KEBUDAYAAN ISLAM DI AFRIKA
(Abad XI-XIII)
Oleh: Muhammad
Ghazali Rahman
A.
Pendahuluan
Fenomena
kebudayaan dan peradaban adalah sesuatu yang “khas insani”, yaitu menyangkut
daya cipta bebas dan kreativitas insaniah dalam persentuhannya dengan realitas
alam dunia yang sarat nilai, destruktif ataupun konstruktif, sekaligus sebagai
abstraksi sifat formal yang instrinsik dan potensial untuk dikembangkan.
Para
ahli antropologi ataupun ilmu sosial biasanya memakai kata kebudayaan sebagai
representasi gaya dan seluruh cara hidup individu dan kolektif, baik keadaan
beradab maupun biadab, tindakan-tindakan mulia maupun perbuatan-perbuatan jahat
dan bengis, begitupula puncak perkembangan bangsa serta dekadensinya.
Sejalan
dengan itu, Islam dalam fenomena sejarah dan kebudayaannya juga telah mengalami
fase-fase pertumbuhan, kemajuan, dan juga kehancuran, baik dalam skala global
maupun lokalitasnya. Melihat fenomena ini dalam pendekatan sosio-historisnya,
ternyata dinamika perjalanan panjang sejarah dan kebudayaan Islam tidak lepas
dari pengaruh sistem kebijakan dari para penguasa yang memegang tampuk
kepemimpinan di masa konstruk sejarah itu terjadi. Salah satu unsur yang
signifikan mempengaruhi sejarah kebudayaan Islam misalnya adalah politik
arabisasi. Pengaruh arabisasi ini tidak terbatas pada agama saja, tetapi juga
mencakup beberapa unsur kebudayaan seperti sastra, seni, ilmu pengetahuan,
filsafat, dan juga kemiliteran.
Oleh
karena itu, pola-pola sejarah dan kebudayaan Islam secara potensial merupakan
distribusi interest kultural dan implikasi kebijakan politik serta berbagai
pertimbangan lain berdasarkan aspek esensial yang merujuk pada nilai-nilai
kemanusiaan dan aksi sosial. Melalui sikap dan perspektif yang lebih
komprehensif, dapat dimungkinkan untuk mengenali faktor-faktor dasar struktural
mengenai kecenderungan sejarah dan budaya Islam untuk lebih membedakannya dari
proses yang bersifat aksidental.
Adapun
objek yang menjadi spesifikasi pembahasan dalam makalah ini adalah kebudayaan
Islam di Afrika abad XI-XIII yang tentunya dilihat pada berbagai aspek dari
unsur kebudayaan itu sendiri.
B.
Pembahasan
Perkembangan
Islam dalam konteks budaya sesungguhnya terasimilasi secara langsung dengan
budaya lokal di setiap daerah/wilayah ekspansi Islam. Asimilasi sekaligus
akulturasi tersebut tentunya seiring dengan islamisasi dan arabisasi yang
hampir tidak dapat dibedakan/dipisahkan satu sama lain. Secara garis besar,
beberapa daerah/wilayah sentral Afrika yang menjadi bahasan pada makalah ini
meliputi wilayah Mesir,[1]
Sudan, Libya, Tunisia, Aljazair, dan Maroko, yang sampai saat ini masih
merupakan wilayah Islam dan menjadi batu loncatan penyebaran Islam ke beberapa
daerah Afrika lainnya.
Untuk
lebih menspesifikkannya pada abad XI-XIII M, maka objek kebudayaan tersebut
mencakup teritorial kekuasaan Fathimiyah, Mamalik, Ayyubiyah, Murabithun, dan
Muwahhidun. Secara de facto, kekuasaan tersebut memiliki otoritas
teritorial, namun secara yuridis masih di bawah kekuasaan khilafah
Abbasiyah yang terkikis oleh serangan bangsa Mongol.
Peradaban
Arab-Islam di Afrika dibentuk berdasarkan integrasi kalangan penakluk Arab
dengan masyarakat Berber yang dikenal dengan nama Masmudah, Sanhaja, dan
Zenatan. Komunitas tersebut memiliki ragam corak yang meliputi kelompok nomaden
yang jarang sekali membentuk rezim negara. Sejumlah institusi dan elit
keagamaan Islam dapat ditemukan di seluruh penjuru Afrika Utara, dan penduduk
setempat secara substansial telah berpindah ke agama Islam. Proses pelembagaan
rezim-rezim muslim dan asosiasi keagamaan muslim ini secara independen seiring
dengan periode-periode kekhalifahan di Timur Tengah dan Spanyol.[2]
Oleh
karena itu, kebudayaan suatu daerah tentunya dipengaruhi pula oleh sejauhmana
interaksinya dengan kebudayaan lain serta didukung oleh letak geografis
wilayahnya. Wilayah Afrika (Utara) merupakan jalur perdagangan yang
menghubungkan Asia Tengah dan Teluk Persia ke Barat (Eropa). Letak strategis
ini menjadikan pesisir Afrika seperti daerah Mesir menjadi sangat penting.
Meskipun pertimbangan ekonomi pada tataran teoritis tidak menjadi aspek
esensial bagi variasi kultural, namun pada tataran aksidental, jalur ekonomi
secara tidak langsung telah membuka pintu gerbang asimilasi dan akulturasi
budaya.
Beberapa
perkembangan budaya pada abad XI-XIII di Afrika dapat ditemukan sejak
kekhalifahan Fatimiah berdiri. Pada masa ini, sistem administrasi dan militer
yang diberlakukan lebih mengikuti sistem pemerintahan Abbasiah dengan prototipe
Persia Kuno. Pada angkatan bersenjatanya memiliki tiga prinsip kepangkatan: (1)
Amir, tergolong pejabat tinggi yang mengawal dan mendampingi Khalifah. (2) Staf
ahli, terdiri dari ulama dan kasim. (3) sejumlah besar teknisi yang disebut
dengan Hafiziyah, Juyushiyah, Sudaniyah, pasukan khusus, intelijen, hakim,
inspektor pasar yang mengepalai Bayt al-Mal (Muhtashib), dan pegawai
administrasi pemerintah.[3]
Seni
arsitektur pada masa Fatimiah tampak pada pembangunan sejumlah makam yang
menampilkan berbagai motif artistik, seperti motif muqarnas atau dekorasi stalactik, yang pada
bagian depannya terdapat pintu gerbang dan menara yang dirancang dengan indah
dengan menggunakan penyajian figural yang menjadi gambaran utama seni Islam
masa belakangan.[4]
Ketika
Dinasti Fatimiah digantikan oleh Dinasti Ayyubiyah, beberapa perkembangan
kebudayaan tampak ketika Shalah al-Din membangun Mesir dengan kekuatan
militernya dengan bekerjasama dengan para ilmuan, mengembangkan studi teologis,
membangun bendungan, penggalian kanal-kanal untuk pengairan, serta membangun
sekolah-sekolah dan masjid, perkembangan ini dititik beratkan pada dua kota
utama Akka dan Qallawun.[5]
Dinasti
terakhir yang berkuasa di Mesir adalah
dinasti Mamalik, meskipun berasal dari kaum buruh, mereka tidak
menafikan unsur kebudayaan bagi kemajuan Mesir. Hal ini tampak ketika penerusan
kembali pembangunan kanal yang dapat mempercepat hubungan Kairo ke Damaskus
hanya dengan empat hari, pelayanan pos, sekolah, perpustakaan Zahiriyah, musium Arab,
rumah sakit dan seni arsitektur Masjid.[6]
Pada
masa dinasti ini, perkembangan ilmu pengetahuan di bidang astronomi, matematik,
kedokteran dan sejarah telah melahirkan figus-figur seperti Nasiruddin al-Tusi
(1201- 1286) sebagai ahli astronomi, Abu al-Faraj (1226-1286) sebagai ahli di
bidang matematika, Abu al-Hasan ibn Nafis (w. 1288) sebagai ahli di bidang ilmu
kedokteran yang berhasil menemukan susunan peredaran darah dalam paru-paru
manusia, dan Abd al-Mu’in al-Dimyati (w. 1306) sebagai ahli di bidang
kedokteran hewan.[7]
Begitupula
di bidang farmasi, Ibn Maymun dikenal sebagai ahli di bidang pembuata
obat-obat, serta dibukukannya teori farmasi (Minhaj al-Dukkan wa Dustur
al-A’yan), perkembangan ilmu geneologi yang menampilkan buku-buku erotik
dan sex education, dokter kejiwaan (psycho therapy), begitu pula
di bidang ilmu sosial telah melahirkan tokoh sekaliber Ibn Khaldun, sejarawan
terkenal (Ibn al-Athir. [8]
Periode
Ayyubiyah dan Mamalik juga mengikuti pola budaya Fatimiah dengan membangun
beberapa bangunan makam untuk menghormati tokoh-tokoh muslim dan penguasa yang
telah meninggal. Satu di antara proyek pertama Ayyubiyah adalah pembangunan
madrasah di dekat makam al-Syafi’I, pendiri mazhab hukum utama di Mesir.
Beberapa perguruan tinggi dan khanaqah dilengkapi dengan bangunan Mousoleum
untuk mengenang tokoh pendirinya.[9]
Desain
arsitektur yang khas muncul pada periode ini. Beberapa masjid, madrasah, dan
khbaqah biasanya dibangun dengan sebuah ruang tengah yang terbuka dan
dikelilingi empat serambi pada setiap sisi utama dari ruang tengah tersebut,
dengan beberapa ruangan yang menghubungkannya dengan kamar-kamar yang disiapkan
untuk para pelajar. Mausoleum sendiri biasanya diberi atap dengan sebuah kubah
dan seluruh bangunan tersebut dilengkapi dengan menara-menara yang menjulang
tinggi. Bangunan-banguna yang berderetan di sepanjang jalan utama menciptakan
pertunjukan visual yang luas dan membentuk tatanan fisik kota dan melambangkan
hubungan integral antara negara, Islam dan masyarakat urban. Dengan dukungan
kuat dari negara, beberapa sekolah hukum menjadi kunci penyebaran ajaran-ajaran Islam di
kalangan masyarakat umum.[10]
Selain
kekuatan mazhab, mistisisme merupakan kekuatan agama yang penting di Afrika.
Masyarakat umum meyakini para wali memiliki daya menyembuhkan, kekuatan
mendatangkan hujan, melakukan berbagai mukjizat, berhubungan dengan kekuatan
spiritual, menafsirkan mimpi, dan bahkan mampu bertindak sebagai perantara
antara Tuhan dan manusia. Sufisme ini merupakan gerakan keagamaan yang belum
terorganisir sepenuhnya sebagai sebuah sensibilitas keagamaan.[11]
Demikianlah
pada pertengahan abad tiga belas, serangkaian penaklukan bangsa Arab dan
pengenalan Islam telah mengilhami gerakan pembentukan negara yang berlangsung
beberapa abad dan mencapai puncaknya pada integrasi wilayah Maroko, dan Tunisia
sebagai negara teritorial. Pada saat yang sama, Islam telah tersebar luas
sebagai agama yang dominan. Sejumlah sekolah informal yang mengajarkan hukum,
teologi, dan mistisisme muncul dan dikembangkan oleh para pengikutnya.
C.
Kesimpulan
Dengan islamisasi yang berlangsung
di beberapa wilayah Afrika ini, kepemimpinan dan loyalitas komunal yang
bersifat informal membentuk kesadaran budaya yang secara otonom membuka jalan
bagi fase baru sejarah pertalian antara negara dan Islam di tengah masyarakat
Afrika.
Sejumlah perdaban dan kebudayaan
yang lahir tersebut merupakan evolusi
sejarah yang melahirkan bentuk masyarkat baru dengan corak baru pula.
dalam pembentukan budaya ini juga tidak terlepas dari pengaruh interaksi dengan
wilayah Eropa yang memunculkan Perang Salib serta pengaruh ekonomi dan politik
wilayah setempat. Lebih jauh lagi, institusi kultural, dan sosio politik,
kekuatan ekonomi dan teknologi merupakan bingkai-bingkai yang membentuk
kebudayaan sepanjang sejarah kemanusiaan.
[1] Wilayah Mesir dalam berbagai literatur sejarah lebih sering diklaim
sebagai wilayah Timur Tengah meskipun terletak di bagian Afrika Utara. Orang
Mesir sendiri cenderung mengaku dan merasa bangga dengan kearabannya.
[2]Lihat, Ira M. Lapidus, 2000: 563-566.
[3]Lihat, Philip K. Hitti, 1974: 627.
[4]Misalnya pada makam Sayyidina al-Hasan yang kepala beliau
dipindahkan dari Ascelon (1153), lihat, Ira, op. cit: 537.
[5]
Philip K. Hitti, op. cit: 653.
[6] Ibid:
675.
[7] Ibid:
683-684.
[8] Ibid:
685-687.
[9]
Ira, op. cit: 550.
[10] Ibid: 550-551.
[11] Ibid: 579.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar