PENDEKATAN
ILMIAH TERHADAP
FENOMENA KEAGAMAAN
Oleh: Muhammad Gazali Rahman
A. Pendahuluan
Menyimak
fenomena keagamaan dalam rentang daur sejarah yang terus bergulir, kini agama
bukan lagi berada di depan pintu gerbang abad modern, tetapi telah masuk dalam
abad transisi post modern. Sebuah abad yang ditandai dengan sangat intensifnya perubahan yang
melanda ranah kehidupan sosial lantaran dipicu temuan-temuan baru di bidang
teknologi dan industri.
Di tengah situasi inilah, setiap harinya individu
beragama digonjang-ganjing oleh pergeseran realitas yang cenderung bersifat
sesaat, artifisial, membius dan tak jarang mengejutkan. Fenomena kemodernan ini
ternyata berimplikasi sangat jauh hingga menembus, mengikis dan mendangkalkan
bahkan mencemari ruang batin (spiritual)
manusia yang pada fitrahnya kaya makna. Oleh karenanya dapat dipahami
mengapa para ahli ilmu sosial-keagamaan, juga filosof, sangat meratapi
merebaknya gejala anomi di kancah kehidupan modern. Sejak itu, agama kembali
ditengok dan dimunculkan sebagai alternatif nomos yang selama ini
terlupakan.
Berbarengan dengan menggejalanya hasrat populer back
to religion itu, ternyata muncul pula fenomena keberagamaan yang justru
bergerak ke arah yang berlawanan, banyak agama yang malah menjadi onggokan
dogma, mitos, dan doktrin belaka. Fenomena dogmatis, mitologis dan doktrinal
agama ini bisa jadi karena agama pada satu sisi memang bagian dari
transendental kemanusian yang secara inheren adalah makhluk relijius yang
mengakui adanya prima kausa jagat raya.
Oleh karena
itu, bagi orang yang percaya kehadiran Tuhan, agama merupakan elemen yang
paling mendasar dalam kehidupan. Sebab ia
tidak saja menyangkut tentang iman pemeluknya, tetapi lebih dari itu
agama juga merupakan seperangkat norma dan aturan yang diyakini serba lengkap
dan sempurna. Sementara itu, keberagamaan lantas berhubungan dengan proses
pembentukan identitas kultural yang secara alamiah menjadi faktor pembeda
dengan agama lain. Lebih dari itu, konsepsi ajaran agama yang secara teoritis
terbahasakan dalam wahyu merupakan representasi kehendak rekayasa sosial yang
tidak dapat diseragamkan pemahamannya bagi tiap individu. Berpijak dari hal
itu, maka persentuhan Tuhan-manusia dalam perspektif agama tidak hanya pada
wilayah transendental di luar jangkauan akal, tetapi juga ditemukan secara
obyektif pada fenomena keagamaan yang direalisasikan dalam dinamika “masyarakat
kitab” yang terintegrasi dalam lokalitas budaya.
Paparan ini
menegaskan bahwa posisi agama tidak lagi semata menjadi jalur transformasi
individu menuju Tuhan, tetapi juga secara lebih luas berposisi sebagai jalur
transformasi sosial kehendak-kehendak Ilahiah yang terwakilkan dalam kapasitas
kemanusiaan sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Sehingga penelitian terhadap
fenomena keagamaan adalah penelitian yang dengan sendirinya menjelaskan
bagaimana kreatifitas Tuhan secara tidak langsung berkolaborasi dengan
nilai-nilai normatif manusia beragama.
B. Pembahasan
Sebelum
makalah ini lebih jauh membahas pendekatan ilmiah, maka ada baiknya terlebih
dahulu diketahui perbedaan antara “penelitian agama” dan “penelitian
keagamaan”. Middleton, guru besar antropologi di New York University,
sebagaimana dikutip oleh M. Atho Mudzhar dalam hal ini membedakan antara
“penelitian agama” dengan “penelitian keagamaan”. Penelitian agama lebih
menekankan pada materi agama, sehingga sasarannya mengacu pada tiga elemen
pokok, yaitu ritus, mitos dan magic. Sedangkan penelitian keagamaan menekankan
pada agama sebagai sistem keagamaan (religious system).[1] Jika upaya pembedaan yang dilakukan Middleton tersebut
diikuti, maka sasaran penelitian agama adalah agama sebagai doktrin, sedangkan
sasaran penelitian keagamaan adalah agama sebagai gejala sosial.
Masalah
kemudian adalah, mungkinkah agama didekati secara ilmiah? Bukankah agama
memiliki ciri khas tersendiri, yaitu “wahyu” yang di dalamnya telah menyediakan
sistem-sistem kepercayaan dan non kepercayaan yang global, pengetahuan dan
praktek, solusi-solusi pragmatis bagi problem-problem fundamental nasib manusia?
Paradigma inilah yang banyak mendasari timbulnya komentar terhadap “the
science of religion”, atau “the scientific study of religion”[2]. Dalam
studi agama-agama dengan wilayah kajian fenomena keagamaan, juga dapat
diklasifikasikan pada term-term tersendiri yang berangkat dari disiplin
keilmuan yang bersifat historis-empiris
seperti history of religion, psychology of religion, dan anthropology
of religion,[3]
meskipun istilah-istilah seperti ini masih sulit diterima oleh penganut agama
yang berasumsi bahwa wahyu berada di luar alam pemikiran manusia.
Dalam
perkembangan diskursus agama kontemporer dijelaskan bahwa agama memang memiliki
banyak dimensi ketika wahyu ditransfer dan dibumikan dalam sejarah manusia yang
tidak hampa budaya. Agama tidak semata mempersoalkan ketuhanan,
kepercayaan/keimanan, tetapi lebih dari itu, ekspansi agama juga memasuki
wilayah ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan semua perangkat
modernita
Pendekatan Ilmiah
Dalam menatap realitas kehidupan keagamaan, seorang
ilmuan dituntut untuk memiliki “pendekatan” sebagai bagian dari proses
penelitian yang menghendaki pencapaian target pemahaman yang lebih holistik dan
komprehensif serta untuk memahami dan mengetahui suatu obyek dengan benar.
Pendekatan ini merupakan cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu
ilmu yang selanjutnya digunakan dalam upaya memahami agama.[4] Tidak dipungkiri bahwa proses ini merupakan upaya
pemenuhan hasrat “ingin tahu” manusia yang secara inheren menjadi potensi yang
hanya terpuskan jika memperoleh pengetahuan mengenai hal yang dipertanyakannya.
Namun di sisi lain, kemungkinan pendekatan non-ilmiah dapat saja dilakukan
untuk memperoleh pengetahuan yang benar itu seperti yang banyak terjadi di
kalangan masyarakat. Beberapa pendekatan non-ilmiah yang benyak digunakan
antara lain yaitu; akal sehat (common sense), prasangka, intuisi,
penemuan kebetulan dan coba-coba, serta pendapat otoritas ilmiah dan pikiran
kritis.[5]
Tentunya hal yang membedakan antara pendekatan non-ilmiah
dengan pendekatan ilmiah terletak pada proses yang dibangun dalam penelitian.
Dengan kata lain, penelitian ilmiah dibangun di atas teori tertentu yang
berkembang sejalan dengan penelitian dan melalui langkah-langkah sistematis
yang terkontrol berdasarkan data empiris. Upaya ini dikehendaki agar penelitian
ilmiah dengan pendekatannya dapat menghasilkan kesimpulan yang diakui secara
umum tanpa diwarnai oleh keyakinan pribadi, bias, dan perasaan yang subyektif.
Fenomena keberagamaan dalam wacana studi agama
kontemporer dapat dilihat dari berbagai sudut pendekatan. Agama tidak hanya
dapat dilihat dalam perspektif normativitas ajaran wahyu saja, meskipun
fenomena ini sampai kapanpun tetap menjadi ciri khas daripada agama-agama yang
ada. Oleh karenanya, arah penelitian terhadap fenomena keberagamaan ini
menitikberatkan pada pemahaman Islam sebagai sebuah ideologi yang membawa
pengaruh pada perilaku penganutnya, yakni Islam sebagai cita (ideal) yang
dipahami dan diapresiasi oleh muslim dalam bentang sejarah dan fenomena
sosial-budaya.
Beberapa pendekatan ilmiah dalam memahami fenomena
keagamaaan ini dapat dilihat dalam pendapat yang diuraikan oleh beberapa pakar
metodologi, seperti yang diungkapkan oleh Abuddin Nata, antara lain: pendekatan
teologis normatif, antropologis, sosiologis, psikologis, kebudayaan, dan
pendekatan filosofis. Ketujuh pendekatan ini dimaksudkan untuk memahami
kehadiran agama secara fungsional agar dapat dirasakan pleh penganutnya dan
untuk menghindarkan masyarakat dari pencarian pemecahan masalah kepada selain
agama yang hanya akan memunculkan penyimpangan-penyimpangan baru.[6]
Untuk lebih jelasnya, berbagai pendekatan tersebut dapat
dikemukakan sebagai berikut;
1. Pendekatan
teologis normatif.
Pendekatan ini secara harfiah diartikan sebagai upaya
memahami agama dengan menggunakan kerangka Ilmu Ketuhanan yang bertolak dari
suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap yang paling
benar dibanding yang lain.[7] Berdasarkan pendekatan ini dipahami bahwa gagasan
pemikiran keagamaan yang terinspirasi oleh paham ketuhanan (teologi) dan
pemahaman terhadap kitab suci/wahyu serta interpretasi ajaran agama tertentu
akan menampilkan bentuk formal atau simbol-simbol keagamaan yang plural.
Sehingga tidak salah jika ditemukan adanya eksklusifitas dan fanatisme
beragama/arogansi teologis dari individu atau kelompok yang mengklaim dirinya
sebagai yang paling benar dan intoleran terhadap paham keagamaan di luar paham
yang dianutnya.
Kecenderungan ini juga membawa bias kepada fenomena
sosial yang tidak kondusif karena lebih
menonjolkan segi-segi “perbedaan” daripada segi-segi “persamaan” yang mungkin
dapat terjalin di antara berbagai kelompok penganut teologi dan agama yang
berbeda. Oleh karena itu, pendekatan ini diharapkan dapat menjembatani hadirnya
terobosan baru dalam pemikiran teologi yang lebih inklusif, dan dapat melihat
secara obyektif pengaruh pemikiran teologi yang termanifestasikan secara
empirik faktual dalam budaya tertentu serta piranti-piranti sosial yang
mendukung eksistensinya. Dengan demikian, teologi ini tidak hanya statis pada
pemahaman normatif transendental, tetapi mendorong terjadinya transformasi
sosial yang mampu memahami perbedaan sebagai kekayaan khazanah pemikiran.
Pendekatan teologis ini kemudian terkait erat dengan
pendekatan normatif, yaitu suatu pendekatan yang memandang agama dari segi
ajarannya yang pokok dan orisinal dari Tuhan yang di dalamnya belum terdapat
penalaran pemikiran manusia.[8] Melalui pendekatan ini, agama tampil dalam fungsinya
yang prima dengan menawarkan nilai-nilai humanitas pada berbagai aspek
kehidupan.
2. Pendekatan
antropologis
Pendekatan ini diartikan sebagai salah satu upaya
memahami fenomena keagamaan sebagai wujud praktek yang tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat yang tidak lepas dari kadar tingkat pemahaman mereka terhadap
doktrin teologis agama itu sendiri.[9] Pengembangan lebih jauh pada pendekatan ini akan
menghasilkan pemahaman terhadap fenomena keagamaan yang mengkaji perilaku
keberagamaan dalam wilayah pendekatan politik dan ekonomi. Dengan pendekatan
politik, fenomena keagamaan dapat dikaji melalui fungsi agama yang melembaga
dalam mekanisme pengorganisasian sosial, baik dalam bentuknya yang sederhana
(institusi keagamaan) maupun dalam bentuknya yang lebih luas (tinjauan Islam
sebagai negara).
3. Pendekatan
sosiologis
Fenomena keagamaan yang dipandang dalam perspektif
sosiologis dimaksudkan sebagai cara pandang yang mengkaji gejala sosial
kemasyarakatan, struktur dan lapisannya, faktor-faktor yang mendorong
terjadinya interaksi dan mobilitas sosial, serta keyakinan-keyakinan yang
mendasari terjadinya proses tersebut.[10] Pendekatan ini tentunya tidak terlepas dari penggunaan
teori-teori atau ilmu-ilmu sosial untuk menggambarkan fenomena sosial keagamaan
serta pengaruh suatu fenomena terhadap fenomena lain.[11] Sehingga kajian ini pada dasarnya mencoba melihat
konstruk sosial sebagai entitas yang terkait dengan interpretasi ajaran agama
atau juga sebaliknya.
Terlebih lagi
jika dilihat ternyata Alqur’an dan hadis sendiri memberikan proporsi terbesar
dalam urusan muamalah atau interaksi antar manusia. Hal ini menunjukkan bahwa
agama yang dalam hal ini Islam, memberikan perhatian besar terhadap
masalah-masalah sosial. Dengan pendekatan ini pula maka seorang muslim tidak
harus terjebak pada peningkatan kualitas ibadah individunya semata, tetapi
mengaplikasikan nilai-nilai substantif ibadah individunya ke dalam
ibadah-ibadah sosial yang ganjarannya di sisi Tuhan lebih besar.
4. Pendekatan
filosofis
Fenomena keagamaan yang menjadi objek melalui pendekatan
filosofis ini adalah nilai-nilai substantif agama yang dipahami oleh
penganutnya sekaligus mempengaruhi perilaku kebaragamaan mereka baik secara
individu maupun kolektif. Melalui pendekatan ini, seseorang tidak akan terjebak
pada pengamalan agama yang bersifat formalistik dan dogmatis,[12] tetapi juga mampu melakukan pengembaraan spiritual
tertinggi yang lebih melihat hakekat agama sebagai jalan menuju Tuhan. Lebih
dari itu, pendekatan filosofis ini dapat memberikan pencerahan dan kesadaran
spiritual yang mampu melihat alam semesta sebagai hasil emanasi Tuhan yang
terintegrasi dalam penjiwaan sifat kemanusiaan dan sifat ketuhanan. Oleh karena
itu, fenomena keagamaan yang didekati secara filosofis akan menemukan bentuk
pengamalan agama yang kritis dan selalu mengoptimalkan kreativitas pikir dalam
mencari esensi-esnsi kehidupan.
5. Pendekatan
historis.
Pendekatan kesejarahan sangat dibutuhkan dalam memahami
fenomena keagamaan karena agama itu sendiri turun dalam situasi yang konkret
bahkan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan. Dengan pendekatan ini
seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan
penerapan suatu peristiwa dalam tempat, waktu, obyek, latar belakang dan pelaku
dari peristiwa tersebut.[13] Pendekatan ini juga mengasumsikan bahwa realitas
sosial yang terjadi sekarang ini pada dasarnya merupakan hasil dari proses
panjang perjalanan sejarah yang terjadi pada masa lalu. Artinya, dengan belajar
pada sejarah masa lalu, fenomena keagamaan hari ini dan akan datang
dimungkinkan untuk direkonstruksi atau sekaligus dengan melakukan dekonstruksi
sejarah, baik terhadap fenomena keagamaan yang terkait dengan kesenjangan
politik, sosial, ekonomi, maupun budaya.
6. Pendekatan
kebudayaan[14]
Secara empiris, tidak ada masyarakat yang tidak memiliki
budaya dan peradaban. Postulat ini menjadikan pendekatan kebudayaan sebagai hal
urgen dalam melihat fenomena keagamaan. Agama, budaya dan peradaban adalah tiga
hal yang masing-masing dapat membentuk dan dibentuk oleh manusia. Dengan
demikian, kebudayaan tampil sebagai pranata yang secara terus menerus
dipelihara oleh para pembentuknya dan generasi selanjutnya yang diwarisi dan
mewarisi kebudayaan tersebut.
Kebudayaan selanjutnya dapat pula digunakan untuk
memahami agama dan fenomena keagamaan yang terdapat pada tataran empiris atau
agama yang tampil dalam bentuk formal yang menggejala di masyarakat. Artinya
bahwa aplikasi ajaran agama yang terdapat pada masyarakat -yang diproses
penganutnya dari sumber agama- merupakan agama yang membudaya atau mentradisi
dan membumi di tengah-tengah masyarakat. Secara tidak langsung, agama juga
merupakan produk budaya masyarakat, karena dalam kebudayaan tersebut
terintegrasi pula unsur-unsur agama.
7. Pendekatan
psikologi.[15]
Pendekatan ini dimaksudkan sebagai kerangka acuan dalam
memahami fenomena keagamaan dengan menjelaskan gejala atau sikap keberagamaan
seseorang yang ternyata dipengaruhi juga oleh faktor usia. Jadi, dengan ilmu
jiwa ini, seseorang dapat mengetahui tingkat keagamaan yang dihayati dan
dipahami oleh pemeluknya berdasarkan atribut-stribut sosial yang mereka sandang
di tengah pergumulan sosialnya.
Demikianlah bahwa untuk mengkaji atau meneliti agama
sekaligus fenomena keagamaan sangat memerlukan metode dan pendekatan ilmiah
baik secara kualitatif maupun kuantitatif, deduksi maupun induksi, serta
berbagai sarana dan sistematika keilmuan yang menghendaki tercapainya pemahaman
yang lebih komprehensif atau tidak parsial. Tujuh pendekatan ilmiah yang telah
dipaparkan tadi memiliki relevansi satu sama lain dan merupakan upaya studi
interdisipliner untuk memahami agama pada proporsinya yang tepat serta
menghindari kesalahan atau persepsi keliru terhadap agama secara institusional,
fungsional dan juga relasional.
C. Kesimpulan
Secara fungsional, agama dapat berperan sebagai fungsi
kritis terhadap kecenderungan anomi dan anomali yang terjadi dalam masyarakat.
Fungsi ini muncul karena adanya kesenjangan antara nilai-nilai transendental
agama yang ideal dengan realitas kehidupan masyarakat. Pada aspek substantif,
agama diinterpretasi dan dipahami secara pribadi sesuai dengan kemampuan dan
interaksi sosialnya. Oleh karena itu agama tidak hanya akan dihayati secara
pribadi, tetapi juga akan menjadi sumber etik dan moral yang menuntun perilaku
pribadi pemeluknya dalam semua bidang kehidupan.
Kesadaran terhadap substansi agama inilah yang disebut
beriman atau religiousitas, karena dengan penghayatan dan pegamalan
nilai-nilai iman, maka masing-masing pemeluk agama secara vertikal akan
memuliakan Tuhan, dan secara horizontal menghormati sesama manusia. Di sisi
lain, pendekatan-pendekatan terhadap fenomena keagamaan memberikan sumbangan
yang berharga di tengah pesatnya modernitas dan pluralitas agama.
[1]Lihat, M. Atho Mudzhar, 1998:
35.
[2]Lihat, Amin Abdullah, 1996:
22.
[3]Lihat, Amin Abdullah, 2000:
1.
[4]Lihat, Abuddin Nata, 1998:
28. Lihat pula, M. Dawam Rahardjo, 1989: 15.
[5]Lihat, Sumadi Suryabrata, 1997: 3.
[6]Abuddin Nata, op.
cit: 27-28.
[11]Lihat, M. Sayuthi Ali, 2002:100.
[12]Abuddin Nata, op.
cit: 45.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar