ICMI (Gerakan Kecendikiawanan)
Oleh: Muhammad Ghazali Rahman
A.
Pendahuluan
Ketika kelompok-kelompok dan gerakan-gerakan muncul,
biasanya mereka tampil dalam bentuk gerakan pembela hak asasi dan perbaikan
harkat kaum lemah dan tersisih. Kehendak seperti ini dengan sendirinya
menegaskan suatu klaim moral, yaitu humanitas universal. Dalam bentuknya yang
lain, gerakan moral ini boleh jadi berdiri tegak sebagai oposisi terhadap
pemerintah dengan melakukan check and balance dalam bingkai
demokratisasi.
Dalam konteks berbangsa dan bernegara di Indonesia,
setidaknya sejak negeri ini berdiri, kesadaran semacam itu telah mengental di
kalangan umat Islam. Sebab disadari bahwa agama pada dasarnya mempunyai peran
strategis dalam mengembangkan etika sosial, ekonomi dan politik. Persoalan
kemudian adalah, apakah proses artikulasi nilai-nilai Islam yang mesti
diperjuangkan itu perlu melibatkan institusionalisasi agama dalam praksis
sosial-politik yang bersifat formalistik atau tidak?
Tidak dipungkiri bahwa perjalanan sejarah kebangsaan
Indonesia tidak lepas dari peran strategis umat Islam yang memang mayoritas.
Secara kilas balik dapat diceritakan kembali bahwa sejarah politik Islam
Indonesia modern bukanlah sesuatu yang relatif menggembirakan para
pendukungnya. Sebab, baik pemerintahan Soekarno maupun Soeharto sama-sama
menganggap Islam politik sebagai fenomena yang membahayakan. Hal ini bukan
hanya dalam konteks persaingan kekuasaan, tetapi juga dikaitkan dengan ideologi
dan dasar negara. Karenannya, kedua pemerintahan ini berusaha keras untuk
melemahkan dan memarjinalkan Islam politik. Bahkan, yang lebih menyedihkan
lagi, seluruh kegiatan politk Islam tetap dicurigai sebagai manifestasi
keinginan untuk mengganti Pancasila dengan Islam sebagai dasar negara.[1]
Sejak itu, hubungan Islam dan negara berkembang menjadi
antagonisme yang bersifat timbal balik. Di satu sisi, pemerintah mengembangkan
rasa curiga kepada Islam politik sebagai kekuatan yang membahayakan ideologi
negara. Di sisi lain, komunitas Islam menganggap pemerintah dengan kekuatan
birokrasi dan militernya berusaha mengembangkan sekularisme politik sebagai
bagian dari apa yang disebut “Islamophobia.”[2] Namun setelah melalui
ketegangan konseptual yang panjang, pada akhirnya semua Ormas dan Orsospol
menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas. Penerimaan asas tunggal ini
dinilai sebagai bentuk respon adaptif Islam politik sekaligus merubah pola
hubungan Islam dan negara yang pada awalnya saling berhadap-hadapan menjadi
saling akomodatif.[3]
Salah satu momentum terpenting dalam hubungan akomodatif
Islam dan negara ini adalah dengan lahirnya organisasi yang dipelopori oleh
para cendekiawan muslim Indonesia dengan nama ICMI (Ikatan Cendekiawan Islam
Indonesia) yang di dalamnya tergabung dari beberapa elemen birokrasi dan non
birokrasi. Namun, pendirian ICMI tetap saja memicu kecurigaan sebagian kalangan
Islam yang menilainya sebagai kedok dan upaya elit ORBA untuk mempertahankan
status quo mereka dalam politik. Apalagi jika dikaitkan dengan figur B.J
Habibie sebagai orang terdekat Presiden Soeharto. Apakah benar ICMI sebagai
wahana para cendikiawan yang diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam
pembangunan dengan kemampuan teknis dan intelektual; dapatkah mereka
mengartikulasikan gagasan-gagasan dan sikap kritisnya secara bebas dan terbuka;
apakah ICMI dapat menghindarkan diri dari sikap ekslusivisme kelompok dan
semangat sektarian; dapatkah ICMI menghindar dari percaturan politik. Suatu hal
yang sangat dilematis bagi organisasi cendikiawan yang dekat dengan birokrasi.
B. Pembahasan
- Sejarah lahirnya ICMI
Pembentukan
ICMI merupakan hasil dari Simposium Nasional Cendekiawan Muslim pada tanggal
6-8 Desember 1990 di Malang.[4]
Berawal dari sebuah diskusi kecil sekelompok mahasiswa pada bulan Februari 1990
di masjid kampus Universitas Brawijaya yang merasa khawatir terhadap kondisi
umat Islam, terutama karena adanya perpecahan di kalangan para cendekiawannya.
Fenomena polarisasi kepemimpinan umat ini menggugah tercetusnya keinginan untuk
menyelenggarakan semacam kegiatan yang bisa mempertemukan para cendekiawan
muslim, yakni menghadirkan mereka sebagai pembicara dalam suatu simposium.[5]
Oleh Rektor
Universitas Brawijaya yang saat itu dipimpin oleh ZA. Ahmady, mereka diminta
menyusun proposal dan membentuk kepanitiaan simposium dengan tema “Sumbangan
Cendekiawan Muslim Menuju Era Tinggal Landas.” Keinginan untuk menyelenggarakan
simposium itu berkembang jauh hingga muncul ide membentuk wadah cendekiawan
muslim yang berlingkup nasional.[6]
Melalui
sebuah pertemuan khusus pada tanggal 23 Agustus 1990, dengan diantar oleh Imaduddin
Abdurrahim, M. Dawam Rahardjo, dan Syafi’i Anwar, kelompok mahasiswa tersebut
menemui BJ. Habibie yang juga direncanakan akan menjadi salah satu pembicara.
Pertemuan ini akhirnya mengusulkan BJ. Habibie untuk memimpin wadah cendekiawan
muslim dalam lingkup nasional. Meskipun secara pribadi beliau bersedia, tetapi
sebagai menteri dan juga pembantu presiden, maka harus meminta izin kepada
Presiden Soeharto. Oleh karena itu beliau meminta agar pencalonannya dinyatakan
secara resmi melalui surat dan diperkuat dengan bukti dukungan beberapa
kalangan cendekiawan muslim. Setelah konsep surat dibuat dan diedarkan,
ternyata sambutannya di luar dugaan. Sebanyak 49 cendekiawan muslim menyetujui
pencalonan BJ. Habibie.[7]
Presiden
dalam hal ini juga memberikan restu politik dengan menunjuk sejumlah menteri
dan dua orang cendekiawan muslim untuk mendampingi BJ. Habibie.[8]
Legitimasi terhadap pembentukan ICMI ini lebih tegas ketika Presiden merestui
diadakannya simposium pembentukan ICMI. Setelah dilakukan beberapa pertemuan
sebagai rencana pematangan pembentukan ICMI, maka gagasan mahasiswa untuk
menyelenggarakan simposium itu pun berubah menjadi peristiwa akbar yang bernilai
sejarah.[9]
Pada tanggal
6-8 Desember 1990, babak baru sejarah umat Islam Indonesia digelar di Malang
dengan suasana yang jauh berbeda dibanding dengan tahun 1968 di kota dan agenda
yang sama. Simposium tersebut dibuka secara resmi oleh Presiden Soeharto dan
ditutup oleh Wakil Presiden Soedharmono. Simposium cendekiawan muslim yang
dilanjutkan dengan pembentukan ICMI di Malang itu lebih menggambarkan kemesraan
antara Islam dengan pemerintah yang sebelumnya cenderung bertolakbelakang, tepatnya
antara cendekiawan muslim dengan birokrat ORBA. Sisi lain yang membuat
simposium itu menjadi istimewa dan bersejarah adalah terpilihnya seorang BJ.
Habibie sebagai ketua ICMI. Seorang tokoh yang jika dilihat dari latar belakang
sosialnya tidak dibesarkan dalam kancah ideologis pergerakan Islam.
2.
Peranan ICMI dalam Dinamika Kebangsaan
Bagaimanapun
juga, sejak kelahirannya pada tahun 1990, ICMI telah menjadi pusat perhatian
dalam wacana mengenai Islam di Indonesia. Berbagai paparan serta analisis
spontan seputar ICMI muncul untuk menilai dan mengevaluasi posisi ICMI di dalam
konteks keadaan Islam Politik di Indonesia. ICMI menimbulkan pro dan kontra,
yang pro melihatnya sebagai pelunakan sikap Pemerintah kepada umat, yang kontra
melihat gejala itu sebagai sebuah kooptasi pemerintah atas umat.[10]
Kendati ICMI
merupakan organisasi bercirikan keagamaan, namun tak dapat lepas dari dinamika
kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. Setiap membicarakan masalah keumatan dalam
kacamata kebangsaan, akan selalu dihadapkan dengan wacana politik. Meskipun
kehadiran ICMI adalah suatu bentuk gejala sosial, namun sulit dilepaskan bahwa
ICMI merupakan fenomena politik sekalipun ICMI adalah organisasi yang bercorak
kebudayaan sebagaimana tertuang di dalam Anggaran Dasar ICMI pasal 6.[11]
Kehadiran
ICMI pada dasarnya merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia
khususnya umat Islam. Sejak kelahirannya hingga saat ini, masalah nasionalisme,
wawasan kebangsaan, demokratisasi dan hak asasi manusia ataupun isu-isu lainnya
menjadi menu politik yang cukup berpengaruh terhadap perjalanan bangsa sehingga
sekat primordialisme menjadi tersingkap. Kepentingan kelompok tidak lagi
sebagai sesuatu yang dijadikan saingan bagi kepentingan bangsa. Oleh karena itu
seyogyanya ICMI mampu menampilkan wajah yang anggun dalam proses demokratisasi
di Indonesia.
Di sisi
lain, masuknya seseorang yang memproklamirkan diri sebagai seorang
“cendekiawan” dalam suatu kelompok atau komunitas, maka akan sangat sulit
baginya untuk dapat menempatkan diri lagi sebagai seorang cendekiawan yang
kritis, bebas dan mandiri. Sebab, independensinya akan diuji dan digoda oleh
kepentingan kekuasaan, sektarianisme, dan eksklusifisme, bahkan oleh
kepentingan pribadi. Padahal, pemikiran kritis, analitis, bebas dan terbuka dari
seorang cendekiawan selalu menjadi tumpuan utama dalam keterpanggilannya
melihat penindasan maupun segala bentuk penyelewengan yang hadir di muka bumi
ini.
Terlepas
dari sikap pro dan kontra tersebut, ICMI telah menunjukkan eksistensinya di
pentas sejarah perpolitikan nasional, yang akan menjadi pemain utama di dalam
menentukan kebijaksanaan Indonesia masa depan. Setidaknya, ICMI dapat menjadi
ajang pengabdian kaum cendekiawan dalam merumuskan alternatif kebijaksanaan dan
strategi bagi masa depan bangsa Indonesia, karena kemajuan dalam bidang ilmu
pengetahuan, teknologi dan ekonomi telah mendorong dinamika perubahan dunia
dalam waktu yang agak cepat.
Dengan
demikian, keterpanggilan para cendekiawan muslim untuk ikut serta menentukan
arah dan sasaran pembangunan bangsa mempunyai landasan yang kuat, sehingga
proses transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi perlu dimanfaatkan
semaksimal mungkin. Bahkan Habibie menegaskan bahwa kehadiran ICMI bukanlah
untuk mengajarkan Alqur’an dan Hadis kepada umat, sebab hal itu merupakan tugas
ulama, tapi bagaimana memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
pertanian, perkebunan, engeneering, dan sebagainya.[12]
Tentu saja
sebuah organisasi muncul dengan membawa visi dan misi, dan bagi ICMI adalah
bagaimana Islam mendapat tempat yang wajar dalam kehidupan kenegaraan di
Indonesia. Oleh karena itu, ICMI muncul dengan misi 5K-nya, yaitu kualitas iman
dan takwa, hidup, berkarya, bekerja, dan berpikir manusia Indonesia.[13]
Proses untuk mewujudkan misi itu tentunya membutuhkan waktu yang relatif
panjang, karena tidak semudah membalik telapak tangan.
Namun dalam
perkembangannya, ICMI seringkali terjebak oleh logika kekuasaan Orde Baru dalam
merespon persoalan keumatan. Hal ini tampak pada ketidakberdayaan ICMI dalam
menyuarakan dan memperjuangkan kepentingan nasib masyarakat tertindas,
tergusur, yang dilakukan oleh negara pada masa Orde Baru, sehingga isu-isu yang
lebih sering direspon oleh ICMI adalah isu-isu elitis, dibanding isu-isu
kerakyatan yang seharusnya menjadi komitmen ICMI dalam aktivitas
kecendekiawanannya.[14]
Oleh kerena itu, untuk lebih mengharapkan peran ICMI di masa depan, maka
diperlukan pola strategi jangka panjang dalam melakukan transformasi masyarakat
melalui tiga strategi gerakan; struktural, mobilitas sosial dan gerakan kultural
yang transenden, yakni suatu proses yang melahirkan kemampuan manusia untuk
keluar dari struktur, dan melihat struktur kembali dari luar melalui iman yang
di-struktur-kan secara kritis.[15]
Fenomena
keterlibatan ICMI secara praksis dalam politik Orde Baru telah mengundang
kritik dari beberapa kalangan. Ridwan Saidi, mantan ketua PB. HMI berpandangan
bahwa kriteria kecendekiawanan yang dipergunakan ICMI tidak jelas. Menurutnya,
ekspresi kecendekiawanan tidak memerlukan wadah, karena nilai-nilai kebenaran
serta ungkapan atas kenyataan yang dilihat dan diamatinya diutarakan secara
individual. “cendekiawan bukan massa, walaupun dalam membawakan perannya cendekiawan
berorientasi, bahkan berpihak, pada kepentingan rakyat banyak”.[16]
Kritikan juga datang dari Muchtar Lubis, seorang budayawan terkemuka yang
menyatakan bahwa cendekiawan bukanlah status yang bisa diklaim, tetapi pengakuan
yang diberikan oleh masyarakat.[17]
Kritikan tersebut juga dapat dipahami dalam konteks makna
cendekiawan sebagai suatu misi, bukan sebagai profesi. Sebab kecendekiawanan
memang lebih merupakan panggilan untuk melakukan peranan dan misi dalam
masyarakat. Secara normatif, kecendekiawanan bisa diukur dari integritas
seseorang, yakni seberapa jauh seseorang bergumul dengan cita-cita dan
gagasannya secara serius dan berkesinambungan. Dan akhirnya, kecendikiawanan
memerlukan pengakuan sosial.
Jika
kelahiran ICMI dilihat dari sisi praktis, maka ia dibentuk untuk menghimpun dan
mengefektifkan potensi dan kemampuan yang ada pada cendekiawan muslim. Karena
itu, pengertian cendekiawan dalam konteks ICMI memang perlu diletakkan secara
proporsional, dalam arti lebih menekankan dimensi etis dan niat para
cendekiawan yang bergabung di dalamnya. Untuk itu, pembentukan ICMI perlu
dipahami sebagai manifestasi kesadaran kolektif anak bangsa akan tanggung jawab
cendekiawan yang mengemban risalah tertentu, bukan forum untuk mendapatkan
prestise kecendekiawanan.
Dalam tulisan Dawam Raharjdo di harian Pelita
ditegaskan bahwa tujuan didirikannya ICMI pertama-tama adalah untuk
meningkatkan mutu atau kualitas kecendekiawanan mereka yang bergabung di
dalamnya, kemudian mengambil peran aktif dalam kegiatan dan proses
kemasyarakatan.[18]
Tegasnya, ICMI merupakan wadah untuk menghimpun potensi dan meningkatkan
kualitas, dan bukan forum untuk mendapatkan prestise atau pengklaiman diri
sebagai cendekiawan.
Dalam
bingkai pluralitas, ICMI mengemban misi integrasi, baik integrsi politik, sosial
maupun kultural. Oleh sebab itu, dalam ICMI terdapat kelompok birokrat maupun
LSM atau NGO. Begitupula dari segi teologis, terdapat orang-orang yang
beraliran modernis, neomodernis, bahkan tradisionalis, dan neotradisionalis.
Dalam ICMI juga ada unsur cendekiawan yang berpendidikan Barat maupun ulama
yang berpendidikan tradisional Islam. Tetapi, dalam ICMI tidak ada perbedaan
antara santri dan abangan. ICMI juga membuka wadah untuk dialog teologis dengan
harapan dapat mencairkan gejala polarisasi umat yang terkotakkan dalam berbagai
firqah dan mazhab. Sehingga yang terjadi adalah interaksi kreatif di
antara unsur-unsur yang berbeda paham. Bahkan, simpatisan atau pendukung
aliran-aliran Syi’ah dan Ahmadiyah mendapat tempat di ICMI, sepanjang tidak
menonjolkan aliran dan golongannya.[19]
Misi penting
ICMI yang lain adalah menghimpun partisipasi. Hal ini merupakan counter
terhadap citra yang diciptakan oleh pers dan buku-buku yang ditulis oleh
pengamat Barat, yaitu bahwa umat Islam adalah kelompok yang cenderung bersikap
nonpartisipatif dan bahkan cenderung melakukan resistensi. Padahal, gejala
semacam itu lazim pada setiap negara berkembang yang menempuh strategi
pembangunan dengan berorientasi pada pertumbuhan ekonomis semata dan
mengabaikan pembangunan sosial dan kultural.[20]
Di lain
pihak, kurangnya partisipasi umat Islam pada dasarnya lebih banyak disebabkan
oleh rendahnya kualitas sumber daya manusia, daripada karena hambatan doktriner
yang bersumber pada pandangan teologis, misalnya karena sikap fatalsitik. Oleh
sebab itulah sehingga tujuan perhimpunan ICMI difokuskan pada masalah kualitas
manusia yang disimbolkan dengan 5K sebagaimana yang telah diungkapkan
sebelumnya.
Misi lain
ICMI adalah pembangunan dan perubahan sosial. Persepsi tentang misi ini timbul
dari kesadaran bahwa umat Islam pada umumnya berada dalam kondisi
keterbelakangan dan kemiskinan. Makna konkretnya adalah, pembangunan yang
didukung oleh ICMI bukan sekedar mencapai pertumbuhan ekonomi, melainkan juga
berupaya menciptakan perubahan sosial ke arah kondisi yang lebih adil, maju,
dan egaliter.[21]
Gambaran visi dan misi tersebut adalah sesuatu yang cukup ideal dan hidup untuk
memberikan semangat dan motivasi yang menggerakkan. Pencapaian tujuan itu juga
memerlukan pengerahan sumber daya yang besar, baik tenaga maupun dana. Belum
lagi dari ujian lain yang mungkin muncul dari persoalan-persoalan artifisial
yang dibuat-buat sebagaimana lazimnya menjadi kendala awal bagi sebuah
organisasi baru.
C. Penutup
...Berapakah
dari berjuta kata yang tak pupus saja di udara, mewariskan kenangan yang bagai
mengejek kenyataan-kenyataan sosial yang demikian alot digerak-balikkan menuju
isi kata para arif bijaksana. Di sebuah institut ilmu-ilmu sosial negeri Antah
Berantah, di mana para pegawai negeri atau pegawai ornop dari negeri-negeri
dunia ketiga pada berdatangan untuk menjadi master-master, di mana kemiskinan
beratus juta manusia tiap saat dibicarakan sampai melimpah dan bagaikan
terbuang ke tong-tong sampah, di mana penderitaan yang menggergaji berbagai
bangsa dan mengepung hari-hari sejarah dipercakapkan sambil minum wine, di mana
film-film tentang darah dan kelaparan hampir tiap hari diputar, di mana kaum
melarat hina papa sungguh-sungguh merupakan obyek proyek-proyek basah yang tak
henti-hentinya memberi ilham...Pernahkah diteliti berapa sudah jumlah sarjana,
master dan doktor yang dihasilkan oleh tema-tema kemiskinan, penindasan dan
keprihatinan manusia? Apa sajakah relevansi atau irrelevansi dari yang
dilakukan oleh para “ilmuwan kemiskinan” itu kemudian? Berapakah derajat
penurunan atau kenaikan kemiskinan berkat pengaruh makin banyaknya para piawai
yang “makanan utamanya” masalah kemiskinan itu?...[22]
Bait kutipan tersebut adalah buah
renungan perjalanan Cak Nun yang tampaknya ditujukan bagi para cendekiawan.
Apapun maksud di balik “Pojok Sejarah” yang diungkapkan oleh Cak Nun tersebut
juga tampaknya membutuhkan “Tafsir Khusus” bagi para cendekiawan. Jelasnya,
fenomena seperti itulah yang tampak di mata seorang Cak Nun.
Sejak abad ke-6 hingga abad ke-4 SM, filosof Yunani Kuno
sekolah dan berguru pada alam semesta. Mereka juga berdebat secara andragogis
tentang Tuhan dan asal mula alam semesta dalam rangka mencari hakikat
segala sesuatu. Ketika itu, tidak pernah terpikirkan oleh para filosof itu
untuk membentuk organisasi semacam ICMI. Jika sekiranya ada, pasti nama
organisasinya adalah “Ikatan Filosof Yunani” atau “Ikatan Cendekiawan Yunani”,
maka tercatatlah nama-nama besar sekaliber Thales dan Socrates. Nama-nama yang
asing, tak semudah menghafal nama-nama bintang film.
Filosof alam raya tersebut, sebelumnya disebut dengan
gelar “kaum sofis" yang berarti cendekiawan atau sarjana. Tentu saja tidak
dibuktikan dengan ijazah S-1 atau titel-titel yang
ditambahkan pada awal atau akhir nama seseorang. Gelar summa cumlaude atau
cumlaude diperoleh kaum sofis itu semata-mata karena kemampuan mereka
ber-afala ya’qilun atau tafakur dan membaca
fenomena alam.
Jika para filosof kosmologis itu dikategorikan sebagai
komunitas pertama “orang-orang berilmu yang mewarisi sifat kenabian” dalam
sejarah ilmu pengetahuan, maka ICMI adalah komunitas kesekian yang mewarisi
sifat-sifat kenabian sekaligus mewarisi “utang-utang” para filosof itu kepada
Allah. Dengan demikian, nikmat syukur ICMI berwawasan politis dan historis
kepada Allah dalam rangka menyambung tongkat estafet jiwa-jiwa kritis
kecendekiawanan, hingga diterima Allah di sisi-Nya, di taman surga-Nya.
Tentunya melalui proses pengadilan Tuhan yang Maha Demokratis, sesuai dengan
sifat ilmu; terbuka, sistematis-metodis, dan berintegritas moral-intelektual
dalam arti dapat dipertanggungjawabkan pada publik.
Tetapi ternyata, alam “Ikatan Filosof Yunani” dan alam
“Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia” sudah berbeda. Sebab sejarah pembentukan
ICMI bukanlah berpijak pada perenungan filosofis, melainkan adalah kegelisahan
terhadap polarisasi umat dan juga sejarah ketika agama berdiri secara dikotomis
dengan negara. Sehingga kehadiran ICMI perlu disikapi sebagai salah satu icon
penting dalam konstruksi tata hubungan agama (Islam), masyarakat, dan
negara. Sebab disadari bahwa agama sebagai sesuatu yang memboyong nilai-nilai,
sudah selayaknya untuk terus dieksplorasi makna-maknanya secara kontekstual
untuk diperjuangkan dalam tata kehidupan umat manusia. Dalam konsepsi demikian,
peran cendekiawan muslim menjadi signifikan dalam keterlibatannya membangun
Masyarakat Madani atau civil society, yakni upaya menciptakan masyarakat
yang mandiri, bebas, terbuka, bertanggungjawab serta memiliki posisi tawar
dalam konstruk politik penguasa. Setidaknya, ICMI dapat diperhitungkan sebagai
salah satu elemen penting yang bisa membentuk dan menentukan masa depan politik
Islam di Indonesia.
[4]M. Syafi’i Anwar, 1995: 259.
[8]Sejumlah menteri tersebut antara lain adalah; Munawir Sjadzali, Azwar Anas,
Rudini Fuad Hassan, Saleh Afif, dan Nasruddin Sumintapura. Sedangkan dari
kalangan cendekiawan muslim adalah Nurcholish Madjid dan Ahmad Baiquni. Ibid.
[10]Kuntowijoyo, 2001: 78.
[11]Anggaran Dasar ICMI pasal 6 berbunyi bahwa ICMI sebagai organisasi
kebudayaan yang bercorak terbuka, bebas dan mandiri. Lihat, Fransiskus Paulus
Paskalis Abi, “ICMI dan Pluralisme Kehidupan Keagamaan di Indonesia” dalam Zuli
Qodir dan Lalu M. Iqbal Songell (Ed.) 1995: 52-3.
[12]Zuli Qodir dan Lalu M. Iqbal Songell (Ed.), op. cit: 96.
[13]Abdul Azis Thaba, op. cit: 299. Lihat pula, Arief Afandi (Ed.), 1996.:
59.
[14]Lihat, Douglas E. Ramage, 1995: 75-6. Lihat pula, Nurcholish Madjid, 1997:
341.
[15]Lihat, Muslim Abdurrahman, 1995: 210.
[16]Ridwan Saidi, 1990. Lihat pula kumpulan kuliah-kuliah Ali
Shariati, 1996: 191.
[17]M. Syafi’i Anwar, op. cit: 290.
[18]M. Dawam Rahardjo, 1991.
[22]Lihat,
Emha Ainun Nadjib, 1994: 19.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar