Sabtu, 22 Februari 2014

ICMI (Gerakan Kecendikiawanan)



ICMI (Gerakan Kecendikiawanan)
Oleh: Muhammad Ghazali Rahman

A. Pendahuluan
            Ketika kelompok-kelompok dan gerakan-gerakan muncul, biasanya mereka tampil dalam bentuk gerakan pembela hak asasi dan perbaikan harkat kaum lemah dan tersisih. Kehendak seperti ini dengan sendirinya menegaskan suatu klaim moral, yaitu humanitas universal. Dalam bentuknya yang lain, gerakan moral ini boleh jadi berdiri tegak sebagai oposisi terhadap pemerintah dengan melakukan check and balance dalam bingkai demokratisasi.

            Dalam konteks berbangsa dan bernegara di Indonesia, setidaknya sejak negeri ini berdiri, kesadaran semacam itu telah mengental di kalangan umat Islam. Sebab disadari bahwa agama pada dasarnya mempunyai peran strategis dalam mengembangkan etika sosial, ekonomi dan politik. Persoalan kemudian adalah, apakah proses artikulasi nilai-nilai Islam yang mesti diperjuangkan itu perlu melibatkan institusionalisasi agama dalam praksis sosial-politik yang bersifat formalistik atau tidak?
            Tidak dipungkiri bahwa perjalanan sejarah kebangsaan Indonesia tidak lepas dari peran strategis umat Islam yang memang mayoritas. Secara kilas balik dapat diceritakan kembali bahwa sejarah politik Islam Indonesia modern bukanlah sesuatu yang relatif menggembirakan para pendukungnya. Sebab, baik pemerintahan Soekarno maupun Soeharto sama-sama menganggap Islam politik sebagai fenomena yang membahayakan. Hal ini bukan hanya dalam konteks persaingan kekuasaan, tetapi juga dikaitkan dengan ideologi dan dasar negara. Karenannya, kedua pemerintahan ini berusaha keras untuk melemahkan dan memarjinalkan Islam politik. Bahkan, yang lebih menyedihkan lagi, seluruh kegiatan politk Islam tetap dicurigai sebagai manifestasi keinginan untuk mengganti Pancasila dengan Islam sebagai dasar negara.[1]
            Sejak itu, hubungan Islam dan negara berkembang menjadi antagonisme yang bersifat timbal balik. Di satu sisi, pemerintah mengembangkan rasa curiga kepada Islam politik sebagai kekuatan yang membahayakan ideologi negara. Di sisi lain, komunitas Islam menganggap pemerintah dengan kekuatan birokrasi dan militernya berusaha mengembangkan sekularisme politik sebagai bagian dari apa yang disebut “Islamophobia.”[2] Namun setelah melalui ketegangan konseptual yang panjang, pada akhirnya semua Ormas dan Orsospol menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas. Penerimaan asas tunggal ini dinilai sebagai bentuk respon adaptif Islam politik sekaligus merubah pola hubungan Islam dan negara yang pada awalnya saling berhadap-hadapan menjadi saling akomodatif.[3]
            Salah satu momentum terpenting dalam hubungan akomodatif Islam dan negara ini adalah dengan lahirnya organisasi yang dipelopori oleh para cendekiawan muslim Indonesia dengan nama ICMI (Ikatan Cendekiawan Islam Indonesia) yang di dalamnya tergabung dari beberapa elemen birokrasi dan non birokrasi. Namun, pendirian ICMI tetap saja memicu kecurigaan sebagian kalangan Islam yang menilainya sebagai kedok dan upaya elit ORBA untuk mempertahankan status quo mereka dalam politik. Apalagi jika dikaitkan dengan figur B.J Habibie sebagai orang terdekat Presiden Soeharto. Apakah benar ICMI sebagai wahana para cendikiawan yang diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembangunan dengan kemampuan teknis dan intelektual; dapatkah mereka mengartikulasikan gagasan-gagasan dan sikap kritisnya secara bebas dan terbuka; apakah ICMI dapat menghindarkan diri dari sikap ekslusivisme kelompok dan semangat sektarian; dapatkah ICMI menghindar dari percaturan politik. Suatu hal yang sangat dilematis bagi organisasi cendikiawan yang dekat dengan birokrasi.
B. Pembahasan
  1. Sejarah lahirnya ICMI
Pembentukan ICMI merupakan hasil dari Simposium Nasional Cendekiawan Muslim pada tanggal 6-8 Desember 1990 di Malang.[4] Berawal dari sebuah diskusi kecil sekelompok mahasiswa pada bulan Februari 1990 di masjid kampus Universitas Brawijaya yang merasa khawatir terhadap kondisi umat Islam, terutama karena adanya perpecahan di kalangan para cendekiawannya. Fenomena polarisasi kepemimpinan umat ini menggugah tercetusnya keinginan untuk menyelenggarakan semacam kegiatan yang bisa mempertemukan para cendekiawan muslim, yakni menghadirkan mereka sebagai pembicara dalam suatu simposium.[5]
Oleh Rektor Universitas Brawijaya yang saat itu dipimpin oleh ZA. Ahmady, mereka diminta menyusun proposal dan membentuk kepanitiaan simposium dengan tema “Sumbangan Cendekiawan Muslim Menuju Era Tinggal Landas.” Keinginan untuk menyelenggarakan simposium itu berkembang jauh hingga muncul ide membentuk wadah cendekiawan muslim yang berlingkup nasional.[6]
Melalui sebuah pertemuan khusus pada tanggal 23 Agustus 1990, dengan diantar oleh Imaduddin Abdurrahim, M. Dawam Rahardjo, dan Syafi’i Anwar, kelompok mahasiswa tersebut menemui BJ. Habibie yang juga direncanakan akan menjadi salah satu pembicara. Pertemuan ini akhirnya mengusulkan BJ. Habibie untuk memimpin wadah cendekiawan muslim dalam lingkup nasional. Meskipun secara pribadi beliau bersedia, tetapi sebagai menteri dan juga pembantu presiden, maka harus meminta izin kepada Presiden Soeharto. Oleh karena itu beliau meminta agar pencalonannya dinyatakan secara resmi melalui surat dan diperkuat dengan bukti dukungan beberapa kalangan cendekiawan muslim. Setelah konsep surat dibuat dan diedarkan, ternyata sambutannya di luar dugaan. Sebanyak 49 cendekiawan muslim menyetujui pencalonan BJ. Habibie.[7]
Presiden dalam hal ini juga memberikan restu politik dengan menunjuk sejumlah menteri dan dua orang cendekiawan muslim untuk mendampingi BJ. Habibie.[8] Legitimasi terhadap pembentukan ICMI ini lebih tegas ketika Presiden merestui diadakannya simposium pembentukan ICMI. Setelah dilakukan beberapa pertemuan sebagai rencana pematangan pembentukan ICMI, maka gagasan mahasiswa untuk menyelenggarakan simposium itu pun berubah menjadi peristiwa akbar yang bernilai sejarah.[9]
Pada tanggal 6-8 Desember 1990, babak baru sejarah umat Islam Indonesia digelar di Malang dengan suasana yang jauh berbeda dibanding dengan tahun 1968 di kota dan agenda yang sama. Simposium tersebut dibuka secara resmi oleh Presiden Soeharto dan ditutup oleh Wakil Presiden Soedharmono. Simposium cendekiawan muslim yang dilanjutkan dengan pembentukan ICMI di Malang itu lebih menggambarkan kemesraan antara Islam dengan pemerintah yang sebelumnya cenderung bertolakbelakang, tepatnya antara cendekiawan muslim dengan birokrat ORBA. Sisi lain yang membuat simposium itu menjadi istimewa dan bersejarah adalah terpilihnya seorang BJ. Habibie sebagai ketua ICMI. Seorang tokoh yang jika dilihat dari latar belakang sosialnya tidak dibesarkan dalam kancah ideologis pergerakan Islam.
2.      Peranan ICMI dalam Dinamika Kebangsaan
Bagaimanapun juga, sejak kelahirannya pada tahun 1990, ICMI telah menjadi pusat perhatian dalam wacana mengenai Islam di Indonesia. Berbagai paparan serta analisis spontan seputar ICMI muncul untuk menilai dan mengevaluasi posisi ICMI di dalam konteks keadaan Islam Politik di Indonesia. ICMI menimbulkan pro dan kontra, yang pro melihatnya sebagai pelunakan sikap Pemerintah kepada umat, yang kontra melihat gejala itu sebagai sebuah kooptasi pemerintah atas umat.[10]
Kendati ICMI merupakan organisasi bercirikan keagamaan, namun tak dapat lepas dari dinamika kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. Setiap membicarakan masalah keumatan dalam kacamata kebangsaan, akan selalu dihadapkan dengan wacana politik. Meskipun kehadiran ICMI adalah suatu bentuk gejala sosial, namun sulit dilepaskan bahwa ICMI merupakan fenomena politik sekalipun ICMI adalah organisasi yang bercorak kebudayaan sebagaimana tertuang di dalam Anggaran Dasar ICMI pasal 6.[11]
Kehadiran ICMI pada dasarnya merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia khususnya umat Islam. Sejak kelahirannya hingga saat ini, masalah nasionalisme, wawasan kebangsaan, demokratisasi dan hak asasi manusia ataupun isu-isu lainnya menjadi menu politik yang cukup berpengaruh terhadap perjalanan bangsa sehingga sekat primordialisme menjadi tersingkap. Kepentingan kelompok tidak lagi sebagai sesuatu yang dijadikan saingan bagi kepentingan bangsa. Oleh karena itu seyogyanya ICMI mampu menampilkan wajah yang anggun dalam proses demokratisasi di Indonesia.
Di sisi lain, masuknya seseorang yang memproklamirkan diri sebagai seorang “cendekiawan” dalam suatu kelompok atau komunitas, maka akan sangat sulit baginya untuk dapat menempatkan diri lagi sebagai seorang cendekiawan yang kritis, bebas dan mandiri. Sebab, independensinya akan diuji dan digoda oleh kepentingan kekuasaan, sektarianisme, dan eksklusifisme, bahkan oleh kepentingan pribadi. Padahal, pemikiran kritis, analitis, bebas dan terbuka dari seorang cendekiawan selalu menjadi tumpuan utama dalam keterpanggilannya melihat penindasan maupun segala bentuk penyelewengan yang hadir di muka bumi ini.
Terlepas dari sikap pro dan kontra tersebut, ICMI telah menunjukkan eksistensinya di pentas sejarah perpolitikan nasional, yang akan menjadi pemain utama di dalam menentukan kebijaksanaan Indonesia masa depan. Setidaknya, ICMI dapat menjadi ajang pengabdian kaum cendekiawan dalam merumuskan alternatif kebijaksanaan dan strategi bagi masa depan bangsa Indonesia, karena kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan ekonomi telah mendorong dinamika perubahan dunia dalam waktu yang agak cepat.
Dengan demikian, keterpanggilan para cendekiawan muslim untuk ikut serta menentukan arah dan sasaran pembangunan bangsa mempunyai landasan yang kuat, sehingga proses transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi perlu dimanfaatkan semaksimal mungkin. Bahkan Habibie menegaskan bahwa kehadiran ICMI bukanlah untuk mengajarkan Alqur’an dan Hadis kepada umat, sebab hal itu merupakan tugas ulama, tapi bagaimana memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk pertanian, perkebunan, engeneering, dan sebagainya.[12]
Tentu saja sebuah organisasi muncul dengan membawa visi dan misi, dan bagi ICMI adalah bagaimana Islam mendapat tempat yang wajar dalam kehidupan kenegaraan di Indonesia. Oleh karena itu, ICMI muncul dengan misi 5K-nya, yaitu kualitas iman dan takwa, hidup, berkarya, bekerja, dan berpikir manusia Indonesia.[13] Proses untuk mewujudkan misi itu tentunya membutuhkan waktu yang relatif panjang, karena tidak semudah membalik telapak tangan.
Namun dalam perkembangannya, ICMI seringkali terjebak oleh logika kekuasaan Orde Baru dalam merespon persoalan keumatan. Hal ini tampak pada ketidakberdayaan ICMI dalam menyuarakan dan memperjuangkan kepentingan nasib masyarakat tertindas, tergusur, yang dilakukan oleh negara pada masa Orde Baru, sehingga isu-isu yang lebih sering direspon oleh ICMI adalah isu-isu elitis, dibanding isu-isu kerakyatan yang seharusnya menjadi komitmen ICMI dalam aktivitas kecendekiawanannya.[14] Oleh kerena itu, untuk lebih mengharapkan peran ICMI di masa depan, maka diperlukan pola strategi jangka panjang dalam melakukan transformasi masyarakat melalui tiga strategi gerakan; struktural, mobilitas sosial dan gerakan kultural yang transenden, yakni suatu proses yang melahirkan kemampuan manusia untuk keluar dari struktur, dan melihat struktur kembali dari luar melalui iman yang di-struktur-kan secara kritis.[15]
Fenomena keterlibatan ICMI secara praksis dalam politik Orde Baru telah mengundang kritik dari beberapa kalangan. Ridwan Saidi, mantan ketua PB. HMI berpandangan bahwa kriteria kecendekiawanan yang dipergunakan ICMI tidak jelas. Menurutnya, ekspresi kecendekiawanan tidak memerlukan wadah, karena nilai-nilai kebenaran serta ungkapan atas kenyataan yang dilihat dan diamatinya diutarakan secara individual. “cendekiawan bukan massa, walaupun dalam membawakan perannya cendekiawan berorientasi, bahkan berpihak, pada kepentingan rakyat banyak”.[16] Kritikan juga datang dari Muchtar Lubis, seorang budayawan terkemuka yang menyatakan bahwa cendekiawan bukanlah status yang bisa diklaim, tetapi pengakuan yang diberikan oleh masyarakat.[17]
            Kritikan tersebut juga dapat dipahami dalam konteks makna cendekiawan sebagai suatu misi, bukan sebagai profesi. Sebab kecendekiawanan memang lebih merupakan panggilan untuk melakukan peranan dan misi dalam masyarakat. Secara normatif, kecendekiawanan bisa diukur dari integritas seseorang, yakni seberapa jauh seseorang bergumul dengan cita-cita dan gagasannya secara serius dan berkesinambungan. Dan akhirnya, kecendikiawanan memerlukan pengakuan sosial.
Jika kelahiran ICMI dilihat dari sisi praktis, maka ia dibentuk untuk menghimpun dan mengefektifkan potensi dan kemampuan yang ada pada cendekiawan muslim. Karena itu, pengertian cendekiawan dalam konteks ICMI memang perlu diletakkan secara proporsional, dalam arti lebih menekankan dimensi etis dan niat para cendekiawan yang bergabung di dalamnya. Untuk itu, pembentukan ICMI perlu dipahami sebagai manifestasi kesadaran kolektif anak bangsa akan tanggung jawab cendekiawan yang mengemban risalah tertentu, bukan forum untuk mendapatkan prestise kecendekiawanan.
 Dalam tulisan Dawam Raharjdo di harian Pelita ditegaskan bahwa tujuan didirikannya ICMI pertama-tama adalah untuk meningkatkan mutu atau kualitas kecendekiawanan mereka yang bergabung di dalamnya, kemudian mengambil peran aktif dalam kegiatan dan proses kemasyarakatan.[18] Tegasnya, ICMI merupakan wadah untuk menghimpun potensi dan meningkatkan kualitas, dan bukan forum untuk mendapatkan prestise atau pengklaiman diri sebagai cendekiawan.
Dalam bingkai pluralitas, ICMI mengemban misi integrasi, baik integrsi politik, sosial maupun kultural. Oleh sebab itu, dalam ICMI terdapat kelompok birokrat maupun LSM atau NGO. Begitupula dari segi teologis, terdapat orang-orang yang beraliran modernis, neomodernis, bahkan tradisionalis, dan neotradisionalis. Dalam ICMI juga ada unsur cendekiawan yang berpendidikan Barat maupun ulama yang berpendidikan tradisional Islam. Tetapi, dalam ICMI tidak ada perbedaan antara santri dan abangan. ICMI juga membuka wadah untuk dialog teologis dengan harapan dapat mencairkan gejala polarisasi umat yang terkotakkan dalam berbagai firqah dan mazhab. Sehingga yang terjadi adalah interaksi kreatif di antara unsur-unsur yang berbeda paham. Bahkan, simpatisan atau pendukung aliran-aliran Syi’ah dan Ahmadiyah mendapat tempat di ICMI, sepanjang tidak menonjolkan aliran dan golongannya.[19]
Misi penting ICMI yang lain adalah menghimpun partisipasi. Hal ini merupakan counter terhadap citra yang diciptakan oleh pers dan buku-buku yang ditulis oleh pengamat Barat, yaitu bahwa umat Islam adalah kelompok yang cenderung bersikap nonpartisipatif dan bahkan cenderung melakukan resistensi. Padahal, gejala semacam itu lazim pada setiap negara berkembang yang menempuh strategi pembangunan dengan berorientasi pada pertumbuhan ekonomis semata dan mengabaikan pembangunan sosial dan kultural.[20]
Di lain pihak, kurangnya partisipasi umat Islam pada dasarnya lebih banyak disebabkan oleh rendahnya kualitas sumber daya manusia, daripada karena hambatan doktriner yang bersumber pada pandangan teologis, misalnya karena sikap fatalsitik. Oleh sebab itulah sehingga tujuan perhimpunan ICMI difokuskan pada masalah kualitas manusia yang disimbolkan dengan 5K sebagaimana yang telah diungkapkan sebelumnya.
Misi lain ICMI adalah pembangunan dan perubahan sosial. Persepsi tentang misi ini timbul dari kesadaran bahwa umat Islam pada umumnya berada dalam kondisi keterbelakangan dan kemiskinan. Makna konkretnya adalah, pembangunan yang didukung oleh ICMI bukan sekedar mencapai pertumbuhan ekonomi, melainkan juga berupaya menciptakan perubahan sosial ke arah kondisi yang lebih adil, maju, dan egaliter.[21] Gambaran visi dan misi tersebut adalah sesuatu yang cukup ideal dan hidup untuk memberikan semangat dan motivasi yang menggerakkan. Pencapaian tujuan itu juga memerlukan pengerahan sumber daya yang besar, baik tenaga maupun dana. Belum lagi dari ujian lain yang mungkin muncul dari persoalan-persoalan artifisial yang dibuat-buat sebagaimana lazimnya menjadi kendala awal bagi sebuah organisasi baru.
C. Penutup
...Berapakah dari berjuta kata yang tak pupus saja di udara, mewariskan kenangan yang bagai mengejek kenyataan-kenyataan sosial yang demikian alot digerak-balikkan menuju isi kata para arif bijaksana. Di sebuah institut ilmu-ilmu sosial negeri Antah Berantah, di mana para pegawai negeri atau pegawai ornop dari negeri-negeri dunia ketiga pada berdatangan untuk menjadi master-master, di mana kemiskinan beratus juta manusia tiap saat dibicarakan sampai melimpah dan bagaikan terbuang ke tong-tong sampah, di mana penderitaan yang menggergaji berbagai bangsa dan mengepung hari-hari sejarah dipercakapkan sambil minum wine, di mana film-film tentang darah dan kelaparan hampir tiap hari diputar, di mana kaum melarat hina papa sungguh-sungguh merupakan obyek proyek-proyek basah yang tak henti-hentinya memberi ilham...Pernahkah diteliti berapa sudah jumlah sarjana, master dan doktor yang dihasilkan oleh tema-tema kemiskinan, penindasan dan keprihatinan manusia? Apa sajakah relevansi atau irrelevansi dari yang dilakukan oleh para “ilmuwan kemiskinan” itu kemudian? Berapakah derajat penurunan atau kenaikan kemiskinan berkat pengaruh makin banyaknya para piawai yang “makanan utamanya” masalah kemiskinan itu?...[22]
            Bait kutipan tersebut adalah buah renungan perjalanan Cak Nun yang tampaknya ditujukan bagi para cendekiawan. Apapun maksud di balik “Pojok Sejarah” yang diungkapkan oleh Cak Nun tersebut juga tampaknya membutuhkan “Tafsir Khusus” bagi para cendekiawan. Jelasnya, fenomena seperti itulah yang tampak di mata seorang Cak Nun.
            Sejak abad ke-6 hingga abad ke-4 SM, filosof Yunani Kuno sekolah dan berguru pada alam semesta. Mereka juga berdebat secara andragogis tentang Tuhan dan asal mula alam semesta dalam rangka mencari hakikat segala sesuatu. Ketika itu, tidak pernah terpikirkan oleh para filosof itu untuk membentuk organisasi semacam ICMI. Jika sekiranya ada, pasti nama organisasinya adalah “Ikatan Filosof Yunani” atau “Ikatan Cendekiawan Yunani”, maka tercatatlah nama-nama besar sekaliber Thales dan Socrates. Nama-nama yang asing, tak semudah menghafal nama-nama bintang film.
            Filosof alam raya tersebut, sebelumnya disebut dengan gelar “kaum sofis" yang berarti cendekiawan atau sarjana. Tentu saja tidak dibuktikan dengan ijazah S-1 atau titel-titel yang ditambahkan pada awal atau akhir nama seseorang. Gelar summa cumlaude atau cumlaude diperoleh kaum sofis itu semata-mata karena kemampuan mereka ber-afala ya’qilun atau tafakur dan membaca fenomena alam.
            Jika para filosof kosmologis itu dikategorikan sebagai komunitas pertama “orang-orang berilmu yang mewarisi sifat kenabian” dalam sejarah ilmu pengetahuan, maka ICMI adalah komunitas kesekian yang mewarisi sifat-sifat kenabian sekaligus mewarisi “utang-utang” para filosof itu kepada Allah. Dengan demikian, nikmat syukur ICMI berwawasan politis dan historis kepada Allah dalam rangka menyambung tongkat estafet jiwa-jiwa kritis kecendekiawanan, hingga diterima Allah di sisi-Nya, di taman surga-Nya. Tentunya melalui proses pengadilan Tuhan yang Maha Demokratis, sesuai dengan sifat ilmu; terbuka, sistematis-metodis, dan berintegritas moral-intelektual dalam arti dapat dipertanggungjawabkan pada publik.
            Tetapi ternyata, alam “Ikatan Filosof Yunani” dan alam “Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia” sudah berbeda. Sebab sejarah pembentukan ICMI bukanlah berpijak pada perenungan filosofis, melainkan adalah kegelisahan terhadap polarisasi umat dan juga sejarah ketika agama berdiri secara dikotomis dengan negara. Sehingga kehadiran ICMI perlu disikapi sebagai salah satu icon penting dalam konstruksi tata hubungan agama (Islam), masyarakat, dan negara. Sebab disadari bahwa agama sebagai sesuatu yang memboyong nilai-nilai, sudah selayaknya untuk terus dieksplorasi makna-maknanya secara kontekstual untuk diperjuangkan dalam tata kehidupan umat manusia. Dalam konsepsi demikian, peran cendekiawan muslim menjadi signifikan dalam keterlibatannya membangun Masyarakat Madani atau civil society, yakni upaya menciptakan masyarakat yang mandiri, bebas, terbuka, bertanggungjawab serta memiliki posisi tawar dalam konstruk politik penguasa. Setidaknya, ICMI dapat diperhitungkan sebagai salah satu elemen penting yang bisa membentuk dan menentukan masa depan politik Islam di Indonesia.



[1]Abdul Azis Thaba, 1996: 186.
[2] Ibid: 240.
[3]M. Syafi’i Anwar, 1995: 167.
[4]M. Syafi’i Anwar, 1995: 259.
[5] Ibid: 255. Jurubicara kelompok tersebut adalah Erik Salman.
[6] Ibid: 256.
[7]Ibid: 256-57.
[8]Sejumlah menteri tersebut antara lain adalah; Munawir Sjadzali, Azwar Anas, Rudini Fuad Hassan, Saleh Afif, dan Nasruddin Sumintapura. Sedangkan dari kalangan cendekiawan muslim adalah Nurcholish Madjid dan Ahmad Baiquni. Ibid.
[9] Ibid: 157-59.
[10]Kuntowijoyo, 2001: 78.
[11]Anggaran Dasar ICMI pasal 6 berbunyi bahwa ICMI sebagai organisasi kebudayaan yang bercorak terbuka, bebas dan mandiri. Lihat, Fransiskus Paulus Paskalis Abi, “ICMI dan Pluralisme Kehidupan Keagamaan di Indonesia” dalam Zuli Qodir dan Lalu M. Iqbal Songell (Ed.) 1995: 52-3.
[12]Zuli Qodir dan Lalu M. Iqbal Songell (Ed.), op. cit: 96.
[13]Abdul Azis Thaba, op. cit: 299. Lihat pula, Arief Afandi (Ed.), 1996.: 59.
[14]Lihat, Douglas E. Ramage, 1995: 75-6. Lihat pula, Nurcholish Madjid, 1997: 341.
[15]Lihat, Muslim Abdurrahman, 1995: 210.
[16]Ridwan Saidi, 1990. Lihat pula kumpulan kuliah-kuliah Ali Shariati, 1996: 191.
[17]M. Syafi’i Anwar, op. cit: 290.
[18]M. Dawam Rahardjo, 1991.
[19]M. Dawam Rahardjo, op. cit: 39.
[20]Ibid.
[21]Ibid: 40.
[22]Lihat, Emha Ainun Nadjib, 1994: 19.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar