan, begitu pula dengan keindahan berorganisasi
harus tercorengi oleh hadirnya perasaan-perasaan sentimentil dari bias relasi
laki-laki dan perempuan. Terlebih lagi jika hadirnya rasa itu terlalu didramatisir oleh subyek dan obyek
pelakunya. Hadirnya perasaan itu tentunya tidak dapat dan tidak boleh
dipersalahkan oleh siapapun. Kita adalah makhluk-makhluk normal yang memiliki
potensi ke arah itu, dan Allah pun telah melegitimasi dalam ayat-Nya tentang eksistensi potensi kemanusiaan itu. Tapi,
bukankah Allah juga menegaskan bahwa hal itu adalah menjadi ujian buat kita ?
Bersyukurlah kita yang dirahmati Allah dengan ujian-Nya, karena itu adalah
bukti bahwa Allah masih peduli pada kita.
Hanya saja, tidak semua di antara kita yang mampu
menyikapinya dengan lebih bijak, me-menej-nya dengan lebih bagus, dan bahkan
terkadang kita begitu picik mengambil tindakan dan kesimpulan yang terlalu
prematur, serta menilainya sebagai hasil yang telah final.
Ukhty…, saya tidak hendak
menggurui kamu dengan bahasa-bahasa basis dan ideal. Namun, satu hal yang
jelas, saya juga bukanlah orang yang fanatik ataupun ekstrem dalam beragama.
Apalagi untuk menjalankan syari’at dan sunnah dengan kaffah. Shalat
lail, puasa sunnat, semua itu adalah hal yang jarang saya lakukan (selain di
bulan puasa dan ketika tugas instruktur
DAD). Bahkan, jika saya mau menuruti semua nafsu saya yang terlalu mudah jatuh
cinta, maka saya pun sudah lama mencintaimu, atau siapa saja yang menjadi
pilihan saya bahwa ia pantas dan layak untuk sama-sama membangun kebahagiaan
yang saya cita-citakan. Tapi, sampai hari ini, saya masih bisa memendam,
menyimpan dan menyembunyikan semua itu, me-menej-nya dalam hati saya, agar tidak mengotori niat baik dalam
berorganisasi. Mengapa hal seperti itu tidak kita biarkan saja berjalan alami ?
meskipun memang, jodoh juga merupakan sesuatu yang perlu diperjuangkan, tapi,
adalah salah kaprah jika memprioritaskan organisasi sebagai biro jodoh. Mungkin, seharusnya saya bangga dan
berterimakasih karena masih ada yang menyukai, namun setelah saya mengaca diri,
saya sendiri sadar, belum ada yang dapat saya banggakan untuk bisa mencintai
dan dicintai. Entahlah, apa yang (dia) nilai pada pribadi saya sehingga bisa
tertipu dengan retorika saya, atau mungkin (dia) belum menemukan keburukan dan
kejelekan saya ?
Padahal…, kamu sendiri tahu,
bahwa saya adalah orang yang tidak punya sikap, tidak berpendirian, tidak
tegas, plin-plan, dan mungkin banyak lagi yang dapat kamu nilai dan telah kamu
ketahui pada pribadi saya.
Ukhty…, sekali lagi, sampai
saat ini saya masih belum tahu harus bersikap bagaimana tentang hal itu. Saya
pun tidak sanggup membahasakan suatu penolakan sebagaimana ketidaksanggupan
saya menolak seseorang yang membahasakan perasaannya pada saya. Di sisi lain,
saya pun tak mungkin memaksakan perasaan saya hadir dan tumbuh pada orang yang
memang bukan pilihan saya (bukankah masing-masing kita punya pilihan?).
Mungkin…, perasaan terhadap
(dia) masih butuh waktu yang cukup panjang untuk hadir dan tumbuh, se-panjang-
dengan keinginan saya untuk mapan terlebih dahulu sebelum melangkah pada
komitmen membangun format kehidupan baru. Atau mungkin saya butuh moment yang
tepat untuk bisa mencintainya, entahlah…
Saat ini saya butuh banyak alternatif
sebagai pertimbangan untuk bersikap lebih bijak. Bagi saya, kondisi psikologi
(dia) bukan pada kondisi yang membutuhkan pernyataan sikap yang sesegera
mungkin untuk direalisir. Tapi tetap saja membuat saya perlu memilih antara
keharusan bersikap jujur ataukah membiarkan semuanya berjalan alami,
mendiamkannya sambil menunggu bara cinta itu padam dengan sendirinya. Sekali
lagi, entahlah... Semuanya jadi dilematis bagi saya.
Ukhty…,
Saya tidak hendak mengajakmu untuk turut bergulat dalam
pemikiran tentang sindrom dari sebuah babak dari berbagai babakan kehidupan.
Saya hanya hendak kembali menyadarkan keinsyafan kita sekaligus menginsyafkan
kesadaran kita agar sama-sama kita sadari akan ke mana akhir dari semua ini,
meskipun saya tak tahu apakah yang saya lakukan ini akan ada gunanya kelak.
Tanpa terasa waktu berlalu dengan cepatnya seiring dengan terkuburnya
kenangan-kenangan indah yang tak akan pernah dapat terlupakan. Satu persatu
sahabat terbaik membuka masa depan yang insya Allah akan indah seindah
cita-cita mereka. Mereka mengawalinya dengan tangis kegembiraan atau tangis penyesalan karena terenggutnya
kebahagiaan masa muda yang indah dari tangan mereka, saya tidak tahu. Yang saya
tahu Allah pasti memberikan yang terbaik untuk hambanya selama kita masih yakin
akan kasih sayang-Nya.
Saya hanya bisa berdoa, agar mereka bahagia dan
menempuhnya dengan kebahagiaan selamanya
karena kebahagiaan mereka adalah kebahagiaan saya juga
dan kesedihan mereka adalah kesedihan saya juga.
Ukhty…, maafkan karena telah merepotkan dengan
keluh-kesah ini. Mungkin saja kamu punya saran yang lebih tepat dan
bijak setelah membaca ini. Terima kasih atas kepedulianmu terhadap masalah ini,
mungkin saja suatu saat kamu punya masalah serupa, dan tentunya akan saya bantu
pula dengan menjadi bagian dari masalah itu, sehingga bisa menyelesaikan
masalah dengan masalah…ha…ha… ha…100 X…………………………………………………….dst.
Saya pamit….
وألسلام عليكم ورحمة الله
وبركاته
Hormat saya
Al-Gha……
|
نشهد ان لا إله إلا الله ونشهد ان محمد الرسول الله
IBU…, Ceritakan Aku Tentang Ikhwan Sejati
Seorang
remaja pria bertanya kepada ibunya, Ibu ceritakan padaku tentang ikhwan
sejati….
Sang
ibu tersenyum dan menjawab…
Ikhwan
sejati bukanlah dilihat dari bahunya yang kekar, tetapi dari kasih sayangnya
pada orang di sekitarnya..
Ikhwan
sejati bukanlah dilihat dari suaranya yang lantang, tetapi dari kelembutannya
mengatakan kebenaran…
Ikhwan
sejati bukanlah dilihat dari jumlah sahabat di sekitarnya, tetapi dari sikap
bersahabatnya pada generasi muda bangsa……
Ikhwan
sejati bukanlah dilihat dari bagaimana dia dihormati di tempat bekerja, tetapi
bagaimana dia dihormati di dalam rumah…
Ikhwan
sejati bukanlah dilihat dari kerasnya pukulannya, tetapi dari sikap bijaknya
memahami persoalan…
Ikhwan
sejati bukanlah dilihat dari dadanya yang bidang, tetapi hati yang ada dibalik
itu…
Ikhwan
sejati bukanlah dilihat dari banyaknya akhwat yang memuja, tetapi komitmennya
terhadap akhwat yang dicintainya…
Ikhwan
sejati bukanlah dilihat dari jumlah barbell yang dibebankan, tetapi dari
tabahnya dia menghadapi liku-liku kehidupan…
Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari kerasnya membaca Al-qur’an, tetapi
dari konsistennya dia menjalankan apa yang ia baca…
….setelah
itu, ia kembali bertanya…
“Siapakah
yang dapat memenuhi kriteria seperti itu, Ibu ?”
Sang Ibu memberinya buku dan
berkata……”Pelajarilah tentang dia..”
Ia pun mengambil buku itu
“MUHAMMAD”, judul buku yang tertulis di buku itu.
(al-Hikam)
Ramadhan telah berlalu, bulan penuh rahmah, maghfirah, dan itkum min
al-Nar. Tidak ada jaminan kita menjumpainya kembali, sebagaimana tidak kita
ketahui kapan ajal menjumpai kita.
Tahmid, tahlil, dan takbir berkumandang menggema di seantero jagat raya
bertanda kemenangan.
Nabi bersabda, orang yang berpuasa dengan kesungguhan dan menjalankan
qiyamu ramadhan akan menjumpai satu syawal seperti bayi yang baru dilahirkan
dari rahim ibunya, tanpa dosa.
Begitu banyak orang yang bertahmid, tahlil, dan takbir di satu Syawal, namun... sungguh,
Allah tidak akan menerima tahlil, tahmid, dan takbir bagi orang-orang yang
tidak berpuasa, mereka tidak pernah menang.
Seusai perang Badar, Nabi bersabda, raja’na min jihad al-Shagir ila
jihad al-Akbar.... (kita telah selesai dari peperangan kecil menuju
peperangan yang lebih besar... yaitu perang melawan hawa nafsu.
Puasa yang kita jalani pada hakikatnya merupakan suatu proses peperangan
melawan hawa nafsu, karena puasa yang kita jalani diharapkan menghilangkan dua
hal: dzamb al-Jazad dan Nafs al-Madzmumah atau dzamb al-Qalb (dosa
diri dan nafsu sesat atau dosa hati).
Ramadhan sebagai sarana latihan kesabaran, kedisiplinan, kepedulian,
diharapkan menjadikan kita dapat berpuasa sepanjang masa.
Satu Syawal merupakan hari wisuda bagi orang-orang yang menang, bagi
orang-orang mu’min, bagi orang-orang takwa. Hari itu, Allah memakaikan kita
baju kebesaran dengan libas al-Taqwa, pakaian takwa, karena puasa yang
kita jalani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar