Sabtu, 22 Februari 2014

PENDEKATAN ILMIAH TERHADAP FENOMENA KEAGAMAAN



PENDEKATAN ILMIAH TERHADAP FENOMENA KEAGAMAAN
Oleh: Muhammad Gazali Rahman

A. Pendahuluan
            Menyimak fenomena keagamaan dalam rentang daur sejarah yang terus bergulir, kini agama bukan lagi berada di depan pintu gerbang abad modern, tetapi telah masuk dalam abad transisi post modern. Sebuah abad yang ditandai  dengan sangat intensifnya perubahan yang melanda ranah kehidupan sosial lantaran dipicu temuan-temuan baru di bidang teknologi dan industri.

            Di tengah situasi inilah, setiap harinya individu beragama digonjang-ganjing oleh pergeseran realitas yang cenderung bersifat sesaat, artifisial, membius dan tak jarang mengejutkan. Fenomena kemodernan ini ternyata berimplikasi sangat jauh hingga menembus, mengikis dan mendangkalkan bahkan mencemari ruang batin (spiritual)  manusia yang pada fitrahnya kaya makna. Oleh karenanya dapat dipahami mengapa para ahli ilmu sosial-keagamaan, juga filosof, sangat meratapi merebaknya gejala anomi di kancah kehidupan modern. Sejak itu, agama kembali ditengok dan dimunculkan sebagai alternatif nomos yang selama ini terlupakan.
            Berbarengan dengan menggejalanya hasrat populer back to religion itu, ternyata muncul pula fenomena keberagamaan yang justru bergerak ke arah yang berlawanan, banyak agama yang malah menjadi onggokan dogma, mitos, dan doktrin belaka. Fenomena dogmatis, mitologis dan doktrinal agama ini bisa jadi karena agama pada satu sisi memang bagian dari transendental kemanusian yang secara inheren adalah makhluk relijius yang mengakui adanya prima kausa jagat raya.
Oleh karena itu, bagi orang yang percaya kehadiran Tuhan, agama merupakan elemen yang paling mendasar dalam kehidupan. Sebab ia  tidak saja menyangkut tentang iman pemeluknya, tetapi lebih dari itu agama juga merupakan seperangkat norma dan aturan yang diyakini serba lengkap dan sempurna. Sementara itu, keberagamaan lantas berhubungan dengan proses pembentukan identitas kultural yang secara alamiah menjadi faktor pembeda dengan agama lain. Lebih dari itu, konsepsi ajaran agama yang secara teoritis terbahasakan dalam wahyu merupakan representasi kehendak rekayasa sosial yang tidak dapat diseragamkan pemahamannya bagi tiap individu. Berpijak dari hal itu, maka persentuhan Tuhan-manusia dalam perspektif agama tidak hanya pada wilayah transendental di luar jangkauan akal, tetapi juga ditemukan secara obyektif pada fenomena keagamaan yang direalisasikan dalam dinamika “masyarakat kitab” yang terintegrasi dalam lokalitas budaya.
Paparan ini menegaskan bahwa posisi agama tidak lagi semata menjadi jalur transformasi individu menuju Tuhan, tetapi juga secara lebih luas berposisi sebagai jalur transformasi sosial kehendak-kehendak Ilahiah yang terwakilkan dalam kapasitas kemanusiaan sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Sehingga penelitian terhadap fenomena keagamaan adalah penelitian yang dengan sendirinya menjelaskan bagaimana kreatifitas Tuhan secara tidak langsung berkolaborasi dengan nilai-nilai normatif manusia beragama.
B. Pembahasan
Sebelum makalah ini lebih jauh membahas pendekatan ilmiah, maka ada baiknya terlebih dahulu diketahui perbedaan antara “penelitian agama” dan “penelitian keagamaan”. Middleton, guru besar antropologi di New York University, sebagaimana dikutip oleh M. Atho Mudzhar dalam hal ini membedakan antara “penelitian agama” dengan “penelitian keagamaan”. Penelitian agama lebih menekankan pada materi agama, sehingga sasarannya mengacu pada tiga elemen pokok, yaitu ritus, mitos dan magic. Sedangkan penelitian keagamaan menekankan pada agama sebagai sistem keagamaan (religious system).[1] Jika upaya pembedaan yang dilakukan Middleton tersebut diikuti, maka sasaran penelitian agama adalah agama sebagai doktrin, sedangkan sasaran penelitian keagamaan adalah agama sebagai gejala sosial.
Masalah kemudian adalah, mungkinkah agama didekati secara ilmiah? Bukankah agama memiliki ciri khas tersendiri, yaitu “wahyu” yang di dalamnya telah menyediakan sistem-sistem kepercayaan dan non kepercayaan yang global, pengetahuan dan praktek, solusi-solusi pragmatis bagi problem-problem fundamental nasib manusia? Paradigma inilah yang banyak mendasari timbulnya komentar terhadap “the science of religion”, atau “the scientific study of religion”[2]. Dalam studi agama-agama dengan wilayah kajian fenomena keagamaan, juga dapat diklasifikasikan pada term-term tersendiri yang berangkat dari disiplin keilmuan yang bersifat  historis-empiris seperti history of religion, psychology of religion, dan anthropology of religion,[3] meskipun istilah-istilah seperti ini masih sulit diterima oleh penganut agama yang berasumsi bahwa wahyu berada di luar alam pemikiran manusia.
Dalam perkembangan diskursus agama kontemporer dijelaskan bahwa agama memang memiliki banyak dimensi ketika wahyu ditransfer dan dibumikan dalam sejarah manusia yang tidak hampa budaya. Agama tidak semata mempersoalkan ketuhanan, kepercayaan/keimanan, tetapi lebih dari itu, ekspansi agama juga memasuki wilayah ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan semua perangkat modernita
Pendekatan Ilmiah
            Dalam menatap realitas kehidupan keagamaan, seorang ilmuan dituntut untuk memiliki “pendekatan” sebagai bagian dari proses penelitian yang menghendaki pencapaian target pemahaman yang lebih holistik dan komprehensif serta untuk memahami dan mengetahui suatu obyek dengan benar. Pendekatan ini merupakan cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu ilmu yang selanjutnya digunakan dalam upaya memahami agama.[4] Tidak dipungkiri bahwa proses ini merupakan upaya pemenuhan hasrat “ingin tahu” manusia yang secara inheren menjadi potensi yang hanya terpuskan jika memperoleh pengetahuan mengenai hal yang dipertanyakannya. Namun di sisi lain, kemungkinan pendekatan non-ilmiah dapat saja dilakukan untuk memperoleh pengetahuan yang benar itu seperti yang banyak terjadi di kalangan masyarakat. Beberapa pendekatan non-ilmiah yang benyak digunakan antara lain yaitu; akal sehat (common sense), prasangka, intuisi, penemuan kebetulan dan coba-coba, serta pendapat otoritas ilmiah dan pikiran kritis.[5]
            Tentunya hal yang membedakan antara pendekatan non-ilmiah dengan pendekatan ilmiah terletak pada proses yang dibangun dalam penelitian. Dengan kata lain, penelitian ilmiah dibangun di atas teori tertentu yang berkembang sejalan dengan penelitian dan melalui langkah-langkah sistematis yang terkontrol berdasarkan data empiris. Upaya ini dikehendaki agar penelitian ilmiah dengan pendekatannya dapat menghasilkan kesimpulan yang diakui secara umum tanpa diwarnai oleh keyakinan pribadi, bias, dan perasaan yang subyektif.
            Fenomena keberagamaan dalam wacana studi agama kontemporer dapat dilihat dari berbagai sudut pendekatan. Agama tidak hanya dapat dilihat dalam perspektif normativitas ajaran wahyu saja, meskipun fenomena ini sampai kapanpun tetap menjadi ciri khas daripada agama-agama yang ada. Oleh karenanya, arah penelitian terhadap fenomena keberagamaan ini menitikberatkan pada pemahaman Islam sebagai sebuah ideologi yang membawa pengaruh pada perilaku penganutnya, yakni Islam sebagai cita (ideal) yang dipahami dan diapresiasi oleh muslim dalam bentang sejarah dan fenomena sosial-budaya.
            Beberapa pendekatan ilmiah dalam memahami fenomena keagamaaan ini dapat dilihat dalam pendapat yang diuraikan oleh beberapa pakar metodologi, seperti yang diungkapkan oleh Abuddin Nata, antara lain: pendekatan teologis normatif, antropologis, sosiologis, psikologis, kebudayaan, dan pendekatan filosofis. Ketujuh pendekatan ini dimaksudkan untuk memahami kehadiran agama secara fungsional agar dapat dirasakan pleh penganutnya dan untuk menghindarkan masyarakat dari pencarian pemecahan masalah kepada selain agama yang hanya akan memunculkan penyimpangan-penyimpangan baru.[6]
            Untuk lebih jelasnya, berbagai pendekatan tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut;
1. Pendekatan teologis normatif.
            Pendekatan ini secara harfiah diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka Ilmu Ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap yang paling benar dibanding yang lain.[7] Berdasarkan pendekatan ini dipahami bahwa gagasan pemikiran keagamaan yang terinspirasi oleh paham ketuhanan (teologi) dan pemahaman terhadap kitab suci/wahyu serta interpretasi ajaran agama tertentu akan menampilkan bentuk formal atau simbol-simbol keagamaan yang plural. Sehingga tidak salah jika ditemukan adanya eksklusifitas dan fanatisme beragama/arogansi teologis dari individu atau kelompok yang mengklaim dirinya sebagai yang paling benar dan intoleran terhadap paham keagamaan di luar paham yang dianutnya.
            Kecenderungan ini juga membawa bias kepada fenomena sosial yang tidak kondusif karena  lebih menonjolkan segi-segi “perbedaan” daripada segi-segi “persamaan” yang mungkin dapat terjalin di antara berbagai kelompok penganut teologi dan agama yang berbeda. Oleh karena itu, pendekatan ini diharapkan dapat menjembatani hadirnya terobosan baru dalam pemikiran teologi yang lebih inklusif, dan dapat melihat secara obyektif pengaruh pemikiran teologi yang termanifestasikan secara empirik faktual dalam budaya tertentu serta piranti-piranti sosial yang mendukung eksistensinya. Dengan demikian, teologi ini tidak hanya statis pada pemahaman normatif transendental, tetapi mendorong terjadinya transformasi sosial yang mampu memahami perbedaan sebagai kekayaan khazanah pemikiran.
            Pendekatan teologis ini kemudian terkait erat dengan pendekatan normatif, yaitu suatu pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya yang pokok dan orisinal dari Tuhan yang di dalamnya belum terdapat penalaran pemikiran manusia.[8] Melalui pendekatan ini, agama tampil dalam fungsinya yang prima dengan menawarkan nilai-nilai humanitas pada berbagai aspek kehidupan.
2. Pendekatan antropologis
            Pendekatan ini diartikan sebagai salah satu upaya memahami fenomena keagamaan sebagai wujud praktek yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat yang tidak lepas dari kadar tingkat pemahaman mereka terhadap doktrin teologis agama itu sendiri.[9] Pengembangan lebih jauh pada pendekatan ini akan menghasilkan pemahaman terhadap fenomena keagamaan yang mengkaji perilaku keberagamaan dalam wilayah pendekatan politik dan ekonomi. Dengan pendekatan politik, fenomena keagamaan dapat dikaji melalui fungsi agama yang melembaga dalam mekanisme pengorganisasian sosial, baik dalam bentuknya yang sederhana (institusi keagamaan) maupun dalam bentuknya yang lebih luas (tinjauan Islam sebagai negara).
3. Pendekatan sosiologis
            Fenomena keagamaan yang dipandang dalam perspektif sosiologis dimaksudkan sebagai cara pandang yang mengkaji gejala sosial kemasyarakatan, struktur dan lapisannya, faktor-faktor yang mendorong terjadinya interaksi dan mobilitas sosial, serta keyakinan-keyakinan yang mendasari terjadinya proses tersebut.[10] Pendekatan ini tentunya tidak terlepas dari penggunaan teori-teori atau ilmu-ilmu sosial untuk menggambarkan fenomena sosial keagamaan serta pengaruh suatu fenomena terhadap fenomena lain.[11] Sehingga kajian ini pada dasarnya mencoba melihat konstruk sosial sebagai entitas yang terkait dengan interpretasi ajaran agama atau juga sebaliknya.
Terlebih lagi jika dilihat ternyata Alqur’an dan hadis sendiri memberikan proporsi terbesar dalam urusan muamalah atau interaksi antar manusia. Hal ini menunjukkan bahwa agama yang dalam hal ini Islam, memberikan perhatian besar terhadap masalah-masalah sosial. Dengan pendekatan ini pula maka seorang muslim tidak harus terjebak pada peningkatan kualitas ibadah individunya semata, tetapi mengaplikasikan nilai-nilai substantif ibadah individunya ke dalam ibadah-ibadah sosial yang ganjarannya di sisi Tuhan lebih besar.
4. Pendekatan filosofis
            Fenomena keagamaan yang menjadi objek melalui pendekatan filosofis ini adalah nilai-nilai substantif agama yang dipahami oleh penganutnya sekaligus mempengaruhi perilaku kebaragamaan mereka baik secara individu maupun kolektif. Melalui pendekatan ini, seseorang tidak akan terjebak pada pengamalan agama yang bersifat formalistik dan dogmatis,[12] tetapi juga mampu melakukan pengembaraan spiritual tertinggi yang lebih melihat hakekat agama sebagai jalan menuju Tuhan. Lebih dari itu, pendekatan filosofis ini dapat memberikan pencerahan dan kesadaran spiritual yang mampu melihat alam semesta sebagai hasil emanasi Tuhan yang terintegrasi dalam penjiwaan sifat kemanusiaan dan sifat ketuhanan. Oleh karena itu, fenomena keagamaan yang didekati secara filosofis akan menemukan bentuk pengamalan agama yang kritis dan selalu mengoptimalkan kreativitas pikir dalam mencari esensi-esnsi kehidupan.
5. Pendekatan historis.
            Pendekatan kesejarahan sangat dibutuhkan dalam memahami fenomena keagamaan karena agama itu sendiri turun dalam situasi yang konkret bahkan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan. Dengan pendekatan ini seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa dalam tempat, waktu, obyek, latar belakang dan pelaku dari peristiwa tersebut.[13] Pendekatan ini juga mengasumsikan bahwa realitas sosial yang terjadi sekarang ini pada dasarnya merupakan hasil dari proses panjang perjalanan sejarah yang terjadi pada masa lalu. Artinya, dengan belajar pada sejarah masa lalu, fenomena keagamaan hari ini dan akan datang dimungkinkan untuk direkonstruksi atau sekaligus dengan melakukan dekonstruksi sejarah, baik terhadap fenomena keagamaan yang terkait dengan kesenjangan politik, sosial, ekonomi, maupun budaya.
6. Pendekatan kebudayaan[14]
            Secara empiris, tidak ada masyarakat yang tidak memiliki budaya dan peradaban. Postulat ini menjadikan pendekatan kebudayaan sebagai hal urgen dalam melihat fenomena keagamaan. Agama, budaya dan peradaban adalah tiga hal yang masing-masing dapat membentuk dan dibentuk oleh manusia. Dengan demikian, kebudayaan tampil sebagai pranata yang secara terus menerus dipelihara oleh para pembentuknya dan generasi selanjutnya yang diwarisi dan mewarisi kebudayaan tersebut.
            Kebudayaan selanjutnya dapat pula digunakan untuk memahami agama dan fenomena keagamaan yang terdapat pada tataran empiris atau agama yang tampil dalam bentuk formal yang menggejala di masyarakat. Artinya bahwa aplikasi ajaran agama yang terdapat pada masyarakat -yang diproses penganutnya dari sumber agama- merupakan agama yang membudaya atau mentradisi dan membumi di tengah-tengah masyarakat. Secara tidak langsung, agama juga merupakan produk budaya masyarakat, karena dalam kebudayaan tersebut terintegrasi pula unsur-unsur agama.
7. Pendekatan psikologi.[15]
            Pendekatan ini dimaksudkan sebagai kerangka acuan dalam memahami fenomena keagamaan dengan menjelaskan gejala atau sikap keberagamaan seseorang yang ternyata dipengaruhi juga oleh faktor usia. Jadi, dengan ilmu jiwa ini, seseorang dapat mengetahui tingkat keagamaan yang dihayati dan dipahami oleh pemeluknya berdasarkan atribut-stribut sosial yang mereka sandang di tengah pergumulan sosialnya.
            Demikianlah bahwa untuk mengkaji atau meneliti agama sekaligus fenomena keagamaan sangat memerlukan metode dan pendekatan ilmiah baik secara kualitatif maupun kuantitatif, deduksi maupun induksi, serta berbagai sarana dan sistematika keilmuan yang menghendaki tercapainya pemahaman yang lebih komprehensif atau tidak parsial. Tujuh pendekatan ilmiah yang telah dipaparkan tadi memiliki relevansi satu sama lain dan merupakan upaya studi interdisipliner untuk memahami agama pada proporsinya yang tepat serta menghindari kesalahan atau persepsi keliru terhadap agama secara institusional, fungsional dan juga relasional.
C. Kesimpulan
            Secara fungsional, agama dapat berperan sebagai fungsi kritis terhadap kecenderungan anomi dan anomali yang terjadi dalam masyarakat. Fungsi ini muncul karena adanya kesenjangan antara nilai-nilai transendental agama yang ideal dengan realitas kehidupan masyarakat. Pada aspek substantif, agama diinterpretasi dan dipahami secara pribadi sesuai dengan kemampuan dan interaksi sosialnya. Oleh karena itu agama tidak hanya akan dihayati secara pribadi, tetapi juga akan menjadi sumber etik dan moral yang menuntun perilaku pribadi pemeluknya dalam semua bidang kehidupan.
            Kesadaran terhadap substansi agama inilah yang disebut beriman atau religiousitas, karena dengan penghayatan dan pegamalan nilai-nilai iman, maka masing-masing pemeluk agama secara vertikal akan memuliakan Tuhan, dan secara horizontal menghormati sesama manusia. Di sisi lain, pendekatan-pendekatan terhadap fenomena keagamaan memberikan sumbangan yang berharga di tengah pesatnya modernitas dan pluralitas agama.


[1]Lihat, M. Atho Mudzhar, 1998: 35.
[2]Lihat, Amin Abdullah, 1996: 22.
[3]Lihat, Amin Abdullah, 2000: 1.
[4]Lihat, Abuddin Nata, 1998: 28. Lihat pula, M. Dawam Rahardjo, 1989: 15.
[5]Lihat, Sumadi Suryabrata, 1997: 3.
[6]Abuddin Nata, op. cit: 27-28.
[7]Ibid: 28.
[8]Ibid: 34.
[9]Ibid: 35-38.
[10]Ibid: 39-42.
[11]Lihat, M. Sayuthi Ali, 2002:100.
[12]Abuddin Nata, op. cit: 45.
[13]Ibid: 47-48.
[14]Ibid:. 49-50.
[15]Ibid:. 50-51.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar