Jumat, 21 Februari 2014

IBNU SINA



IBNU SINA
Falsafat al-Fayadh, al-Nafs
dan Falsafat al-Wujud (Ontologi)
Oleh : Muhammad Ghazali Rahman

A. Pendahuluan

            Dalam sejarah peradaban manusia, konstruk budaya sangat dipengaruhi oleh kearifan dan kebijaksanaan yang dilahirkan oleh para filosof-filosof yang memiliki jiwa kritis, kesadaran diri dan akal, serta proses panjang kreativitas pikir yang memiliki daya dobrak dalam mempersoalkan segala sesuatu yang menurut kaca mata awam tidak perlu dipersoalkan. Sebab, hasrat besar dan rasa “ingin tahu” bagi manusia “filosofis“ berpijak pada pandangan yang menilai alam semesta beserta isinya bukan hanya sebagai realitas-realitas independen yang ultimate untuk dikaji, melainkan menjadi “tanda-tanda” (ayat) kebesaran dan keberadaan Tuhan.

            Karakteristik radikal inilah yang menjadikan falsafah sebagai induk segala ilmu pengetahuan yang darinya segala jenis ilmu berasal. Oleh karena itu, alam semesta dan manusia tak lain adalah “medan kreatif” emanasi Tuhan yang menjadi petunjuk dalam menemukan “jejak-jejak Tuhan”, sekaligus diharapkan dapat menambah keimanan dan bukan penolakan terhadap eksistensi-Nya.
            Pada perkembangannya, proses transformasi pemikiran filosofis ini telah melahirkan tokoh berkaliber dunia yang kedalaman ilmunya telah banyak memberikan kontribusi dalam “sejarah akal” manusia. Salah satu yang menjadi objek kajian dalam makalah ini adalah Ibnu Sina. Sosok Ibn Sina, dalam banyak hal mempunyai keunikan tersendiri di antara para filosof muslim. Tidak hanya itu, ia juga memperoleh penghargaan yang semakin tinggi hingga masa modern. Ia adalah salah satu filosof besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap dan terperinci. Suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim selama berabad-abad meskipun ada serangan-serangan dari Al-Ghazali, Fakhr al-Din al-Razi dan sebagainya Kebesarannya sebagai tokoh filsafat pada masanya terbukti ketika Al-Ghazali melancarkan serangan terhadap pemikiran kaum filosof, Al-Ghazali tidak menemukan tokoh filsafat di hadapannya sekaliber Ibn Sina.
            Popularitas ini terwujud bukan hanya karena ia memiliki sistem, tetapi karena sistem yang ia miliki itu menampakkan keaslian yang menunjukkan kejeniusan jiwa dalam menemukan metode-metode dan alasan-alasan yang diperlukan untuk merumuskan kembali pemikiran rasional murni dan tradisi intelektual Hellenisme yang ia warisi dan lebih jauh lagi kepada upaya islamisasi filsafat Yunani.
B. Pembahasan
1. Biografi dan Karya Ibn Sina
Nama lengkap Ibn Sina adalah Abu Ali al-Husein ibn Abdullah ibn al-Hasan ibn Ali Ibn Sina  dan dikenal dengan julukan “al-Syaykh al-Rais“ (Pemimpin Para Sarjana). Di dunia Barat ia dikenal dengan nama “Avicenna” atau disebut juga “Aristoteles Baru”. Dilahirkan pada tahun 370 H (8-980 M) di Afsyanah, dekat Bukhara, Transoxiana (Persia Utara), wilayah Afganistan sekarang, dan meninggal pada hari Jum`at bulan Ramadhan tahun 428 H/ 1037 M dalam usia 58 tahun dan dikuburkan di Hamazan.
 Ibn Sina adalah filosof Islam terkemuka dan dokter yang brilian. Ia mempelajari ilmu-ilmu yang ada pada masanya dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan dan peradaban, ia mencoba mensintesakan berbagai orientasi pemikiran dan pendangan-pandangan keagamaan yang berbeda-beda. Ia pernah menjadi Wazir, namun tidak begitu menyukainya seperti kesukaannya terhadap ilmu kedokteran.
Ibn Sina membicarakan berbagai topik yang penting dalam tradisi keilmuan. Karya tulis pertama yang ia hasilkan dalam usia relatif muda (18 tahun) adalah buku tentang psikologi menurut Aristoteles yang berjudul Hadiyah al-Rais ila al-Amir (Hadiah Ibn Sina kepada Amir) dan dipersembahkan untuk Sultan Nuh ibn Manshur. Pada usia 20 tahun, Ibn Sina telah menghasilkan 267 karangan yang cemerlang, di antara karyanya yang terpenting adalah:
a.       Al-Syifa’, latinnya Sanatio (penyembuhan). Kitab ini adalah ensiklopedi yang terdiri dari 18 jilid mengenai fisika, matematika, dan metafisika yang ditulis pada waktu menjabat sebagai menteri Syams al-Daulah dan selesai masa ‘Ala’u al-Daulah di Isfahan.
b.       Al-Najah, latinnya Salus (penyelamat), kitab ini merupakan ringkasan dari Al-Syifa’.
c.        Al-Isyarah wa al-Tanbihah (Isyarat dan Peringatan), kitab mengenai logika dan hikmah.
d.       Al-Qanun fi al-Thibb, kitab ini adalah penemuan ilmiah dari pada “Catheter” (al-qastharah), penyeledikannya terhadap penyakit gula, akibat-akibatnya, dan kecenderungan membengkak pada luka, sekaligus menjadi referensi/ensiklopedi medis yang setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin menjadi buku pedoman pada universitas-universitas di Eropa hingga abad XVII.
e.        Al-Hikmah al-‘Arudhiyyah.
f.        Risalah fi al-Kalam ala al-Nafs al-Nathiqiyah.
g.       Al-Manthiq al-Masyriqiyin (Logika Timur).
Beberapa bidang ilmu kita temukan pada pemikiran Ibn Sina, seperti yang nampak pada beberapa karya tulisnya itu, ia dikenal dengan produktifitasnya dalam menulis dengan gaya bahasa yang jelas serta kemahirannya menyajikan permasalahan yang dikutip dari pelbagai sumber dalam suatu sistematika yang rapi. Karya-karya tersebut telah menampilkan suatu elaborasi ilmu terjalin kuat antara filsafat Yunani dengan “hikmah ketimuran”.
2. Pokok-Pokok Pikiran Ibn Sina
a.       Falsafat al-Faydh.
Teori emanasi Platonisme yang menjadi objek kajian penting metafisika dalam filsafat, telah disinggung oleh al-Kindi, kemudian diungkapkan oleh al-Farabi, dan dikembangkan pula oleh Ibn Sina. Sebagai pendiri Neo-Platonisme Arab, ia berpendapat bahwa Tuhan sebagai akal murni memancarkan Akal Pertama, sekalipun Tuhan terdahulu dari segi zat, namun Tuhan dan akal pertama adalah sama-sama azali. Berbeda dengan Al-Farabi, Ibn Sina berpendapat bahwa Akal Pertama mempunyai dua sifat: wajib al-Wujud, sebagai pancaran dari Allah dan mumkin al-Wujud jika ditinjau dari hakekat dirinya ( وجب الوجود لذته dan وجب الوجود لغيره ) atau Necessary by Virtue of the Necessary Being dan Possible in Essence. Dengan demikian ia mempunyai tiga obyek pemikiran: Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya.
Selanjutnya, dari pemikiran tentang Tuhan timbul Akal-akal, dari pemikiran tentang dirinya sebagai wajib al-Wujud timbul Jiwa-jiwa, dan dari pemikiran tentang dirinya sebagai mumkin al-Wujud timbul Langit-langit. Kemudian dari Akal Pertama memancar Akal Kedua, jiwa, dan Langit Pertama, seterusnya hingga Akal 10, jiwa, dan bumi. Akal 10 kemudian memancarkan segala isi bumi yang berada di bawah bulan, termasuk jiwa manusia. Akal Pertama adalah malaikat tertinggi dan Akal Kesepuluh adalah Jibril. Meskipun teori akal-akalan ini tampak tidak berdasar, namun Ibnu Sina tidak menghindarkan diri untuk memilih salah satu metode yang menurutnya dapat dipraktekkan dalam filsafat. Secara seksama dapat diamati bahwa ia mempergunakan metode deduksi maupun induksi dasar yang berpijak pada sebab adanya dan tanda akibatnya. Selain itu, ia juga menggunakan metode meditasi, yakni metode yang menyelidiki keadaan yang di dalamnya diperoleh hakekat.
            Jadi, emanasi dari wajib al-Wujud kepada wujud-wujud yang di bawahnya pada mulanya tunggal, karena ia memancar dari yang tunggal. Akal pertama yang memancar dari wajib al-Wujud mulanya adalah tunggal, kemudian baru memancar daripadanya tiga-tiga (tsulasiyah) dalam tiga bentuk yakni akal itu sendiri, materi alam (falak-falak) dan jiwa dari falak-falak tersebut. Terpancarnya tiga bentuk dari hasil emanasi tersebut disebabkan oleh :
            a). Pemikiran akal terhadap penciptanya, dari pemikiran ini memancarlah substansi akal lain. Akal-akal ini merupakan penggerak tidak langsung dari falak.
            b). Pemikiran akal terhadap zatnya sendiri dalam hubungan kewajibannya dengan yang awal ; dari Pemikiran ini memancar jiwa (soul) yang merupakan penggerak langsung dari falak.
c). Pemikiran akal terhadap kemungkinan yang ada pada zatnya sendiri terjadilah substansi materi.
Dengan kata lain, dari “akal” yang merupakan hasil emanasi awal dikeluarkanlah tiga eksistensi, yaitu : akal, nafs (soul) dan jism (materi).
Ibn Sina kemudian, manyesuaikan peristilahan filsafat dengan peristilahan agama Islam. Dalam risalahnya “Ma`rifat al-Nafs-Nathiqah” ia mengatakan bahwa Akal mempunyai tiga daya pengertian:
1.      Ia mengerti akan penciptanya, yaitu Tuhan.
2.      Ia mengerti akan zatnya sendiri yang mempunyai kewajian terhadap al-Awwal, yakni Tuhan.
3.      Ia mengerti akan kemungkinan yang ada pada zatnya sendiri. Berawal dari pengertian akan penciptanya, akal itu akan menghasilkan akal pula, yaitu substansi akal lain, tak ubahnya seperti sinar yang memantulkan sinar lainnya. Berawal dari pengertian akan zatnya sendiri yang mempunyai kewajiban terhadap al-Awwal (Tuhan ) terjadilah an-Nafs, juga merupakan substansi akal lain, tak uabahnya seperti akal, tetapi menurut urutan ia lebih rendah. Dari pengertian akan kemungkinan yang ada pada zatnya sendiri terjadilah substansi kebendaan (jasmani fisik), yaitu al-Falaqul Aqsha (cakrawala tertinggi). Al-Falaqul Aqsha ialah al-Falaqul Athlas yang dalam peristilahan agama disebut al-Arsy.
Dari sinilah kelihatan perbedaan antara teori Al-Farabi dan Ibn Sina, sebab teori emenasi al-Farabi mengalirkan bentuk ganda (tsanawiyah) sedang Ibn Sina mengalirkan bentuk tiga-tiga (tsulatsiyah).
b. Falsafat al-Nafs
Pembuktian Ibn Sina terhadap eksistensi jiwa berpijak pada beberapa teori/argumentasi yang tidak lepas dari kerangka “sebab adanya” dan “tanda akibatnya”. Argumen itu antara lain: (1) Argumen psikofisik, (2) Argumen “aku” dan kesatuan fenomena psikologis, (3) Argumen Kontinuitas, dan (4) Argumen manusia terbang di udara. Upaya argumentatif ini tampaknya berupaya mempertegas disintegrasi antara jiwa dan badan. Hanya saja, jika disimak lebih mendalam, maka akan tergambarkan tiga unsur kemanusiaan yang terintegrasi dalam roh, jiwa dan jasad, sebab dalam setiap pemaparan dan contoh yang dikemukakannya tentang jiwa, ia tidak mendeskripsikan jiwa sebagai sesuatu yang inheren dengan roh, melainkan sebagai potensi atau daya yang mengikat antara roh dan jasad. Atas dasar itu pula maka dapat ditemukan bahwa hakekat manusia adalah jiwa.
Seperti halnya Aristoteles, Ibnu Sina membagi jiwa manusia kepada tiga bagian:
1.      Jiwa alami atau nabati/tumbuh-tumbuhan ( النفس النباتية ).
Jiwa alami/nabati mempunyai kemampuan untuk berkembang biak (reproduction), tumbuh (growth) dan berkembang biak (nutrition).
2.      Jiwa hewani ( النفس الحيوانية ).
Jiwa hewani mempunyai kemampuan untuk bergerak dengan bebas (locomotion), dan kemampuan untuk melakukan pencerapan indra (sense perception).
            Sense of Perception ini kemudian dibagi dalam dua bahagian:
a.       Menangkap dari luar dengan panca indera.
b.      Menangkap dari dalam dengan indera-indera dalam, yaitu:
( i ) Indera bersama (common sense) yang merespon segala yang ditangkap oleh panca indera.
( ii ) Representasi, yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indera bersama.
( iii ) Imajinasi, yang menyusun apa yang disimpan dalam memori.
( iv ) Estimasi, yang dapat menangkap hal-hal abstrak yang terlepas dari materinya, seperti kehasrusan lari bagi mangsa dari pemangsanya.
( v )  Rekoleksi, yang menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh estimasi.
      3.   Jiwa rasional ( القوة الناطقة ) dengan dua potensi/daya;
a.       Akal praktis, yang berhubungan dengan badan.
b.      Akal teoritis, yang berhubungan dengan hal-hal abstrak. Daya ini mempunyai tingkatan;
1)      Akal materil (material intellect), yang senata-mata mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih walaupun sedikit.
2)      Intellectus in habita, yang telah mulai dilatih unutk berfikir tentang hal-hal abstrak.
3)      Akal aktuil, akal yang telah banyak berfikir tentang hal-hal abstrak.
4)      Akal mustafad ( acquired intellect ), yaitu yang telah sanggup berfikir tentang hal-hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya; akal yang telah dilatih begitu rupa, sehingga hal-hal abstrak selamanya terdapat dalam akal yang serupa ini: akal serupa inilah yang sanggup menerima limpahan ilmu pengetahuan dari Akal Aktif.
Dalam hal ini daya praktis mempunyai esencial position. Daya inilah yang berusaha mengontrol badan manusia, sehingga hawa nafsu yang terdapat dalam badan tidak menjadi halangan bagi daya teoritis untuk membawa manusia kepada tingkatan yang tinggi dalam usaha mencapai kesempurnaan.
            Demikianlah pembagian jiwa manusia menurut Ibn Sina. Tiap bagian dari jiwa tersebut mempunyai tujuannya masing-masing dan mengatur daya-daya yang melakukan fungsi-fungsi khusus, sekaligus memiliki pengaruh besar dalam membentuk kepribadian manusia. Dengan kata lain bahwa karakter yang membentuk jiwa manusia dipengaruhi oleh dominannya hegemoni salah satu variabel jiwa atas variabel jiwa yang lain.
Asal-usul dan keabadian jiwa
            Menurut Ibn Sina, jiwa manusia merupakan satu unit tersendiri dan mempunyai wujud yang terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan yang sesuai dan dapat menerima jiwa itu lahir di dunia ini. Adapun tentang keabadian jiwa, Ibn Sina mempertahankan ajaran Islam yang menetapkan keabadian jiwa karena hubungannya dengan pahala dan dosa yang dijanjikan balasannya kepada orang-orang yang bersangkutan di hari akhirat. Ia tidak sepaham dengan pendapat Aristoteles yang mengatakan fananya jiwa setelah berpisah dengan jasad. Demikian halnya dengan Al-Farabi yang menafikan keabadian jiwa yang jahat dan sesat.
            Filsafat jiwa yang dikembangkan Ibn Sina ini tampak bertentangan dengan pendapat umum yang mengatakan bahwa tubuh manusialah yang membutuhkan jiwa. Sebaliknya, bagi Ibnu Sina, jiwalah yang membutuhkan jasad. Sebab dengan bantuan panca inderalah (luar dan dalam) jiwa/akal manusia meningkat dari potensial menjadi bakat, aktual, dan selanjutnya kepuasan batiniah dalam menikmati hasil.
            Jadi bagi Ibn Sina, semua jenis jiwa manusia, tanpa tingkat kesucian, akan kekal setelah kematian seperti yang telah digariskan dalam ajaran Islam. Karenanya, ia juga menolak reinkarnasi, sebab mustahil dua jiwa menempati satu badan.
c. Falsafat al-Wujud
            Selain falsafat al-Faydh dan al-Nafs, Ibn Sina juga membicarakan sifat wujudiyah sebagai yang terpenting dan mempunyai kedudukan di atas segala sifat lain dengan esensinyayang independen. Sebagaimana para filosof muslim yang mendahuluinya, doktrin Ibn Sina tentang Wujud lebih bersifat emanasionistis yang menegaskan bahwa dari Tuhanlah kemaujudan berawal hingga proses intelegensia kesepuluh. Oleh karena itu pula, esensi dalam paham Ibn Sina terdapat dalam akal, sedangkan wujud terdapat di luar akal. Wujudlah yang membuat tiap esensi yang dalam akal mempunyai kenyataan di luar akal, tanpa wujud esensi tidak besar artinya. Oleh sebab itu wujud lebih penting dari pada esensi. Sehingga tidak mengherankan jika dikatakan bahwa Ibn Sina telah lebih dahulu mengajukan filsafat wujudiyah daripada teori-teori filsafat lain.
            Berawal dari proses emanasi itu pula maka Ibnu Sina mengkombinasikan antara esensi dan wujud, secara rinci Harun Nasution memaparkannya sebagai berikut:
1.   Esensi yang tak dapat mempunyai wujud, hal yang serupa dengan itu disebut oleh Ibn Sina dengan mumtani’, yaitu sesuatu yang mustahil berwujud ( impossible being ).
2.   Esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud. Yang serupa ini disebut mumkin (contingen being), yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula tidak berwujud sebagai contoh, alam ini yang pada mulanya tidak ada, kemudian ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
3.   Esensi yang harus mempunyai wujud, tidak boleh tidak. Di sini esensi tidak bisa dipisahkan dari wujud, esensi dan wujud adalah sama dan satu. Di sini pula esensi tidak dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud, sebagaimana halnya dengan esensi dalam kategori kedua, tetapi esensi mesti dan wajib mempunyai wujud selama-lamanya. Yang serupa ini disebut mesti berwujud/wajib al-Wujud (necessary being) yaitu Tuhan, wajib al-Wujud inilah yang juga mewujudkan mumkin al-Wujud.
            Dengan demikian, argumentasi dengan kategori “ada” ini merupakan argumen ontologis Ibn Sina dengan teori sebab-efek yang bertujuan membuktikan adanya Tuhan dan penciptaan alam semesta, serta berujung pada kesimpulan yang menilai urgensitas wujud di atas esensi.
C. Kesimpulan.
            Uraian-uraian filosofis yang dihadirkan oleh Ibnu Sina jelas telah mendeskripsikan suatu bentuk tradisi pemikiran yang tinggi dalam perkembangan kebudayaan Islam. Paling tidak, kehadiran sosok Ibn Sina dengan kerangka falsafahnya senantiasa menjadi stimulus dan motivator terbukanya gerbang rasionalitas dan sikap dinamis umat yang dibarengi oleh kreativitas dan radikalitas pikir yang yang mempu menerobos cakrawala alam, manusia, dan Tuhan sendiri.
            Pada sisi lain, upaya yang telah dikembangkan Ibn Sina merupakan bentuk pengembaraan transkosmik dengan pengalaman spiritual yang menembus alam-alam spiritual juga. Lebih jauh lagi, hal ini merupakan konfirmasi akan adanya tatanan dunia yang tidak melulu fisik, dan sekaligus bantahan terhadap mereka yang hanya percaya pada dunia fisik (materialisme) sebagai satu-satunya dunia yang riil.
            Terakhir, dari sini pula kita dapat belajar betapa sistem kosmologi dan kosmografi yang diberikan oleh para filisof sebenarnya sangat berguna bagi kita dalam memberikan arah/orientasi yang tepat terhadap tujuan hidup. Sebab, kosmologi tidak lain adalah “peta perjalanan” yang perlu ditempuh untuk mencapai cita-cita hidup yang agung, membebaskan jiwa, dan menemukan kesejatian jiwa, serta membebaskannya dari jiwa-jiwa konvensional, yaitu jiwa yang dibentuk oleh ide-ide yang terjebak oleh etnisitas, nasionalitas, sakralitas, mazhab, serta pemahaman-pemahaman keagamaan yang sempit dan dogmatis.

Daftar Pustaka

Al-Ahwani, Ahmad Fuad. Filsafat al-Islam, diterjemahkan oleh Pustaka Firdaus dengan judul Filsafat Islam. Cet. VIII; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997.
Al-Iraqy, Muhammad Athif. al-Falsafat al-Thabi`at inda Ibnu Sina. Mesir: Dar al-Ma’arif, 1969.
Ali, Yunasril. Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam. Cet. I; Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
Amien, Miska Muhammad. Epistemologi Islam; Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam. Cet. I; Jakarta: UI-Press, 1983.
Daudy, Ahmad. Kuliah Filsafat Islam. Cet. III; Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Hanafi, Ahmad. Pengantar Filsafat Islam. Cet. VI; Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
Kartanegara, Mulyadi. Mozaik Khazanah Islam; Bunga Rampai dari Chicago. Cet. I; Jakarta: Paramadina, 2000.
Nasution, Hasyim Syah. Filsafat Islam. Cet. III; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002.
Nasution, Harun. Falsafah dan Mistisisme Islam. Cet. II; Jakarta: Bulan Bintang, 1998.

_____________, Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran. Cet. IV; Bandung: Mizan, 1996.
Rahman, Fazlur. “Ibnu Sina”, dalam M. M. Syarif (ed.), Para Filosof Muslim. Cet.VIII ; Bandung : Mizan, 1996.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar