UNJUK RASA VERSUS MENGHUJAT
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Oleh: Muhammad Gazali Rahman
I.
PENDAHULUAN
Sejak
Orde Baru tumbang, pintu demokrasi terbuka lebar, sehingga setiap orang bebas
menyampaikan pendapatnya. Kebebasan menyampaikan pendapat tidak hanya ada dalam
undang-undang saja (law in book) melainkan sudah mendarah daging di
masyarakat (law in society). Cara mengemukakannya pun beragam, mulai
dari berupa tulisan atau penuangan pikiran di surat kabar, majalah; secara
lisan berupa hasil wawancara ataupun berupa orasi; ataupun berupa tindakan
yaitu dengan jalan unjuk rasa/demonstrasi, maupun mogok kerja dan mogok makan.
Tempat mengemukakannya pun beragam, mulai dari perusahaan, jalanan, taman
maupun gedung pemerintahan.
Di
tengah arus demokratisasi dan kebebasan berpendapat, aksi unjuk rasa atau
demonstrasi telah menjadi alternatif untuk menerjamahkan kewajiban menyampaikan
aspirasi kepada pemerintah. Aksi unjuk rasa telah dianggap sebagai keniscayaan
dalam praktek demokrasi. Selain sebagai implementasi adanya kebebasan
berpedapat, unjuk rasa diyakini mampu menjadi sarana efektif untuk menyampaikan
kritik kepda pemerintah. Pilihan pada aksi unjuk rasa tersebut tak lepas dari
kenyataan bahwa sebagian besar negara di dunia belum memiliki pemerintahan
efektif yang mampu memenuhi kehendak rakyat. Kondisi itu kian diperburuk oleh
mandulnya parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat, sehingga aspirasi rakyat
tidak terserap dengan memadai.
Konsep
“demokrasi” pun dewasa ini dipahami secara beragam oleh berbagai kelompok
kepentingan yang melakukan teoritisasi dari perspektif dan untuk tujuan
tertentu. Keragaman konsep tersebut, meskipun terkadang juga sarat dengan
aspek-aspek subyektif dari siapa yang merumuskannya, sebenarnya bukan sesuatu
yang harus dikhawatirkan. Karena, hal itu sesungguhnya mengisyaratkan esensi
demokrasi itu sendiri yaitu adanya perbedaan pendapat.
Di lain
pihak, era keterbukaan seperti sekarang ini juga menimbulkan ketakutan. Para
pelaku bisnis merasakan dampak langsung dari adanya unjuk rasa tersebut.
Apalagi jika aksi damai sudah berubah menjadi aksi anarki. Tidak adanya titik
temu antara kepentingan pengusaha dan pekerja merupakan salah satu faktor pemicu
adanya unjuk rasa. Unjuk rasa yang awalnya bertujuan untuk memperjuangkan
kepentingan pekerja yang lingkupnya hanya di perusahaan tidak jarang merembet
sampai ke gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Unjuk Rasa dan
Menghujat
Istilah
“unjuk rasa” atau sering disebut pula dengan “demonstrasi” yang berasal dari
kata demokrasi ini adalah suatu gerakan menyampaikan pendapat di muka umum.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, unjuk rasa berarti pernyataan
protes yang dikemukakan secara massal; menentang suatu pihak atau seseorang
dengan cara berdemonstrasi. Oxford Dictionary menerjemahkan kata
demonstrasi sebagai a public meeting or march at which people show that they
are protesting against or supporting to take part/go on a demonstration to
hold/stage a demonstration mass demonstrations in support of the exiled leader
anti-government demonstrations a peaceful/violent demonstration.
Pengertian
lain berdasarkan Ensiklopedia Bebas Wikipedia mengungkapkan bahwa unjuk
rasa atau demonstrasi adalah sebuah gerakan protes yang dilakukan sekumpulan
orang di hadapan umum. Unjuk rasa biasanya dilakukan untuk menyatakan pendapat
kelompok tersebut atau penentang kebijakan yang dilaksanakan suatu pihak atau
dapat pula dilakukan sebagai sebuah upaya penekanan secara politik oleh
kepentingan kelompok. Unjuk rasa umumnya dilakukan oleh kelompok mahasiswa yang
menentang kebijakan pemerintah, atau para buruh yang tidak puas dengan
perlakuan majikannya. Namun unjuk rasa juga dilakukan oleh kelompok-kelompok
lainnya dengan tujuan lainnya. Sedangkan menurut UU No. 9 Tahun 1998 pasal 1
ayat 9 (1) unjuk rasa atau demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh
seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan
sebagainya secara demonstratif di muka umum. Dari pengertian demonstrasi
menurut Undang-undang ini, demonstrasi juga berarti unjuk rasa.
Unjuk
rasa dalam bahasa Arab disebut muzaharah atau masīrah, yaitu
sebuah media dan sarana penyampaian gagasan atau ide-ide yang dianggap benar
dan berupaya mensyiarkannya dalam bentuk pengerahan masa. Unjuk rasa merupakan
sebuah sarana atau alat sangat terkait dengan tujuan digunakannya sarana atau
alat tersebut dan cara penggunaannya. Sebagaimana misalnya pisau, dapat
digunakan untuk berjihad, tetapi dapat juga digunakan untuk mencuri.
Pengertian
lain terkait dengan definisi unjuk rasa yang dalam bahasa Inggris disebut demonstration
diungkapkan pula dalam Longman Dictionary yaitu:
1.
An
event at which a large group of people meet to protest or to support something
in public (aktivitas oleh sekelompok
orang yang bertemu untuk bersama-sama memprotes atau mendukung sesuatui di
tempat umum).
2.
An
event at which a large group of people meet to protest or to support something
in public (aktivitas oleh sekelompok
orang yang bertemu untuk bersama-sama memprotes atau mendukung sesuatui di
tempat umum).
Dari
definisi tersebut tampak bahwa unjuk rasa atau demonstrasi memiliki makna ganda
yaitu untuk: (1) menunjukkan kemampuan; ataupun, (2) mendukung/menentang usulan
di tempat umum, baik kepada pemerintah ataupun kepada selain pemerintah.
Demonstrasi baik itu untuk menentang ataupun mendukung pun banyak bentuknya,
baik berupa aktivitas orasi di jalan ataupun dalam bentuk pawai (marchs),
rally (berkumpul mendengarkan orasi), picketing yakin duduk dan
diam saja dengan membawa spanduk.
Adapun
menghujat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah sinonim dari mencela
atau mencaci yang artinya mengenakan perkataan-perkataan yang tidak sopan. Kata
menghujat dalam bahasa Arab adalah al- ṭa’nu yang memiliki dua makna; hissi
dan maknawi, bermakna hissi seperti kata ṭa’anahu
bi al-rumhi yang berarti memukul dengan
alat yang tajam seperti tombak dan makna yang maknawi seperti kata wa
rajulun ṭa’an fi a’raḍ al-nas yang berarti mencela sesuatu baik pada
nasab, kitab, atau seseorang. Istilah lain dengan makna yang senada untuk kata
menghujat dalam bahasa Arab adalah sabb, gibah, li’ān dan mubāhalah.
Menurut
al-Ghazālī, menghujat adalah menghina (merendahkan) orang lain di depan manusia
atau di depan umum. Oleh ‘Abd al-Rahmān al-Malīkī membagi penghinaan menjadi
tiga: al-żammu, penisbahan suatu perkara tertentu kepada seseorang dalam
bentuk sindiran halus yang menyebabkan kemarahan dan pelecehan manusia; al-qaḍu, segala sesuatu yang berhubungan dengan
reputasi dan harga diri tanpa menisbahkan sesuatu hal tertentu; al-taḥqir, setiap kata yang bersifat celaan atau
mengindikasikan pencelaan atau pelecehan. Terminologi menghujat yang senada
dengan menghina juga diungkapkan oleh Imām Jalāl al-Dīn dalam kitab Tafsīr
Jalalain yang membagi tiga model penghinaan: sukhrīyah, yaitu
meremehkan atau menganggap remeh orang lain karena sebab tertentu; lamzu, menjelek-jelekkan
dengan cacian atau hinaan atau dengan kejelekan orang lain; tanābuż,
model cacian atau penghinaan dengan menyebut atau memanggil lawan bicara dengan
sebutan yang jelek, dan sebutan yang paling buruk adalah memanggil “wahai
fasik” atau “wahai yahudi” kepada sesama muslim.
B. Fenomena Menghujat dan Unjuk
Rasa
Sampai
saat ini, aksi unjuk rasa adalah satu-satunya gerakan yang mampu mendorong
perubahan dengan sangat baik. Sejarah dunia banyak bercerita tentang hal ini
termasuk yang baru saja dialami oleh bangsa Indonesia yaitu tumbangnya rezim
Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun. Menurut Alpian Hamzah, bahwa gerakan
unjuk rasa mengandung dua macam bentuk secara bersamaan: pertama,
menumbangkan rezim pongah ala Orde Baru. Menarik untuk disimak bahwa “pongah”
dalam bahasa Indonesia bisa berarti congkak, sangat sombong, angkuh, sekaligus
juga bodoh dan dungu. Ini menunjukkan bahwa di balik setiap kecongkakan dan
kesombongan, ada kepala-kepala keras yang membantu. Kedua, gerakan unjuk
rasa dan reformasi bertujuan menegakkan masyarakat yang adil, sejahtera,
sentosa, makmur, dan demokratis, suatu masyarakat madani yang dicita-citakan
oleh setiap manusia yang berhati nurani.
Era
keterbukaan dan kebebasan berpendapat saat ini menjadi ruang terbuka bagi
sebagian orang untuk menyuarakan ide dan gagasan yang tidak jarang bergeser
kepada aksi menghujat, mencela, mencaci, mengumbar aib, atau menghina orang
atau pihak lain di luar golongannya. Fenomena menghujat ini telah menjadi
tontonan umum yang dapat dilihat di berbagai media elektronik, media massa,
maupun jejaring sosial. Fenomena ini sekaligus mendeskripsikan rendahnya
penghargaan terhadap sesama manusia sekaligus kerendahan martabat/akhlak yang
menghujat dan dihujat. Pepatah lama yang mengatakan “mulutmu harimaumu”
tampaknya tidak dapat menjadi bentuk kearifan lokal yang mampu memfilter
kebebasan untuk menghujat orang lain.
Aksi saling hujat juga terjadi di kalangan
pelajar/mahasiswa yang terkadang berakhir dengan tawuran yang sesungguhnya
tidak layak terjadi di dunia pendidikan. Hal tersebut juga mengindikasikan
rendahnya moralitas pelajar/mahasiswa sekaligus rendahnya moralitas dunia
pendidikan. Output pendidikan yang diharapkan dapat menjadi barometer
peradaban perlahan mulai jauh dari realitas yang diharapkan.
Tidak hanya itu, aksi saling hujat, mengutuk, pencemaran
nama baik, penistaan terhadap pihak lain juga ditemukan dalam moment-moment
kampanye (black campagne). Masing-masing pihak merasa paling benar dan
mengutuk kebijakan pihak lain. Pihak oposisi mengutuk rezim yang berkuasa. Pada
awalnya mungkin seseorang hanya berniat melakukan kritik yang konstruktif
kepada individu atau pihak lain yang dinilainya salah atau terhadap kebijakan
penguasa yang dinilai menyimpang. Namun, kritik konstruktif tersebut cenderung
berubah menjadi kritik dekstruktif yang tidak lagi menghargai moralitas dan
kemanusiaan oleh karena terselipnya hujatan di dalamnya. Kritik yang
konstruktif tentunya merupakan hal positif yang memberikan asas kemanfaatan
jika solusi yang diberikan lebih tepat, baik, dan benar daripada perbuatan,
tindakan, keputusan sebelumnya.
Demikian
pula dengan fenomena unjuk rasa saat ini. Iklim demokrasi dengan berbagai
indikatornya tampak menjadi paradigma umum untuk menegaskan bahwa aksi unjuk
rasa adalah sesuatu yang lumrah terjadi. Unjuk rasa umumnya dilakukan oleh
kelompok masyarakat yang menentang kebijakan pemerintah atau para buruh yang
tidak puas dengan perlakukan majikannya. Namun unjuk rasa juga dilakukan oleh
kelompok-kelompok lainnya dengan tujuan lain. Unjuk rasa kadang dapat
menyebabkan pengerusakan terhadap benda-benda. Hal ini dapat terjadi akibat
keinginan menunjukkan pendapat para pengunjuk rasa yang berlebihan.
Di lain
pihak, unjuk rasa merupakan elemen komunikasi yang sangat penting dalam
advokasi dan umumnya digunakan untuk mengangkat suatu isu agar menjadi perhatian
publik. Biasanya unjuk rasa bertujuan untuk menekan pembuat keputusan untuk
melakukan sesuatu, menunda ataupun menolak kebijakan yang akan dilakukan
pembuat keputusan meskipun tidak semua pendapat yang disampaikan tidak didengar
ataupun tidak sesuai dengan harapan. Keadaan seperti ini ditambah dengan
faktor-faktor lain seperti adanya hasutan dari pihak-pihak tertentu untuk
melakukan tindakan anarki, ataupun karena adanya perasaan frustrasi akibat
suatu keadaan, maka timbullah anarki.
Unjuk
rasa massal atau demonstrasi terjadi karena digerakkan oleh rasa tidak puas
terhadap keadaan ekonomi, sosial, politik yang dialami. Jika unjuk rasa pada
satu tempat berjalan tertib dan teratur, di tempat lain terjadi bentrokan fisik
antara pengunjuk rasa dengan kekuatan-kekuatan keamanan. Di seluruh dunia,
hampir tidak ada negara dewasa ini yang pada suatu atau lain waktu yang luput
dari gejala unjuk rasa kolektif penuh luapan emosi, dan terkadang disertai
dengan bermacam cara terorisme.
Yap
Thiam Hiem mengatakan bahwa jika bertolak dari kenyataan bahwa para pengunjuk
rasa terutama terdiri dari orang yang kecewa dan tidak puas dan bahwa mereka
terlibat atas kemauan sendiri, maka di sini diandaikan: 1) bahwa rasa kecewa
dan tidak puas itu sendiri dapat muncul tanpa dorongan dari luar, melahirkan
sifat-sifat khas; 2) bahwa teknik paling ampuh untuk mempengaruhi orang pada
dasarnya adalah menanamkan sampai kuat berakar semua bibit tingkah laku dan
berbagai reaksi yang sudah ada dalam jiwa orang yang kecewa dan tidak puas itu.
Selanjutnya
Eric Hoffer mengatakan bahwa ada gerakan unjuk rasa yang baik. Ini memang fakta
yang tepat karena bila semua gerakan unjuk rasa mempunyai sifat dan maksud
negatif, pasti semua pemerintah di dunia sudah dan akan melarangnya. Pemerintah
dari negara-negara Barat misalnya, mengerti bahwa unjuk rasa tidak jarang
mempunyai tuntutan yang sah dan benar. Juga merupakan realisasi hak asasi
manusia untuk mengutarakan pendapat yang perlu dijamin. Sehingga masalahnya
hanya bagaimana menyalurkan dan mengawasi gerakan tersebut agar berjalan tertib
dan damai.
Mendukung
pandangan Hoffer, dapat dikatakan bahwa unjuk rasa merupakan gejala universal
di zaman modern ini. Dunia mengenal berbagai revolusi yang digerakkan oleh
agama, nasionalisme, atau kekuatan-kekuatan sosial-politik-ekonomi yang
menuntut reformasi, kemerdekaan, keadilan, peningkatan, dan jaminan martabat
serta harkat manusia perorangan atau kelompok. Dengan demikian, faktor-faktor
yang dapat menyebabkan timbulnya gerakan unjuk rasa antara lain adalah:
- Adanya perasaan kecewa dan tidak puas atas terjadinya ketimpangan dan ketidakadilan di bidang sosial, politik, dan ekonomi, atau karena saluran demokrasi yang tersumbat.
- Sangat kurangnya perhatian pemerintah terhadap ekonomi rakyat.
- Tidak dihormatinya lagi norma-norma adat setempat.
4.
Tidak
adanya kemandirian hukum, karena hukum telah dikendalikan oleh kekuasaan.
Unjuk
rasa umumnya dilakukan oleh kelompok mahasiswa yang menentang kebijakan
pemerintah atau para buruh yang tidak puas dengan perlakuan majikannya. Aksi
ini kadang berakhir dengan pengrusakan terhadap benda-benda oleh karena
keinginan menunjukkan pendapat para pengunjuk rasa yang berlebihan. Sebagai
bentuk ekspresi berpendapat dalam ranah demokrasi, unjuk rasa adalah hak warga
negara. Tetapi, inilah hak yang bisa mengerikan, karena umumnya unjuk rasa yang
melibatkan ribuan orang berlangsung dengan tanpa arah dan dapat berujung anarki
sehingga menimbulkan tindak pidana. Padahal, unjuk rasa adalah hak demokrasi
yang dapat dilaksanakan dengan tertib, damai, dan intelek.
Pilihan
melakukan unjuk rasa merupakan media dan sarana penyampaian gagasan atau
ide-ide yang dianggap benar dan berupaya mempublikasikannya dalam bentuk
pengerahan massa. Unjuk rasa juga merupakan sebuah sarana atau alat yang terkait
dengan tujuan digunakannya sarana atau alat tersebut dan cara penggunaannya.
Sebagaimana misalnya internet, dapat digunakan sebagai alat komunikasi, tetapi
dapat juga digunakan untuk untuk mencuri agar cepat kaya. Sehingga niat atau
motivasi sangat menentukan arah dan hasil unjuk rasa.
Dengan
demikian, unjuk rasa dapat bernilai positif dan dapat juga bernilai negatif.
Artinya bahwa ketika unjuk rasa itu menjunjung tinggi demokrasi, maka dipandang
sebagai hal positif dan memiliki nilai di mata masyarakat. Namun ketika unjuk
rasa mengabaikan demokrasi maka masyarakat akan memandangnya sebagai hal yang
tercela ataupun negatif. Sebagai salah satu sarana demokrasi maka idealnya
unjuk rasa harus berhenti ketika pendapat sudah disampaikan.
Kehidupan
politik yang demokratis tidak melarang unjuk rasa sebagai upaya menyampaikan
aspirasi dan menuntut kepentingan. Unjuk rasa atau demonstrasi merupakan ciri
kehidupan masyarakat demokratis, sehingga muncul ungkapan “demokrasi tanpa
demonstrasi ibarat masakan kurang garam, hambar”. Demonstrasi merupakan aksi
yang sah saja dilakukan sepanjang tidak keluar dari koridor demokrasi.
Demonstrasi dan demokrasi bisa diibaratkan perceraian dalam agama Islam,
dihalalkan tetapi kalau bisa jangan dilakukan.
Pemimpin
yang arif akan melihat unjuk rasa sebagai salah satu wujud nyata kepedulian
masyarakat terhadap perkembangan dan nasib bangsa, sikap ingin memperbaiki
keadaan, sikap solidaritas terhadap penderitaan rakyat kecil. Aksi unjuk rasa
atau demonstrasi menjadi pertanda bahwa masih ada aspirasi masyarakat yang
tidak tersampaikan. Dengan demikian, unjuk rasa merupakan salah satu bentuk
aktivitas atau partisipasi politik dalam melihat persoalan masyarakat, bangsa
dan negara. Selain itu, aksi unjuk rasa merupakan jalan cepat dan pintas untuk
segera mendapat perhatian yang berwenang setelah jalur yang ada atau birokrasi
yang dinilai lamban.
Bagi
bangsa Indonesia, berakhirnya era pemerintahan Orde Baru membawa pengalaman
baru bagi masyarakat, yakni terjaminnya kemerdekaan menyampaikan pendapat di
muka umum. Ini dimungkinkan dengan berlakunya Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998
tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Sebelum undang-undang
tersebut ada, persoalan menyampaikan pendapat di muka umum ini hanya diatur
dalam Pasal 28 UUD 1945. Pasal itu menyebutkan bahwa kebebasan berserikat,
berkumpul, dan kebebasan menyampaikan pikiran serta tulisan dijamin oleh negara
dengan berdasarkan undang-undang yang berlaku. Namun, undang-undangnya sendiri
tidak pernah dibuat oleh pemerintahan Orde Baru. Meski demikian, sangat jarang
terjadi aksi unjuk rasa besar-besaran. Aksi-aksi yang dilancarkan kebanyakan
bersifat terbatas dalam aspek peserta yang tidak banyak, lokasi yang terbatas,
biasanya di pelataran kampus untuk aksi-aksi unjuk rasa oleh mahasiswa, serta
di pelataran pabrik atau kantor jika aksi unjuk rasa itu dilancarkan buruh.
Permasalahan
yang mengemuka seputar aksi unjuk rasa dan penanganannya adalah bagaimana
sepatutnya penegak hukum menghadapi aksi unjuk rasa. Tindakan ini mencakup dari
kesiapan undang-undang, personel, dan peralatan, hingga ke tindakan di
lapangan. Penegak hukum, dalam pembubaran aksi yang sah tetapi nonkekerasan,
harus menghindari penggunaan kekerasan. Jika hal itu tidak dapat dilaksanakan,
harus membatasi kekerasan tersebut sekecil mungkin yang diperlukan.
Pemandangan
yang seringkali terjadi kini adalah aksi unjuk rasa yang berakhir dengan
kekerasan. Polisi bentrok dengan pengunjuk rasa. Terjadinya bentrokan
disebabkan adanya ketidakpuasan pengunjuk rasa yang menilai aspirasi mereka
diabaikan. Namun, ketidakpuasan itu sebaiknya disampaikan tanpa kemarahan,
apalagi perusakan dan pembakaran terhadap sarana umum. Selain itu, pengunjuk
rasa tidak boleh sampai terprovokasi dan tetap menjaga ketertiban.
C. Perspektif Hukum Islam tentang
Unjuk Rasa dan Menghujat
1. Hukum Islam tentang Unjuk Rasa
Sebagaimana
telah dipaparkan, melalui media cetak maupun elektronik, hampir setiap hari
dapat disaksikan bertebarannya aksi massa dalam bentuk unjuk rasa, demonstrasi,
dan bahkan kerusuhan. Hal ini dimotivasi oleh berbagai faktor, baik sosial,
ekonomi, politik, budaya, maupun agama. Aksi demo dan unjuk rasa ini tidak akan
bisa dihentikan secara represif mengingat kondisi keadilan belum tertuntaskan
secara memadai.
Pilihan
unjuk rasa adalah wajar dan bahkan dapat menjadi pilihan satu-satunya untuk
mengungkapkan aspirasi yang tersumbat oleh sistem maupun oleh mentalitas para
pejabat negara dalam iklim demokrasi saat ini. Oleh karena itu, tidak ada
jaminan bahwa unjuk rasa akan hilang dengan sendirinya manakala sistem telah
ditata sedemikian rupa. Sebab, tarik-menarik kepentingan akan selalu menghiasi
kehidupan berbangsa dan bernegara. Di samping juga, demonstrasi dapat menjadi
alat kontrol terhadap kekuasaan, yakni sebagai kekuatan check and balance, sebagai
kekuatan pengimbang, agar tidak terjadi ketimpangan yang destruktif.
Pada
kenyataannya, ulama tidak sependapat tentang kebolehan unjuk rasa. Beberapa
pendapat yang mengharamkan aksi unjuk rasa misalnya dikeluarkan oleh Majelis
Fatwa Ulama Arab Saudi yang berpijak pada pendapat beberapa tokoh ulama seperti
Muhammad
bin Ṣālih al-‘Uṡaimin, ’Abd al-’Azīz
bin Bāż, al-Alāmah Aḥmad bin Yaḥyā Muhammad
al-Najmi, dan Muhammad Naṣir al-Dīn al-Albānī.
Keharaman ini mengacu pada QS al-Nahl/16: 125 dan hadis riwayat Ahmad.
ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ
الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ
بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ ﴿١٢٥﴾
Terjemahnya:
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya
dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
أَوَلَمْ تَسْمَعْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ
لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ
مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ
Artinya:
Barang siapa yang hendak menasihati penguasa pada suatu
masalah, maka janganlah dia tampakkan dengan terang-terangan. Akan tetapi,
hendaklah ia pegang tangannya dan menyendiri dengannya. Kalau dia menerima
(nasihat itu) maka itu bagus, namun jika tidak maka dia telah menunaikan
kewajibannya untuk memberikan nasihat.
Pendapat senada yang mengharamkan unjuk rasa juga
diungkapkan oleh Zubair Syarif, bahwa unjuk rasa atau demonstrasi itu haram dan
tidak bisa digunakan untuk memerangi kezaliman, karena unjuk rasa bisa
menimbulkan fitnah. Fitnah
yang ditimbulkan oleh pengunjuk rasa kepada khalayak dengan mencari-cari aib
orang lain, dalam hal ini penguasa. Meskipun penguasa tersebut berlaku zalim,
nasihat yang diberikan harus tetap dengan cara yang baik dan jangan sampai
dengan kekerasan. Unjuk rasa yang dilakukan di tempat umum dapat menyebarkan
dan membuka aib pemerintah serta dapat menimbulkan fitnah lebih besar dari
permasalahan tersebut. Tidak ada ada dalam aturan Islam merubah keadaan
masyarakat dengan cara bergerombol, berteriak-teriak, dan demonstrasi (unjuk
rasa). Apalagi bergerombol antara laki-laki dan perempuan saling bersenggolan.
Unjuk rasa merupakan tindakan kemungkaran, kemungkaran-kemungkaran dalam unjuk
rasa ialah:
-
Bentuk
tasyābuh dengan orang-orang kafir.
-
Termasuk
khurūj (menentang pemerintah).
-
Menceritakan
aib pemerintah di depan umum.
-
Ikhtilāt (bercampurnya laki-laki dan
perempuan).
-
Tindak
anarkis yang ditimbulkan.
Mengkaji pendapat Zubair Syarif, aksi unjuk rasa diakui
dapat menimbulkan suatu tindakan anakis serta kemungkinan digunakan sebagai
fitnah atas seseorang maupun pemerintahan, sehingga unjuk rasa tidak bisa untuk
berdakwah. Akan tetapi harus dilihat bahwa
unjuk rasa yang berlangsung anarkis maupun menjadi suatu fitnah disebabkan
beberapa hal. Salah satu penyebabnya sikap represif aparat (militer) atau
dilakukan oleh pihak yang didemo. Unjuk rasa/demonstrasi yang sejatinya
digunakan untuk menyampaikan aspirasi itu dihalang-halangi atau ditindak dengan
kekerasan, sebagai contoh tragedi Semanggi pada tahun 1998 di Jakarta. Pada
waktu itu para pengunjuk rasa ditembaki oleh aparat, sehingga berujung dengan
terjadi chaos.
Pendapat
lain mengatakan bahwa ketika suatu hal yang tidak akan tercapai dan terlaksana
kecuali dengannya (unjuk rasa), maka hal tersebut menjadi wajib. Sehingga unjuk
rasa dapat menjadi sarana untuk amar makruf nahi munkar. Pusat konsultasi
syariah dalam website syariah online mengatakan bahwa unjuk rasa dapat
dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan dakwah, amar makruf nahi mungkar,
menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Unjuk rasa juga dapat dijadikan
strategi untuk mencapai sasaran dakwah. Efektivitas dakwah mempunyai dua
strategi yang saling mempengaruhi keberhasilannya. Pertama, peningkatan
kualitas keberagamaan, kedua, sekaligus mendorong perubahan sosial.
Output dari unjuk rasa adalah perubahan kebijakan, karena unjuk rasa merupakan
alat prsesure (tekan) terhadap kebijakan negara yang tidak sesuai dengan
harapan masyarakat. Oleh sebab itu, diperlukan usaha terus menerus dalam rangka
menggerakkan perubahan. Sebagaimana firman Allah dalam QS Āli Imrān/3: 104.
وَلْتَكُن
مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ﴿١٠٤﴾
Terjemahnya:
Hendaklah ada di antara kamu
segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan
mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.
Menyitir
pendapat al-Ghazālī dalam kaitan pandangan Islam terhadap negara, bahwa negara
akan eksis dengan fondasi agama, dan agama akan jaya apabila ditopang oleh
negara (al-mulk bi al-dīn yabqa, wa al-dīn bi al-mulk yaqwa). Ungkapan
ini adalah penggambaran relasi agama dan negara dalam satu simbiosis
mutualisme, dalam relasi yang saling menguntungkan. Sebab, negara dipandang
sebagai jaminan bagi ketertiban pelaksanaan agama. Akan tetapi, yang paling
substansial dalam pandangan Islam adalah bahwa eksistensi negara mendapat
pengabsahan sejauh ia menjadi alat untuk mewujudkan kemaslahatan bersama. Maka,
dalam fikih politik atau fiqh siyāsah, ditemukan satu doktrin yang
menyatakan bahwa mendirikan negara baik secara syar’i maupun ‘aqli
merupakan fardu kifāyah, dan dalam rangka mewujudkan negara sebagai alat
untuk mewujudkan kemaslahatan bersama itulah, hukum Islam tidak mengenal
kekuasaan tak terbatas pemerintah. Hukum Islam memandang bahwa kekuasaan kepala
negara harus dibatasi.
Pada
intinya, ada beberapa prinsip yang ditetapkan oleh Islam yang membatasi
kewenangan dan kekuasaan para penguasa, yaitu musyawarah (syura),
berbuat adil, persamaan di depan hukum (al-musāwah amāma al-qanūn),
memelihara hak asasi manusia (al-muhāfażah ‘alā karāmat al-insān),
menjamin kemerdekaan rakyat dalam berakidah dan berpendapat (hurriyah al-aqīdah
wa al-fikr wa al-qawl), serta kontrol dari rakyat dan pertanggungjawaban
pemerintah (riqābah al-ummah wa mas’ulīyat al-hakīm).
Mengutip
Wahbah al-Zuhaylī dalam al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhu, Said Aqil
berpendapat bahwa kebebasan berpendapat merupakan prinsip yang dikedepankan
oleh Islam. Prinsip ini menuntut seseorang untuk tegas menyatakan kebenaran
tanpa takut kepada siapa pun, meskipun menyangkut pemerintah. Ini pula yang
pernah ditunjukkan oleh para sahabat. Seusai dilantik sebagai khalifah, ‘Umar
ibn al-Khaṭṭāb
berpidato di depan rakyatnya: “Rakyatku, siapa saja melihat ada yang menyimpang
pada diriku, hendaklah kalina meluruskannya”. Dengan serta merta Hużaifah ibn
al-Yamān menimpali, “Demi Allah, wahai Amirul Mukminin, kalau saja aku dapatkan
ada yang bengkok dan menyimpang pada dirimu, maka aku sendiri yang akan
meluruskannya dengan pedangku ini”. Menanggapi orang ini, ‘Umar berkata,
“Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan ada orang di antara umat ini yang
mau meluruskan kebengkokan ‘Umar dengan pedangnya”.
Inilah
prinsip utama yang secara efektif mampu membatasi kekuasaan pemerintah menurut
Islam. Selama pemerintah melaksanakan prinsip-prinsip kebajikan, rakyat
dituntut untuk taat kepada pemerintah. Ada dua hak pemerintah ketika
pemerintahannya dipandang absah, yaitu ditaati oleh rakyat dan mendapat
dukungan rakyat dalam kebajikan-kebajikan yang ditempuhnya. Namun jika
pemerintah sudah menyimpang dari garis-garis tersebut, rakyat pun punya hak
untuk mengontrol, mengoreksi, dan jika perlu mengganti penguasa bersangkutan.
Hal ini pula yang ditegaskan dalam hadis Nabi saw. tentang jihad yang utama.
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ عُبَادَةَ الْوَاسِطِيُّ حَدَّثَنَا يَزِيدُ يَعْنِي ابْنَ
هَارُونَ أَخْبَرَنَا إِسْرَائِيلُ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جُحَادَةَ عَنْ
عَطِيَّةَ الْعَوْفِيِّ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ
عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ أَوْ أَمِيرٍ جَائِرٍ
Artinya:
Jihad
yang paling utama adalah berkata benar di hadapan penguasa yang zalim.
Dari
empat pembagian jihad menurut Ibnu Rusyd, hadis tersebut termasuk dalam
kategori jihād bi al-lisān. Yaitu, mengajak manusia melakukan perbuatan
yang diperintahkan Allah dan mencegah segala bentuk kemungkaran, seperti
bersikap kritis terhadap ketimpangan sosial dan memberikan solusinya. Mengutip
pandangan ‘Abd. al-Qādir ‘Awdah, dalam al-Tasyri’ al-Jinā’i fi al-Islām, dikatakan
bahwa rakyat diperbolehkan untuk mendongkel penguasa yang menyeleweng karena
dianggap tidak lagi melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Sampai pada titik
ekstrim ini, fikih masih memberi pengabsahan. Semua ini karena besarnya
semangat fikih untuk menciptakan harmoni dan keadilan dalam kehidupan bernegara
dan bermasyarakat. Pemerintah melindungi rakyat secara serius dan rakyat patuh
terhadap pemerintah yang mengayomi mereka. Dengan demikian, tercipta hubungan
yang harmonis antara pemerintah dan rakyat.
Tetapi
jika melihat realitas yang terjadi dewasa ini, kehidupan saat ini banyak
diwarnai oleh kecurigaan, saling menyalahkan, su’użan, dan seterusnya.
Hal ini menimbulkan iklim yang tidak sehat. Pemerintah menyalahkan rakyat, dan
begitupula sebaliknya rakyat menyalahkan pemerintah. Kondisi seperti inilah
yang disinyalir oleh Nabi saw. dalam hadisnya sebagaimana diriwayatkan oleh Aḥmad bin
Hanbal.
حَدَّثَنَا
يَزِيدُ قَالَ أَنْبَأَنَا فَرَجُ بْنُ فَضَالَةَ عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ يَزِيدَ
عَنْ مُسْلِمِ بْنِ قَرَظَةَ عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خِيَارُكُمْ وَخِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ
تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ
وَشِرَارُكُمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ
وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قَالُوا يَا رَسُولَ
اللَّهِ أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا لَكُمْ الْخَمْسَ أَلَا
وَمَنْ عَلَيْهِ وَالٍ فَرَآهُ يَأْتِي شَيْئًا مِنْ مَعَاصِي اللَّهِ
فَلْيَكْرَهْ مَا أَتَى وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَتِهِ
Artinya:
Sebaik-baik pemimpin adalah
yang kalian cintai dan mencintai kalian, kalian doakan dan mendoakan kalian,
sejelek-jelek pemimpin adalah yang kalian benci dan membenci kalian, kalian
maki dan memaki kalian. Kami bertanya: Bolehkah kami menentang mereka saat itu?
Rasulullah saw. menjawab: Tidak, selama mereka menegakkan salat. Ingatlah,
siapa pun yang dipimpin oleh seorang pemimpin lalu ia melihatnya melakukan
suatu kemaksiatan terhadap Allah, hendaklah ia membenci kemaksiatan yang
dilakukannya dan jangan tidak mentaatinya.
Pada
intinya, keadilan adalah satu prinsip yang harus dipegang oleh pemerintah mana
pun. Jika prinsip ini diabaikan, hukum Islam akan bersuara, dan membolehkan
tindakan koreksi kepada pemerintah untuk kembali menuntut keadilan. Namun,
bukan berarti hukum Islam merestui tindakan demonstrasi yang menjurus pada
tindakan destruktif dan anarkis. Hukum Islam respek terhadap gerakan massa yang
tidak merusak atau mudarat. Sebab, apa pun yang menimbulkan mudarat jelas tidak
akan dibenarkan, meskipun tujuannya untuk menghilangkan kemudaratan seperti
penyelewengan dan ketidakadilan
Berkaitan
dengan itu, terdapat kaidah fikih yang menyatakan bahwa kemudaratan tidak boleh
dihilangkan dengan kemudaratan serupa (al-ḍarār lā
yuzālu bi al-ḍarār).
Toleransi fikih dalam hal ini adalah gerakan yang bertujuan menghilangkan
kemungkaran atau mengoreksi para penguasa yang keluar dari prinsip-prinsip
pemerintahan, tanpa menimbulkan kerusakan. Justru ketika rakyat diam, pasrah
terhadap nasib dan tidak berupaya mendapatkan haknya dalam situasi
ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah, maka sikap rakyat seperti inilah
yang perlu diubah.
Sebagai
negara yang masih dalam tahap belajar berdemokrasi, muslim sebagai umat
mayoritas di Indonesia menyadari bahwa multikulturalisme di Indonesia bukanlah
sebuah tragedi, melainkan sebuah potensi yang dapat dijadikan instrumen untuk
menciptakan kehidupan yang kreatif, inovatif, dan kompetitif. Demokrasi
merupakan salah satu instrumen yang dapat dioptimalkan untuk
mengimplementasikan nilai perbedaan. Dengan demikian umat Islam semakin cerdas
dalam memahami nilai agamanya di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara serta
lebih percaya diri dalam menempatkan diri di tengah sistem kehidupan tanpa
harus menanggalkan nilai-nilai keagamaan.
Oleh
karena itu, dalam berdemokrasi yang baik, umat Islam tidak perlu mencederai
nilai-nilai agama. Sebaliknya, umat Islam membutuhkan upaya eksplorasi
nilai-nilai keagamaan untuk diwujudkan dalam perilaku dan tata nilai
berdemokrasi. Menurut Said Aqid, hal tersebut dapat dilakukan dengan
langkah-langkah aplikatif berikut:
1.
Memahami
orang lain (rūh ta’addudīyah).
- Mengembangkan dan melestarikan tradisi (rūh waṭanīyah).
- Menjaga komitmen kemanusiaan dalam berbangsa dan bernegara (rūh al-insanīyah).
4.
Memahami
ideologi lain (rūh al-tadayyun).
Dengan
keempat langkah aplikatif tersebut, diharapkan setiap keragaman, perbedaan
pandangan, kesalahpahaman, dan setiap hal yang dapat memicu konflik di tengah
umat dapat diminimalisir. Berpolitik memang menjadi hak setiap warga negara,
Rasulullah saw. pun adalah sosok figur yang lengkap; Rasul, kepala rumah
tangga, ulama, negarawan bahkan politikus. Namun dalam hal politik Nabi saw.
senantiasa mengedepankan aspek etika dalam berpolitik. Hal ini terbukti
bahwaNabi saw. tidak pernah menghujat, mencaci, mencela, juga tidak pernah
mengadakan konspirasi untuk menjungkal lawan-lawan politiknya. Akan tetapi Nabi
saw. lebih suka melakukan iṣlah
(rekonsilisasi), seperti yang terjadi dalam kasus Perjanjian Hudaibiyah. Oleh
karena itu jika mengambil contoh kepada sosok Rasulullah saw. maka saling
menghujat, saling berburuk sangka, harus dihindari. Sudah saatnya untuk bangkit
dari keterpurukan dan bersatu padu untuk memulihkan puing-puing kehancuran
akibat permusuhan yang seakan tiada henti.
Ketika
unjuk rasa tersebut menghendaki perubahan kebijakan, maka unjuk rasa tersebut
merupakan bagian dari gerakan perubahan. Aksi dan jalan ke arah perubahan
merupakan satu kesatuan, aksi tanpa makna bila tanpa arah perubahan. Aksi
adalah mutlak untuk mencapai perubahan, adanya aksi menjadi cermin dari sikap
bulat menolak ketidakadilan, adanya kehendak untuk berubah. Perubahan baru
dapat terlaksana bila dipenuhi dua syarat pokok: pertama, adanya nilai
atau ide; kedua, adanya pelaku yang menyesuaikan diri dengan nilai-nilai
tersebut. Maka dari itu demonstrasi dapat menjadi alat mendorong suatu
perubahan yang dicita-citakan dengan menumpahkan ide gagasan tentang suatu hal
yang dianggap salah menurut ajaran agama, yang kemudian diaplikasikan ke dalam
sebuah demonstrasi untuk menyuarakan kebatilan dan kebenaran Tuhan. Dengan
maksud untuk menuntut serta menasehati agar penguasa atau kelompok yang berbuat
zalim kembali ke jalan yang benar, karena perubahan tidak akan terjadi apabila
hanya menjadi sebuah angan-angan tanpa ada aksi nyata.
- Hukum Islam tentang Menghujat
Secara garis besar
fungsi agama (Islam) bagi kehidupan manusia dapat dilihat dari aspek personal
dan sosial. Dari aspek personal, agama berfungsi memenuhi kebutuhan yang
bersifat individual, misalnya kebutuhan akan keselamatan, kebermaknaan hidup,
pembebasan dari rasa bersalah, kekhawatiran menghadapi maut dan kehidupan
sesudahnya, dan sebagainya. Sementara dari aspek sosial, agama berfungsi
memberi penyadaran tentang peran sosial manusia dalam kehidupan berkeluarga dan
bermasyarakat. Ikatan persaudaraan (al-ukhuwwah) yang menimbulkan kohesi
kuat, kesadaran akan keberagaman, hubungan transaksional, dan berbagai macam
penyelesaian masalah-masalah sosial menjadi bidang tugas dari agama dalam
menciptakan keharmonisan dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial.
Aspek personal berkaitan dengan kesalehan individual.
Ketaatan menjalankan ajaran agama yang bersifat personal mencerminkan kesalehan
individual. Setiap individu harus mempresentasikan diri sebagai hamba yang
senantiasa memelihara hubungannya dengan al-Khālik. Sedangkan aspek
sosial berkaitan dengan kesalehan sosial, misalnya memelihara hubungan
interpersonal yang harmonis dengan sesama manusia, saling menolong dalam
kebaikan, dan peran sosial lainnya yang diajarkan oleh agama. Terkait dengan
itu, fungsi agama dari aspek sosial dapat dielaborasi menjadi beberapa kategori
antara lain: 1) fungsi ukhuwah; 2) fungsi kontrol sosial; dan 3) fungsi
penyadaran peran sosial.
Agama mempersaudarakan antarsesama seiman apa pun etnis,
bahasa, atau warna kulitnya. Potensi-potensi yang dapat mengancam keretakan
kohesi persaudaraan (ukhuwah) harus direduksi dengan upaya-upaya semacam iṣlaḥ. Allah berfirman dalam QS al-Hujurāt/49:
10-12 sebagai berikut:
إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ
لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ ﴿١٠﴾ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَومٌ
مِّن قَوْمٍ عَسَى أَن يَكُونُوا خَيْراً مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاء مِّن نِّسَاء
عَسَى أَن يَكُنَّ خَيْراً مِّنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ وَلَا
تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الاِسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَن
لَّمْ يَتُبْ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ ﴿١١﴾ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيراً مِّنَ الظَّنِّ
إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضاً
أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتاً فَكَرِهْتُمُوهُ
وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ ﴿١٢﴾
Terjemahnya:
Sesungguhnya orang-orang mukmin
itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih)
dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat (10).
Hai orang-orang yang beriman
janganlah suatu kaum menghina kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang
dihina) lebih baik dari mereka (yang menghina) dan jangan pula para perempuan
(menghina) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang dihina) lebih
baik dari perempuan (yang menghina) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan
janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk
panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak
bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim (11).
Hai orang-orang yang beriman,
jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah
dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah
sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di
antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu
merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Penerima taubat lagi Maha Penyayang (12).
Begitupula firman Allah dalam QS al-Mu’minūn/23: 3.
وَالَّذِينَ
هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ ﴿٣﴾
Terjemahnya:
Dan orang-orang yang menjauhkan
diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.
Agama
juga memberi legitimasi untuk melakukan kontrol terhadap perilaku sosial
masyarakat. Setiap sikap dan perilaku anggota masyarakat harus sejalan dengan
norma-norma agama. Sikap dan perilaku yang baik atau sejalan dengan norma agama
maka harus didukung, sementara sikap dan perilaku buruk atau bertentangan
dengan norma agama harus dihentikan. Fungsi ini oleh Alquran diperkenalkan
dengan istilah “amar makruf nahi munkar”.
Persatuan dan kesatuan antar sesama manusia tidak mungkin
dapat terwujud jika tidak ada semangat persaudaraan. ‘Abdullāh Yūsuf ‘Ālī dalam
menafsirkan ayat tersebut menyatakan bahwa pelaksanaan atau perwujudan
persaudaraan Muslim (Muslim Brotherhood) merupakan ide sosial yang
paling besar dalam Islam. Islam tidak dapat direalisasikan jika ide besar ini
tidak berhasil diwujudkan.
Ayat-ayat
yang terdapat dalam surah al-Hujurāt ini secara umum berisi tentang petunjuk
kepada masyarakat Muslim khususnya, dan masyarakat manusia pada umumnya.
ayat-ayat tersebut berisi tentang kode etik warga masyarakat Muslim yang di
antaranya adalah bahwa mereka tidak boleh saling melecehkan dan menghina,
karena boleh jadi yang dilecehkan itu lebih baik dari yang melecehkan. Sesama
orang yang beriman juga tidak boleh saling berprasangka buruk dan meng-ghibah.
Melengkapi
ayat tersebut, dalam beberapa hadisnya Rasulullah saw. bersabda:
الْمُسْلِمُ
مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
Artinya:
Hakikat seorang Muslim adalah
seseorang yang orang Muslim lainnya selamat atau terhindar dari lisan dan
tangannya.
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ سِنَانٍ حَدَّثَنَا فُلَيْحُ بْنُ سُلَيْمَانَ حَدَّثَنَا هِلَالُ
بْنُ عَلِيٍّ عَنْ أَنَسٍ قَالَ لَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاحِشًا وَلَا لَعَّانًا وَلَا سَبَّابًا كَانَ يَقُولُ
عِنْدَ الْمَعْتَبَةِ مَا لَهُ تَرِبَ جَبِينُهُ
Artinya:
Rasulullah saw. tidak pernah
berkata keji, melaknat, dan mencela. Apabila beliau hendak mencela, maka beliau
akan berkata (dengan bahasa sindiran): mengapa dahinya berdebu.
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ وَابْنُ حُجْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا
إِسْمَعِيلُ يَعْنُونَ ابْنَ جَعْفَرٍ عَنْ الْعَلَاءِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
الْمُسْتَبَّانِ مَا قَالَا فَعَلَى الْبَادِئِ مَا لَمْ يَعْتَدِ الْمَظْلُومُ
Artinya:
Apabila ada dua orang yang
saling mencaci maki, maka cacian yang diucapkan oleh keduanya itu, dosanya akan
ditanggung oleh orang yang memulai cacian selama orang yang dizalimi itu tidak
melampaui batas.
حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ
حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِنَّ مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ أَنْ يَلْعَنَ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قِيلَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ يَلْعَنُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قَالَ يَسُبُّ الرَّجُلُ
أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ وَيَسُبُّ أُمَّهُ
Artinya:
Sesungguhnya termasuk dosa
besar adalah seseorang melaknat kedua orang tuanya sendiri. Beliau ditanya,
kenapa hal itu bisa terjadi wahai Rasulullah? Beliau menjawab: Seseorang
mencela ayah orang lain, kemudian orang tersebut membalas mencela ayah dan ibu
orang yang pertama.
حَدَّثَنَا
مُعَلَّى بْنُ أَسَدٍ حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ
عَنْ ثَابِتِ بْنِ الضَّحَّاكِ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ مِلَّةِ الْإِسْلَامِ فَهُوَ كَمَا قَالَ قَالَ
وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَيْءٍ عُذِّبَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ وَلَعْنُ
الْمُؤْمِنِ كَقَتْلِهِ وَمَنْ رَمَى مُؤْمِنًا بِكُفْرٍ فَهُوَ كَقَتْلِهِ
Artinya:
Barangsiapa bersumpah dengan
agama selain agama Islam, maka dia seperti yang dikatakannya, dan barangsiapa
yang membunuh dirinya dengan sesuatu, ia disiksa di neraka jahannam dengan
sesuatu yang digunakannya untuk bunuh diri, dan melaknat seorang mukmin
bagaikan membunuhnya, dan barangsiapa yang menuduh seorang mukmin dengan
kekafiran, maka dia seperti membunuhnya.
حَدَّثَنَا
عُمَرُ بْنُ حَفْصٍ حَدَّثَنِي أَبِي حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ حَدَّثَنَا شَقِيقٌ
قَالَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
Artinya:
Mencela orang Muslim adalah
kefasikan, dan memeranginya adalah kekufuran.
حَدَّثَنَا
عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ سَمِعَ
ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ خِلَالٌ مِنْ خِلَالِ
الْجَاهِلِيَّةِ الطَّعْنُ فِي الْأَنْسَابِ وَالنِّيَاحَةُ وَنَسِيَ الثَّالِثَةَ
قَالَ سُفْيَانُ وَيَقُولُونَ إِنَّهَا الِاسْتِسْقَاءُ بِالْأَنْوَاءِ
Artinya:
Kebiasaan yang masih ada pada
umat ini dari kebiasaan jahiliah adalah mencela keturunan dan meratapi
kematian.
سَمِعَتْ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَيْسَ الْكَذَّابُ
الَّذِي يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ فَيَنْمِي خَيْرًا أَوْ يَقُولُ خَيْرًا
Artinya:
Bukanlah disebut pendusta orang
yang menyelesaikan perselisihan di antara manusia lalu dia menyampaikan hal-hal
yang baik (dari satu pihak yang bertikai) atau dia berkata hal-hal yang baik.
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا أَبُو الْأَحْوَصِ عَنْ أَبِي حَصِينٍ عَنْ
أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا
يُؤْذِ جَارَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
Artinya:
Barangsiapa beriman kepada
Allah dan hari akhir, janganlah ia mengganggu tetangganya, barangsiapa beriman
kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya, dan barangsiapa
beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia berkata baik atau diam.
حَدَّثَنَا
هَارُونُ بْنُ سَعِيدٍ الْأَيْلِيُّ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي
سُلَيْمَانُ وَهُوَ ابْنُ بِلَالٍ عَنْ الْعَلَاءِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
حَدَّثَهُ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَنْبَغِي لِصِدِّيقٍ أَنْ يَكُونَ
لَعَّانًا حَدَّثَنِيهِ أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ مَخْلَدٍ عَنْ
مُحَمَّدِ بْنِ جَعْفَرٍ عَنْ الْعَلَاءِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بِهَذَا
الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ
Artinya:
Tidak boleh orang yang jujur
itu suka melaknat.
حَدَّثَنِي
سُوَيْدُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنِي حَفْصُ بْنُ مَيْسَرَةَ عَنْ زَيْدِ بْنِ
أَسْلَمَ أَنَّ عَبْدَ الْمَلِكِ بْنَ مَرْوَانَ بَعَثَ إِلَى أُمِّ الدَّرْدَاءِ
بِأَنْجَادٍ مِنْ عِنْدِهِ فَلَمَّا أَنْ كَانَ ذَاتَ لَيْلَةٍ قَامَ عَبْدُ
الْمَلِكِ مِنْ اللَّيْلِ فَدَعَا خَادِمَهُ فَكَأَنَّهُ أَبْطَأَ عَلَيْهِ
فَلَعَنَهُ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَتْ لَهُ أُمُّ الدَّرْدَاءِ سَمِعْتُكَ
اللَّيْلَةَ لَعَنْتَ خَادِمَكَ حِينَ دَعَوْتَهُ فَقَالَتْ سَمِعْتُ أَبَا
الدَّرْدَاءِ يَقُولُا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَا يَكُونُ اللَّعَّانُونَ شُفَعَاءَ وَلَا شُهَدَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَأَبُو غَسَّانَ الْمِسْمَعِيُّ
وَعَاصِمُ بْنُ النَّضْرِ التَّيْمِيُّ قَالُوا حَدَّثَنَا مُعْتَمِرُ بْنُ
سُلَيْمَانَ ح و حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا عَبْدُ
الرَّزَّاقِ كِلَاهُمَا عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ فِي هَذَا
الْإِسْنَادِ بِمِثْلِ مَعْنَى حَدِيثِ حَفْصِ بْنِ مَيْسَرَةَ
Artinya:
Sesungguhnya para pelaknat itu
tidak dapat menjadi saksi dan tidak pula dapat memberi syafaat pada hari kiamat
kelak.
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى الْأَزْدِيُّ الْبَصْرِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
سَابِقٍ عَنْ إِسْرَائِيلَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ عَلْقَمَةَ
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لَيْسَ الْمُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَلَا اللَّعَّانِ وَلَا الْفَاحِشِ
وَلَا الْبَذِيءِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ وَقَدْ رُوِيَ
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ مِنْ غَيْرِ هَذَا الْوَجْهِ
Artinya:
Bukanlah termasuk hamba yang
mukmin, yaitu mereka yang selalu mengungkap aib, melaknat, berperangai buruk,
dan suka menyakiti.
حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَسَّانَ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ
بْنُ رَبَاحٍ قَالَ سَمِعْتُ نِمْرَانَ يَذْكُرُ عَنْ أُمِّ الدَّرْدَاءِ قَالَتْ
سَمِعْتُ أَبَا الدَّرْدَاءِ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا لَعَنَ شَيْئًا صَعِدَتْ اللَّعْنَةُ
إِلَى السَّمَاءِ فَتُغْلَقُ أَبْوَابُ السَّمَاءِ دُونَهَا ثُمَّ تَهْبِطُ إِلَى
الْأَرْضِ فَتُغْلَقُ أَبْوَابُهَا دُونَهَا ثُمَّ تَأْخُذُ يَمِينًا وَشِمَالًا
فَإِذَا لَمْ تَجِدْ مَسَاغًا رَجَعَتْ إِلَى الَّذِي لُعِنَ فَإِنْ كَانَ
لِذَلِكَ أَهْلًا وَإِلَّا رَجَعَتْ إِلَى قَائِلِهَا قَالَ أَبُو دَاوُد قَالَ
مَرْوَانُ بْنُ مُحَمَّدٍ هُوَ رَبَاحُ بْنُ الْوَلِيدِ سَمِعَ مِنْهُ وَذَكَرَ
أَنَّ يَحْيَى بْنَ حَسَّانَ وَهِمَ فِيهِ
Artinya:
Sesungguhnya apabila seorang
hamba mengutuk sesuatu, naiklah kutukan itu ke langit, lalu ditutup pintu-pintu
langit karenanya. Kemudian turun ke bumi, lalu ditutup pintu-pintunya
karenanya. Kemudian ia bergerak ke kanan dan kiri, maka jika ia tidak menemukan
tampat, niscaya ia kembali kepada yang dikutuk, jika ia pantas menerimanya, dan
jika tidak niscaya ia kembali kepada yang mengucapkannya.
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ وَابْنُ حُجْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا
إِسْمَعِيلُ عَنْ الْعَلَاءِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ
قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ
قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا
تَقُولُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ
Artinya:
Apakah kamu tahu artinya ghibah
(mengumpat)?”. Para sahabat menjawab: “Allah dan Rasul lebih mengetahui hal
itu.” Kemudian Nabi saw. bersabda: “Engkau menuturkan perihal saudaramu yang
tidak ia senangi”. Salah seorang sahabat menanyakan: “Barangsiapa jika yang
kututurkan mengenai saudaraku itu benar-benar?”. Beliau menjawab: “Apabila apa
yang kau tuturkan itu benar, berarti engkau telah membicarakannya
(mengumpatnya), dan apabila apa yang kau tuturkan itu sebaliknya, maka engkau
telah berkata bohong mengenai dirinya.
حَدَّثَنَا
بَهْزٌ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ يَزِيدَ عَنْ عِيَاضِ بْنِ
حِمَارٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
الْمُسْتَبَّانِ شَيْطَانَانِ يَتَكَاذَبَانِ وَيَتَهَاتَرَانِ
Artinya:
Dua orang yang saling mencaci
maki adalah dua setan yang saling berkata-kata dusta dan saling meremehkan.
Setiap
manusia selalu ingin dihormati, dihargai, dan diperlakukan dengan baik. Sebab,
suatu masyarakat tidak akan terwujud secara apik dan damai, jika masing-masing
anggotanya tidak bisa menghargai dan menghormati pihak lain. Maka, dalam
konteks inilah, Islam menegakkan prinsip-prinsip dasar dalam bermasyarakat,
yang dapat dipahami secara terbalik (mafhūm mukhālafah) dari QS
al-Hujurāt/49: 11-12, yaitu:
- Dilarang menghina atau merendahkan martabat sesama manusia.
- Tidak boleh mencela/menghujat orang lain.
- Tidak boleh berprasangka buruk.
- Tidak boleh menebarkan fitnah, yaitu dengan mencari-cari kesalahan orang lain, terlebih terhadap sesama Muslim.
- Membicarakan kejelekan orang lain (ghibah).
Ajaran
kemanusiaan ini, menurut Nurcholish Madjid akan membawa kepada suatu
konsekuensi bahwa manusia harus melihat sesamanya secara optimis dan positif,
dengan menerapkan prasangka baik, bukan prasangka buruk. Dengan demikian,
tegaknya nilai-nilai hubungan sosial yang luhur tersebut adalah sebagai
kelanjutan dari tegaknya nilai-nilai keadaban itu. Artinya, masing-masing
pribadi atau kelompok, dalam suatu lingkungan interaksi sosial yang lebih luas,
memiliki kesediaan memandang yang lain dengan penghargaan, tidak saling
memaksakan kehendak, pendapat, atau pandangan sendiri.
Bahkan,
dalam konteks pergaulan antar umat beragama, Islam memandang bahwa sikap tidak
menghargai, tidak menghormati, melecehkan penganut agama lain, termasuk
penghinaan terhadap simbol-simbol agama dianggap sebagai bentuk penghinaan
terhadap Allah swt. Sebagaimana hal itu disinyalir dalam QS al-An’ām/6: 108.
وَلاَ
تَسُبُّواْ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللّهِ فَيَسُبُّواْ اللّهَ عَدْواً بِغَيْرِ
عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِم
مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ ﴿١٠٨﴾
Terjemahnya:
Dan
janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena
mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.
Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian
kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa
yang dahulu mereka kerjakan.
Ayat
tersebut memiliki keterkaitan dengan perintah untuk berpaling dari kaum
musyrikin. Namun, bukan berarti berpaling dari berdakwah, akan tetapi berpaling
dari mencaci maki, menghina, dan merendahkan mereka. Sebab, sikap ini akan
berbalik kepada pelecehan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Adapun yang dimaksud sabb
menurut al-Nawawī adalah setiap perkataan yang mengandung penghinaan dan
pelecehan; mencela dan berbicara tentang kehormatan manusia dengan sesuatu yang
mencelanya, dan al-fisq secara bahasa berarti keluar, dan yang dimaksud
dengannya dalam syariat adalah keluar dari ketaatan. Maka mencela seorang
muslim secara tidak benar adalah haram berdasarkan ijma ulama dan pelakunya
adalah orang fasik. Oleh karena itu, tidak termasuk kategori sabb jika
ucapan itu dimaksudkan untuk meluruskan pemikiran dan akidah yang salah,
walaupun dengan sikap penghargaan. Juga tidak termasuk sabb perilaku
sesat yang dilakukan oleh para penentang agama.
Ayat
tersebut juga menegaskan bahwa amar makruf nahi munkar terkadang menjadi kontraproduktif
atau menimbulkan mafsadat apabila seseorang tidak memberikan penjelasan secara
benar dan tepat. Bahkan, menurut para ulama, tindakan pelecehan terhadap ajaran
agama lain, termasuk simbol-simbol agama adalah haram. Dampak sosial dari sikap
tersebut adalah akan lahir sikap saling membenci, saling mencurigai, yang pada
gilirannya masyarakat tidak bisa hidup berdampingan secara damai.
Mengomentari
hadis yang mengatakan “sesungguhnya para pelaknat itu tidak dapat menjadi saksi
dan tidak pula dapat memberi syafaat pada hari kiamat kelak”, al-Nawawī
mengatakan bahwa hadis tersebut gambaran bagi orang yang suka mengutuk di hari
kiamat nanti, hadis ini merupakan larangan mengutuk, dan sesungguhnya orang
yang berperilaku dengannya, tidak ada padanya sifat yang indah, karena mengutuk
dalam doa dimaksudkan dengannya dijauhkan dari rahmat Allah swt. Mengutuk
bukanlah termasuk akhlak orang-orang beriman yang digambarkan oleh Allah dengan
sikap saling menyayangi di antara mereka dan tolong menolong di atas kebaikan
dan takwa, dan menjadikan mereka bagaikan bangunan yang saling menguatkan satu
sama lainnya, dan seperti satu jasab. Sesungguhnya seorang mukmin mencintai
saudaranya apa-apa yang dia sukai untuk dirinya sendiri. Mengutuk sesama Mulim
merupakan puncak boikot dan saling membelakangi.
Jika
istilah menghujat ini diidentikkan dengan ghibah, al-Ghazālī
mengungkapkan bahwa terjadinya ghibah disebabkan oleh beberapa faktor
berikut:
1. Menumbuhkan
kemarahan terhadap orang yang di-ghibah.
- Menyesuaikan dengan teman-teman, bersikap baik kepada sahabat dan membantu mereka dalam pembicaraan.
- Bermaksud menyembunyikan aib sendiri.
- Melepaskan diri dari tuduhan aib yang ada pada diri peng-ghibah.
- Bermaksud membanggakan diri.
- Adanya kedengkian terhadap seseorang.
- Sekadar bersenda gurau.
8. Memang
bermaksud untuk mengejek seseorang.
Salah
satu hal yang juga dianggap penting dalam konteks ini adalah pengembangan
komunikasi beradab. Sebab, dari cara berkomunikasi itulah akan dapat dilihat
apakah seseorang menghargai atau melecehkan. Sebagaimana dalam sebuah ungkapan
Arab mengatakan: الكلام صفة المتكلم (ucapan atau perkataan menggambarkan si pembicara).
Dengan
komunikasi, dapat terbentuk saling pengertian dan menumbuhkan persahabatan,
memelihara kasih sayang, menyebarkan pengetahuan, dan melestarikan peradaban.
Akan tetapi, dengan komunikasi juga dapat tumbuh subur perpecahan, emnghidupkan
permusuhan, menanamkan kebencian, merintangi kemajuan, dan menghambat
pemikiran. Hanya saja, berkomunikasi tidak identik dengan menyampaikan berita,
akan tetapi berkomunikasi adalah mencakup perkataan, perilaku, dan sikap.
Terkait
dengan inilah, Alquran telah menanamkan prinsip-prinsip komunikasi beradab,
antara lain:
1. Prinsip qawl karīm
Prinsip
ini mencakup perilaku dan ucapan. Jika dikaitkan dengan ucapan atau perkataan,
maka berarti suatu perkataan yang menjadikan pihak lain tetap dalam kemuliaan,
atau perkataan yang dapat membawa manfaat bagi pihak lain tanpa bermaksud
merendahkan. Di sinilah Sayyid Quṭub menyatakan bahwa perkataan yang karim
pada hakikatnya adalah tingkatan yang tertinggi yang harus dilakukan seseorang,
seperti yang tergambar dalam hubungan anak dengan kedua orang tuanya. Ibnu ‘Asyūr
menyatakan bahwa qawl karīm adalah perkataan yang tidak memojokkan pihak
lain yang membuat dirinya merasa terhina dan tidak menyinggung perasaannya.
Sementara karīm yang terkait dengan sikap dan perilaku tersebut
mengandung unsur pemuliaan dan penghormatan.
2. Prinsip qawl ma’rūf
Menurut
al-Rāzī, bahwa qawl ma’rūf adalah perkataan yang baik, yang menancap ke
dalam jiwa, sehingga yang diajak bicara tidak merasa dianggap bodoh (safīh),
perkataan yang mengandung penyesalan ketika tidak dapat memberi atau membantu,
perkataan yang tidak menyakitkan dan yang sudah dikenal sebagai perkataan yang
baik.
3. Prinsip qawl maisūr
Yakni perkataan yang baik,
lembut, dan melegakan; menjawab dengan cara yang sangat baik, dan tidak
mengada-ada.
4. Prinsip qawl layyin
Yakni
perkataan yang mengandung anjuran, ajakan, pemberian contoh, pembicara berusaha
meyakinkan kepada pihak lain bahwa apa yang disampaikannya adalah benar dan
rasional, dengan tidak bermaksud merendahkan pendapat atau pandangan orang yang
diajak bicara tersebut.
Dengan
berpegang pada keempat prinsip tersebut maka jelaslah bahwa hukum Islam dengan
mengacu aspek maslahatnya berorientasi pada terealisasinya hifz al-nasl (terjaganya
kehormatan manusia) dan hifz al-ummah (kesatuan umat). Dengan
mengedepankan keempat prinsip tersebut niscaya berbagai problem keumatan dapat
diminimalisir tanpa ada lagi aksi saling hujat, penistaan, pelecehan, dan
penghinaan satu pihak kepada pihak lainnya. Islam yang kehadirannya menghendaki
terwujudnya ummatan wāhidah sangat menentang segala bentuk sikap yang
berpotensi merendahkan martabat atau kehormatan manusia, termasuk dalam hal ini
adalah perbuatan menghujat yang akhir-akhir ini seolah telah menjadi lumrah.
Tidak ada satu pihak pun yang diuntungkan jika aksi saling hujat ini mengakar
dalam interaksi sosial, sebaliknya, hal tersebut hanya akan mendatangkan murka
Allah dan tercabutnya keberkahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
III. PENUTUP
Manusia
diciptakan oleh Allah swt. agar menjadi khalifah di muka bumi. Salah satu ciri
khalifah adalah mampu menciptakan suasana keamanan dan kedamaian yang dapat
dirasakan oleh semua pihak, baik manusia, hewan maupun alam semesta. Salah satu
cara menciptakan kedamaian dan keamanan adalah menumbuhkan rasa saling
menghargai dan saling menghormati privasi masing-masing dan menghindari hal-hal
yang dapat menguak dan membuka jendela permusuhan.
Suatu
kenyataan yang tak dapat dipungkiri lagi, bahwa menjaga kehormatan diri dan
orang lain adalah hal yang terpenting untuk menjaga kesatuan dalam tubuh
masyarakat. Sebaliknya, menghina kehormatan atau martabat orang lain akan
menimbulkan rasa saling membenci, perpecahan dan hilangnya rasa gotong-royong.
Oleh karena itu, Islam menganggap bahwa setiap hal yang menyentuh kehormatan
orang lain termasuk perbuatan dosa yang harus dijauhi oleh orang-orang yang beriman.
Di antara hal-hal yang masuk dalam kategori menghina martabat orang lain ialah:
menghina orang lain, menuduh dan memberi julukan yang dibenci olehnya, jelek
sangkaan, mengintai dan membicarakan perihal orang lain saat orang tersebut
tidak ada.
Istilah
unjuk rasa/demonstrasi dalam politik Islam memiliki banyak pengertian yaitu mużāharah,
aksi unjuk rasa yang identik dengan kekerasan (anarkis) dan juga bisa dikatakan
sebagai aksi mendukung sebagai bentuk dukungan terhadap individu maupun
golongan. Istilah lainnya adalah masīrah, merupakan kebalikan dari mużāharah
tanpa berujung anarkisme. Sulit menempatkan istilah demonstrasi dalam
perspektif fikih politik Islam, karena konsepsi demonstrasi tak mempunyai akar
dalam tradisi politik Islam klasik. Meski demikian, bukan berarti aksi
demonstrasi tidak ditemukan jejaknya dalam tradisi politik Islam, karena pada
aras implementatif, aksi yang serupa dengan demonstrasi tersebut telah
menapakkan jejaknya pada masa Rasulullah dan al-Khulafa al-Rasyidun.
Adapun dalam hukum Islam demonstrasi merupakan saran untuk menasihati kepada
mereka yang telah berbuat kemunkaran agar kembali kepada kebaikan, sebagai
bentuk amar makruf nahi mungkar yang telah di jelaskan dalam nas maupun hadis
Nabi saw.
Agar
unjuk rasa tidak berujung pada aksi anarkis dan pelanggaran syariat maka
diperlukan manajemen unjuk rasa yang baik, di antaranya adalah: tidak
mengikutsertakan anak-anak; memisahkan antara laki-laki dengan perempuan; tidak
menutup jalan atau menghalangi pengguna jalan lainnya; menghindari kalimat atau
kata-kata yang mengandung unsur pencemaran nama baik seperti menghujat,
menghina, melecehkan, atau pun mencaci maki pihak lain; menghindari provokasi
pihak-pihak yang bertendensi negatif; membawa poster atau spanduk yang berisi
gambar dan tulisan yang tidak edukatif; menjaga anggota pengunjuk rasa dari
masuknya pihak-pihak lain yang mencoba mengeruhkan suasana; dan kepada aparat
hukum agar mengikuti standar operasional penanganan unjuk rasa yang telah
diatur undang-undang dengan mengedepankan bentuk persuasif.
DAFTAR PUSTAKA
‘Ālī, ‘Abdullāh Yūsuf. The Holly
Qur’an. Beirut: Dār al-Fikr, t.th.
‘Awdah, ‘Abd al-Qādir. al-Tasyri’
al-Jinā’ī al-Islāmī, Juz I. Beirut: Mu’assasah al-Risālah, 1412 H/1992 M.
Al-Albānī, Muhammad Naṣir al-Dīn. Z|ilāl al-Jannah fī Takhrīj al-Sunnah. Cet. V; Beirut: al-Maktab al-Islāmī,
1426 H.
Al-Bukhārī, Muhammad bin Ismā‘il bin
Ibrāhim bin al-Mugīrah. Ṣaḥīḥ Bukhārī, juz 1. Cet. I; Beirut: Dār al-Kutub
al-Ilmīyah, 1992 M/1412 H.
Al-Da’ur, ‘Abd al-Rahmān al-Malīkī. Sistem
Sanksi dan Hukum Pembuktian dalam Islam, Terj. Syamsudin. Bogor: Pustaka
Thariqul Izzah, 2004.
Departemen Agama RI. Hubungan
Antar-Umat Beragama; Tafsir Al-Qur’an Tematik. Cet. I; Jakarta:
Badan Litbang dan Diklat, Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama
RI, 2008.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-3. Jakarta: Balai Pustaka, 2005.
Djalil, Abdul dkk., Fiqh Rakyat;
Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan. Cet. I; Yogyakarta: LkiS, 2000.
Djazuli, H.A. Fiqh Siyāsah;
Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syariah. Cet. IV; Jakarta:
Kencana, 2009.
Al-Farmāwī, ‘Abd al-Hayy. “al-Atsarīyah”,
Buletin Jum’at. Edisi 26 Tahun 2010.
Al-Ghazālī, Muhammad bin Muhammad. Ihyā’
Ulūm al-Dīn. Beirut: Dār al-Fikr, 1989 M/1409 H.
Hamzah, Alfian. Suara Mahasiswa
Suara Rakyat. Bandung: Remaja Rosda Karya, 1998.
Hawkins, Joyce M. Oxford Universal
Dictionary. Oxford: Oxford University Press, 1995.
Hiem, Yap Thiam. Gerakan Massa.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988.
http://id.wikipedia.org. Wikipedia Ensiklopedia Bebas, posted
tanggal 10 Mei 2013.
http://longman-dictionary.org. Posted
tanggal 10 Mei 2013.
http://www.geocities.com. Posted
tanggal 10 Mei 2013.
http://www.syariahonline.com. Posted
tanggal 10 Mei 2013.
Ibnu ‘Asyūr, Muhammad al-T{āhir. al-Taḥrīr wa
al-Tanwīr, jilid 6. Mesir: ‘Isa
al-Bābi al-H{alābī, 1384 H.
Ibnu Hanbal, Abū ‘Abdullāh Aḥmad. Musnad
Aḥmad ibn Hanbal, Juz 35. Beirut: Maktabah al-Islāmī,
1978.
Ibnu Manżūr, Abū al-Faḍl Jamāl
al-Dīn Muhammad bin Mukrim. Lisān al-’Arab Jilid IV. Beirut: Dār
al-Fikr, t.th.
Ibnu Rusyd, Abū al-Walīd Muhammad ibn
Ah{mad. Muqaddimah Ibn Rusyd, juz 1. Kairo: al-Maktabah al-Azharīyah li
al-Turāṡ,
t.th.
Ibnu Surah, Abū Īsā Muhammad Ibn Īsā. al-Jamī‘
al-Ṣaḥīḥ Sunan
al-Turmużī, Juz 7. Beirut: Dār al-Kutub
al-Ilmīyah, t.th.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat
di Muka Umum. Jakarta: Dirjen Perpu, 2000.
Kementerian Urusan Agama Islam, Wakaf,
dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabia, Al-Qur’an dan Terjemahannya. Madinah:
Percetakan Al-Qur’an Raja Fadh, 1426 H.
Madaniy, Malik. Politik Berpayung
Fiqh. Cet. I; Yogyakarta: LkiS, 2010.
Madjid, Nurcholish. “Memberdayakan
Masyarakat; Menuju Masyarakat yang Adil, Terbuka, dan Demokratis”, dalam
Beragama di Abad Dua Satu. Jakarta: Zikrul Hakim, 1997.
Mahardika, Timur. Gerakan Massa.
Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2000.
Mahfudh, Sahal. Nuansa Fiqih Sosial.
Yogyakarta: LKis, 2003.
Marpaung, Marbun. Kamus Politik. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1996.
Mawardi, Imam. Wahai Ulama
Kembalilah Kepada Umat. Surabaya: Putra Pelajar, 2002.
Muhyiddin, Asep. Metode Pengembangan
Dakwah. Bandung: Pustaka Setia, 2002.
Al-Naisabūrī, Muslim Ibn al-Hajjāj
al-Qusyairī. Ṣaḥīḥ Muslim, Juz 12. Cet. I; Beirut: Dār al-Kutub
al-Ilmīyah, 1994.
Al-Nawawī, Abū Zakariya Muhy al-Dīn
Yahya bin Syarf. Ṣaḥīh{ Muslim bi Syarh al-Nawawī, juz 2. Beirut: Dār al-Fikr, 1398 H/1978
M.
O’dea, Thomas F. Sosiologi Agama;
Suatu Pengenalan Awal. Cet. VI; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995.
Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum
Bahasa Indonesia. Jakarta, Balai Pustaka, 2003.
Pulungan, J. Suyuthi. Fiqh Siyasah;
Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994.
Al-Qurṭubī, Abū ‘Abdullāh Muhammad ibn
Ahmad al-Anṣāri. al-Jamī‘ al-Aḥkām
al-Qur’ān, jilid 7. Beirut: Dār al-Kutub
al-Ilmīyah, 1993.
Rachmat, Jalaluddin. Islam Aktual. Cet.
IV; Bandung: Mizan, 1992.
--------------. Psikologi
Komunikasi. Cet. X; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996.
Al-Rāzī, al-Imām Fakhr. Mafātiḥ
al-Gayb, jilid 6. Beirut: Dār
Ihya al-Turaṡ al’Arabī, 1415 H/1995 M.
--------------. al-Tafsīr al-Kabīr, jilid
20. Beirut: Dār Ihya al-Turaṡ, t.th.
Al-Sakhawī, Syams al-Dīn Muhammad ibn
‘Abd al-Rahmān. al-Maqāṣid al-Hasanah. Beirut: Dār al-Hijrah, 1986.
Shihab, M. Quraish. Tafsir
al-Mishbah, vol. 13. Jakarta: Lentera Hati, 2007.
Sihabudi, Rizal. Menyandera Timur
Tengah. Cet. I; Bandung: Mizan, 2007.
Al-Sijistānī, Abū Dāwud Sulaimān bin
al-Asy’aṡ
Ibn Syaddād al-Azadī. Sunan Abū Dāwud, Juz 13. Beirut: Dār al-Fikr,
1968.
Siradj, Said Aqil. Tasawuf sebagai
Kritik Sosial; Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi, bukan Aspirasi. Cet.
I; Bandung: Mizan Pustaka, 2006.
Siswanto, Joko. Reaksi Intelektualis
untuk Demokrasi. Cet. I; Palembang: Yayasan Bakti Nusantara, 2006.
Al-Suyūṭī, Jalāl al-Dīn Muhammad bin
Ahmād al-Mahallī dan Jalāl al-Dīn ‘Abd al-Rahmān bin Bahr, Tafsīr Jalalain.
Cet. II; Beirut: Dār al-Ma’ārif, 1995.
Syadzili, Sayyid Quṭb Ibrāhim
Husain. Fī Ẓilāl al-Qur’ān, juz 13. Kairo: Dār al-Syuruq,
1402 H/1982 M.
Syamsuddin, Din. Etika Agama dalam
Membangun Masyarakat Madani. Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000.
Yasid, H. Abu. Fiqh Realitas; Respon
Ma’had Aly terhadap Wacana Hukum Islam Kontemporer. Cet. I; Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005.
Al-Zuhaylī, Wahbah. al-Fiqh al-Islāmī
wa Adillatuh, Juz VI. Beirut: Dār al-Fikr, 1409 H/1989 M.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar