IBNU SINA
Falsafat
al-Fayadh, al-Nafs
dan Falsafat
al-Wujud (Ontologi)
Oleh : Muhammad Ghazali Rahman
A. Pendahuluan
Dalam sejarah
peradaban manusia, konstruk budaya sangat dipengaruhi oleh kearifan dan
kebijaksanaan yang dilahirkan oleh para filosof-filosof yang memiliki jiwa
kritis, kesadaran diri dan akal, serta proses panjang kreativitas pikir yang
memiliki daya dobrak dalam mempersoalkan segala sesuatu yang menurut kaca mata
awam tidak perlu dipersoalkan. Sebab, hasrat besar dan rasa “ingin tahu” bagi
manusia “filosofis“ berpijak pada pandangan yang menilai alam semesta beserta
isinya bukan hanya sebagai realitas-realitas independen yang ultimate
untuk dikaji, melainkan menjadi “tanda-tanda” (ayat) kebesaran dan keberadaan
Tuhan.
Karakteristik radikal
inilah yang menjadikan falsafah sebagai induk segala ilmu pengetahuan yang
darinya segala jenis ilmu berasal. Oleh karena itu, alam semesta dan manusia
tak lain adalah “medan kreatif” emanasi Tuhan yang menjadi petunjuk dalam
menemukan “jejak-jejak Tuhan”, sekaligus diharapkan dapat menambah keimanan dan
bukan penolakan terhadap eksistensi-Nya.
Pada perkembangannya,
proses transformasi pemikiran filosofis ini telah melahirkan tokoh berkaliber
dunia yang kedalaman ilmunya telah banyak memberikan kontribusi dalam “sejarah
akal” manusia. Salah satu yang menjadi objek kajian dalam makalah ini adalah
Ibnu Sina. Sosok Ibn Sina, dalam banyak hal mempunyai keunikan tersendiri di
antara para filosof muslim. Tidak hanya itu, ia juga memperoleh penghargaan
yang semakin tinggi hingga masa modern. Ia adalah salah satu filosof besar
Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap dan
terperinci. Suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim selama
berabad-abad meskipun ada serangan-serangan dari Al-Ghazali, Fakhr al-Din
al-Razi dan sebagainya Kebesarannya sebagai tokoh filsafat pada masanya
terbukti ketika Al-Ghazali melancarkan serangan terhadap pemikiran kaum
filosof, Al-Ghazali tidak menemukan tokoh filsafat di hadapannya sekaliber Ibn
Sina.
Popularitas ini
terwujud bukan hanya karena ia memiliki sistem, tetapi karena sistem yang ia
miliki itu menampakkan keaslian yang menunjukkan kejeniusan jiwa dalam
menemukan metode-metode dan alasan-alasan yang diperlukan untuk merumuskan
kembali pemikiran rasional murni dan tradisi intelektual Hellenisme yang ia
warisi dan lebih jauh lagi kepada upaya islamisasi filsafat Yunani.
B. Pembahasan
1. Biografi dan
Karya Ibn Sina
Nama lengkap Ibn
Sina adalah Abu Ali al-Husein ibn Abdullah ibn al-Hasan ibn Ali Ibn Sina dan dikenal dengan julukan “al-Syaykh
al-Rais“ (Pemimpin Para Sarjana). Di dunia Barat ia dikenal dengan nama
“Avicenna” atau disebut juga “Aristoteles Baru”. Dilahirkan pada tahun 370 H
(8-980 M) di Afsyanah, dekat Bukhara, Transoxiana (Persia Utara), wilayah
Afganistan sekarang, dan meninggal pada hari Jum`at bulan Ramadhan tahun 428 H/
1037 M dalam usia 58 tahun dan dikuburkan di Hamazan.
Ibn Sina adalah filosof Islam terkemuka dan
dokter yang brilian. Ia mempelajari ilmu-ilmu yang ada pada masanya dalam
berbagai cabang ilmu pengetahuan dan peradaban, ia mencoba mensintesakan
berbagai orientasi pemikiran dan pendangan-pandangan keagamaan yang berbeda-beda.
Ia pernah menjadi Wazir, namun tidak begitu menyukainya seperti kesukaannya
terhadap ilmu kedokteran.
Ibn Sina
membicarakan berbagai topik yang penting dalam tradisi keilmuan. Karya tulis
pertama yang ia hasilkan dalam usia relatif muda (18 tahun) adalah buku tentang
psikologi menurut Aristoteles yang berjudul Hadiyah al-Rais ila al-Amir (Hadiah
Ibn Sina kepada Amir) dan dipersembahkan untuk Sultan Nuh ibn Manshur. Pada
usia 20 tahun, Ibn Sina telah menghasilkan 267 karangan yang cemerlang, di antara
karyanya yang terpenting adalah:
a.
Al-Syifa’, latinnya Sanatio
(penyembuhan). Kitab ini adalah ensiklopedi yang terdiri dari 18 jilid
mengenai fisika, matematika, dan metafisika yang ditulis pada waktu menjabat
sebagai menteri Syams al-Daulah dan selesai masa ‘Ala’u al-Daulah di Isfahan.
b.
Al-Najah, latinnya Salus
(penyelamat), kitab ini merupakan ringkasan dari Al-Syifa’.
c.
Al-Isyarah wa
al-Tanbihah (Isyarat dan Peringatan), kitab mengenai logika dan hikmah.
d.
Al-Qanun fi
al-Thibb, kitab ini adalah penemuan ilmiah dari pada “Catheter” (al-qastharah),
penyeledikannya terhadap penyakit gula, akibat-akibatnya, dan kecenderungan
membengkak pada luka, sekaligus menjadi referensi/ensiklopedi medis yang
setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin menjadi buku pedoman pada
universitas-universitas di Eropa hingga abad XVII.
e.
Al-Hikmah al-‘Arudhiyyah.
f.
Risalah fi al-Kalam ala al-Nafs
al-Nathiqiyah.
g.
Al-Manthiq al-Masyriqiyin (Logika Timur).
Beberapa bidang
ilmu kita temukan pada pemikiran Ibn Sina, seperti yang nampak pada beberapa
karya tulisnya itu, ia dikenal dengan produktifitasnya dalam menulis dengan
gaya bahasa yang jelas serta kemahirannya menyajikan permasalahan yang dikutip
dari pelbagai sumber dalam suatu sistematika yang rapi. Karya-karya tersebut
telah menampilkan suatu elaborasi ilmu terjalin kuat antara filsafat Yunani
dengan “hikmah ketimuran”.
2. Pokok-Pokok
Pikiran Ibn Sina
a.
Falsafat
al-Faydh.
Teori emanasi
Platonisme yang menjadi objek kajian penting metafisika dalam filsafat, telah
disinggung oleh al-Kindi, kemudian diungkapkan oleh al-Farabi, dan dikembangkan
pula oleh Ibn Sina. Sebagai pendiri Neo-Platonisme Arab, ia berpendapat bahwa
Tuhan sebagai akal murni memancarkan Akal Pertama, sekalipun Tuhan terdahulu
dari segi zat, namun Tuhan dan akal pertama adalah sama-sama azali. Berbeda
dengan Al-Farabi, Ibn Sina berpendapat bahwa Akal Pertama mempunyai dua sifat: wajib
al-Wujud, sebagai pancaran dari Allah dan mumkin al-Wujud jika
ditinjau dari hakekat dirinya ( وجب الوجود لذته
dan وجب الوجود لغيره ) atau Necessary by Virtue
of the Necessary Being dan Possible in Essence. Dengan demikian ia
mempunyai tiga obyek pemikiran: Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan
dirinya sebagai mungkin wujudnya.
Selanjutnya, dari
pemikiran tentang Tuhan timbul Akal-akal, dari pemikiran tentang dirinya
sebagai wajib al-Wujud timbul Jiwa-jiwa, dan dari pemikiran tentang
dirinya sebagai mumkin al-Wujud timbul Langit-langit. Kemudian dari Akal Pertama memancar Akal
Kedua, jiwa, dan Langit Pertama, seterusnya hingga Akal 10, jiwa, dan bumi.
Akal 10 kemudian memancarkan segala isi bumi yang berada di bawah bulan,
termasuk jiwa manusia. Akal Pertama adalah malaikat tertinggi dan Akal
Kesepuluh adalah Jibril. Meskipun teori akal-akalan ini tampak tidak berdasar,
namun Ibnu Sina tidak menghindarkan diri untuk memilih salah satu metode yang
menurutnya dapat dipraktekkan dalam filsafat. Secara seksama dapat diamati
bahwa ia mempergunakan metode deduksi maupun induksi dasar yang berpijak pada
sebab adanya dan tanda akibatnya. Selain itu, ia juga menggunakan metode
meditasi, yakni metode yang menyelidiki keadaan yang di dalamnya diperoleh
hakekat.
Jadi,
emanasi dari wajib al-Wujud kepada wujud-wujud yang di bawahnya pada mulanya
tunggal, karena ia memancar dari yang tunggal. Akal pertama yang memancar dari
wajib al-Wujud mulanya adalah tunggal, kemudian baru memancar daripadanya
tiga-tiga (tsulasiyah) dalam tiga bentuk yakni akal itu sendiri, materi
alam (falak-falak) dan jiwa dari falak-falak tersebut. Terpancarnya
tiga bentuk dari hasil emanasi tersebut disebabkan oleh :
a). Pemikiran akal terhadap
penciptanya, dari pemikiran ini memancarlah substansi akal lain. Akal-akal ini
merupakan penggerak tidak langsung dari falak.
b). Pemikiran akal terhadap
zatnya sendiri dalam hubungan kewajibannya dengan yang awal ; dari Pemikiran
ini memancar jiwa (soul) yang merupakan penggerak langsung dari falak.
c). Pemikiran
akal terhadap kemungkinan yang ada pada zatnya sendiri terjadilah substansi
materi.
Dengan kata
lain, dari “akal” yang merupakan hasil emanasi awal dikeluarkanlah tiga
eksistensi, yaitu : akal, nafs (soul) dan jism (materi).
Ibn Sina
kemudian, manyesuaikan peristilahan filsafat dengan peristilahan agama Islam.
Dalam risalahnya “Ma`rifat al-Nafs-Nathiqah” ia mengatakan bahwa Akal
mempunyai tiga daya pengertian:
1.
Ia mengerti akan penciptanya,
yaitu Tuhan.
2.
Ia mengerti akan zatnya sendiri
yang mempunyai kewajian terhadap al-Awwal, yakni Tuhan.
3.
Ia mengerti akan kemungkinan
yang ada pada zatnya sendiri. Berawal dari pengertian akan penciptanya, akal
itu akan menghasilkan akal pula, yaitu substansi akal lain, tak ubahnya seperti
sinar yang memantulkan sinar lainnya. Berawal dari pengertian akan zatnya
sendiri yang mempunyai kewajiban terhadap al-Awwal (Tuhan ) terjadilah an-Nafs,
juga merupakan substansi akal lain, tak uabahnya seperti akal, tetapi menurut
urutan ia lebih rendah. Dari pengertian akan kemungkinan yang ada pada zatnya
sendiri terjadilah substansi kebendaan (jasmani fisik), yaitu al-Falaqul
Aqsha (cakrawala tertinggi). Al-Falaqul Aqsha ialah al-Falaqul
Athlas yang dalam peristilahan agama disebut al-Arsy.
Dari sinilah
kelihatan perbedaan antara teori Al-Farabi dan Ibn Sina, sebab teori emenasi
al-Farabi mengalirkan bentuk ganda (tsanawiyah) sedang Ibn Sina
mengalirkan bentuk tiga-tiga (tsulatsiyah).
b. Falsafat al-Nafs
Pembuktian Ibn
Sina terhadap eksistensi jiwa berpijak pada beberapa teori/argumentasi yang
tidak lepas dari kerangka “sebab adanya” dan “tanda akibatnya”. Argumen itu antara lain: (1) Argumen
psikofisik, (2) Argumen “aku” dan kesatuan fenomena psikologis, (3) Argumen
Kontinuitas, dan (4) Argumen manusia terbang di udara. Upaya
argumentatif ini tampaknya berupaya mempertegas disintegrasi antara jiwa dan
badan. Hanya saja, jika disimak lebih mendalam, maka akan tergambarkan tiga
unsur kemanusiaan yang terintegrasi dalam roh, jiwa dan jasad, sebab dalam
setiap pemaparan dan contoh yang dikemukakannya tentang jiwa, ia tidak
mendeskripsikan jiwa sebagai sesuatu yang inheren dengan roh, melainkan sebagai
potensi atau daya yang mengikat antara roh dan jasad. Atas dasar itu pula maka
dapat ditemukan bahwa hakekat manusia adalah jiwa.
Seperti halnya
Aristoteles, Ibnu Sina membagi jiwa manusia kepada tiga bagian:
1.
Jiwa alami atau
nabati/tumbuh-tumbuhan ( النفس النباتية ).
Jiwa
alami/nabati mempunyai kemampuan untuk berkembang biak (reproduction), tumbuh
(growth) dan berkembang biak (nutrition).
2.
Jiwa hewani ( النفس الحيوانية
).
Jiwa hewani
mempunyai kemampuan untuk bergerak dengan bebas (locomotion), dan
kemampuan untuk melakukan pencerapan indra (sense perception).
Sense of
Perception ini kemudian dibagi dalam dua bahagian:
a.
Menangkap dari luar dengan panca indera.
b.
Menangkap dari dalam dengan
indera-indera dalam, yaitu:
( i ) Indera bersama (common sense) yang
merespon segala yang ditangkap oleh panca indera.
( ii ) Representasi,
yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indera bersama.
( iii ) Imajinasi,
yang menyusun apa yang disimpan dalam memori.
( iv ) Estimasi, yang dapat menangkap
hal-hal abstrak yang terlepas dari materinya, seperti kehasrusan lari bagi
mangsa dari pemangsanya.
( v ) Rekoleksi, yang menyimpan
hal-hal abstrak yang diterima oleh estimasi.
3.
Jiwa rasional ( القوة
الناطقة ) dengan dua potensi/daya;
a.
Akal praktis, yang berhubungan dengan
badan.
b.
Akal teoritis, yang berhubungan dengan
hal-hal abstrak. Daya ini mempunyai tingkatan;
1)
Akal materil (material intellect), yang
senata-mata mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih walaupun
sedikit.
2)
Intellectus in habita, yang telah mulai dilatih unutk berfikir
tentang hal-hal abstrak.
3)
Akal aktuil, akal yang telah banyak
berfikir tentang hal-hal abstrak.
4)
Akal mustafad ( acquired intellect ), yaitu yang telah
sanggup berfikir tentang hal-hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya; akal
yang telah dilatih begitu rupa, sehingga hal-hal abstrak selamanya terdapat
dalam akal yang serupa ini: akal serupa inilah yang sanggup menerima limpahan
ilmu pengetahuan dari Akal Aktif.
Dalam hal ini daya praktis mempunyai esencial position.
Daya inilah yang berusaha mengontrol badan manusia, sehingga hawa nafsu yang
terdapat dalam badan tidak menjadi halangan bagi daya teoritis untuk membawa
manusia kepada tingkatan yang tinggi dalam usaha mencapai kesempurnaan.
Demikianlah pembagian jiwa manusia
menurut Ibn Sina. Tiap bagian dari jiwa tersebut mempunyai tujuannya
masing-masing dan mengatur daya-daya yang melakukan fungsi-fungsi khusus,
sekaligus memiliki pengaruh besar dalam membentuk kepribadian manusia. Dengan
kata lain bahwa karakter yang membentuk jiwa manusia dipengaruhi oleh
dominannya hegemoni salah satu variabel jiwa atas variabel jiwa yang lain.
Asal-usul dan
keabadian jiwa
Menurut Ibn Sina, jiwa manusia
merupakan satu unit tersendiri dan mempunyai wujud yang terlepas dari badan.
Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan yang sesuai dan dapat
menerima jiwa itu lahir di dunia ini. Adapun tentang keabadian jiwa, Ibn Sina
mempertahankan ajaran Islam yang menetapkan keabadian jiwa karena hubungannya dengan
pahala dan dosa yang dijanjikan balasannya kepada orang-orang yang bersangkutan
di hari akhirat. Ia tidak sepaham dengan pendapat Aristoteles yang mengatakan
fananya jiwa setelah berpisah dengan jasad. Demikian halnya dengan Al-Farabi
yang menafikan keabadian jiwa yang jahat dan sesat.
Filsafat jiwa yang dikembangkan Ibn
Sina ini tampak bertentangan dengan pendapat umum yang mengatakan bahwa tubuh
manusialah yang membutuhkan jiwa. Sebaliknya, bagi Ibnu Sina, jiwalah yang
membutuhkan jasad. Sebab dengan bantuan panca inderalah (luar dan dalam)
jiwa/akal manusia meningkat dari potensial menjadi bakat, aktual, dan
selanjutnya kepuasan batiniah dalam menikmati hasil.
Jadi bagi Ibn Sina, semua jenis jiwa
manusia, tanpa tingkat kesucian, akan kekal setelah kematian seperti yang telah
digariskan dalam ajaran Islam. Karenanya, ia juga menolak reinkarnasi, sebab
mustahil dua jiwa menempati satu badan.
c. Falsafat
al-Wujud
Selain falsafat al-Faydh dan al-Nafs,
Ibn Sina juga membicarakan sifat wujudiyah sebagai yang terpenting dan
mempunyai kedudukan di atas segala sifat lain dengan esensinyayang independen.
Sebagaimana para filosof muslim yang mendahuluinya, doktrin Ibn Sina tentang
Wujud lebih bersifat emanasionistis yang menegaskan bahwa dari Tuhanlah kemaujudan
berawal hingga proses intelegensia kesepuluh. Oleh karena itu pula, esensi
dalam paham Ibn Sina terdapat dalam akal, sedangkan wujud terdapat di luar
akal. Wujudlah yang
membuat tiap esensi yang dalam akal mempunyai kenyataan di luar akal, tanpa wujud
esensi tidak besar artinya. Oleh sebab itu wujud lebih penting dari pada
esensi. Sehingga tidak mengherankan
jika dikatakan bahwa Ibn Sina telah lebih dahulu mengajukan filsafat wujudiyah
daripada teori-teori filsafat lain.
Berawal dari
proses emanasi itu pula maka Ibnu Sina mengkombinasikan antara esensi dan
wujud, secara rinci Harun Nasution memaparkannya sebagai berikut:
1. Esensi yang
tak dapat mempunyai wujud, hal yang serupa dengan itu disebut oleh Ibn Sina
dengan mumtani’, yaitu sesuatu yang mustahil berwujud ( impossible
being ).
2. Esensi yang
boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud. Yang serupa ini
disebut mumkin (contingen being), yaitu sesuatu yang mungkin berwujud
tetapi mungkin pula tidak berwujud sebagai contoh, alam ini yang pada mulanya
tidak ada, kemudian ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
3. Esensi yang
harus mempunyai wujud, tidak boleh tidak. Di sini esensi tidak bisa dipisahkan
dari wujud, esensi dan wujud adalah sama dan satu. Di sini pula esensi tidak
dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud, sebagaimana halnya dengan
esensi dalam kategori kedua, tetapi esensi mesti dan wajib mempunyai wujud
selama-lamanya. Yang serupa ini disebut mesti berwujud/wajib al-Wujud (necessary
being) yaitu Tuhan, wajib al-Wujud inilah yang juga mewujudkan mumkin
al-Wujud.
Dengan demikian, argumentasi dengan
kategori “ada” ini merupakan argumen ontologis Ibn Sina dengan teori sebab-efek
yang bertujuan membuktikan adanya Tuhan dan penciptaan alam semesta, serta
berujung pada kesimpulan yang menilai urgensitas wujud di atas esensi.
C. Kesimpulan.
Uraian-uraian filosofis yang
dihadirkan oleh Ibnu Sina jelas telah mendeskripsikan suatu bentuk tradisi
pemikiran yang tinggi dalam perkembangan kebudayaan Islam. Paling tidak,
kehadiran sosok Ibn Sina dengan kerangka falsafahnya senantiasa menjadi
stimulus dan motivator terbukanya gerbang rasionalitas dan sikap dinamis umat
yang dibarengi oleh kreativitas dan radikalitas pikir yang yang mempu menerobos
cakrawala alam, manusia, dan Tuhan sendiri.
Pada sisi lain, upaya yang telah
dikembangkan Ibn Sina merupakan bentuk pengembaraan transkosmik dengan
pengalaman spiritual yang menembus alam-alam spiritual juga. Lebih jauh lagi,
hal ini merupakan konfirmasi akan adanya tatanan dunia yang tidak melulu fisik,
dan sekaligus bantahan terhadap mereka yang hanya percaya pada dunia fisik
(materialisme) sebagai satu-satunya dunia yang riil.
Terakhir, dari sini pula kita dapat
belajar betapa sistem kosmologi dan kosmografi yang diberikan oleh para filisof
sebenarnya sangat berguna bagi kita dalam memberikan arah/orientasi yang tepat
terhadap tujuan hidup. Sebab, kosmologi tidak lain adalah “peta perjalanan”
yang perlu ditempuh untuk mencapai cita-cita hidup yang agung, membebaskan
jiwa, dan menemukan kesejatian jiwa, serta membebaskannya dari jiwa-jiwa
konvensional, yaitu jiwa yang dibentuk oleh ide-ide yang terjebak oleh
etnisitas, nasionalitas, sakralitas, mazhab, serta pemahaman-pemahaman
keagamaan yang sempit dan dogmatis.
Daftar Pustaka
Al-Ahwani, Ahmad Fuad. Filsafat al-Islam, diterjemahkan oleh
Pustaka Firdaus dengan judul Filsafat Islam. Cet. VIII; Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1997.
Al-Iraqy, Muhammad Athif. al-Falsafat al-Thabi`at inda Ibnu Sina. Mesir: Dar al-Ma’arif, 1969.
Ali, Yunasril. Perkembangan
Pemikiran Falsafi dalam Islam. Cet. I; Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
Amien, Miska
Muhammad. Epistemologi Islam; Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam. Cet. I;
Jakarta: UI-Press, 1983.
Daudy, Ahmad. Kuliah Filsafat Islam. Cet. III; Jakarta: Bulan Bintang,
1992.
Hanafi,
Ahmad. Pengantar Filsafat Islam. Cet. VI; Jakarta: Bulan Bintang,
1996.
Kartanegara,
Mulyadi. Mozaik Khazanah Islam; Bunga Rampai dari Chicago. Cet. I;
Jakarta: Paramadina, 2000.
Nasution, Hasyim Syah. Filsafat Islam. Cet. III; Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2002.
Nasution, Harun. Falsafah dan Mistisisme Islam. Cet. II; Jakarta: Bulan Bintang,
1998.
_____________, Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran. Cet. IV;
Bandung: Mizan, 1996.
Rahman, Fazlur.
“Ibnu Sina”, dalam M. M. Syarif (ed.), Para Filosof Muslim. Cet.VIII ; Bandung : Mizan, 1996.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar