Sabtu, 22 Februari 2014

KEBUDAYAAN ISLAM DI AFRIKA



KEBUDAYAAN ISLAM DI AFRIKA
(Abad XI-XIII)
Oleh: Muhammad Ghazali Rahman

A. Pendahuluan
          Fenomena kebudayaan dan peradaban adalah sesuatu yang “khas insani”, yaitu menyangkut daya cipta bebas dan kreativitas insaniah dalam persentuhannya dengan realitas alam dunia yang sarat nilai, destruktif ataupun konstruktif, sekaligus sebagai abstraksi sifat formal yang instrinsik dan potensial untuk dikembangkan.

          Para ahli antropologi ataupun ilmu sosial biasanya memakai kata kebudayaan sebagai representasi gaya dan seluruh cara hidup individu dan kolektif, baik keadaan beradab maupun biadab, tindakan-tindakan mulia maupun perbuatan-perbuatan jahat dan bengis, begitupula puncak perkembangan bangsa serta dekadensinya.
          Sejalan dengan itu, Islam dalam fenomena sejarah dan kebudayaannya juga telah mengalami fase-fase pertumbuhan, kemajuan, dan juga kehancuran, baik dalam skala global maupun lokalitasnya. Melihat fenomena ini dalam pendekatan sosio-historisnya, ternyata dinamika perjalanan panjang sejarah dan kebudayaan Islam tidak lepas dari pengaruh sistem kebijakan dari para penguasa yang memegang tampuk kepemimpinan di masa konstruk sejarah itu terjadi. Salah satu unsur yang signifikan mempengaruhi sejarah kebudayaan Islam misalnya adalah politik arabisasi. Pengaruh arabisasi ini tidak terbatas pada agama saja, tetapi juga mencakup beberapa unsur kebudayaan seperti sastra, seni, ilmu pengetahuan, filsafat, dan juga kemiliteran.
          Oleh karena itu, pola-pola sejarah dan kebudayaan Islam secara potensial merupakan distribusi interest kultural dan implikasi kebijakan politik serta berbagai pertimbangan lain berdasarkan aspek esensial yang merujuk pada nilai-nilai kemanusiaan dan aksi sosial. Melalui sikap dan perspektif yang lebih komprehensif, dapat dimungkinkan untuk mengenali faktor-faktor dasar struktural mengenai kecenderungan sejarah dan budaya Islam untuk lebih membedakannya dari proses yang bersifat aksidental.
          Adapun objek yang menjadi spesifikasi pembahasan dalam makalah ini adalah kebudayaan Islam di Afrika abad XI-XIII yang tentunya dilihat pada berbagai aspek dari unsur kebudayaan itu sendiri.
B. Pembahasan
            Perkembangan Islam dalam konteks budaya sesungguhnya terasimilasi secara langsung dengan budaya lokal di setiap daerah/wilayah ekspansi Islam. Asimilasi sekaligus akulturasi tersebut tentunya seiring dengan islamisasi dan arabisasi yang hampir tidak dapat dibedakan/dipisahkan satu sama lain. Secara garis besar, beberapa daerah/wilayah sentral Afrika yang menjadi bahasan pada makalah ini meliputi wilayah Mesir,[1] Sudan, Libya, Tunisia, Aljazair, dan Maroko, yang sampai saat ini masih merupakan wilayah Islam dan menjadi batu loncatan penyebaran Islam ke beberapa daerah Afrika lainnya.
          Untuk lebih menspesifikkannya pada abad XI-XIII M, maka objek kebudayaan tersebut mencakup teritorial kekuasaan Fathimiyah, Mamalik, Ayyubiyah, Murabithun, dan Muwahhidun. Secara de facto, kekuasaan tersebut memiliki otoritas teritorial, namun secara yuridis masih di bawah kekuasaan khilafah Abbasiyah yang terkikis oleh serangan bangsa Mongol.
          Peradaban Arab-Islam di Afrika dibentuk berdasarkan integrasi kalangan penakluk Arab dengan masyarakat Berber yang dikenal dengan nama Masmudah, Sanhaja, dan Zenatan. Komunitas tersebut memiliki ragam corak yang meliputi kelompok nomaden yang jarang sekali membentuk rezim negara. Sejumlah institusi dan elit keagamaan Islam dapat ditemukan di seluruh penjuru Afrika Utara, dan penduduk setempat secara substansial telah berpindah ke agama Islam. Proses pelembagaan rezim-rezim muslim dan asosiasi keagamaan muslim ini secara independen seiring dengan periode-periode kekhalifahan di Timur Tengah dan Spanyol.[2]
          Oleh karena itu, kebudayaan suatu daerah tentunya dipengaruhi pula oleh sejauhmana interaksinya dengan kebudayaan lain serta didukung oleh letak geografis wilayahnya. Wilayah Afrika (Utara) merupakan jalur perdagangan yang menghubungkan Asia Tengah dan Teluk Persia ke Barat (Eropa). Letak strategis ini menjadikan pesisir Afrika seperti daerah Mesir menjadi sangat penting. Meskipun pertimbangan ekonomi pada tataran teoritis tidak menjadi aspek esensial bagi variasi kultural, namun pada tataran aksidental, jalur ekonomi secara tidak langsung telah membuka pintu gerbang asimilasi dan akulturasi budaya.
          Beberapa perkembangan budaya pada abad XI-XIII di Afrika dapat ditemukan sejak kekhalifahan Fatimiah berdiri. Pada masa ini, sistem administrasi dan militer yang diberlakukan lebih mengikuti sistem pemerintahan Abbasiah dengan prototipe Persia Kuno. Pada angkatan bersenjatanya memiliki tiga prinsip kepangkatan: (1) Amir, tergolong pejabat tinggi yang mengawal dan mendampingi Khalifah. (2) Staf ahli, terdiri dari ulama dan kasim. (3) sejumlah besar teknisi yang disebut dengan Hafiziyah, Juyushiyah, Sudaniyah, pasukan khusus, intelijen, hakim, inspektor pasar yang mengepalai Bayt al-Mal (Muhtashib), dan pegawai administrasi pemerintah.[3]
          Seni arsitektur pada masa Fatimiah tampak pada pembangunan sejumlah makam yang menampilkan berbagai motif artistik, seperti motif muqarnas  atau dekorasi stalactik, yang pada bagian depannya terdapat pintu gerbang dan menara yang dirancang dengan indah dengan menggunakan penyajian figural yang menjadi gambaran utama seni Islam masa belakangan.[4]
          Ketika Dinasti Fatimiah digantikan oleh Dinasti Ayyubiyah, beberapa perkembangan kebudayaan tampak ketika Shalah al-Din membangun Mesir dengan kekuatan militernya dengan bekerjasama dengan para ilmuan, mengembangkan studi teologis, membangun bendungan, penggalian kanal-kanal untuk pengairan, serta membangun sekolah-sekolah dan masjid, perkembangan ini dititik beratkan pada dua kota utama Akka dan Qallawun.[5]
          Dinasti terakhir yang berkuasa di Mesir adalah  dinasti Mamalik, meskipun berasal dari kaum buruh, mereka tidak menafikan unsur kebudayaan bagi kemajuan Mesir. Hal ini tampak ketika penerusan kembali pembangunan kanal yang dapat mempercepat hubungan Kairo ke Damaskus hanya dengan empat hari, pelayanan pos, sekolah, perpustakaan Zahiriyah,  musium Arab,  rumah sakit dan seni arsitektur Masjid.[6]
          Pada masa dinasti ini, perkembangan ilmu pengetahuan di bidang astronomi, matematik, kedokteran dan sejarah telah melahirkan figus-figur seperti Nasiruddin al-Tusi (1201- 1286) sebagai ahli astronomi, Abu al-Faraj (1226-1286) sebagai ahli di bidang matematika, Abu al-Hasan ibn Nafis (w. 1288) sebagai ahli di bidang ilmu kedokteran yang berhasil menemukan susunan peredaran darah dalam paru-paru manusia, dan Abd al-Mu’in al-Dimyati (w. 1306) sebagai ahli di bidang kedokteran hewan.[7]
          Begitupula di bidang farmasi, Ibn Maymun dikenal sebagai ahli di bidang pembuata obat-obat, serta dibukukannya teori farmasi (Minhaj al-Dukkan wa Dustur al-A’yan), perkembangan ilmu geneologi yang menampilkan buku-buku erotik dan sex education, dokter kejiwaan (psycho therapy), begitu pula di bidang ilmu sosial telah melahirkan tokoh sekaliber Ibn Khaldun, sejarawan terkenal (Ibn al-Athir. [8]
          Periode Ayyubiyah dan Mamalik juga mengikuti pola budaya Fatimiah dengan membangun beberapa bangunan makam untuk menghormati tokoh-tokoh muslim dan penguasa yang telah meninggal. Satu di antara proyek pertama Ayyubiyah adalah pembangunan madrasah di dekat makam al-Syafi’I, pendiri mazhab hukum utama di Mesir. Beberapa perguruan tinggi dan khanaqah dilengkapi dengan bangunan Mousoleum untuk mengenang tokoh pendirinya.[9]
          Desain arsitektur yang khas muncul pada periode ini. Beberapa masjid, madrasah, dan khbaqah biasanya dibangun dengan sebuah ruang tengah yang terbuka dan dikelilingi empat serambi pada setiap sisi utama dari ruang tengah tersebut, dengan beberapa ruangan yang menghubungkannya dengan kamar-kamar yang disiapkan untuk para pelajar. Mausoleum sendiri biasanya diberi atap dengan sebuah kubah dan seluruh bangunan tersebut dilengkapi dengan menara-menara yang menjulang tinggi. Bangunan-banguna yang berderetan di sepanjang jalan utama menciptakan pertunjukan visual yang luas dan membentuk tatanan fisik kota dan melambangkan hubungan integral antara negara, Islam dan masyarakat urban. Dengan dukungan kuat dari negara, beberapa sekolah hukum menjadi  kunci penyebaran ajaran-ajaran Islam di kalangan masyarakat umum.[10]
          Selain kekuatan mazhab, mistisisme merupakan kekuatan agama yang penting di Afrika. Masyarakat umum meyakini para wali memiliki daya menyembuhkan, kekuatan mendatangkan hujan, melakukan berbagai mukjizat, berhubungan dengan kekuatan spiritual, menafsirkan mimpi, dan bahkan mampu bertindak sebagai perantara antara Tuhan dan manusia. Sufisme ini merupakan gerakan keagamaan yang belum terorganisir sepenuhnya sebagai sebuah sensibilitas keagamaan.[11]
          Demikianlah pada pertengahan abad tiga belas, serangkaian penaklukan bangsa Arab dan pengenalan Islam telah mengilhami gerakan pembentukan negara yang berlangsung beberapa abad dan mencapai puncaknya pada integrasi wilayah Maroko, dan Tunisia sebagai negara teritorial. Pada saat yang sama, Islam telah tersebar luas sebagai agama yang dominan. Sejumlah sekolah informal yang mengajarkan hukum, teologi, dan mistisisme muncul dan dikembangkan oleh para pengikutnya.
         
C. Kesimpulan        
Dengan islamisasi yang berlangsung di beberapa wilayah Afrika ini, kepemimpinan dan loyalitas komunal yang bersifat informal membentuk kesadaran budaya yang secara otonom membuka jalan bagi fase baru sejarah pertalian antara negara dan Islam di tengah masyarakat Afrika.
Sejumlah perdaban dan kebudayaan yang lahir tersebut merupakan evolusi  sejarah yang melahirkan bentuk masyarkat baru dengan corak baru pula. dalam pembentukan budaya ini juga tidak terlepas dari pengaruh interaksi dengan wilayah Eropa yang memunculkan Perang Salib serta pengaruh ekonomi dan politik wilayah setempat. Lebih jauh lagi, institusi kultural, dan sosio politik, kekuatan ekonomi dan teknologi merupakan bingkai-bingkai yang membentuk kebudayaan sepanjang sejarah kemanusiaan.



[1] Wilayah Mesir dalam berbagai literatur sejarah lebih sering diklaim sebagai wilayah Timur Tengah meskipun terletak di bagian Afrika Utara. Orang Mesir sendiri cenderung mengaku dan merasa bangga dengan kearabannya.
[2]Lihat, Ira M. Lapidus, 2000: 563-566.
[3]Lihat, Philip K. Hitti, 1974: 627.
[4]Misalnya pada makam Sayyidina al-Hasan yang kepala beliau dipindahkan dari Ascelon (1153), lihat, Ira, op. cit: 537.
[5] Philip K. Hitti, op. cit: 653.
[6] Ibid: 675.
[7] Ibid: 683-684.
[8] Ibid: 685-687.
[9] Ira, op. cit: 550.
[10] Ibid: 550-551.
[11] Ibid: 579.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar