Jumat, 21 Februari 2014

Hubungan Mahram Karena Penyusuan



HUBUNGAN MAHRAM KARENA PENYUSUAN
(Studi Hadis)
Oleh: Moh. Ghazali Rahman

A. Pendahuluan
            Selain Alqur’an, Nabi Saw. meninggalkan warisan yang sangat berharga yaitu hadis. Kedua warisan inilah yang senantiasa menjadi sumber rujukan utama bagi siapa saja dalam menyelesaikan segudang problematika kehidupan. Kompleksitas kehidupan manusia pada akhirnya juga menuntut pembacaan dan pengkajian ulang terhadap sumber-sumber aplikatif yang telah diapresiasikan oleh Nabi di zamannya untuk dikontekstualisasikan agar tetap eksis di sepanjang zaman. Begitu pula munculnya tantangan modern yang cenderung mereduksi otoritas kenabian merupakan tantangan tersendiri bagi umat Islam untuk merekonsruksi kembali fondasi-fondasi agama yang sekian lama telah menjadi hukum formal dalam bermu’amalah.

            Sejarah berulang dalam versi yang berbeda, begitu banyak hal yang terkait dengan persoalan kehidupan perlu disikapi secara normatif dengan bersandar pada nilai dan semangat wahyu dan kenabian. Sebab, kehendak Ilahiah yang termuat dalam teks-teks religius tentu memuat hikmah kemanusiaan yang terkadang ditemukan belakangan. Seperti halnya pembahasan pada makalah ini, ternyata masa kenabian penuh dengan respon-respon sosial yang hendak menata sedikit demi sedikit relasi yang ideal antara sesama manusia dengan aturan-aturan yang mungkin sepintas dinilai sepele dan diragukan ke-hujjah-annya.
            Oleh karena itu, menampilkan kapasitas sebuah hadis dalam kualifikasi shahih, hasan dan dha’if tidak bisa lain kecuali dengan melakukan verifikasi hadis melalui kritik sanad dan matan. Proses ini merupakan upaya untuk memastikan -paling tidak, menduga secara kuat- bahwa hadis tersebut benar-benar berasal dari Nabi, dan secara otentik telah dapat menjadi hujjah bagi penetapan hukum-hukum sosial. Penelitian hadis dalam kajian sanad dan matan merupakan studi kesejarahan (historis) atas semangat kenabian dalam peran dan posisi sentralnya yang diutus sebagai “bayan”, dalam arti memiliki otoritas dan hak prerogatif dalam menjelaskan makna dan kehendak Tuhan yang hendak diejawantahkan dalam elaborasi dinamis antara peradaban manusia dan peradaban Tuhan sendiri.
            Asumsi ini mencoba untuk menegaskan kapasitas kenabian sebagai sosok par excellence yang tidak mudah bagi seorang muslim untuk memahami signifikansi nilai spiritual kenabian yang tumbuh dalam prototipe kehidupan religiusnya sebagaimana Alquran menjelaskan dengan statemen:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى . إِنْ هُوَ إِلا َّّوَحْيٌ يُوحَى .[1]
            Seperti itulah idealnya seorang Nabi, namun tetap juga ada sisi lain yang menjadi pertimbangan bahwasanya Nabi adalah manusia biasa (seperti kita juga) yang tentu tidak lepas dari berbagai dominasi sifat kemanusiaan yang berimplikasi kepada sifat-sifat temporal dan kontekstual sunnah yang beradaptasi secara logis dengan situasi dan kondisi zamannya.
            Salah satu bentuk peran kenabian ini misalnya tampak ketika Nabi menyikapi berbagai kasus-kasus yang terkait dengan kompleksitas relasi antara sesama muslim baik sejenis maupun berbeda jenis secara biologis. Terkait dengan itu, makalah ini mencoba menguraikan salah satu tema relasi tersebut dalam spesifikasi pembahasan yang mengetengahkan kasus Aisyah (isteri Nabi) yang terkait dengan kualitas dan kuantitas penyusuan yang berdampak pada hukum mahram. Uraian ini berupaya mengkaji hal tersebut secara metodologis dalam uji kualifikasi, validitas sanad dan matan hadis untuk dilegalisasi sebagai hujjah yang otentik (sahih) dalam menetapkan suatu hukum.
B. Pembahasan
I.                     Matan Hadis
 حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ أَشْعَثَ بْنِ أَبِي الشَّعْثَاءِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ مَسْرُوقٍ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدِي رَجُلٌ قَالَ يَا عَائِشَةُ مَنْ هَذَا قُلْتُ أَخِي مِنْ الرَّضَاعَةِ قَالَ يَا عَائِشَةُ انْظُرْنَ مَنْ إِخْوَانُكُنَّ فَإِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنْ الْمَجَاعَةِ .[2]
Terjemahannya:
Kami diberitakan oleh Muhammad bin Katsir, kami dikabarkan oleh Sufyan, dari Asy’ats bin Abi al-Sya’tsa’i, dari bapaknya, dari Masruq, bahwa Aisyah ra. berkata: “Nabi Saw. mendatangiku ketika pada saat itu aku sedang bersama seorang laki-laki lalu Nabi bertanya: (“Ya Aisyah, siapa dia?”), aku berkata: “Saudara sesusuanku”. Nabi bersabda selanjutnya: (“Ya Aisyah, perhatikanlah siapakah saudara-saudaramu karena sesusuan, sebab -yang diperhitungkan- dari sesusuan adalah karena rasa lapar”).
II.      Takhrij Hadis
Dalam upaya penelusuran hadis tentang tolak ukur (kualitas dan kuantitas) penyusuan ini, penulis menggunakan metode takhrij secara tematik serta menurut lafadz-lafadz yang bersinonim dengan lafaz yang terdapat dalam matan hadis. Kata kunci yang menjadi pijakan penulis dalam penelusuran beberapa riwayat berdasarkan metode tersebut antara lain: المجاعة [3], الرضاع[4] , المصة [5], dan lafadz الإملاجة . Untuk itu penulis merujuk pada kitab standar penelusuran hadis, yakni Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Hadis al-Nabawi yang disusun oleh Arnold John Wensinck serta merujuk pula pada CD Digital “Maushu’ah al-Hadis al-Syarif”.
Berdasarkan kedua alat bantu tersebut, maka terdapat beberapa hadis yang terkait dengan topik pembahasan ini dengan rincian sebagai berikut:
  1. Sahih Bukhari memuat 2 riwayat pada kitab Syahadat dan kitab Nikah.
  2. Shahih Muslim memuat 7 riwayat pada kitab al-Radha’
3.   Turmudzi memuat 2 riwayat pada kitab al-Radha’
4.   Al-Nasa’i memuat 6 riwayat pada kitab al-Nikah
5         Abu Daud memuat 5 riwayat pada kitab al-Nikah
6         Ibnu Majah memuat 5 riwayat pada kitab al-Nikah
7         Ahmad memuat 17 riwayat
8         Al-Darimi memuat 4 riwayat
9         Malik memuat 6 riwayat
1- حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ أَشْعَثَ بْنِ أَبِي الشَّعْثَاءِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ مَسْرُوقٍ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدِي رَجُلٌ قَالَ يَا عَائِشَةُ مَنْ هَذَا قُلْتُ أَخِي مِنْ الرَّضَاعَةِ قَالَ يَا عَائِشَةُ انْظُرْنَ مَنْ إِخْوَانُكُنَّ فَإِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنْ الْمَجَاعَةِ تَابَعَهُ ابْنُ مَهْدِيٍّ عَنْ سُفْيَانَ. [6]
2- حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ الْأَشْعَثِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَيْهَا وَعِنْدَهَا رَجُلٌ فَكَأَنَّهُ تَغَيَّرَ وَجْهُهُ كَأَنَّهُ كَرِهَ ذَلِكَ فَقَالَتْ إِنَّهُ أَخِي فَقَالَ انْظُرْنَ مَنْ إِخْوَانُكُنَّ فَإِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنْ الْمَجَاعَة.ِ [7]
2. Shahih Muslim pada kitab Radha’
1- حَدَّثَنَا هَنَّادُ بْنُ السَّرِيِّ حَدَّثَنَا أَبُو الْأَحْوَصِ عَنْ أَشْعَثَ بْنِ أَبِي الشَّعْثَاءِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ مَسْرُوقٍ قَالَ قَالَتْ عَائِشَةُ دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدِي رَجُلٌ قَاعِدٌ فَاشْتَدَّ ذَلِكَ عَلَيْهِ وَرَأَيْتُ الْغَضَبَ فِي وَجْهِهِ قَالَتْ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ أَخِي مِنْ الرَّضَاعَةِ قَالَتْ فَقَالَ انْظُرْنَ إِخْوَتَكُنَّ مِنْ الرَّضَاعَةِ فَإِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنْ الْمَجَاعَةِ و حَدَّثَنَاه مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَابْنُ بَشَّارٍ قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ ح و حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُعَاذٍ حَدَّثَنَا أَبِي قَالَا جَمِيعًا حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ح و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ ح و حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ جَمِيعًا عَنْ سُفْيَانَ ح و حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ حَدَّثَنَا حُسَيْنٌ الْجُعْفِيُّ عَنْ زَائِدَةَ كُلُّهُمْ عَنْ أَشْعَثَ بْنِ أَبِي الشَّعْثَاءِ بِإِسْنَادِ أَبِي الْأَحْوَصِ كَمَعْنَى حَدِيثِهِ غَيْرَ أَنَّهُمْ قَالُوا مِنْ الْمَجَاعَةِ. [8]
2- حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ ح و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ ح و حَدَّثَنَا سُوَيْدُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا مُعْتَمِرُ بْنُ سُلَيْمَانَ كِلَاهُمَا عَنْ أَيُّوبَ عَنْ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ سُوَيْدٌ وَزُهَيْرٌ إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُحَرِّمُ الْمَصَّةُ وَالْمَصَّتَانِ [9]
3- حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بِشْرٍ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي عَرُوبَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَبِي الْخَلِيلِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ حَدَّثَتْ أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُحَرِّمُ الرَّضْعَةُ أَوْ الرَّضْعَتَانِ أَوْ الْمَصَّةُ أَوْ الْمَصَّتَانِ و حَدَّثَنَاه أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ جَمِيعًا عَنْ عَبْدَةَ بْنِ سُلَيْمَانَ عَنْ ابْنِ أَبِي عَرُوبَةَ بِهَذَا الْإِسْنَادِ أَمَّا إِسْحَقُ فَقَالَ كَرِوَايَةِ ابْنِ بِشْرٍ أَوْ الرَّضْعَتَانِ أَوْ الْمَصَّتَانِ وَأَمَّا ابْنُ أَبِي شَيْبَةَ فَقَالَ وَالرَّضْعَتَانِ وَالْمَصَّتَانِ. [10]
4- حَدَّثَنِي أَحْمَدُ بْنُ سَعِيدٍ الدَّارِمِيُّ حَدَّثَنَا حَبَّانُ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَبِي الْخَلِيلِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ عَنْ أُمِّ الْفَضْلِ سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتُحَرِّمُ الْمَصَّةُ فَقَالَ لا [11]
5-   (2634) حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ عَنْ عَمْرَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ كَانَ فِيمَا أُنْزِلَ مِنْ الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُنَّ فِيمَا يُقْرَأُ مِنْ الْقُرْآنِ
6- (2629). حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى وَعَمْرٌو النَّاقِدُ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ كُلُّهُمْ عَنْ الْمُعْتَمِرِ وَاللَّفْظُ لِيَحْيَى أَخْبَرَنَا الْمُعْتَمِرُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ أَيُّوبَ يُحَدِّثُ عَنْ أَبِي الْخَلِيلِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ عَنْ أُمِّ الْفَضْلِ قَالَتْ دَخَلَ أَعْرَابِيٌّ عَلَى نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي بَيْتِي فَقَالَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ إِنِّي كَانَتْ لِي امْرَأَةٌ فَتَزَوَّجْتُ عَلَيْهَا أُخْرَى فَزَعَمَتْ امْرَأَتِي الْأُولَى أَنَّهَا أَرْضَعَتْ امْرَأَتِي الْحُدْثَى رَضْعَةً أَوْ رَضْعَتَيْنِ فَقَالَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُحَرِّمُ الْإِمْلَاجَةُ وَالْإِمْلَاجَتَانِ قَالَ عَمْرٌو فِي رِوَايَتِهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ نَوْفَلٍ

7- (2632) . وحَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ السَّرِيِّ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَبِي الْخَلِيلِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ نَوْفَلٍ عَنْ أُمِّ الْفَضْلِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُحَرِّمُ الْإِمْلَاجَةُ وَالْإِمْلَاجَتَانِ

3. Turmudzi-Al-Radha’
1- (1069) حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى الصَّنْعَانِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا الْمُعْتَمِرُ بْنُ سُلَيْمَانَ قَال سَمِعْتُ أَيُّوبَ يُحَدِّثُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُحَرِّمُ الْمَصَّةُ وَلَا الْمَصَّتَانِ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ أُمِّ الْفَضْلِ وَأَبِي هُرَيْرَةَ وَالزُّبَيْرِ بْنِ الْعَوَّامِ وَابْنِ الزُّبَيْرِ وَرَوَى غَيْرُ وَاحِدٍ هَذَا الْحَدِيثَ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُحَرِّمُ الْمَصَّةُ وَلَا الْمَصَّتَانِ وَرَوَى مُحَمَّدُ بْنُ دِينَارٍ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ الزُّبَيْرِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَزَادَ فِيهِ مُحَمَّدُ بْنُ دِينَارٍ الْبَصْرِيُّ عَنْ الزُّبَيْرِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ غَيْرُ مَحْفُوظٍ وَالصَّحِيحُ عِنْدَ أَهْلِ الْحَدِيثِ حَدِيثُ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ عَائِشَةَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَسَأَلْتُ مُحَمَّدًا عَنْ هَذَا فَقَالَ الصَّحِيحُ عَنْ ابْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ وَحَدِيثُ مُحَمَّدِ بْنِ دِينَارٍ وَزَادَ فِيهِ عَنْ الزُّبَيْرِ وَإِنَّمَا هُوَ هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ الزُّبَيْرِ وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَغَيْرِهِمْ . [12]
2-  (1070) وَقَالَتْ عَائِشَةُ أُنْزِلَ فِي الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ فَنُسِخَ مِنْ ذَلِكَ خَمْسٌ وَصَارَ إِلَى خَمْسِ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ حَدَّثَنَا بِذَلِكَ إِسْحَقُ بْنُ مُوسَى الْأَنْصَارِيُّ حَدَّثَنَا مَعْنٌ حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ عَنْ عَمْرَةَ عَنْ عَائِشَةَ بِهَذَا وَبِهَذَا كَانَتْ عَائِشَةُ تُفْتِي وَبَعْضُ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ وَإِسْحَقَ و قَالَ أَحْمَدُ بِحَدِيثِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُحَرِّمُ الْمَصَّةُ وَلَا الْمَصَّتَانِ و قَالَ إِنْ ذَهَبَ ذَاهِبٌ إِلَى قَوْلِ عَائِشَةَ فِي خَمْسِ رَضَعَاتٍ فَهُوَ مَذْهَبٌ قَوِيٌّ وَجَبُنَ عَنْهُ أَنْ يَقُولَ فِيهِ شَيْئًا و قَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَغَيْرِهِمْ يُحَرِّمُ قَلِيلُ الرَّضَاعِ وَكَثِيرُهُ إِذَا وَصَلَ إِلَى الْجَوْفِ وَهُوَ قَوْلُ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ وَمَالِكِ بْنِ أَنَسٍ وَالْأَوْزَاعِيِّ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُبَارَكِ وَوَكِيعٍ وَأَهْلِ الْكُوفَةِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ هُوَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ وَيُكْنَى أَبَا مُحَمَّدٍ وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ قَدْ اسْتَقْضَاهُ عَلَى الطَّائِفِ وَقَالَ ابْنُ جُرَيْجٍ عَنْ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ قَالَ أَدْرَكْتُ ثَلَاثِينَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

4. Al-Nasa’i - al-Nikah
1- (3256) أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الصَّبَّاحِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَوَاءٍ قَالَ حَدَّثَنَا سَعِيدٌ عَنْ قَتَادَةَ وَأَيُّوبُ عَنْ صَالِحٍ أَبِي الْخَلِيلِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ نَوْفَلٍ عَنْ أُمِّ الْفَضْلِ أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ الرَّضَاعِ فَقَالَ لَا تُحَرِّمُ الْإِمْلَاجَةُ وَلَا الْإِمْلَاجَتَانِ وَقَالَ قَتَادَةُ الْمَصَّةُ وَالْمَصَّتَانِ . [13]
2- (3255) أَخْبَرَنِي هَارُونُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا مَعْنٌ قَالَ حَدَّثَنَا مَالِكٌ وَالْحَارِثُ بْنُ مِسْكِينٍ قِرَاءَةً عَلَيْهِ وَأَنَا أَسْمَعُ عَنْ ابْنِ الْقَاسِمِ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ عَنْ عَمْرَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ فِيمَا أَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَقَالَ الْحَارِثُ فِيمَا أُنْزِلَ مِنْ الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهِيَ مِمَّا يُقْرَأُ مِنْ الْقُرْآنِ
3- (3257) أَخْبَرَنَا شُعَيْبُ بْنُ يُوسُفَ عَنْ يَحْيَى عَنْ هِشَامٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لآتُحَرِّمُ الْمَصَّةُ وَالْمَصَّتَانِ
4- (3258) أَخْبَرَنَا زِيَادُ بْنُ أَيُّوبَ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّةَ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لا تُحَرِّمُ الْمَصَّةُ وَالْمَصَّتَانِ
5- (3272) أَخْبَرَنَا يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى قَالَ أَنْبَأَنَا ابْنُ وَهْبٍ قَالَ أَخْبَرَنِي يُونُسُ وَمَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ قَالَ أَبَى سَائِرُ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَدْخُلَ عَلَيْهِنَّ بِتِلْكَ الرَّضْعَةِ أَحَدٌ مِنْ النَّاسِ يُرِيدُ رَضَاعَةَ الْكَبِيرِ وَقُلْنَ لِعَائِشَةَ وَاللَّهِ مَا نُرَى الَّذِي أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَهْلَةَ بِنْتَ سُهَيْلٍ إِلَّا رُخْصَةً فِي رَضَاعَةِ سَالِمٍ وَحْدَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاللَّهِ لَا يَدْخُلُ عَلَيْنَا أَحَدٌ بِهَذِهِ الرَّضْعَةِ وَلَا يَرَانَا
6-  (3260) أَخْبَرَنَا هَنَّادُ بْنُ السَّرِيِّ فِي حَدِيثِهِ عَنْ أَبِي الْأَحْوَصِ عَنْ أَشْعَثَ بْنِ أَبِي الشَّعْثَاءِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ مَسْرُوقٍ قَالَ قَالَتْ عَائِشَةُ دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدِي رَجُلٌ قَاعِدٌ فَاشْتَدَّ ذَلِكَ عَلَيْهِ وَرَأَيْتُ الْغَضَبَ فِي وَجْهِهِ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ أَخِي مِنْ الرَّضَاعَةِ فَقَالَ انْظُرْنَ مَا إِخْوَانُكُنَّ وَمَرَّةً أُخْرَى انْظُرْنَ مَنْ إِخْوَانُكُنَّ مِنْ الرَّضَاعَةِ فَإِنَّ الرَّضَاعَةَ مِنْ الْمَجَاعَةِ

5. Abu Daud-Nikah
1- (1762) حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ عُمَرَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ح و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ أَشْعَثَ بْنِ سُلَيْمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَائِشَةَ الْمَعْنَى وَاحِدٌ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَيْهَا وَعِنْدَهَا رَجُلٌ قَالَ حَفْصٌ فَشَقَّ ذَلِكَ عَلَيْهِ وَتَغَيَّرَ وَجْهُهُ ثُمَّ اتَّفَقَا قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ أَخِي مِنَ الرَّضَاعَةِ فَقَالَ انْظُرْنَ مَنْ إِخْوَانُكُنَّ فَإِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنَ الْمَجَاعَةِ.[14]
2- (1764) حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنَا عَنْبَسَةُ حَدَّثَنِي يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ حَدَّثَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ أَبَا حُذَيْفَةَ بْنَ عُتْبَةَ بْنِ رَبِيعَةَ بْنِ عَبْدِ شَمْسٍ كَانَ تَبَنَّى سَالِمًا وَأَنْكَحَهُ ابْنَةَ أَخِيهِ هِنْدَ بِنْتَ الْوَلِيدِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ رَبِيعَةَ وَهُوَ مَوْلًى لِامْرَأَةٍ مِنْ الْأَنْصَارِ كَمَا تَبَنَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَيْدًا وَكَانَ مَنْ تَبَنَّى رَجُلًا فِي الْجَاهِلِيَّةِ دَعَاهُ النَّاسُ إِلَيْهِ وَوُرِّثَ مِيرَاثَهُ حَتَّى أَنْزَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فِي ذَلِكَ ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ إِلَى قَوْلِهِ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ فَرُدُّوا إِلَى آبَائِهِمْ فَمَنْ لَمْ يُعْلَمْ لَهُ أَبٌ كَانَ مَوْلًى وَأَخًا فِي الدِّينِ فَجَاءَتْ سَهْلَةُ بِنْتُ سُهَيْلِ بْنِ عَمْرٍو الْقُرَشِيِّ ثُمَّ الْعَامِرِيِّ وَهِيَ امْرَأَةُ أَبِي حُذَيْفَةَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا نَرَى سَالِمًا وَلَدًا وَكَانَ يَأْوِي مَعِي وَمَعَ أَبِي حُذَيْفَةَ فِي بَيْتٍ وَاحِدٍ وَيَرَانِي فُضْلًا وَقَدْ أَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِيهِمْ مَا قَدْ عَلِمْتَ فَكَيْفَ تَرَى فِيهِ فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْضِعِيهِ فَأَرْضَعَتْهُ خَمْسَ رَضَعَاتٍ فَكَانَ بِمَنْزِلَةِ وَلَدِهَا مِنْ الرَّضَاعَةِ فَبِذَلِكَ كَانَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا تَأْمُرُ بَنَاتِ أَخَوَاتِهَا وَبَنَاتِ إِخْوَتِهَا أَنْ يُرْضِعْنَ مَنْ أَحَبَّتْ عَائِشَةُ أَنْ يَرَاهَا وَيَدْخُلَ عَلَيْهَا وَإِنْ كَانَ كَبِيرًا خَمْسَ رَضَعَاتٍ ثُمَّ يَدْخُلُ عَلَيْهَا وَأَبَتْ أُمُّ سَلَمَةَ وَسَائِرُ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُدْخِلْنَ عَلَيْهِنَّ بِتِلْكَ الرَّضَاعَةِ أَحَدًا مِنْ النَّاسِ حَتَّى يَرْضَعَ فِي الْمَهْدِ وَقُلْنَ لِعَائِشَةَ وَاللَّهِ مَا نَدْرِي لَعَلَّهَا كَانَتْ رُخْصَةً مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِسَالِمٍ دُونَ النَّاسِ
3- (1765) حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ الْقَعْنَبِيُّ عَنْ مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ عَنْ عَمْرَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ كَانَ فِيمَا أَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ يُحَرِّمْنَ ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ فَتُوُفِّيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُنَّ مِمَّا يُقْرَأُ مِنْ الْقُرْآنِ
4- (1766) حَدَّثَنَا مُسَدَّدُ بْنُ مُسَرْهَدٍ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُحَرِّمُ الْمَصَّةُ وَلَا الْمَصَّتَانِ
5- (1763) حَدَّثَنَا عَبْدُ السَّلَامِ بْنُ مُطَهَّرٍ أَنَّ سُلَيْمَانَ بْنَ الْمُغِيرَةِ حَدَّثَهُمْ عَنْ أَبِي مُوسَى عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنٍ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ لَا رِضَاعَ إِلَّا مَا شَدَّ الْعَظْمَ وَأَنْبَتَ اللَّحْمَ فَقَالَ أَبُو مُوسَى لَا تَسْأَلُونَا وَهَذَا الْحَبْرُ فِيكُمْ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سُلَيْمَانَ الْأَنْبَارِيُّ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ الْمُغِيرَةِ عَنْ أَبِي مُوسَى الْهِلَالِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَعْنَاهُ وَقَالَ أَنْشَزَ الْعَظْمَ
6. Ibnu Majah-Nikah
1-    (1935) حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ أَشْعَثَ بْنِ أَبِي الشَّعْثَاءِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَيْهَا وَعِنْدَهَا رَجُلٌ فَقَالَ مَنْ هَذَا قَالَتْ هَذَا أَخِي قَالَ انْظُرُوا مَنْ تُدْخِلْنَ عَلَيْكُنَّ فَإِنَّ الرَّضَاعَةَ مِنْ الْمَجَاعَةِ . [15]
2- (1930) حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بِشْرٍ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عَرُوبَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَبِي الْخَلِيلِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ حَدَّثَتْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُحَرِّمُ الرَّضْعَةُ وَلَا الرَّضْعَتَانِ أَوْ الْمَصَّةُ وَالْمَصَّتَانِ
3- (1931) حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ خَالِدِ بْنِ خِدَاشٍ حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّةَ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُحَرِّمُ الْمَصَّةُ وَالْمَصَّتَانِ
4- (1932) حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ بْنُ عَبْدِ الصَّمَدِ بْنِ عَبْدِ الْوَارِثِ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَمْرَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ كَانَ فِيمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنْ الْقُرْآنِ ثُمَّ سَقَطَ لَا يُحَرِّمُ إِلَّا عَشْرُ رَضَعَاتٍ أَوْ خَمْسٌ مَعْلُومَاتٌ
5- (1937) حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رُمْحٍ الْمِصْرِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ لَهِيعَةَ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ وَعُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَخْبَرَنِي أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَمْعَةَ عَنْ أُمِّهِ زَيْنَبَ بِنْتِ أَبِي سَلَمَةَ أَنَّهَا أَخْبَرَتْهُ أَنَّ أَزْوَاجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلَّهُنَّ خَالَفْنَ عَائِشَةَ وَأَبَيْنَ أَنْ يَدْخُلَ عَلَيْهِنَّ أَحَدٌ بِمِثْلِ رَضَاعَةِ سَالِمٍ مَوْلَى أَبِي حُذَيْفَةَ وَقُلْنَ وَمَا يُدْرِينَا لَعَلَّ ذَلِكَ كَانَتْ رُخْصَةً لِسَالِمٍ وَحْدَهُ

7. Ahmad

1- (22899) حَدَّثَنَا مُعْتَمِرٌ عَنْ أَيُّوبَ عَنِ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنِ ابْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُحَرِّمُ الْمَصَّةُ وَالْمَصَّتَانِ. [16]
2- (15528) قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ هِشَامٍ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبِي عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُحَرِّمُ مِنْ الرَّضَاعِ الْمَصَّةُ وَالْمَصَّتَانِ
3- (15537) قَالَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ أَبِيهِ عَنِ ابْنِ الزُّبَيْرِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُحَرِّمُ الْمَصَّةُ وَالْمَصَّتَانِ
4- (23503) حَدَّثَنَا عَفَّانُ قَالَ حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ قَالَ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُحَرِّمُ الْمَصَّةُ وَلَا الْمَصَّتَانِ
5- (24628) حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ أَخْبَرَنَا أَيُّوبُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُحَرِّمُ الْمَصَّةُ وَلَا الْمَصَّتَانِ
6- (24904) حَدَّثَنَا عُثْمَانُ قَالَ حَدَّثَنَا يُونُسُ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُحَرِّمُ الْمَصَّةُ وَلَا الْمَصَّتَانِ
7- (25651) حَدَّثَنَا بَهْزٌ وَعَفَّانُ قَالَا حَدَّثَنَا هَمَّامٌ قَالَ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَبِي الْخَلِيلِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ عَنْ أُمِّ الْفَضْلِ بِنْتِ الْحَارِثِ سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتُحَرِّمُ الْمَصَّةُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لا وَقَالَ عَفَّانُ إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ فَذَكَرَهُ
8- (24470) حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ قَالَ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ قَالَ أَخْبَرَنَا ابْنُ شِهَابٍ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ أَبَا حُذَيْفَةَ تَبَنَّى سَالِمًا وَهُوَ مَوْلًى لِامْرَأَةٍ مِنْ الْأَنْصَارِ كَمَا تَبَنَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَيْدًا وَكَانَ مَنْ تَبَنَّى رَجُلًا فِي الْجَاهِلِيَّةِ دَعَاهُ النَّاسُ ابْنَهُ وَوَرِثَ مِنْ مِيرَاثِهِ حَتَّى أَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ فَرُدُّوا إِلَى آبَائِهِمْ فَمَنْ لَمْ يُعْلَمْ لَهُ أَبٌ فَمَوْلًى وَأَخٌ فِي الدِّينِ فَجَاءَتْ سَهْلَةُ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ كُنَّا نَرَى سَالِمًا وَلَدًا يَأْوِي مَعِي وَمَعَ أَبِي حُذَيْفَةَ وَيَرَانِي فُضُلًا وَقَدْ أَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِيهِمْ مَا قَدْ عَلِمْتَ فَقَالَ أَرْضِعِيهِ خَمْسَ رَضَعَاتٍ فَكَانَ بِمَنْزِلَةِ وَلَدِهِ مِنْ الرَّضَاعَةِ
9- (24983) حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ عُمَرَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ امْرَأَةَ أَبِي حُذَيْفَةَ فَأَرْضَعَتْ سَالِمًا خَمْسَ رَضَعَاتٍ فَكَانَ يَدْخُلُ عَلَيْهَا بِتِلْكَ الرَّضَاعَةِ
10- (25111) حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ قَالَ حَدَّثَنَا أَبِي عَنِ ابْنِ إِسْحَاقَ قَالَ حَدَّثَنِي الزُّهْرِيُّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ أَتَتْ سَهْلَةُ بِنْتُ سُهَيْلٍ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ لَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ سَالِمًا كَانَ مِنَّا حَيْثُ قَدْ عَلِمْتَ أَنَّا كُنَّا نَعُدُّهُ وَلَدًا فَكَانَ يَدْخُلُ عَلَيَّ كَيْفَ شَاءَ لَا نَحْتَشِمُ مِنْهُ فَلَمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ فِيهِ وَفِي أَشْبَاهِهِ مَا أَنْزَلَ أَنْكَرْتُ وَجْهَ أَبِي حُذَيْفَةَ إِذَا رَآهُ يَدْخُلُ عَلَيَّ قَالَ فَأَرْضِعِيهِ عَشْرَ رَضَعَاتٍ ثُمَّ لِيَدْخُلْ عَلَيْكِ كَيْفَ شَاءَ فَإِنَّمَا هُوَ ابْنُكِ فَكَانَتْ عَائِشَةُ تَرَاهُ عَامًّا لِلْمُسْلِمِينَ وَكَانَ مَنْ سِوَاهَا مِنْ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرَى أَنَّهَا كَانَتْ خَاصَّةً لِسَالِمٍ مَوْلَى أَبِي حُذَيْفَةَ الَّذِي ذَكَرَتْ سَهْلَةُ مِنْ شَأْنِهِ رُخْصَةً لَهُ
11- (25125) حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ أَخِي ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عَمِّهِ قَالَ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ أَتَتْ سَهْلَةُ بِنْتُ سُهَيْلِ بْنِ عَمْرٍو وَكَانَتْ تَحْتَ أَبِي حُذَيْفَةَ بْنِ عُتْبَةَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنَّ سَالِمًا مَوْلَى أَبِي حُذَيْفَةَ يَدْخُلُ عَلَيْنَا وَإِنَّا فُضُلٌ وَإِنَّا كُنَّا نَرَاهُ وَلَدًا وَكَانَ أَبُو حُذَيْفَةَ تَبَنَّاهُ كَمَا تَبَنَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَيْدًا فَأَنْزَلَ اللَّهُ ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَأَمَرَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ أَنْ تُرْضِعَ سَالِمًا فَأَرْضَعَتْهُ خَمْسَ رَضَعَاتٍ وَكَانَ بِمَنْزِلَةِ وَلَدِهَا مِنْ الرَّضَاعَةِ فَبِذَلِكَ كَانَتْ عَائِشَةُ تَأْمُرُ أَخَوَاتِهَا وَبَنَاتِ أَخَوَاتِهَا أَنْ يُرْضِعْنَ مَنْ أَحَبَّتْ عَائِشَةُ أَنْ يَرَاهَا وَيَدْخُلَ عَلَيْهَا وَإِنْ كَانَ كَبِيرًا خَمْسَ رَضَعَاتٍ ثُمَّ يَدْخُلُ عَلَيْهَا وَأَبَتْ أُمُّ سَلَمَةَ وَسَائِرُ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُدْخِلْنَ عَلَيْهِنَّ بِتِلْكَ الرَّضَاعَةِ أَحَدًا مِنْ النَّاسِ حَتَّى يَرْضَعَ فِي الْمَهْدِ وَقُلْنَ لِعَائِشَةَ وَاللَّهِ مَا نَدْرِي لَعَلَّهَا كَانَتْ رُخْصَةً مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِسَالِمٍ مِنْ دُونِ النَّاسِ
12- (23491) حَدَّثَنَا بَهْزٌ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ حَدَّثَنَا أَشْعَثُ بْنُ سُلَيْمٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَاهُ يُحَدِّثُ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَيْهَا وَعِنْدَهَا رَجُلٌ قَالَ فَتَغَيَّرَ وَجْهُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَأَنَّهُ شَقَّ عَلَيْهِ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَخِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْظُرْنَ مَا إِخْوَانُكُنَّ فَإِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنْ الْمَجَاعَةِ
13- (25639) حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ أَبِي الْخَلِيلِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ الْهَاشِمِيِّ عَنْ أُمِّ الْفَضْلِ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَيْتِي فَجَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَانَتْ لِي امْرَأَةٌ فَتَزَوَّجْتُ عَلَيْهَا امْرَأَةً أُخْرَى فَزَعَمَتْ امْرَأَتِي الْأُولَى أَنَّهَا أَرْضَعَتْ امْرَأَتِي الْحُدْثَى إِمْلَاجَةً أَوْ إِمْلَاجَتَيْنِ وَقَالَ مَرَّةً رَضْعَةً أَوْ رَضْعَتَيْنِ فَقَالَ لا تُحَرِّمُ الْإِمْلَاجَةُ وَلَا الْإِمْلَاجَتَانِ أَوْ قَالَ الرَّضْعَةُ أَوْ الرَّضْعَتَانِ
14- (25645) حَدَّثَنَا أَبُو كَامِلٍ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَبِي الْخَلِيلِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ عَنْ أُمِّ الْفَضْلِ أَنَّ الرَّسُولَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُحَرِّمُ الْإِمْلَاجَةُ أَوْ الْإِمْلَاجَتَانِ
15- (23922) حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ أَشْعَثَ بْنِ أَبِي الشَّعْثَاءِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنْ الْمَجَاعَةِ
16- (24248) حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ وَبَهْزٌ قَالَا حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ بَهْزٌ حَدَّثَنَا أَشْعَثُ بْنُ سُلَيْمٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَاهُ يُحَدِّثُ وَقَالَ مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنِ الْأَشْعَثِ بْنِ سُلَيْمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَيْهَا وَعِنْدَهَا رَجُلٌ فَكَأَنَّهُ غَضِبَ فَقَالَتْ إِنَّهُ أَخِي قَالَ انْظُرْنَ مَا إِخْوَانُكُنَّ فَإِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنْ الْمَجَاعَةِ
17- (24608) حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ أَشْعَثَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَى عَائِشَةَ وَعِنْدَهَا رَجُلٌ قَالَ فَقَالَ مَنْ هَذَا قَالَتْ أَخِي مِنْ الرَّضَاعَةِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْظُرُوا مَنْ تُرْضِعُونَ فَإِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنْ الْمَجَاعَةِ قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ انْظُرْنَ مَا إِخْوَانُكُنَّ إِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنْ الْمَجَاعَةِ
8. Al-Darimi

1- (2151) حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنِي اللَّيْثُ حَدَّثَنِي يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُحَرِّمُ الْمَصَّةُ وَالْمَصَّتَانِ
2- (2152) أَخْبَرَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ أَبِي الْخَلِيلِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ عَنْ أُمِّ الْفَضْلِ أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي قَدْ تَزَوَّجْتُ امْرَأَةً وَعِنْدِي أُخْرَى فَزَعَمَتْ الْأُولَى أَنَّهَا أَرْضَعَتْ الْحُدْثَى فَقَالَ لَا تُحَرِّمُ الْإِمْلَاجَةُ وَلَا الْإِمْلَاجَتَانِ
3- (2153) أَخْبَرَنَا إِسْحَقُ أَخْبَرَنَا رَوْحٌ حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ عَنْ عَمْرَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ نَزَلَ الْقُرْآنُ بِعَشْرِ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُنَّ مِمَّا يُقْرَأُ مِنْ الْقُرْآنِ
4- (2156) أَخْبَرَنَا أَبُو الْوَلِيدِ الطَّيَالِسِيُّ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَشْعَثَ بْنِ سُلَيْمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَيْهَا وَعِنْدَهَا رَجُلٌ فَتَغَيَّرَ وَجْهُهُ وَكَأَنَّهُ كَرِهَ ذَلِكَ فَقُلْتُ إِنَّهُ أَخِي مِنْ الرَّضَاعَةِ فَقَالَ انْظُرْنَ مَا إِخْوَانُكُنَّ فَإِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنْ الْمَجَاعَةِ

9. Malik
1- (1106) و حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَقُولُ لَا رَضَاعَةَ إِلَّا لِمَنْ أُرْضِعَ فِي الصِّغَرِ وَلَا رَضَاعَةَ لِكَبِيرٍ
2- (1111) و حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ أَنَّهُ قَالَ سَمِعْتُ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيَّبِ يَقُولُ لَا رَضَاعَةَ إِلَّا مَا كَانَ فِي الْمَهْدِ وَإِلَّا مَا أَنْبَتَ اللَّحْمَ وَالدَّمَ
3- (1115) و حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ أَبَا مُوسَى الْأَشْعَرِيَّ فَقَالَ إِنِّي مَصِصْتُ عَنْ امْرَأَتِي مِنْ ثَدْيِهَا لَبَنًا فَذَهَبَ فِي بَطْنِي فَقَالَ أَبُو مُوسَى لَا أُرَاهَا إِلَّا قَدْ حَرُمَتْ عَلَيْكَ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ انْظُرْ مَاذَا تُفْتِي بِهِ الرَّجُلَ فَقَالَ أَبُو مُوسَى فَمَاذَا تَقُولُ أَنْتَ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ لَا رَضَاعَةَ إِلَّا مَا كَانَ فِي الْحَوْلَيْنِ فَقَالَ أَبُو مُوسَى لَا تَسْأَلُونِي عَنْ شَيْءٍ مَا كَانَ هَذَا الْحَبْرُ بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ
4-    (1114) و حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ أَنَّهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ وَأَنَا مَعَهُ عِنْدَ دَارِ الْقَضَاءِ يَسْأَلُهُ عَنْ رَضَاعَةِ الْكَبِيرِ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقَالَ إِنِّي كَانَتْ لِي وَلِيدَةٌ وَكُنْتُ أَطَؤُهَا فَعَمَدَتْ امْرَأَتِي إِلَيْهَا فَأَرْضَعَتْهَا فَدَخَلْتُ عَلَيْهَا فَقَالَتْ دُونَكَ فَقَدْ وَاللَّهِ أَرْضَعْتُهَا فَقَالَ عُمَرُ أَوْجِعْهَا وَأْتِ جَارِيَتَكَ فَإِنَّمَا الرَّضَاعَةُ رَضَاعَةُ الصَّغِيرِ
5- (1113) حَدَّثَنِي يَحْيَى عَنْ مَالِك عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ رَضَاعَةِ الْكَبِيرِ فَقَالَ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ أَبَا حُذَيْفَةَ بْنَ عُتْبَةَ بْنِ رَبِيعَةَ وَكَانَ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ قَدْ شَهِدَ بَدْرًا وَكَانَ تَبَنَّى سَالِمًا الَّذِي يُقَالُ لَهُ سَالِمٌ مَوْلَى أَبِي حُذَيْفَةَ كَمَا تَبَنَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَيْدَ بْنَ حَارِثَةَ وَأَنْكَحَ أَبُو حُذَيْفَةَ سَالِمًا وَهُوَ يَرَى أَنَّهُ ابْنُهُ أَنْكَحَهُ بِنْتَ أَخِيهِ فَاطِمَةَ بِنْتَ الْوَلِيدِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ رَبِيعَةَ وَهِيَ يَوْمَئِذٍ مِنْ الْمُهَاجِرَاتِ الْأُوَلِ وَهِيَ مِنْ أَفْضَلِ أَيَامَى قُرَيْشٍ فَلَمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ فِي زَيْدِ بْنِ حَارِثَةَ مَا أَنْزَلَ فَقَالَ ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ رُدَّ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْ أُولَئِكَ إِلَى أَبِيهِ فَإِنْ لَمْ يُعْلَمْ أَبُوهُ رُدَّ إِلَى مَوْلَاهُ فَجَاءَتْ سَهْلَةُ بِنْتُ سُهَيْلٍ وَهِيَ امْرَأَةُ أَبِي حُذَيْفَةَ وَهِيَ مِنْ بَنِي عَامِرِ بْنِ لُؤَيٍّ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ كُنَّا نَرَى سَالِمًا وَلَدًا وَكَانَ يَدْخُلُ عَلَيَّ وَأَنَا فُضُلٌ وَلَيْسَ لَنَا إِلَّا بَيْتٌ وَاحِدٌ فَمَاذَا تَرَى فِي شَأْنِهِ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْضِعِيهِ خَمْسَ رَضَعَاتٍ فَيَحْرُمُ بِلَبَنِهَا وَكَانَتْ تَرَاهُ ابْنًا مِنْ الرَّضَاعَةِ فَأَخَذَتْ بِذَلِكَ عَائِشَةُ أُمُّ الْمُؤْمِنِينَ فِيمَنْ كَانَتْ تُحِبُّ أَنْ يَدْخُلَ عَلَيْهَا مِنْ الرِّجَالِ فَكَانَتْ تَأْمُرُ أُخْتَهَا أُمَّ كُلْثُومٍ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ وَبَنَاتِ أَخِيهَا أَنْ يُرْضِعْنَ مَنْ أَحَبَّتْ أَنْ يَدْخُلَ عَلَيْهَا مِنْ الرِّجَالِ وَأَبَى سَائِرُ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَدْخُلَ عَلَيْهِنَّ بِتِلْكَ الرَّضَاعَةِ أَحَدٌ مِنْ النَّاسِ وَقُلْنَ لَا وَاللَّهِ مَا نَرَى الَّذِي أَمَرَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَهْلَةَ بِنْتَ سُهَيْلٍ إِلَّا رُخْصَةً مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَضَاعَةِ سَالِمٍ وَحْدَهُ لَا وَاللَّهِ لَا يَدْخُلُ عَلَيْنَا بِهَذِهِ الرَّضَاعَةِ أَحَدٌ فَعَلَى هَذَا كَانَ أَزْوَاجُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَضَاعَةِ الْكَبِيرِ
6- (1118) و حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرِ بْنِ حَزْمٍ عَنْ عَمْرَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا قَالَتْ كَانَ فِيمَا أُنْزِلَ مِنْ الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِيمَا يُقْرَأُ مِنْ الْقُرْآنِ قَالَ يَحْيَى قَالَ مَالِك وَلَيْسَ عَلَى هَذَا الْعَمَلُ

       III. Kualitas Hadis
1. Kritik Sanad Hadis
            Dalam kegiatan kritik sanad hadis, penulis memfokuskan pada jalur yang ditakhrij Imam Bukhari dengan sistematika rentetan sanad yang dimulai dari Sanad I/periwayat terakhir/mukharrij hingga sanad terakhir/ periwayat I, yaitu: Imam al-Bukhari, Muhammad bin Katsir, Sufyan, Asy’ats bin Abi Sya’tsa’, Abihi, Masruq, dan Aisyah.
  1. Al-Bukhari
Nama aslinya adalah Muhammad bin Ismail, kakeknya bernama Ibrahim ibn Mughirah. Beliau dilahirkan pada hari Jum’at, tanggal 13 Syawal tahun 149 H di Bukhara. Di tempat kelahirannya inilah ia dinisbahkan untuk selanjutnya dimasyhurkan dengan nama al-Bukhari. Beliau wafat pada malam Sabtu (setelah shalat Isya) bertepatan dengan malam Idul Fitri tahun 256 H di Samarkand.[17]
Bukhari menggeluti ilmu di bidang hadis sejak usia 16 tahun dan belajar kepada ulama-ulama besar di berbagai negeri-negeri Islam. Secara ringkas dapat disebutkan sebagai berikut: Humaidi (Makkah), Abd al-Azis (Madinah), Makki ibn Ibrahim (Balakh), Ali ibn Hasan dan Abdullah ibn Usman (Marwa), Yahya ibn Yahya (Naisabur), Ibrahim ibn Musa (Rai), Surai ibn Nu’man dan Ahmad ibn Hambal (Baghdad), Abu Askim Nabail (Bashrah), Thaliq ibn Ghanam dan Khalad ibn Yahya (Kufah), dan Sa’id ibn Katsir (Mesir) dan lain-lain.[18]
            Beberapa penilaian ulama terhadap beliau antara lain:[19]
-   Muhammad ibn Hamdawiyah; saya pernah mendengar al-Bukhari berkata: Saya hafal 100.000 hadis sahih dan 250.000 hadis yang tidak sahih.
-   Abu Bakar al-Kaluzani; Saya tidak pernah melihat orang secerdas Muhammad ibn Ismail, ia mengambil ilmu dari kitab demi kitab, sekali ditelaahnya, ia dapat menghafal seluruh hadis yang ada.  
-   Muhammad bin Hatim; Saya pernah bertanya kepada Muhammad bin Ismail, adakah anda menghafal semua yang anda susun di dalam kitab-kitab? Beliau menjawab: Tidak ada yang tersembunyi pada saya apa yang terdapat di dalamnya.
            Penggunaan sighat tahammul dengan kualitas tinggi (حدثنا), antara Bukhari dan Muhammad bin Katsir membuktikan adanya pertemuan dan pengakuan guru-murid di antara keduanya dan dapat menjadikan kedudukan riwayat ini diterima.
b.      Muhammad bin Katsir.[20]
Kuniyah-nya ialah Abu Abdullah, dan laqab-nya ialah al-‘Abdiy, al-Bashriy. Ia meriwayatkan hadis dari beberapa orang di antaranya: Ibrahim bin Nafi’ (Abu Ishaq), Isra’il bin Yunus bin Abi Ishak (Abu Yusuf), Ja’far bin Sulaiman (Abu Sulaiman), Sufyan bin Sa’id bin Masruq (Abu Abdullah), Sulaiman bin Katsir (Abu Daud), Sulaiman bin Mughirah (Abu Sa’id), Syu’bah bin al-Hajjaj bin al-Warid (Abu Bustham), Abd al-Rahman bin Amr bin Abi Amr (Abu Amr), Mahdi bin Maymun (Abu Yahya). Hummam bin Yahya bin Dinar (Abu Abdullah).
Adapun murid beliau yaitu: Al-Husayn bin Muhammad al-Ja’far (Abu Ali), Abd al-hamid bin Hamid bin Nashir (Abu Bakar), Abullah bin Abd al-Rahman bin al-Fadhl bin Bahram (Abu Muhammad), Muhammad bin Ismail bin Ibrahim (Abu Abdullah). Muhammad bin Ismail bin Ibrahim, Muhammad bin Ma’mar (Abu Abdullah), Muhammad bin Yahya bin Abdullah bin Faris (Abu Abdullah) dan lain-lain.
Mengenai kredibilitas beliau menurut Abd al-Gaffar adalah tsiqah dan tidak ditemukan hal yang melemahkannya. Begitupula beberapa pendapat yang diungkap dalam Maushu’ah al-hadis al-Syarif (CD Digital), antara lain: Ahmad bin Hambal dan Ibnu Hibban menilai tsiqah, Abu Hatim al-Razi menilai suduq. Namun Yahya bin Mu’ayyin menilai bahwa beliau belum mencapai derajat tsiqah, sedangkan Ibnu Qana’ menilainya dha’if. Muhammad bin Katsir wafat di usia 90 tahun pada tahun 223 H.
c.       Sufyan[21]
Nama lengkapnya ialah Sufyan bin Sa’id bin Masruq, kuniyah-nya yaitu Abu Abdullah dan laqab-nya adalah al-Tsaury, al-Kufiy. Guru-guru beliau antara lain: Adam bin Sulaiman (Abu Yahya), Ibrahim bin Amir bin Mas’ud, Ibrahim bin Abd al-A’la, Ibrahim bin Uqbah bin Abi ‘Iyasy, Ibrahim bin Muhammad bin Muntasyir bin al-Ajda’, Ibrahim bin Muhajir bin Jabir (Abu Ishaq), Ibrahim bin Maisarah, Abu Bakar bin Abdullah bin Abi Jahm (Abu Bakar) dan lain-lain.
Adapun para murid beliau antara lain: Ibrahim bin Sa’id bin Ibrahim, bin Abd al-Rahman bin Auf (Abu Ishaq), Ibrahim bin Thahman bin Syu’bah (Abu Sa’id), Ibrahim bin Muhammad bin al-Harits bin Asma’ bin Kharijah (Abu Ishak), Asbath bin Muhammad bin Abd al-Rahman (Abu Muhammad), Ishaq bin Isma’il (Abu Ya’qub), Ishaq bin Yusuf bin Mirdas (Abu Muhammad) dan masih banyak lagi lainnya.
Menyangkut tentang kredibilitas beliau, maka ulama menilainya tsiqah, hafidz, Imam yang dijadikan hujjah. Beliau wafat pada tahun 161 H.
d.      Asy’ats bin Abi Sya’tsa’ (w. 125 H)[22]
Nama lengkapnya adalah Asy’ats ibn Abi al-Sya’tsa’ Salim ibn Yazid, Aswad bin Hilal dan lainnya. Sedang murid-muridnya: Syu’bah, al-Tsauri, Abu al-Ahwash dan selain mereka.[23]
Mayoritas Ulama Hadis menilai beliau dengan penilaian positif. Ibn Ma’in, Abu Hamid dan al-Nasa’iy menilainya sebagai tsiqah, hal senada diungkapkan pula oleh Ahmad bin Hambal.[24]
Berdasarkan data itu, diperkirakan terjadi pertemuan guru dan murid karena adanya pengakuan dari kedua belah pihak. Dengan demikian terjadi ittisal al-Sanad yang memungkinkan diterimanya riwayat dari beliau.
e.       Abihi (w. 85 H)[25]
Abihi yang dimaksud dalam hadis tersebut yakni Salim bin Aswad bin Hanzhalah al-Muharabiy al-Kufi.[26] Guru-gurunya antara lain: Abu Dzar, Huzaifah, Ibn Mas’ud, Salman al-Faris, Abu Hurairah dan lain-lain. Sedangkan murid-muridnya yaitu: anaknya sendiri (Asy’ats bin Abi Sya’tsa’), Ibrahim ibn Muhajir, Hubaib ibn Abi Tsabit.
Penilaian para kritikus hadis terhadap pribadi beliau umumnya menilai dengan predikat ta’dil dan tsiqah. Hal ini misalnya diungkapkan oleh Ibn Ma’in, Ahmad bin Hambal, al-Nasa’iy, al-Ajaly. Abu Hatim al-Razi mengatakan bahwa keteladanan beliau tidak diragukan. Begitu pula penilaian yang dikemukakan oleh Ibn Sa’ad dan Abd al-Bar, keduanya menilainya sebagai orang yang tsiqah.[27]
Sekalipun Salim ibn Aswad menerima hadis dari gurunya (Masruq) dengan lambang tahammul al-Hadis yang masih diperselisihkan, yaitu عن , namun atas dasar penilaian kritikus hadis yang mayoritas menilai beliau dengan predikat tsiqah dan ditunjang adanya pengakuan antara guru dan murid terjadi pertemuan, maka riwayat beliau dapat diterima sebagai hadis sahih.
       f. Masruq (w. 63 H)[28]
            Nama lengkapnya adalah Masruq ibn al-Aida ibn Malik ibn Umayyah ibn Abdillah ibn Murra ibn Salaman ibn Ma’mar ibn al-Harits ibn Sa’id bin Abdullah bin Wada’ah. Adapun ulama yang menjadi gurunya antara lain: Abu Bakar, Umar, Aisyah, dan Umm Salamah. Sedangkan murid beliau cukup banyak, di antaranya: Abu al-Wa’il, Abu al-Duha, Abd al-Rahman ibn Mas’ud, Abi al-Sya’tsa’, dan lain-lain.
            Penilaian kritikus hadis terhadap peribadi beliau secara umum menilai sebagai orang tsiqah, di antaranya: Menurut al-‘Ajaly, Ibn Main dan Ibn Sa’ad bahwa ia termasuk tabi’in kufah yang tsiqah dan banyak hadisnya.[29]
            Melalui penilaian ulama hadis terhadap beliau, dan pengakuan antara murid dan guru, maka dapat ditetapkan bahwa antara Masruq dan Aisyah adalah muttasil dan dapat diterima riwayatnya.
  1. Aisyah (w. 57/58 H)[30]
Nama lengkapnya adalah Aisyah binti Abi Bakar al-Shiddiq, digelar dengan umm al-Mu’minin. Kuniyah-nya ialah Umm Abdillah al-Fiqhiyah dan laqab-nya ialah al-Taimiyah.[31] Beliau salah seorang isteri Rasulullah Saw., diperisterikan oleh Nabi pada usia sekitar enam atau tujuh tahun sebelum hijrah ketika Khadijah telah wafat dan Nabi telah memperisteri Saudah (seorang janda yang telah lanjut usia). Aisyah tinggal bersama Nabi ketika telah berumur sembilan tahun.[32]
Guru-gurunya: Rasulullah Saw., Abu Bakar al-Shiddiq, Umar, Hamzah bin Aslamy. Sedangkan murid-muridnya: Umm Kalsum binti Abi Bakar, Auf ibn Haris ibn al-Tafil, Amrah binti abd al-Rahman.[33]
Pandangan beberapa kritikus hadis tentang beliau:[34]
1.    Anas bin Malik; Rasulullah bersabda: “Keutamaan Aisyah terhadap wanita (lainnya) bagaikan keutamaan roti kuah terhadap semua makanan”.
2.    Abu Musa al-Asy’ari: Tidak satupun yang kami tanyakan kepada Aisyah kecuali kami mendapatkan jawabannya.
3.    Hisyam ibn Urwah: Saya tidak melihat seorang yang lebih mengetahui tentang fikih, obat-obatan, syair Arab daripada Aisyah. Aisyah adalah orang keempat dari tujuh sahabat yang banyak meriwayatkan hadis (bendaharawan hadis).[35]
            Aisyah dikenal memiliki banyak keutamaan, cerdas, memiliki pengetahaun Islam yang luas. Di kalangan sahabat, Aisyah termasuk banyak menyampaikan fatwa agama.[36] Berbagai komentar dan pujian terhadap Aisyah dapat menyimpulkan kredibilitas beliau ke dalam shahih al-Sanad.
            Berdasarkan penilitian dari masing-masing periwayat tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa:
  1. Para periwayat yang diteliti memiliki kredibilitas pribadi dan kemampuan intelektual yang diakui oleh mayoritas ulama/kritikus hadis.
  2. Penggunaan lambang-lambang yang berkualitas tinggi dalam penerimaan riwayat menunjukkan kedekatan antara guru dan murid, di antaranya adalah lambang haddatsana.
  3. Melihat kepada tahun kelahiran atau tahun wafat masing-masing periwayat mengindikasikan adanya tahammul dan ada’ antara guru dan murid yang menunjukkan adanya proses transmisi ketersambungan sanad.
Dengan demikian, hadis tersebut secara sanad berkualitas Sahih.
2. Kritik Matan Hadis
            Beberapa indikator dalam menentukan kesahihan matan hadis ini tentunya mengacu pada kriteria apakah hadis tersebut terhindar dari syadz dan illat. Untuk itu, beberapa hal yang menjadi syarat kesahihan matan antara lain; Tidak bertentangan dengan: petunjuk Alquran, akal sehat, ilmu pengetahuan dan sejarah, hadis-hadis mutawatir, hadis-hadis yang disepakati ulama, dalil-dalil qat’iy, hadis ahad yang derajat kesahihannya lebih tsiqah, dan susunan pernyataannya menunjukkan sabda kenabian.
Berdasarkan kriteria kesahihan matan yang dijadikan sebagai tolak ukur dalam penelitian matan, maka akan dilihat satu persatu persesuaian atau pertentangan dengan kriteria-kriteria tersebut.
a.       Posisinya terhadap nash-nash yang sifatnya qath’íy tidaklah bertentangan. Sebaliknya, isinya sangat sesuai dengan prinsip-prinsip petunjuk umum Alqurán dan merupakan penjelasan terhadap hadis-hadis yang berkaitan dengan kuantitas susuan yang menyebabkan mahram. Bahwasanya yang menjadikan ukuran kemahraman adalah pada saat lapar si bayi menyusu pada seorang perempuan sampai ia kenyang, dan kenyangnya seorang bayi tidak cukup hanya satu atau dua kali, tapi bisa tiga atau lima kali susuan.
b.      Secara logika, hadis itu sejalan dengan akal sehat, karena adanya perintah Nabi untuk memperhatikan saudara-saudara susuan dengan berdasar pada rasa lapar sampai kenyang.
c.       Susunan redaksi tampak bisa diterima, sebab berisi petunjuk ajaran agama yang berada pada koridor kewajaran. Petunjuk ini merupakan bentuk antisipatif atau protektif terhadap kemungkinan kesalahpahaman hubungan mahram yang juga berimplikasi kepada mashlahah yang lebih luas.
d.      Tidak bertentangan dengan fakta sejarah serta memenuhi unsur sebagai sabda kenabian (hadis) yakni ada periwayat, sanad, dan matan.[37]
Melalui tolak ukur tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa matan hadis tersebut berkualitas shahih.
3. Sabab al-Wurud Hadis
            Hadis tersebut diucapkan Nabi ketika menemukan Aisyah menerima tamu lelaki di rumah beliau, sedang beliau tidak mengetahui siapa lelaki yang bersama Aisyah tersebut, lalu Aisyah menjelaskan bahwa lelaki itu adalah mahram Aisyah karena susuan. Lalu nabi mengingatkan untuk memperhatikan kriteria susuan, yakni bersumber dari rasa lapar dan mengenyangkan.[38]
4. Analisis Kosa Kata dan Pendapat Para Ulama
Kata al-Radhaáh (menyusukan) memiliki makna dasar yang berarti:
وهو شرب اللبان من الضرع او الثدي .[39]
Secara etimologis, al-Radha’ah berarti suatu nama untuk isapan atau sedotan air susu dari al-Sady (payudara), baik yang dimiliki oleh manusia maupun susu binatang. [40]
Jika titik berat dalam pengertian leksikal ini terletak pada isapan dari al-Sady, maka jika air susu itu diperah kemudian diminumkan kepada seseorang, hal tersebut tidak dinamakan radha’ah. Dalam pengertian ini pula tidak diisyaratkan besar kecilnya orang yang menyusu.[41] Dengan kata lain, siapapun yang menyusu, dewasa atau bayi, kepada manusia atau binatang, dinamakan radha’ah.
Ketika istilah ini dibawa ke dalam hukum Islam, maka pengertiannya dirumuskan sebagai berikut: وصول لبن ادمية الي جوف الطفل لم يذد سنه علي حولين,[42] yakni “Sampainya air susu sang ibu ke dalam perut bayi yang belum berumur lebih dari dua tahun”. Dengan definisi tersebut, maka pengertian radha’ah menjadi lebih terbatas secara terminologi dengan ketentuan:
1)       Jika dalam pengertian etimologi radha’ah mencakup manusia dan binatang, maka dalam pengertian terminologinya terbatas pada manusia saja.
2)       Jika radha’ah dalam makna awalnya (lughawi) tidak terbatas pada siapa saja yang meminum air susu, maka dalam pengertian istilahi, orang yang menyusu terbatas pada al-Tifl (anak-anak) saja. Artinya, penyusuan yang dilakukan oleh orang dewasa tidak termasuk dalam pengertian radha’ah sebagaimana dikehendaki oleh syari’at.
Kata kunci lain yang perlu dijelaskan adalah kata al-Majaáh yang merupakan tolak ukur dalam susuan yang berpengaruh pada hukum mahram dari aspek kualitas. Kata المجاعة terambil dari kata جوع yang bermakna kelaparan/hal tidak makan.[43] Al-Asqalani dalam Fath al-Bary mengartikan المجاعة dengan penyusuan yang menutupi rasa lapar bayi di masa menyusunya.[44] Demikian pula oleh al-Sindy pada catatan pinggir Sahih Bukhari, yang pada catatan lain ditambahkannya bahwa penyusuan itu bukan hanya menutupi rasa lapar, tetapi juga menguatkan badan dan terjadi sebelum berumur dua tahun.[45] Bertolak dari pendapat tersebut, tersirat bahwa rasa lapar yang dimaksud adalah rasa lapar pada air susu yang menjadi makanan pokok pada masa menyusu sang anak.
Sayyid Sabiq memaknai المجاعة dengan penyusuan yang bisa mengenyang- kan dan tidak berhenti menyusu kecuali dengan kemauannya sendiri, tanpa paksaan dan ini dilakukan sebelum berumur dua tahun dan rasa lapar itu bersumber dari keperluan atau kebutuhan akan air susu.[46]
Berdasar pada beberapa pendapat tersebut, maka dipahami bahwa kualitas susuan yang dapat mengakibatkan adanya hubungan mahram adalah susuan yang dapat menghilangkan rasa lapar atau dapat mengenyangkan seorang anak yang mengkonsumsi air susu ibu (ASI) sebagai menu utamanya. Hal ini sangat beralasan jika melihat hadis yang senada dengan hadis tersebut sebagaimana diriwayatkan oleh Umm Salamah:
[47] لايحرم من الرضاع الا ما فتق الامعاء
“Tidak haram nikah dari sesusuan itu kecuali sesuatu yang dapat menyubur-kan usus atau mengenyangkan perut.
            Logikanya, seorang anak hanya bisa kenyang menyusu apabila dilakukan berkali-kali, sehingga hadis itu mencerminkan persesuaian dengan hadis-hadis lain menyangkut kuantitas susuan yang dapat berefek pada mahram. Meskipun pengertian tersebut, baik secara etimologi maupun terminologi tidak menegaskan batas umur anak yang menyusu, namun mayoritas ulama sepakat bahwa usia anak menyusu yang dapat menjadi penghalang nikah adalah dua tahun. Oleh karena itu, Imam Malik, Abu Hanifah, Syafi’i, dan sejumlah ulama lainnya berpendapat bahwa penyusuan anak yang besar (dewasa) tidak menyebabkan keharaman nikah. Pendapat ini juga dianut oleh Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Abu Hurairah. Namun Aisyah, Abu Daud dan ulama Zahiri berpandangan sebaliknya, bahwa anak yang besar (dewasa) juga menyebabkan keharaman nikah, sebagaimana penyusuan terhadap anak kecil.[48]
            Perbedaan pendapat tersebut pada dasarnya hanya menyangkut anak di atas dua tahun, sedangkan anak usia dua tahun ke bawah tidak menjadi masalah. Dengan kata lain, mayoritas ulama sepakat bahwa penyusuan terhadap anak yang maksimal berusia dua tahun menyebabkan keharaman nikah.[49] Hal ini dilegitimasi oleh firman Allah dalam QS. al-Baqarah (2): 233.

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ

“Para ibu hendaknya menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan”

            Ayat ini secara tegas menyebutkan masa yang dibutuhkan oleh anak untuk menyusu, yaitu dua tahun. Anak yang menyusu pada usia ini menurut Sayyid Sabiq adalah anak yang masih kecil yang kebutuhan makannya dapat terpenuhi dengan air susu. Dagingnya tumbuh dari air susu itu sehingga ia menjadi bagian dari wanita yang menyusuinya, karena itu pula antara keduanya terhalang untuk menikah.[50]
            Secara umum, tolak ukur penyusuan dari segi kualitas air susu berdasarkan uraian-uraian pendapat para ulama tersebut adalah air susu yang diminum anak pada saat dahaga dan dengan air itu dapat menghilangkan dahaganya. Di sisi lain, ais susu tersebut adalah yang dapat membentuk tulang dan daging, sebagaimana sabda Nabi yang menyatakan:
لارضاع الا ما انشز العظم وأنبت اللحم.[51]
“Tidak dinamakan penyusuan kecuali sesuatu yang menjadikannya tulang dan menumbuhkan daging.”

            Selanjutnya, mengenai kuantitas atau frekuensi penyusuan sebagai tolak ukur hukum radha’ah juga masih dipersilisihkan oleh ulama. Perbedaan itu antara lain: [52]
a.       Daud al-Zahiri, Abu Tsaur, Abu Ubaid dan Ibnu Mundzir berpendapat bahwa frekuensi susuan yang mengakibatkan status mahram adalah yang dilakukan sebanyak tiga kali atau lebih dan salah satu riwayat dari Ahmad. Alasan ini didasarkan pada salah satu hadis riwayat Muslim dari jalur Aisyah dan Ummal Fadhl:
[53].أَوِ الرَّضِعَةُ وَ الرَّضِعَتَان لا تُحَرِّمُ الْمَصَّةُ وَالْمَصَّتَانِ
“Satu atau dua kali isapan (sedotan air susu) tidak mengharamkan (nikah). Demikian juga satu atau dua kali susuan”.

                  Dalam hadis lain riwayat Muslim, Nabi bersabda:
لاتُحَرِّمُ الاِمْلَاجَةُ وَالاِمْلَاجَتَانِ [54]
“Satu atau dua kali sedotan (air susu) tidaklah mengharamkan (nikah)”

b.      Ali bin Abi Thalib, Ibn Abbas, al-Hadawiyah, Hanifah, dan Malik bin Anas berpendapat bahwa sedikat atau banyaknya susuan, asal telah masuk rongga perut, maka telah mengakibatkan status mahram. Alasannya, bahwa Alqur’an tidak merinci frekuensi dan kuantitas susuan yang menjadikan mahram. Apabila kegiatan telah disebut menyusu, maka status susuan telah terwujud. Alasan ini didasarkan pada kaidah yang menyatakan:
فحيث وجد أسمه وجد حكمه
      “Jika telah terwujud namanya, terwujud pula hukumnya”
c.       Ibnu Mas’ud, Zubair, al-Syafi’i, Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa kadar susuan yang dapat mengakibatkan terjadinya hukum mahram adalah yang dilakukan lima kali. Alasan ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad:
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ عُمَرَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ امْرَأَةَ أَبِي حُذَيْفَةَ فَأَرْضَعَتْ سَالِمًا خَمْسَ رَضَعَاتٍ فَكَانَ يَدْخُلُ عَلَيْهَا بِتِلْكَ الرَّضَاعَةِ . [55]

(Hadis riwayat Aisyah) bahwa Rasulullah Saw. telah memerintahkan isteri Abi Hudzaifah untuk menyusui Salim. Maka disusukanlah Salim sebanyak lima kali susuan. Maka Salim masuk menjadi mahram isteri Hudzaifah karena sebab susuan tersebut.
           Begitupula terdapat riwayat lain yang senada sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim:

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ عَنْ عَمْرَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ كَانَ فِيمَا أُنْزِلَ مِنْ الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُنَّ فِيمَا يُقْرَأُ مِنْ الْقُرْآنِ . [56]
(Hadis Riwayat Aisyah) bahwasanya ia berkata: Konon apa yang telah diturunkan Alqur’an adalah sepuluh kali susuan yang sudah diketahui, lalu hal itu di-nasakh dengan lima kali susuan (ma’lumat), lantas Rasulullah wafat sedangkan lima kali susuan itu merupakan sesuatu yang dibaca dalam Alqur’an.
            Mengacu kepada ketiga argumen tersebut maka Syuhudi Ismail melihat bahwa pendapat ketiga merupakan pendapat yang terkuat dengan alasan:[57]
  1. Argumen dari pendapat pertama yang menyatakan bahwa kadar susuan adalah tiga kali atau lebih, maka susuan yang hanya satu dan dua kali belum memenuhi syarat. Alasan tersebut sesungguhnya didasarkan pada pemahaman (mafhum). Sedangkan alasan pada pendapat ketiga bukan sekedar pemahaman, melainkan berdasarkan mantuq (yang dituju oleh lafal dalil naqli) dengan kaidah:
فإن الحكم من المنطوق وهو أقوى من المفهوم فهو مقدم عليه
             “Sesungguhnya hukum yang berdasarkan mantuq adalah lebih kuat daripada yang berdasarkan mafhum-nya” [58]

       b.    Argumen dari pendapat kedua menempatkan masalah susuan sebagai dalil yang mujmal (global). Padahal hadis Nabi Saw. yang berfungsi sebagai penjelas terhadap ayat yang umum telah memberikan keterangan tentang masalah susuan itu, yakni kriteria kuantitas susuan yang berakibat status mahram bagi wanita.[59]
5. Pemahaman Tekstual dan Kontekstual Hadis
            Secara tekstual, beberapa riwayat yang termuat dalam pembahasan ini telah secara tegas memberikan batasan-batasan yang terkait dengan tolak ukur susuan sehingga menyebabkan terjadinya hubungan mahram, yakni menyangkut aspek kualitas dan kuantitas air susu (ASI) tersebut.
            Hadis-hadis tentang tolak ukur penyusuan, baik kualitas maupun kuantitas yang menyebabkan hukum mahram dapat dipahami melalui pendekatan ilmu kedokteran atau kesehatan. Relevansinya tampak sebagaimana dipahami bahwa ASI yang dikonsumsi adalah gizi bagi si bayi dalam tahap pertumbuhannya, yakni menumbuhkan tulang dan daging baginya. Secara medis dalam pendekatan tersebut menunjukkan bahwa ASI tersusun dari saripati yang benar-benar murni sebagai output dari apa yang di makan oleh ibu yang menyusui.
            Di sisi lain, anak yang disusui akan mewarisi watak dan perangai seperti anak yang dilahirkan oleh ibu yang menyusuinya. Ia seolah-olah merupakan bagian dari tubuhnya yang terpisah dan berdiri sendiri, karena itu pula ia akan menjadi anggota keluarganya sekaligus menjadi mahram-nya.
            Adapun pemahaman kontekstual terhadap tolak ukur penyusuan ini misalnya dapat ditemukan pada pendapat yang diungkapkan oleh ulama kontemporer, Yusuf al-Qardhawi. Dalam kumpulan fatwanya,[60] beliau menulis bahwa dasar keharaman yang diletakkan agama bagi penyusuan adalah “ibu yang menyusukan” sebagaimana ditegaskan pada QS. al-Nisa: 23. Maksudnya bahwa keibuan yang ditegaskan Alqur’an itu tidak mungkin terjadi hanya dengan menerima/meminum air susunya, tetapi dengan mengisap dan menempel sehingga menjadi jelas kasih sayang ibu dan ketergantungan anak yang menyusu. Pendapat yang dikemukakan oleh Yusuf al-Qardhawi tersebut lebih melihat persusuan sebagai suatu proses ikatan batin antara ibu dan anak secara psikologi.    
            Pemahaman seperti ini berimplikasi lebih jauh dengan menilai bahwa sifat penyusuan yang memiliki dampak hukum hanyalah yang diisap saja dengan mulut secara langsung dari tetek ibu. Adapun bila air susu diminum melalui wadah lain setelah diperas atau disuntikkan kepada anak, maka semua itu tidak mengakibatkan hukum mahram. Atas dasar ini pula al-Qardhawi menilai bahwa memberi minum bayi dari Bank Susu (Bank ASI dan ASI kaleng dan Penyuntikan ASI) sebagaimana dikenal di beberapa negara, tidaklah mengakibatkan dampak hukum.[61]
       6. Kandungan Petunjuk Hadis
Salah satu episode kehidupan Rasulullah Saw. adalah riwayat ketika beliau masih bayi, ibunya mengikuti adat kebiasaan bangsawan Makkah untuk menyerahkan anaknya diasuh dan disusui oleh perempuan Badui yang bermukim di luar kota Makkah. Pada perkembangannya beberapa puluh tahun kemudian penyususan ini memiliki dampak hukum yang dilegitimasi oleh wahyu secara eksplisit dalam QS. Al-Nisa’ (4): 23.
Sejalan dengan ayat tersebut, Nabi menjelaskan sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari yang bersumber dari Aisyah:
... إِنَّ الرَّضَاعَةَ تُحَرِّمُ مَا يَحْرُمُ مِنَ الْوِلَادَةِ [62]
“Sesungguhnya susuan itu mengharamkan apa yang menjadi haram karena kelahiran (keturunan)”

            Berdasarkan ayat dan hadis di atas menunjukkan bahwa dengan adanya penyusuan maka mutlak terjadi pengharaman perkawinan dari dan atas orang yang terkait dengan penyusuan itu. Namun yang menjadi masalah adalah mengenai kadar susuan, yakni apakah setiap anak yang menyusu itu otomatis pula digolongkan sebagai anak susuan? Jawabnya, tentu tidak demikian. Oleh karena itu, kriteria penyusuan dari aspek kualitas maupun kuantitas yang berdampak pada hukum mahram dapat diketahui melalui beberapa hadis dengan masing-masing ketentuan, yakni:
  1. Berdasarkan pada kualitas penyusuan, yaitu dari rasa lapar sampai kenyang bagi bayi yang disusui serta kemungkinan membentuk tulang dan daging.
  2. Berdasarkan pada kuantitas penyusuan, yaitu satu sampai dua isapan tidak menyebabkan kemahraman.
  3. Masa umur penyusuan, yakni satu hingga dua tahun.
Dari tiga alasan tersebut, tampak bahwa persoalan radha’ah tidak dapat dipandang sebagai hal sepele, karena konsekuensi dari hal itu akan berimplikasi kepada kemahraman dan termasuk prinsip yang harus diperhatikan oleh setiap orang yang bermaksud melangsungkan perkawinan, yaitu calon suami dan isteri, dari kemungkinan adanya hubungan mahram. Sebab, sisi lain dari hal itu adalah menyangkut salah satu dari syarat sahnya akad nikah. Oleh karena itu pula pengkajian terhadap hal ini merupakan upaya melihat maqashid al-Tasyri’ dan kemashlahatan yang lebih luas. Lebih jauh lagi, diperlukan sikap kehati-hatian bagi setiap orang dalam persoalan ini, karena ketentuan hukumnya sudah jelas, yakni haramnya untuk saling menikahi.
           
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Muhammadiyah. Menembus Lailatul Qadr; Perdebatan Interpretasi Hadis Tekstual dan Kontekstual. Cet. I; Makassar: MELANIApress, 2004.
Al-Ainiy, Abu Muhammad Mahmud Ibn Ahmad. Umdat al-Qary Syarh Shahih al-Bukhari, Jilid XI. Beirut: Dar al-Fikr, t. th.
al-Andalusi, Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al-Qurthubi. Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, Juz I. Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Al-Atsir, Izz al-Din. Usul al-Ghabah fi Ma’rifat al-Sahabat, Juz. VI. Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Al-Asqalani, Syihab al-Din bin Ahmad bin Ali bin Hajar. Fath al-Bariy bi Syarh Shahih al-Bukhari, Juz 2. Beirut: Dar al-Ma’rifat, 1990.
___________, Tahzib al-Tahzib, Juz IX. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1994.
Al-Bandary, Abd al-Gaffar Sulaiman dan Sayyid Kurdi Hasan, Maushu’ah Rijal al-Kutub al-Tis’ah, Juz 3. Cet. I; Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1413 H/1993 M.
Bisri, Adib dan Munawwir AF, Kamus al-Bisri; Indonesia–Arab, Arab–Indonesia. Cet. I; Surabaya: Pustaka Progressif, 1999.
Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah, Shahih Bukhari, Juz 3. Cet. I; Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1992 M/1412 H.
CD Digital “Maushu’ah al-Hadis al-Syarif”,
Al-Hajjaj, Abi al-Husni Muslim. Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawy, Juz III. Indonesia: Maktabah Dahlan, t.th.
Ibn Hanbal, Abu Abdullah Ahmad. Musnad Ahamd ibn Hanbal, Juz VI. Beirut: Maktabah al-Islamy, 1978.
Husnan, Ahmad. Kajian Hadis Metode Takhrij. Cet. I; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1993.
Ismail, M. Syuhudi. Pengantar Ilmu Hadis. Cet. II; Bandung: Angkasa, 1991.
____________, Hadis Ahkam II, Bagian I (Pernikahan). Ujung Pandang: IAIN Alauddin Ujung Pandang, 1994.
al-Jauziyah, Ali ibn Muhammad. Usd al-Ghabah fi Ma’rifat al-Sahabat, Juz III. Cet. I; Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1994.
al-Jaziri, Abd al-Rahman. Kitab al-Fiqh ala Mazahib al-Arbaáh, Jilid IV. Beirut: Dar Ihya al-Turas al-‘Arabiy, 1969.
al-Kahlany, Muhammad bin Ismail. Subul al-Salam; Syarh Bulugh al-Maram min Jami’ Adillat al-Ahkam, Juz III. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, t.th.
Al-Mizziy, Jamal al-Din Abi al-Hajjaj Yusuf. Tahzib al-Kamal fi Asma’ al-Rijal, Juz III. Beirut: Dar al-Fikr, 1994.
Al-Naisabury, Muslim Ibn al-Hajjaj al-Qusyairy. Shahih Muslim, Juz V. Cet. I; Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1994.
Al-Qazwainy, Abu Abdillah Muhammad bin Yazid. Sunan Ibn Majah, Juz I. Beirut: Dar al-Fikr, 1995.
Al-Razi, Aslam. Al-Jarh wa al-Ta’dil, Juz I. Cet. I; Haidarabat: Majlis Dairah al-Ma’arif, 1371.
Sabiq, Al-Sayyid. Fiqh al-Sunnah, Juz II. Cet. XI; Kairo: Dar al-Fath li al-I’lam al-Arabiy, 1994.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol. 2. Cet. II; Jakarta: lentera Hati, 2000.
Al-Sijistany, Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’ats Ibn Syaddad al-Azady. Sunan Abu Dawud, Juz II. Beirut: Dar al-Fikr, 1968.
Ibn Surah, Abu Isa Muhammad Ibn Isa. Al-Jami’ al-Shahih Sunan al-Turmudzi, Juz III. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, t.th.
Al-Suyuthi, Jalal al-Din. Sunan al-Nasa’iy, Juz V. Beirut: Dar al-kutub al-Ilmiah, t.th.
al-Syaukany, Muhammad. Nail al-Authar, Juz VI. Beirut: Dar al-Jayl, t.th.

Wensinck, Arnold John. Concordance et Indices de la Musulmane, diterjemahkan oleh Muhammad Fuad Abd al-Baqy dengan judul Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Hadis al-Nabawi, Juz 1. Leiden: EJ. Brill, 1943
Al-Zahraniy, Muhammad ibn Mathar. Tadwin al-Sunnah al-Nabawiyah; Nasy’atuh wa Tathawwuruh min al-Qam al-Tasi’ al-Hijriy. Cet. I; Madinah al-Munawwarah: Maktabah al-Shadiq, 1412 H.



[1] QS. Al-Najm (53): 3-4.
[2] Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz 3 (Cet. I; Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1992 M/1412 H), Kitab Syahadat, No. Hadis 2647, h. 207.
[3] Arnold John Wensinck, Concordance et Indices de la Musulmane, diterjemahkan oleh Muhammad Fuad Abd al-Baqy dengan judul Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Hadis al-Nabawi, Juz 1 (Leiden: EJ. Brill, 1943), h. 403. Lihat pula, CD Digital “Maushu’ah al-Hadis al-Syarif”, Penelusuran kosa kata pada bagian Mu’jam Alfadz al-Hadis.
[4] Ibid., Juz 2, h. 265-7.
[5] Ibid., Juz 6, h. 234.
[6] Muhammad bin Ismail, loc. cit. CD Digital, Hadis No. 2453.
[7] Ibid., kitab al-Nikah, 21, h. 243-244. CD Digital, Hadis No. 4712.
[8]Muslim Ibn al-Hajjaj al-Qusyairy al-Naisabury, Shahih Muslim, Juz V (Cet. I; Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1994), h. 124. CD. Digital, hadis no. 2642.
[9] Ibid., h. 130. CD Digital no. 2627.
[10] Ibid., CD Digital no. 2631.
[11] Ibid., CD Digital no. 2633.
[12] Abu Isa Muhammad Ibn Isa Ibn Surah, Al-Jami’ al-Shahih Sunan al-Turmudzi, Juz III (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, t.th.), h. 455.
[13]Jalal al-Din al-Suyuthi, Sunan al-Nasa’iy, Juz V (Beirut: Dar al-kutub al-Ilmiah, t.th.), h, 100.
[14]Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’ats Ibn Syaddad al-Azady Al-Sijistany, Sunan Abu Dawud, Juz II (Beirut: Dar al-Fikr, 1968), h. 547-8.
[15]Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwainy, Sunan Ibn Majah, Juz I (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), h. 610.
[16]Abu Abdullah Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahamd ibn Hanbal, Juz VI (Beirut: Maktabah al-Islamy, 1978), h. 31.
[17] Muhammad ibn Mathar al-Zahraniy, Tadwin al-Sunnah al-Nabawiyah; Nasy’atuh wa Tathawwuruh min al-Qam al-Tasi’ al-Hijriy (Cet. I; Madinah al-Munawwarah: Maktabah al-Shadiq, 1412 H), h. 112.
[18] Ahmad Husnan, Kajian Hadis Metode Takhrij (Cet. I; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1993), h. 20.
[19] Ibid.
[20] Lihat, Abd al-Gaffar Sulaiman al-Bandary dan Sayyid Kurdi Hasan, Maushu’ah Rijal al-Kutub al-Tis’ah, Juz 3 (Cet. I; Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1413 H/1993 M), h. 451. Lihat pula, CD Digital Maushu’ah al-Hadis al-Syarif. Bandingkan, Syihab al-Din Abu Fadl Ahmad ibn Ali ibn Hajar al-Asqalani, Tahzib al-Tahzib, Juz IX (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1994), h. 417. Bandingkan pula, Jamal al-Din Abi al-Hajjaj Yusuf al-Mizziy, Tahzib al-Kamal fi Asma’ al-Rijal, Juz III (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), No. 1262.
[21]Al-Bandary, Juz 4, op. cit., h. 65. al-Asqalani, Juz 4, Tahzib., h. 111. al-Mizzy, Juz I, op. cit., No. 512.
[22] Al-Bandary, Juz 1, op. cit., h. 140. al-Asqalani, Juz I, Tahzib., h. 352.
[23] Aslam al-Razi, Al-Jarh wa al-Ta’dil, Juz I (Cet. I; Haidarabat: Majlis Dairah al-Ma’arif, 1371), h. 321.
[24] Ibid., Juz V, h. 271.
[25] Al-Bandary, Juz II, op. cit., h. 84. al-Asqalani, Juz IV, Tahzib., h. 160. al-Mizzy, Juz I, op. cit., No. 529.
[26] Syihab al-Din bin Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fath al-Bariy bi Syarh Shahih al-Bukhari, Juz 2 (Beirut: Dar al-Ma’rifat, 1990), h. 147.
[27] Aslam al-Razi, Juz VIII, op. cit., h. 397.
[28] Al-Bandary, Juz III, op. cit., h. 539. al-Asqalani, Juz X, Tahzib., h. 100-1,110. al-Mizzy, Juz III, op. cit., No. 1320.
[29] Aslam al-Razi, loc. cit.
[30] Lihat, Abd al-Gaffar Sulaiman al-Bandary dan Sayyid Kurdi Hasan, Maushu’ah Rijal al-Kutub al-Tis’ah, Juz 4 (Cet. I; Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1413 H/1993 M), h. 336.
[31] Lihat, al-Asqalani, Tahzib., Juz XII, h. 384.
[32] Izz al-Din ibn al-Atsir, Usd al-Ghabah fi Ma’rifat al-Sahabat, Juz. VI (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 189-192.
[33] Al-Asqalani, Juz XII, op. cit., h. 385-6.
[34] Muhammadiyah Amin, Menembus Lailatul Qadr; Perdebatan Interpretasi Hadis Tekstual dan Kontekstual (Cet. I; Makassar: MELANIApress, 2004), h. 119-20.
[35] Al- Asqalani, op. cit., h. 386.
[36] Ali ibn Muhammad al-Jauziyah, Usd al-Ghabah fi Ma’rifat al-Sahabat, Juz III (Cet. I; Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1994), h. 186-9.
[37] M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis (Cet. II; Bandung: Angkasa, 1991), h. 17.
[38] Abi al-Husni Muslim Ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawy, Juz III (Indonesia: Maktabah Dahlan, t.th.), h. 1073.
[39] Abu Muhammad Mahmud Ibn Ahmad al-Ainiy, Umdat al-Qary Syarh Shahih al-Bukhari, Jilid XI (Beirut: Dar al-Fikr, t. th.), h. 206.
[40] Abd al-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ala Mazahib al-Arbaáh, Jilid IV (Beirut: Dar Ihya al-Turas al-‘Arabiy, 1969), h. 25.
[41] Ibid.
[42] Ibid.
[43] Adib Bisri dan Munawwir AF, Kamus al-Bisri; Indonesia-Arab, Arab-Indonesia (Cet. I; Surabaya: Pustaka Progressif, 1999), h. 92.
[44] Al-Asqalany, Fath al-Bary, Juz X, op. cit., h. 184.
[45] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz II, op. cit., h. 101.
[46]Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz II (Cet. XI; Kairo: Dar al-Fath li al-I’lam al-Arabiy, 1994), h. 160-1
[47]Abu Abdullah Muhammad bin Yazid, Sunan Ibn Majah, Juz I, op. cit., h. 287.
[48]Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al-Qurthubi al-Andalusi, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, Juz I (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 27-8.
[49]M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol. 2 (Cet. II; Jakarta: lentera Hati, 2000), h. 374-5.
[50] Al-Sayyid Sabiq, op. cit., h. 161-2.
[52] Ibid., h. 158-9.
[57]M. Syuhudi Ismail, Hadis Ahkam II, Bagian I (Pernikahan) (Ujung Pandang: IAIN Alauddin Ujung Pandang, 1994), h. 52-3.
[58] Lebih lanjut lihat, Muhammad bin Ismail al-Kahlany, Subul al-Salam; Syarh Bulugh al-Maram min Jami’ Adillat al-Ahkam, Juz III (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, t.th.), h. 213.
[59] Lebih lanjut lihat, Muhammad al-Syaukany, Nail al-Authar, Juz VI (Beirut: Dar al-Jayl, t.th.), h. 351.
[60] Lihat, M. Quraish Shihab, op. cit., h. 375.
[61] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar