Jumat, 21 Februari 2014

UNJUK RASA VS MENGHUJAT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM



UNJUK RASA VERSUS MENGHUJAT
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Oleh: Muhammad Gazali Rahman

I.         PENDAHULUAN
Sejak Orde Baru tumbang, pintu demokrasi terbuka lebar, sehingga setiap orang bebas menyampaikan pendapatnya. Kebebasan menyampaikan pendapat tidak hanya ada dalam undang-undang saja (law in book) melainkan sudah mendarah daging di masyarakat (law in society). Cara mengemukakannya pun beragam, mulai dari berupa tulisan atau penuangan pikiran di surat kabar, majalah; secara lisan berupa hasil wawancara ataupun berupa orasi; ataupun berupa tindakan yaitu dengan jalan unjuk rasa/demonstrasi, maupun mogok kerja dan mogok makan. Tempat mengemukakannya pun beragam, mulai dari perusahaan, jalanan, taman maupun gedung pemerintahan.
Di tengah arus demokratisasi dan kebebasan berpendapat, aksi unjuk rasa atau demonstrasi telah menjadi alternatif untuk menerjamahkan kewajiban menyampaikan aspirasi kepada pemerintah. Aksi unjuk rasa telah dianggap sebagai keniscayaan dalam praktek demokrasi. Selain sebagai implementasi adanya kebebasan berpedapat, unjuk rasa diyakini mampu menjadi sarana efektif untuk menyampaikan kritik kepda pemerintah. Pilihan pada aksi unjuk rasa tersebut tak lepas dari kenyataan bahwa sebagian besar negara di dunia belum memiliki pemerintahan efektif yang mampu memenuhi kehendak rakyat. Kondisi itu kian diperburuk oleh mandulnya parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat, sehingga aspirasi rakyat tidak terserap dengan memadai.
Konsep “demokrasi” pun dewasa ini dipahami secara beragam oleh berbagai kelompok kepentingan yang melakukan teoritisasi dari perspektif dan untuk tujuan tertentu. Keragaman konsep tersebut, meskipun terkadang juga sarat dengan aspek-aspek subyektif dari siapa yang merumuskannya, sebenarnya bukan sesuatu yang harus dikhawatirkan. Karena, hal itu sesungguhnya mengisyaratkan esensi demokrasi itu sendiri yaitu adanya perbedaan pendapat.
Di lain pihak, era keterbukaan seperti sekarang ini juga menimbulkan ketakutan. Para pelaku bisnis merasakan dampak langsung dari adanya unjuk rasa tersebut. Apalagi jika aksi damai sudah berubah menjadi aksi anarki. Tidak adanya titik temu antara kepentingan pengusaha dan pekerja merupakan salah satu faktor pemicu adanya unjuk rasa. Unjuk rasa yang awalnya bertujuan untuk memperjuangkan kepentingan pekerja yang lingkupnya hanya di perusahaan tidak jarang merembet sampai ke gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
II.      PEMBAHASAN
A.     Pengertian Unjuk Rasa dan Menghujat
Istilah “unjuk rasa” atau sering disebut pula dengan “demonstrasi” yang berasal dari kata demokrasi ini adalah suatu gerakan menyampaikan pendapat di muka umum. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, unjuk rasa berarti pernyataan protes yang dikemukakan secara massal; menentang suatu pihak atau seseorang dengan cara berdemonstrasi. Oxford Dictionary menerjemahkan kata demonstrasi sebagai a public meeting or march at which people show that they are protesting against or supporting to take part/go on a demonstration to hold/stage a demonstration mass demonstrations in support of the exiled leader anti-government demonstrations a peaceful/violent demonstration.
Pengertian lain berdasarkan Ensiklopedia Bebas Wikipedia mengungkapkan bahwa unjuk rasa atau demonstrasi adalah sebuah gerakan protes yang dilakukan sekumpulan orang di hadapan umum. Unjuk rasa biasanya dilakukan untuk menyatakan pendapat kelompok tersebut atau penentang kebijakan yang dilaksanakan suatu pihak atau dapat pula dilakukan sebagai sebuah upaya penekanan secara politik oleh kepentingan kelompok. Unjuk rasa umumnya dilakukan oleh kelompok mahasiswa yang menentang kebijakan pemerintah, atau para buruh yang tidak puas dengan perlakuan majikannya. Namun unjuk rasa juga dilakukan oleh kelompok-kelompok lainnya dengan tujuan lainnya. Sedangkan menurut UU No. 9 Tahun 1998 pasal 1 ayat 9 (1) unjuk rasa atau demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara demonstratif di muka umum. Dari pengertian demonstrasi menurut Undang-undang ini, demonstrasi juga berarti unjuk rasa.
Unjuk rasa dalam bahasa Arab disebut muzaharah atau masīrah, yaitu sebuah media dan sarana penyampaian gagasan atau ide-ide yang dianggap benar dan berupaya mensyiarkannya dalam bentuk pengerahan masa. Unjuk rasa merupakan sebuah sarana atau alat sangat terkait dengan tujuan digunakannya sarana atau alat tersebut dan cara penggunaannya. Sebagaimana misalnya pisau, dapat digunakan untuk berjihad, tetapi dapat juga digunakan untuk mencuri.
Pengertian lain terkait dengan definisi unjuk rasa yang dalam bahasa Inggris disebut demonstration diungkapkan pula dalam Longman Dictionary yaitu:
1.      An event at which a large group of people meet to protest or to support something in public (aktivitas oleh sekelompok orang yang bertemu untuk bersama-sama memprotes atau mendukung sesuatui di tempat umum).
2.      An event at which a large group of people meet to protest or to support something in public (aktivitas oleh sekelompok orang yang bertemu untuk bersama-sama memprotes atau mendukung sesuatui di tempat umum).
Dari definisi tersebut tampak bahwa unjuk rasa atau demonstrasi memiliki makna ganda yaitu untuk: (1) menunjukkan kemampuan; ataupun, (2) mendukung/menentang usulan di tempat umum, baik kepada pemerintah ataupun kepada selain pemerintah. Demonstrasi baik itu untuk menentang ataupun mendukung pun banyak bentuknya, baik berupa aktivitas orasi di jalan ataupun dalam bentuk pawai (marchs), rally (berkumpul mendengarkan orasi), picketing yakin duduk dan diam saja dengan membawa spanduk.
Adapun menghujat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah sinonim dari mencela atau mencaci yang artinya mengenakan perkataan-perkataan yang tidak sopan. Kata menghujat dalam bahasa Arab adalah al- a’nu yang memiliki dua makna; hissi dan maknawi, bermakna hissi seperti kata a’anahu bi al-rumhi yang berarti memukul dengan alat yang tajam seperti tombak dan makna yang maknawi seperti kata wa rajulun a’an fi a’ra al-nas yang berarti mencela sesuatu baik pada nasab, kitab, atau seseorang. Istilah lain dengan makna yang senada untuk kata menghujat dalam bahasa Arab adalah sabb, gibah, li’ān dan mubāhalah.
Menurut al-Ghazālī, menghujat adalah menghina (merendahkan) orang lain di depan manusia atau di depan umum. Oleh ‘Abd al-Rahmān al-Malīkī membagi penghinaan menjadi tiga: al-żammu, penisbahan suatu perkara tertentu kepada seseorang dalam bentuk sindiran halus yang menyebabkan kemarahan dan pelecehan manusia; al-qau, segala sesuatu yang berhubungan dengan reputasi dan harga diri tanpa menisbahkan sesuatu hal tertentu; al-taqir, setiap kata yang bersifat celaan atau mengindikasikan pencelaan atau pelecehan. Terminologi menghujat yang senada dengan menghina juga diungkapkan oleh Imām Jalāl al-Dīn dalam kitab Tafsīr Jalalain yang membagi tiga model penghinaan: sukhrīyah, yaitu meremehkan atau menganggap remeh orang lain karena sebab tertentu; lamzu, menjelek-jelekkan dengan cacian atau hinaan atau dengan kejelekan orang lain; tanābuż, model cacian atau penghinaan dengan menyebut atau memanggil lawan bicara dengan sebutan yang jelek, dan sebutan yang paling buruk adalah memanggil “wahai fasik” atau “wahai yahudi” kepada sesama muslim.

B.     Fenomena Menghujat dan Unjuk Rasa
Sampai saat ini, aksi unjuk rasa adalah satu-satunya gerakan yang mampu mendorong perubahan dengan sangat baik. Sejarah dunia banyak bercerita tentang hal ini termasuk yang baru saja dialami oleh bangsa Indonesia yaitu tumbangnya rezim Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun. Menurut Alpian Hamzah, bahwa gerakan unjuk rasa mengandung dua macam bentuk secara bersamaan: pertama, menumbangkan rezim pongah ala Orde Baru. Menarik untuk disimak bahwa “pongah” dalam bahasa Indonesia bisa berarti congkak, sangat sombong, angkuh, sekaligus juga bodoh dan dungu. Ini menunjukkan bahwa di balik setiap kecongkakan dan kesombongan, ada kepala-kepala keras yang membantu. Kedua, gerakan unjuk rasa dan reformasi bertujuan menegakkan masyarakat yang adil, sejahtera, sentosa, makmur, dan demokratis, suatu masyarakat madani yang dicita-citakan oleh setiap manusia yang berhati nurani.
Era keterbukaan dan kebebasan berpendapat saat ini menjadi ruang terbuka bagi sebagian orang untuk menyuarakan ide dan gagasan yang tidak jarang bergeser kepada aksi menghujat, mencela, mencaci, mengumbar aib, atau menghina orang atau pihak lain di luar golongannya. Fenomena menghujat ini telah menjadi tontonan umum yang dapat dilihat di berbagai media elektronik, media massa, maupun jejaring sosial. Fenomena ini sekaligus mendeskripsikan rendahnya penghargaan terhadap sesama manusia sekaligus kerendahan martabat/akhlak yang menghujat dan dihujat. Pepatah lama yang mengatakan “mulutmu harimaumu” tampaknya tidak dapat menjadi bentuk kearifan lokal yang mampu memfilter kebebasan untuk menghujat orang lain.
            Aksi saling hujat juga terjadi di kalangan pelajar/mahasiswa yang terkadang berakhir dengan tawuran yang sesungguhnya tidak layak terjadi di dunia pendidikan. Hal tersebut juga mengindikasikan rendahnya moralitas pelajar/mahasiswa sekaligus rendahnya moralitas dunia pendidikan. Output pendidikan yang diharapkan dapat menjadi barometer peradaban perlahan mulai jauh dari realitas yang diharapkan.
            Tidak hanya itu, aksi saling hujat, mengutuk, pencemaran nama baik, penistaan terhadap pihak lain juga ditemukan dalam moment-moment kampanye (black campagne). Masing-masing pihak merasa paling benar dan mengutuk kebijakan pihak lain. Pihak oposisi mengutuk rezim yang berkuasa. Pada awalnya mungkin seseorang hanya berniat melakukan kritik yang konstruktif kepada individu atau pihak lain yang dinilainya salah atau terhadap kebijakan penguasa yang dinilai menyimpang. Namun, kritik konstruktif tersebut cenderung berubah menjadi kritik dekstruktif yang tidak lagi menghargai moralitas dan kemanusiaan oleh karena terselipnya hujatan di dalamnya. Kritik yang konstruktif tentunya merupakan hal positif yang memberikan asas kemanfaatan jika solusi yang diberikan lebih tepat, baik, dan benar daripada perbuatan, tindakan, keputusan sebelumnya.
Demikian pula dengan fenomena unjuk rasa saat ini. Iklim demokrasi dengan berbagai indikatornya tampak menjadi paradigma umum untuk menegaskan bahwa aksi unjuk rasa adalah sesuatu yang lumrah terjadi. Unjuk rasa umumnya dilakukan oleh kelompok masyarakat yang menentang kebijakan pemerintah atau para buruh yang tidak puas dengan perlakukan majikannya. Namun unjuk rasa juga dilakukan oleh kelompok-kelompok lainnya dengan tujuan lain. Unjuk rasa kadang dapat menyebabkan pengerusakan terhadap benda-benda. Hal ini dapat terjadi akibat keinginan menunjukkan pendapat para pengunjuk rasa yang berlebihan.
Di lain pihak, unjuk rasa merupakan elemen komunikasi yang sangat penting dalam advokasi dan umumnya digunakan untuk mengangkat suatu isu agar menjadi perhatian publik. Biasanya unjuk rasa bertujuan untuk menekan pembuat keputusan untuk melakukan sesuatu, menunda ataupun menolak kebijakan yang akan dilakukan pembuat keputusan meskipun tidak semua pendapat yang disampaikan tidak didengar ataupun tidak sesuai dengan harapan. Keadaan seperti ini ditambah dengan faktor-faktor lain seperti adanya hasutan dari pihak-pihak tertentu untuk melakukan tindakan anarki, ataupun karena adanya perasaan frustrasi akibat suatu keadaan, maka timbullah anarki.
Unjuk rasa massal atau demonstrasi terjadi karena digerakkan oleh rasa tidak puas terhadap keadaan ekonomi, sosial, politik yang dialami. Jika unjuk rasa pada satu tempat berjalan tertib dan teratur, di tempat lain terjadi bentrokan fisik antara pengunjuk rasa dengan kekuatan-kekuatan keamanan. Di seluruh dunia, hampir tidak ada negara dewasa ini yang pada suatu atau lain waktu yang luput dari gejala unjuk rasa kolektif penuh luapan emosi, dan terkadang disertai dengan bermacam cara terorisme.
Yap Thiam Hiem mengatakan bahwa jika bertolak dari kenyataan bahwa para pengunjuk rasa terutama terdiri dari orang yang kecewa dan tidak puas dan bahwa mereka terlibat atas kemauan sendiri, maka di sini diandaikan: 1) bahwa rasa kecewa dan tidak puas itu sendiri dapat muncul tanpa dorongan dari luar, melahirkan sifat-sifat khas; 2) bahwa teknik paling ampuh untuk mempengaruhi orang pada dasarnya adalah menanamkan sampai kuat berakar semua bibit tingkah laku dan berbagai reaksi yang sudah ada dalam jiwa orang yang kecewa dan tidak puas itu.
Selanjutnya Eric Hoffer mengatakan bahwa ada gerakan unjuk rasa yang baik. Ini memang fakta yang tepat karena bila semua gerakan unjuk rasa mempunyai sifat dan maksud negatif, pasti semua pemerintah di dunia sudah dan akan melarangnya. Pemerintah dari negara-negara Barat misalnya, mengerti bahwa unjuk rasa tidak jarang mempunyai tuntutan yang sah dan benar. Juga merupakan realisasi hak asasi manusia untuk mengutarakan pendapat yang perlu dijamin. Sehingga masalahnya hanya bagaimana menyalurkan dan mengawasi gerakan tersebut agar berjalan tertib dan damai.
Mendukung pandangan Hoffer, dapat dikatakan bahwa unjuk rasa merupakan gejala universal di zaman modern ini. Dunia mengenal berbagai revolusi yang digerakkan oleh agama, nasionalisme, atau kekuatan-kekuatan sosial-politik-ekonomi yang menuntut reformasi, kemerdekaan, keadilan, peningkatan, dan jaminan martabat serta harkat manusia perorangan atau kelompok. Dengan demikian, faktor-faktor yang dapat menyebabkan timbulnya gerakan unjuk rasa antara lain adalah:
  1. Adanya perasaan kecewa dan tidak puas atas terjadinya ketimpangan dan ketidakadilan di bidang sosial, politik, dan ekonomi, atau karena saluran demokrasi yang tersumbat.
  2. Sangat kurangnya perhatian pemerintah terhadap ekonomi rakyat.
  3. Tidak dihormatinya lagi norma-norma adat setempat.
4.      Tidak adanya kemandirian hukum, karena hukum telah dikendalikan oleh kekuasaan.
Unjuk rasa umumnya dilakukan oleh kelompok mahasiswa yang menentang kebijakan pemerintah atau para buruh yang tidak puas dengan perlakuan majikannya. Aksi ini kadang berakhir dengan pengrusakan terhadap benda-benda oleh karena keinginan menunjukkan pendapat para pengunjuk rasa yang berlebihan. Sebagai bentuk ekspresi berpendapat dalam ranah demokrasi, unjuk rasa adalah hak warga negara. Tetapi, inilah hak yang bisa mengerikan, karena umumnya unjuk rasa yang melibatkan ribuan orang berlangsung dengan tanpa arah dan dapat berujung anarki sehingga menimbulkan tindak pidana. Padahal, unjuk rasa adalah hak demokrasi yang dapat dilaksanakan dengan tertib, damai, dan intelek.
Pilihan melakukan unjuk rasa merupakan media dan sarana penyampaian gagasan atau ide-ide yang dianggap benar dan berupaya mempublikasikannya dalam bentuk pengerahan massa. Unjuk rasa juga merupakan sebuah sarana atau alat yang terkait dengan tujuan digunakannya sarana atau alat tersebut dan cara penggunaannya. Sebagaimana misalnya internet, dapat digunakan sebagai alat komunikasi, tetapi dapat juga digunakan untuk untuk mencuri agar cepat kaya. Sehingga niat atau motivasi sangat menentukan arah dan hasil unjuk rasa.
Dengan demikian, unjuk rasa dapat bernilai positif dan dapat juga bernilai negatif. Artinya bahwa ketika unjuk rasa itu menjunjung tinggi demokrasi, maka dipandang sebagai hal positif dan memiliki nilai di mata masyarakat. Namun ketika unjuk rasa mengabaikan demokrasi maka masyarakat akan memandangnya sebagai hal yang tercela ataupun negatif. Sebagai salah satu sarana demokrasi maka idealnya unjuk rasa harus berhenti ketika pendapat sudah disampaikan.
Kehidupan politik yang demokratis tidak melarang unjuk rasa sebagai upaya menyampaikan aspirasi dan menuntut kepentingan. Unjuk rasa atau demonstrasi merupakan ciri kehidupan masyarakat demokratis, sehingga muncul ungkapan “demokrasi tanpa demonstrasi ibarat masakan kurang garam, hambar”. Demonstrasi merupakan aksi yang sah saja dilakukan sepanjang tidak keluar dari koridor demokrasi. Demonstrasi dan demokrasi bisa diibaratkan perceraian dalam agama Islam, dihalalkan tetapi kalau bisa jangan dilakukan.
Pemimpin yang arif akan melihat unjuk rasa sebagai salah satu wujud nyata kepedulian masyarakat terhadap perkembangan dan nasib bangsa, sikap ingin memperbaiki keadaan, sikap solidaritas terhadap penderitaan rakyat kecil. Aksi unjuk rasa atau demonstrasi menjadi pertanda bahwa masih ada aspirasi masyarakat yang tidak tersampaikan. Dengan demikian, unjuk rasa merupakan salah satu bentuk aktivitas atau partisipasi politik dalam melihat persoalan masyarakat, bangsa dan negara. Selain itu, aksi unjuk rasa merupakan jalan cepat dan pintas untuk segera mendapat perhatian yang berwenang setelah jalur yang ada atau birokrasi yang dinilai lamban.
Bagi bangsa Indonesia, berakhirnya era pemerintahan Orde Baru membawa pengalaman baru bagi masyarakat, yakni terjaminnya kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Ini dimungkinkan dengan berlakunya Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Sebelum undang-undang tersebut ada, persoalan menyampaikan pendapat di muka umum ini hanya diatur dalam Pasal 28 UUD 1945. Pasal itu menyebutkan bahwa kebebasan berserikat, berkumpul, dan kebebasan menyampaikan pikiran serta tulisan dijamin oleh negara dengan berdasarkan undang-undang yang berlaku. Namun, undang-undangnya sendiri tidak pernah dibuat oleh pemerintahan Orde Baru. Meski demikian, sangat jarang terjadi aksi unjuk rasa besar-besaran. Aksi-aksi yang dilancarkan kebanyakan bersifat terbatas dalam aspek peserta yang tidak banyak, lokasi yang terbatas, biasanya di pelataran kampus untuk aksi-aksi unjuk rasa oleh mahasiswa, serta di pelataran pabrik atau kantor jika aksi unjuk rasa itu dilancarkan buruh.
Permasalahan yang mengemuka seputar aksi unjuk rasa dan penanganannya adalah bagaimana sepatutnya penegak hukum menghadapi aksi unjuk rasa. Tindakan ini mencakup dari kesiapan undang-undang, personel, dan peralatan, hingga ke tindakan di lapangan. Penegak hukum, dalam pembubaran aksi yang sah tetapi nonkekerasan, harus menghindari penggunaan kekerasan. Jika hal itu tidak dapat dilaksanakan, harus membatasi kekerasan tersebut sekecil mungkin yang diperlukan.
Pemandangan yang seringkali terjadi kini adalah aksi unjuk rasa yang berakhir dengan kekerasan. Polisi bentrok dengan pengunjuk rasa. Terjadinya bentrokan disebabkan adanya ketidakpuasan pengunjuk rasa yang menilai aspirasi mereka diabaikan. Namun, ketidakpuasan itu sebaiknya disampaikan tanpa kemarahan, apalagi perusakan dan pembakaran terhadap sarana umum. Selain itu, pengunjuk rasa tidak boleh sampai terprovokasi dan tetap menjaga ketertiban.
C.     Perspektif Hukum Islam tentang Unjuk Rasa dan Menghujat
1.       Hukum Islam tentang Unjuk Rasa
Sebagaimana telah dipaparkan, melalui media cetak maupun elektronik, hampir setiap hari dapat disaksikan bertebarannya aksi massa dalam bentuk unjuk rasa, demonstrasi, dan bahkan kerusuhan. Hal ini dimotivasi oleh berbagai faktor, baik sosial, ekonomi, politik, budaya, maupun agama. Aksi demo dan unjuk rasa ini tidak akan bisa dihentikan secara represif mengingat kondisi keadilan belum tertuntaskan secara memadai.
Pilihan unjuk rasa adalah wajar dan bahkan dapat menjadi pilihan satu-satunya untuk mengungkapkan aspirasi yang tersumbat oleh sistem maupun oleh mentalitas para pejabat negara dalam iklim demokrasi saat ini. Oleh karena itu, tidak ada jaminan bahwa unjuk rasa akan hilang dengan sendirinya manakala sistem telah ditata sedemikian rupa. Sebab, tarik-menarik kepentingan akan selalu menghiasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Di samping juga, demonstrasi dapat menjadi alat kontrol terhadap kekuasaan, yakni sebagai kekuatan check and balance, sebagai kekuatan pengimbang, agar tidak terjadi ketimpangan yang destruktif.
Pada kenyataannya, ulama tidak sependapat tentang kebolehan unjuk rasa. Beberapa pendapat yang mengharamkan aksi unjuk rasa misalnya dikeluarkan oleh Majelis Fatwa Ulama Arab Saudi yang berpijak pada pendapat beberapa tokoh ulama seperti Muhammad bin ālih al-‘Uaimin, ’Abd al-’Azīz bin Bāż, al-Alāmah Amad bin Yayā Muhammad al-Najmi, dan Muhammad Nair al-Dīn al-Albānī. Keharaman ini mengacu pada QS al-Nahl/16: 125 dan hadis riwayat Ahmad.
ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ ﴿١٢٥﴾
Terjemahnya:
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
أَوَلَمْ تَسْمَعْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ
Artinya:
Barang siapa yang hendak menasihati penguasa pada suatu masalah, maka janganlah dia tampakkan dengan terang-terangan. Akan tetapi, hendaklah ia pegang tangannya dan menyendiri dengannya. Kalau dia menerima (nasihat itu) maka itu bagus, namun jika tidak maka dia telah menunaikan kewajibannya untuk memberikan nasihat.
Pendapat senada yang mengharamkan unjuk rasa juga diungkapkan oleh Zubair Syarif, bahwa unjuk rasa atau demonstrasi itu haram dan tidak bisa digunakan untuk memerangi kezaliman, karena unjuk rasa bisa menimbulkan fitnah. Fitnah yang ditimbulkan oleh pengunjuk rasa kepada khalayak dengan mencari-cari aib orang lain, dalam hal ini penguasa. Meskipun penguasa tersebut berlaku zalim, nasihat yang diberikan harus tetap dengan cara yang baik dan jangan sampai dengan kekerasan. Unjuk rasa yang dilakukan di tempat umum dapat menyebarkan dan membuka aib pemerintah serta dapat menimbulkan fitnah lebih besar dari permasalahan tersebut. Tidak ada ada dalam aturan Islam merubah keadaan masyarakat dengan cara bergerombol, berteriak-teriak, dan demonstrasi (unjuk rasa). Apalagi bergerombol antara laki-laki dan perempuan saling bersenggolan. Unjuk rasa merupakan tindakan kemungkaran, kemungkaran-kemungkaran dalam unjuk rasa ialah:
-          Bentuk tasyābuh dengan orang-orang kafir.
-          Termasuk khurūj (menentang pemerintah).
-          Menceritakan aib pemerintah di depan umum.
-          Ikhtilāt (bercampurnya laki-laki dan perempuan).
-          Tindak anarkis yang ditimbulkan.
Mengkaji pendapat Zubair Syarif, aksi unjuk rasa diakui dapat menimbulkan suatu tindakan anakis serta kemungkinan digunakan sebagai fitnah atas seseorang maupun pemerintahan, sehingga unjuk rasa tidak bisa untuk berdakwah. Akan tetapi harus dilihat bahwa unjuk rasa yang berlangsung anarkis maupun menjadi suatu fitnah disebabkan beberapa hal. Salah satu penyebabnya sikap represif aparat (militer) atau dilakukan oleh pihak yang didemo. Unjuk rasa/demonstrasi yang sejatinya digunakan untuk menyampaikan aspirasi itu dihalang-halangi atau ditindak dengan kekerasan, sebagai contoh tragedi Semanggi pada tahun 1998 di Jakarta. Pada waktu itu para pengunjuk rasa ditembaki oleh aparat, sehingga berujung dengan terjadi chaos.
Pendapat lain mengatakan bahwa ketika suatu hal yang tidak akan tercapai dan terlaksana kecuali dengannya (unjuk rasa), maka hal tersebut menjadi wajib. Sehingga unjuk rasa dapat menjadi sarana untuk amar makruf nahi munkar. Pusat konsultasi syariah dalam website syariah online mengatakan bahwa unjuk rasa dapat dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan dakwah, amar makruf nahi mungkar, menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Unjuk rasa juga dapat dijadikan strategi untuk mencapai sasaran dakwah. Efektivitas dakwah mempunyai dua strategi yang saling mempengaruhi keberhasilannya. Pertama, peningkatan kualitas keberagamaan, kedua, sekaligus mendorong perubahan sosial. Output dari unjuk rasa adalah perubahan kebijakan, karena unjuk rasa merupakan alat prsesure (tekan) terhadap kebijakan negara yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Oleh sebab itu, diperlukan usaha terus menerus dalam rangka menggerakkan perubahan. Sebagaimana firman Allah dalam QS Āli Imrān/3: 104.
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ﴿١٠٤﴾
Terjemahnya:
Hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.
Menyitir pendapat al-Ghazālī dalam kaitan pandangan Islam terhadap negara, bahwa negara akan eksis dengan fondasi agama, dan agama akan jaya apabila ditopang oleh negara (al-mulk bi al-dīn yabqa, wa al-dīn bi al-mulk yaqwa). Ungkapan ini adalah penggambaran relasi agama dan negara dalam satu simbiosis mutualisme, dalam relasi yang saling menguntungkan. Sebab, negara dipandang sebagai jaminan bagi ketertiban pelaksanaan agama. Akan tetapi, yang paling substansial dalam pandangan Islam adalah bahwa eksistensi negara mendapat pengabsahan sejauh ia menjadi alat untuk mewujudkan kemaslahatan bersama. Maka, dalam fikih politik atau fiqh siyāsah, ditemukan satu doktrin yang menyatakan bahwa mendirikan negara baik secara syar’i maupun ‘aqli merupakan fardu kifāyah, dan dalam rangka mewujudkan negara sebagai alat untuk mewujudkan kemaslahatan bersama itulah, hukum Islam tidak mengenal kekuasaan tak terbatas pemerintah. Hukum Islam memandang bahwa kekuasaan kepala negara harus dibatasi.
Pada intinya, ada beberapa prinsip yang ditetapkan oleh Islam yang membatasi kewenangan dan kekuasaan para penguasa, yaitu musyawarah (syura), berbuat adil, persamaan di depan hukum (al-musāwah amāma al-qanūn), memelihara hak asasi manusia (al-muhāfażah ‘alā karāmat al-insān), menjamin kemerdekaan rakyat dalam berakidah dan berpendapat (hurriyah al-aqīdah wa al-fikr wa al-qawl), serta kontrol dari rakyat dan pertanggungjawaban pemerintah (riqābah al-ummah wa mas’ulīyat al-hakīm).
Mengutip Wahbah al-Zuhaylī dalam al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhu, Said Aqil berpendapat bahwa kebebasan berpendapat merupakan prinsip yang dikedepankan oleh Islam. Prinsip ini menuntut seseorang untuk tegas menyatakan kebenaran tanpa takut kepada siapa pun, meskipun menyangkut pemerintah. Ini pula yang pernah ditunjukkan oleh para sahabat. Seusai dilantik sebagai khalifah, ‘Umar ibn al-Khaṭṭāb berpidato di depan rakyatnya: “Rakyatku, siapa saja melihat ada yang menyimpang pada diriku, hendaklah kalina meluruskannya”. Dengan serta merta Hużaifah ibn al-Yamān menimpali, “Demi Allah, wahai Amirul Mukminin, kalau saja aku dapatkan ada yang bengkok dan menyimpang pada dirimu, maka aku sendiri yang akan meluruskannya dengan pedangku ini”. Menanggapi orang ini, ‘Umar berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan ada orang di antara umat ini yang mau meluruskan kebengkokan ‘Umar dengan pedangnya”.
Inilah prinsip utama yang secara efektif mampu membatasi kekuasaan pemerintah menurut Islam. Selama pemerintah melaksanakan prinsip-prinsip kebajikan, rakyat dituntut untuk taat kepada pemerintah. Ada dua hak pemerintah ketika pemerintahannya dipandang absah, yaitu ditaati oleh rakyat dan mendapat dukungan rakyat dalam kebajikan-kebajikan yang ditempuhnya. Namun jika pemerintah sudah menyimpang dari garis-garis tersebut, rakyat pun punya hak untuk mengontrol, mengoreksi, dan jika perlu mengganti penguasa bersangkutan. Hal ini pula yang ditegaskan dalam hadis Nabi saw. tentang jihad yang utama.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَادَةَ الْوَاسِطِيُّ حَدَّثَنَا يَزِيدُ يَعْنِي ابْنَ هَارُونَ أَخْبَرَنَا إِسْرَائِيلُ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جُحَادَةَ عَنْ عَطِيَّةَ الْعَوْفِيِّ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ أَوْ أَمِيرٍ جَائِرٍ
Artinya:
Jihad yang paling utama adalah berkata benar di hadapan penguasa yang zalim.
Dari empat pembagian jihad menurut Ibnu Rusyd, hadis tersebut termasuk dalam kategori jihād bi al-lisān. Yaitu, mengajak manusia melakukan perbuatan yang diperintahkan Allah dan mencegah segala bentuk kemungkaran, seperti bersikap kritis terhadap ketimpangan sosial dan memberikan solusinya. Mengutip pandangan ‘Abd. al-Qādir ‘Awdah, dalam al-Tasyri’ al-Jinā’i fi al-Islām, dikatakan bahwa rakyat diperbolehkan untuk mendongkel penguasa yang menyeleweng karena dianggap tidak lagi melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Sampai pada titik ekstrim ini, fikih masih memberi pengabsahan. Semua ini karena besarnya semangat fikih untuk menciptakan harmoni dan keadilan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Pemerintah melindungi rakyat secara serius dan rakyat patuh terhadap pemerintah yang mengayomi mereka. Dengan demikian, tercipta hubungan yang harmonis antara pemerintah dan rakyat.
Tetapi jika melihat realitas yang terjadi dewasa ini, kehidupan saat ini banyak diwarnai oleh kecurigaan, saling menyalahkan, su’użan, dan seterusnya. Hal ini menimbulkan iklim yang tidak sehat. Pemerintah menyalahkan rakyat, dan begitupula sebaliknya rakyat menyalahkan pemerintah. Kondisi seperti inilah yang disinyalir oleh Nabi saw. dalam hadisnya sebagaimana diriwayatkan oleh Amad bin Hanbal.
حَدَّثَنَا يَزِيدُ قَالَ أَنْبَأَنَا فَرَجُ بْنُ فَضَالَةَ عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ يَزِيدَ عَنْ مُسْلِمِ بْنِ قَرَظَةَ عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خِيَارُكُمْ وَخِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَشِرَارُكُمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا لَكُمْ الْخَمْسَ أَلَا وَمَنْ عَلَيْهِ وَالٍ فَرَآهُ يَأْتِي شَيْئًا مِنْ مَعَاصِي اللَّهِ فَلْيَكْرَهْ مَا أَتَى وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَتِهِ
Artinya:
Sebaik-baik pemimpin adalah yang kalian cintai dan mencintai kalian, kalian doakan dan mendoakan kalian, sejelek-jelek pemimpin adalah yang kalian benci dan membenci kalian, kalian maki dan memaki kalian. Kami bertanya: Bolehkah kami menentang mereka saat itu? Rasulullah saw. menjawab: Tidak, selama mereka menegakkan salat. Ingatlah, siapa pun yang dipimpin oleh seorang pemimpin lalu ia melihatnya melakukan suatu kemaksiatan terhadap Allah, hendaklah ia membenci kemaksiatan yang dilakukannya dan jangan tidak mentaatinya.
Pada intinya, keadilan adalah satu prinsip yang harus dipegang oleh pemerintah mana pun. Jika prinsip ini diabaikan, hukum Islam akan bersuara, dan membolehkan tindakan koreksi kepada pemerintah untuk kembali menuntut keadilan. Namun, bukan berarti hukum Islam merestui tindakan demonstrasi yang menjurus pada tindakan destruktif dan anarkis. Hukum Islam respek terhadap gerakan massa yang tidak merusak atau mudarat. Sebab, apa pun yang menimbulkan mudarat jelas tidak akan dibenarkan, meskipun tujuannya untuk menghilangkan kemudaratan seperti penyelewengan dan ketidakadilan
Berkaitan dengan itu, terdapat kaidah fikih yang menyatakan bahwa kemudaratan tidak boleh dihilangkan dengan kemudaratan serupa (al-arār lā yuzālu bi al-arār). Toleransi fikih dalam hal ini adalah gerakan yang bertujuan menghilangkan kemungkaran atau mengoreksi para penguasa yang keluar dari prinsip-prinsip pemerintahan, tanpa menimbulkan kerusakan. Justru ketika rakyat diam, pasrah terhadap nasib dan tidak berupaya mendapatkan haknya dalam situasi ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah, maka sikap rakyat seperti inilah yang perlu diubah.
Sebagai negara yang masih dalam tahap belajar berdemokrasi, muslim sebagai umat mayoritas di Indonesia menyadari bahwa multikulturalisme di Indonesia bukanlah sebuah tragedi, melainkan sebuah potensi yang dapat dijadikan instrumen untuk menciptakan kehidupan yang kreatif, inovatif, dan kompetitif. Demokrasi merupakan salah satu instrumen yang dapat dioptimalkan untuk mengimplementasikan nilai perbedaan. Dengan demikian umat Islam semakin cerdas dalam memahami nilai agamanya di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara serta lebih percaya diri dalam menempatkan diri di tengah sistem kehidupan tanpa harus menanggalkan nilai-nilai keagamaan.
Oleh karena itu, dalam berdemokrasi yang baik, umat Islam tidak perlu mencederai nilai-nilai agama. Sebaliknya, umat Islam membutuhkan upaya eksplorasi nilai-nilai keagamaan untuk diwujudkan dalam perilaku dan tata nilai berdemokrasi. Menurut Said Aqid, hal tersebut dapat dilakukan dengan langkah-langkah aplikatif berikut:
1.      Memahami orang lain (rūh ta’addudīyah).
  1. Mengembangkan dan melestarikan tradisi (rūh waanīyah).
  2. Menjaga komitmen kemanusiaan dalam berbangsa dan bernegara (rūh al-insanīyah).
4.      Memahami ideologi lain (rūh al-tadayyun).
Dengan keempat langkah aplikatif tersebut, diharapkan setiap keragaman, perbedaan pandangan, kesalahpahaman, dan setiap hal yang dapat memicu konflik di tengah umat dapat diminimalisir. Berpolitik memang menjadi hak setiap warga negara, Rasulullah saw. pun adalah sosok figur yang lengkap; Rasul, kepala rumah tangga, ulama, negarawan bahkan politikus. Namun dalam hal politik Nabi saw. senantiasa mengedepankan aspek etika dalam berpolitik. Hal ini terbukti bahwaNabi saw. tidak pernah menghujat, mencaci, mencela, juga tidak pernah mengadakan konspirasi untuk menjungkal lawan-lawan politiknya. Akan tetapi Nabi saw. lebih suka melakukan ilah (rekonsilisasi), seperti yang terjadi dalam kasus Perjanjian Hudaibiyah. Oleh karena itu jika mengambil contoh kepada sosok Rasulullah saw. maka saling menghujat, saling berburuk sangka, harus dihindari. Sudah saatnya untuk bangkit dari keterpurukan dan bersatu padu untuk memulihkan puing-puing kehancuran akibat permusuhan yang seakan tiada henti.
Ketika unjuk rasa tersebut menghendaki perubahan kebijakan, maka unjuk rasa tersebut merupakan bagian dari gerakan perubahan. Aksi dan jalan ke arah perubahan merupakan satu kesatuan, aksi tanpa makna bila tanpa arah perubahan. Aksi adalah mutlak untuk mencapai perubahan, adanya aksi menjadi cermin dari sikap bulat menolak ketidakadilan, adanya kehendak untuk berubah. Perubahan baru dapat terlaksana bila dipenuhi dua syarat pokok: pertama, adanya nilai atau ide; kedua, adanya pelaku yang menyesuaikan diri dengan nilai-nilai tersebut. Maka dari itu demonstrasi dapat menjadi alat mendorong suatu perubahan yang dicita-citakan dengan menumpahkan ide gagasan tentang suatu hal yang dianggap salah menurut ajaran agama, yang kemudian diaplikasikan ke dalam sebuah demonstrasi untuk menyuarakan kebatilan dan kebenaran Tuhan. Dengan maksud untuk menuntut serta menasehati agar penguasa atau kelompok yang berbuat zalim kembali ke jalan yang benar, karena perubahan tidak akan terjadi apabila hanya menjadi sebuah angan-angan tanpa ada aksi nyata.
  1. Hukum Islam tentang Menghujat
             Secara garis besar fungsi agama (Islam) bagi kehidupan manusia dapat dilihat dari aspek personal dan sosial. Dari aspek personal, agama berfungsi memenuhi kebutuhan yang bersifat individual, misalnya kebutuhan akan keselamatan, kebermaknaan hidup, pembebasan dari rasa bersalah, kekhawatiran menghadapi maut dan kehidupan sesudahnya, dan sebagainya. Sementara dari aspek sosial, agama berfungsi memberi penyadaran tentang peran sosial manusia dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat. Ikatan persaudaraan (al-ukhuwwah) yang menimbulkan kohesi kuat, kesadaran akan keberagaman, hubungan transaksional, dan berbagai macam penyelesaian masalah-masalah sosial menjadi bidang tugas dari agama dalam menciptakan keharmonisan dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial.
            Aspek personal berkaitan dengan kesalehan individual. Ketaatan menjalankan ajaran agama yang bersifat personal mencerminkan kesalehan individual. Setiap individu harus mempresentasikan diri sebagai hamba yang senantiasa memelihara hubungannya dengan al-Khālik. Sedangkan aspek sosial berkaitan dengan kesalehan sosial, misalnya memelihara hubungan interpersonal yang harmonis dengan sesama manusia, saling menolong dalam kebaikan, dan peran sosial lainnya yang diajarkan oleh agama. Terkait dengan itu, fungsi agama dari aspek sosial dapat dielaborasi menjadi beberapa kategori antara lain: 1) fungsi ukhuwah; 2) fungsi kontrol sosial; dan 3) fungsi penyadaran peran sosial.
            Agama mempersaudarakan antarsesama seiman apa pun etnis, bahasa, atau warna kulitnya. Potensi-potensi yang dapat mengancam keretakan kohesi persaudaraan (ukhuwah) harus direduksi dengan upaya-upaya semacam ila. Allah berfirman dalam QS al-Hujurāt/49: 10-12 sebagai berikut:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ ﴿١٠﴾ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَومٌ مِّن قَوْمٍ عَسَى أَن يَكُونُوا خَيْراً مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاء مِّن نِّسَاء عَسَى أَن يَكُنَّ خَيْراً مِّنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الاِسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ ﴿١١﴾ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيراً مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضاً أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتاً فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ ﴿١٢﴾
Terjemahnya:
Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat (10).
Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum menghina kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang dihina) lebih baik dari mereka (yang menghina) dan jangan pula para perempuan (menghina) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang dihina) lebih baik dari perempuan (yang menghina) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim (11).
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang (12).
            Begitupula firman Allah dalam QS al-Mu’minūn/23: 3.
وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ ﴿٣﴾
Terjemahnya:
Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.
Agama juga memberi legitimasi untuk melakukan kontrol terhadap perilaku sosial masyarakat. Setiap sikap dan perilaku anggota masyarakat harus sejalan dengan norma-norma agama. Sikap dan perilaku yang baik atau sejalan dengan norma agama maka harus didukung, sementara sikap dan perilaku buruk atau bertentangan dengan norma agama harus dihentikan. Fungsi ini oleh Alquran diperkenalkan dengan istilah “amar makruf nahi munkar”.
            Persatuan dan kesatuan antar sesama manusia tidak mungkin dapat terwujud jika tidak ada semangat persaudaraan. ‘Abdullāh Yūsuf ‘Ālī dalam menafsirkan ayat tersebut menyatakan bahwa pelaksanaan atau perwujudan persaudaraan Muslim (Muslim Brotherhood) merupakan ide sosial yang paling besar dalam Islam. Islam tidak dapat direalisasikan jika ide besar ini tidak berhasil diwujudkan.
Ayat-ayat yang terdapat dalam surah al-Hujurāt ini secara umum berisi tentang petunjuk kepada masyarakat Muslim khususnya, dan masyarakat manusia pada umumnya. ayat-ayat tersebut berisi tentang kode etik warga masyarakat Muslim yang di antaranya adalah bahwa mereka tidak boleh saling melecehkan dan menghina, karena boleh jadi yang dilecehkan itu lebih baik dari yang melecehkan. Sesama orang yang beriman juga tidak boleh saling berprasangka buruk dan meng-ghibah.
Melengkapi ayat tersebut, dalam beberapa hadisnya Rasulullah saw. bersabda:
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
Artinya:
Hakikat seorang Muslim adalah seseorang yang orang Muslim lainnya selamat atau terhindar dari lisan dan tangannya.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سِنَانٍ حَدَّثَنَا فُلَيْحُ بْنُ سُلَيْمَانَ حَدَّثَنَا هِلَالُ بْنُ عَلِيٍّ عَنْ أَنَسٍ قَالَ لَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاحِشًا وَلَا لَعَّانًا وَلَا سَبَّابًا كَانَ يَقُولُ عِنْدَ الْمَعْتَبَةِ مَا لَهُ تَرِبَ جَبِينُهُ
Artinya:
Rasulullah saw. tidak pernah berkata keji, melaknat, dan mencela. Apabila beliau hendak mencela, maka beliau akan berkata (dengan bahasa sindiran): mengapa dahinya berdebu.
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ وَابْنُ حُجْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ يَعْنُونَ ابْنَ جَعْفَرٍ عَنْ الْعَلَاءِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُسْتَبَّانِ مَا قَالَا فَعَلَى الْبَادِئِ مَا لَمْ يَعْتَدِ الْمَظْلُومُ
Artinya:
Apabila ada dua orang yang saling mencaci maki, maka cacian yang diucapkan oleh keduanya itu, dosanya akan ditanggung oleh orang yang memulai cacian selama orang yang dizalimi itu tidak melampaui batas.
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ أَنْ يَلْعَنَ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ يَلْعَنُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قَالَ يَسُبُّ الرَّجُلُ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ وَيَسُبُّ أُمَّهُ
Artinya:
Sesungguhnya termasuk dosa besar adalah seseorang melaknat kedua orang tuanya sendiri. Beliau ditanya, kenapa hal itu bisa terjadi wahai Rasulullah? Beliau menjawab: Seseorang mencela ayah orang lain, kemudian orang tersebut membalas mencela ayah dan ibu orang yang pertama.
حَدَّثَنَا مُعَلَّى بْنُ أَسَدٍ حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ ثَابِتِ بْنِ الضَّحَّاكِ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ مِلَّةِ الْإِسْلَامِ فَهُوَ كَمَا قَالَ قَالَ وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَيْءٍ عُذِّبَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ وَلَعْنُ الْمُؤْمِنِ كَقَتْلِهِ وَمَنْ رَمَى مُؤْمِنًا بِكُفْرٍ فَهُوَ كَقَتْلِهِ
Artinya:
Barangsiapa bersumpah dengan agama selain agama Islam, maka dia seperti yang dikatakannya, dan barangsiapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu, ia disiksa di neraka jahannam dengan sesuatu yang digunakannya untuk bunuh diri, dan melaknat seorang mukmin bagaikan membunuhnya, dan barangsiapa yang menuduh seorang mukmin dengan kekafiran, maka dia seperti membunuhnya.
حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصٍ حَدَّثَنِي أَبِي حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ حَدَّثَنَا شَقِيقٌ قَالَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
Artinya:
Mencela orang Muslim adalah kefasikan, dan memeranginya adalah kekufuran.
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ خِلَالٌ مِنْ خِلَالِ الْجَاهِلِيَّةِ الطَّعْنُ فِي الْأَنْسَابِ وَالنِّيَاحَةُ وَنَسِيَ الثَّالِثَةَ قَالَ سُفْيَانُ وَيَقُولُونَ إِنَّهَا الِاسْتِسْقَاءُ بِالْأَنْوَاءِ
Artinya:
Kebiasaan yang masih ada pada umat ini dari kebiasaan jahiliah adalah mencela keturunan dan meratapi kematian.
سَمِعَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَيْسَ الْكَذَّابُ الَّذِي يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ فَيَنْمِي خَيْرًا أَوْ يَقُولُ خَيْرًا
Artinya:
Bukanlah disebut pendusta orang yang menyelesaikan perselisihan di antara manusia lalu dia menyampaikan hal-hal yang baik (dari satu pihak yang bertikai) atau dia berkata hal-hal yang baik.
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا أَبُو الْأَحْوَصِ عَنْ أَبِي حَصِينٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يُؤْذِ جَارَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
Artinya:
Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah ia mengganggu tetangganya, barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya, dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia berkata baik atau diam.
حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ سَعِيدٍ الْأَيْلِيُّ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي سُلَيْمَانُ وَهُوَ ابْنُ بِلَالٍ عَنْ الْعَلَاءِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ حَدَّثَهُ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَنْبَغِي لِصِدِّيقٍ أَنْ يَكُونَ لَعَّانًا حَدَّثَنِيهِ أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ مَخْلَدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جَعْفَرٍ عَنْ الْعَلَاءِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بِهَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ
Artinya:
Tidak boleh orang yang jujur itu suka melaknat.
حَدَّثَنِي سُوَيْدُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنِي حَفْصُ بْنُ مَيْسَرَةَ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ أَنَّ عَبْدَ الْمَلِكِ بْنَ مَرْوَانَ بَعَثَ إِلَى أُمِّ الدَّرْدَاءِ بِأَنْجَادٍ مِنْ عِنْدِهِ فَلَمَّا أَنْ كَانَ ذَاتَ لَيْلَةٍ قَامَ عَبْدُ الْمَلِكِ مِنْ اللَّيْلِ فَدَعَا خَادِمَهُ فَكَأَنَّهُ أَبْطَأَ عَلَيْهِ فَلَعَنَهُ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَتْ لَهُ أُمُّ الدَّرْدَاءِ سَمِعْتُكَ اللَّيْلَةَ لَعَنْتَ خَادِمَكَ حِينَ دَعَوْتَهُ فَقَالَتْ سَمِعْتُ أَبَا الدَّرْدَاءِ يَقُولُا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَكُونُ اللَّعَّانُونَ شُفَعَاءَ وَلَا شُهَدَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَأَبُو غَسَّانَ الْمِسْمَعِيُّ وَعَاصِمُ بْنُ النَّضْرِ التَّيْمِيُّ قَالُوا حَدَّثَنَا مُعْتَمِرُ بْنُ سُلَيْمَانَ ح و حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ كِلَاهُمَا عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ فِي هَذَا الْإِسْنَادِ بِمِثْلِ مَعْنَى حَدِيثِ حَفْصِ بْنِ مَيْسَرَةَ
Artinya:
Sesungguhnya para pelaknat itu tidak dapat menjadi saksi dan tidak pula dapat memberi syafaat pada hari kiamat kelak.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى الْأَزْدِيُّ الْبَصْرِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَابِقٍ عَنْ إِسْرَائِيلَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ عَلْقَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ الْمُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَلَا اللَّعَّانِ وَلَا الْفَاحِشِ وَلَا الْبَذِيءِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ وَقَدْ رُوِيَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ مِنْ غَيْرِ هَذَا الْوَجْهِ
Artinya:
Bukanlah termasuk hamba yang mukmin, yaitu mereka yang selalu mengungkap aib, melaknat, berperangai buruk, dan suka menyakiti.
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَسَّانَ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ رَبَاحٍ قَالَ سَمِعْتُ نِمْرَانَ يَذْكُرُ عَنْ أُمِّ الدَّرْدَاءِ قَالَتْ سَمِعْتُ أَبَا الدَّرْدَاءِ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا لَعَنَ شَيْئًا صَعِدَتْ اللَّعْنَةُ إِلَى السَّمَاءِ فَتُغْلَقُ أَبْوَابُ السَّمَاءِ دُونَهَا ثُمَّ تَهْبِطُ إِلَى الْأَرْضِ فَتُغْلَقُ أَبْوَابُهَا دُونَهَا ثُمَّ تَأْخُذُ يَمِينًا وَشِمَالًا فَإِذَا لَمْ تَجِدْ مَسَاغًا رَجَعَتْ إِلَى الَّذِي لُعِنَ فَإِنْ كَانَ لِذَلِكَ أَهْلًا وَإِلَّا رَجَعَتْ إِلَى قَائِلِهَا قَالَ أَبُو دَاوُد قَالَ مَرْوَانُ بْنُ مُحَمَّدٍ هُوَ رَبَاحُ بْنُ الْوَلِيدِ سَمِعَ مِنْهُ وَذَكَرَ أَنَّ يَحْيَى بْنَ حَسَّانَ وَهِمَ فِيهِ
Artinya:
Sesungguhnya apabila seorang hamba mengutuk sesuatu, naiklah kutukan itu ke langit, lalu ditutup pintu-pintu langit karenanya. Kemudian turun ke bumi, lalu ditutup pintu-pintunya karenanya. Kemudian ia bergerak ke kanan dan kiri, maka jika ia tidak menemukan tampat, niscaya ia kembali kepada yang dikutuk, jika ia pantas menerimanya, dan jika tidak niscaya ia kembali kepada yang mengucapkannya.
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ وَابْنُ حُجْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ عَنْ الْعَلَاءِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ
Artinya:
Apakah kamu tahu artinya ghibah (mengumpat)?”. Para sahabat menjawab: “Allah dan Rasul lebih mengetahui hal itu.” Kemudian Nabi saw. bersabda: “Engkau menuturkan perihal saudaramu yang tidak ia senangi”. Salah seorang sahabat menanyakan: “Barangsiapa jika yang kututurkan mengenai saudaraku itu benar-benar?”. Beliau menjawab: “Apabila apa yang kau tuturkan itu benar, berarti engkau telah membicarakannya (mengumpatnya), dan apabila apa yang kau tuturkan itu sebaliknya, maka engkau telah berkata bohong mengenai dirinya.
حَدَّثَنَا بَهْزٌ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ يَزِيدَ عَنْ عِيَاضِ بْنِ حِمَارٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُسْتَبَّانِ شَيْطَانَانِ يَتَكَاذَبَانِ وَيَتَهَاتَرَانِ
Artinya:
Dua orang yang saling mencaci maki adalah dua setan yang saling berkata-kata dusta dan saling meremehkan.
Setiap manusia selalu ingin dihormati, dihargai, dan diperlakukan dengan baik. Sebab, suatu masyarakat tidak akan terwujud secara apik dan damai, jika masing-masing anggotanya tidak bisa menghargai dan menghormati pihak lain. Maka, dalam konteks inilah, Islam menegakkan prinsip-prinsip dasar dalam bermasyarakat, yang dapat dipahami secara terbalik (mafhūm mukhālafah) dari QS al-Hujurāt/49: 11-12, yaitu:
  1. Dilarang menghina atau merendahkan martabat sesama manusia.
  2. Tidak boleh mencela/menghujat orang lain.
  3. Tidak boleh berprasangka buruk.
  4. Tidak boleh menebarkan fitnah, yaitu dengan mencari-cari kesalahan orang lain, terlebih terhadap sesama Muslim.
  5. Membicarakan kejelekan orang lain (ghibah).
Ajaran kemanusiaan ini, menurut Nurcholish Madjid akan membawa kepada suatu konsekuensi bahwa manusia harus melihat sesamanya secara optimis dan positif, dengan menerapkan prasangka baik, bukan prasangka buruk. Dengan demikian, tegaknya nilai-nilai hubungan sosial yang luhur tersebut adalah sebagai kelanjutan dari tegaknya nilai-nilai keadaban itu. Artinya, masing-masing pribadi atau kelompok, dalam suatu lingkungan interaksi sosial yang lebih luas, memiliki kesediaan memandang yang lain dengan penghargaan, tidak saling memaksakan kehendak, pendapat, atau pandangan sendiri.
Bahkan, dalam konteks pergaulan antar umat beragama, Islam memandang bahwa sikap tidak menghargai, tidak menghormati, melecehkan penganut agama lain, termasuk penghinaan terhadap simbol-simbol agama dianggap sebagai bentuk penghinaan terhadap Allah swt. Sebagaimana hal itu disinyalir dalam QS al-An’ām/6: 108.
وَلاَ تَسُبُّواْ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللّهِ فَيَسُبُّواْ اللّهَ عَدْواً بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ ﴿١٠٨﴾
Terjemahnya:
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.
Ayat tersebut memiliki keterkaitan dengan perintah untuk berpaling dari kaum musyrikin. Namun, bukan berarti berpaling dari berdakwah, akan tetapi berpaling dari mencaci maki, menghina, dan merendahkan mereka. Sebab, sikap ini akan berbalik kepada pelecehan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Adapun yang dimaksud sabb menurut al-Nawawī adalah setiap perkataan yang mengandung penghinaan dan pelecehan; mencela dan berbicara tentang kehormatan manusia dengan sesuatu yang mencelanya, dan al-fisq secara bahasa berarti keluar, dan yang dimaksud dengannya dalam syariat adalah keluar dari ketaatan. Maka mencela seorang muslim secara tidak benar adalah haram berdasarkan ijma ulama dan pelakunya adalah orang fasik. Oleh karena itu, tidak termasuk kategori sabb jika ucapan itu dimaksudkan untuk meluruskan pemikiran dan akidah yang salah, walaupun dengan sikap penghargaan. Juga tidak termasuk sabb perilaku sesat yang dilakukan oleh para penentang agama.
Ayat tersebut juga menegaskan bahwa amar makruf nahi munkar terkadang menjadi kontraproduktif atau menimbulkan mafsadat apabila seseorang tidak memberikan penjelasan secara benar dan tepat. Bahkan, menurut para ulama, tindakan pelecehan terhadap ajaran agama lain, termasuk simbol-simbol agama adalah haram. Dampak sosial dari sikap tersebut adalah akan lahir sikap saling membenci, saling mencurigai, yang pada gilirannya masyarakat tidak bisa hidup berdampingan secara damai.
Mengomentari hadis yang mengatakan “sesungguhnya para pelaknat itu tidak dapat menjadi saksi dan tidak pula dapat memberi syafaat pada hari kiamat kelak”, al-Nawawī mengatakan bahwa hadis tersebut gambaran bagi orang yang suka mengutuk di hari kiamat nanti, hadis ini merupakan larangan mengutuk, dan sesungguhnya orang yang berperilaku dengannya, tidak ada padanya sifat yang indah, karena mengutuk dalam doa dimaksudkan dengannya dijauhkan dari rahmat Allah swt. Mengutuk bukanlah termasuk akhlak orang-orang beriman yang digambarkan oleh Allah dengan sikap saling menyayangi di antara mereka dan tolong menolong di atas kebaikan dan takwa, dan menjadikan mereka bagaikan bangunan yang saling menguatkan satu sama lainnya, dan seperti satu jasab. Sesungguhnya seorang mukmin mencintai saudaranya apa-apa yang dia sukai untuk dirinya sendiri. Mengutuk sesama Mulim merupakan puncak boikot dan saling membelakangi.
Jika istilah menghujat ini diidentikkan dengan ghibah, al-Ghazālī mengungkapkan bahwa terjadinya ghibah disebabkan oleh beberapa faktor berikut:
1.      Menumbuhkan kemarahan terhadap orang yang di-ghibah.
  1. Menyesuaikan dengan teman-teman, bersikap baik kepada sahabat dan membantu mereka dalam pembicaraan.
  2. Bermaksud menyembunyikan aib sendiri.
  3. Melepaskan diri dari tuduhan aib yang ada pada diri peng-ghibah.
  4. Bermaksud membanggakan diri.
  5. Adanya kedengkian terhadap seseorang.
  6. Sekadar bersenda gurau.
8.      Memang bermaksud untuk mengejek seseorang.
Salah satu hal yang juga dianggap penting dalam konteks ini adalah pengembangan komunikasi beradab. Sebab, dari cara berkomunikasi itulah akan dapat dilihat apakah seseorang menghargai atau melecehkan. Sebagaimana dalam sebuah ungkapan Arab mengatakan: الكلام صفة المتكلم (ucapan atau perkataan menggambarkan si pembicara).
Dengan komunikasi, dapat terbentuk saling pengertian dan menumbuhkan persahabatan, memelihara kasih sayang, menyebarkan pengetahuan, dan melestarikan peradaban. Akan tetapi, dengan komunikasi juga dapat tumbuh subur perpecahan, emnghidupkan permusuhan, menanamkan kebencian, merintangi kemajuan, dan menghambat pemikiran. Hanya saja, berkomunikasi tidak identik dengan menyampaikan berita, akan tetapi berkomunikasi adalah mencakup perkataan, perilaku, dan sikap.
Terkait dengan inilah, Alquran telah menanamkan prinsip-prinsip komunikasi beradab, antara lain:
1.      Prinsip qawl karīm
Prinsip ini mencakup perilaku dan ucapan. Jika dikaitkan dengan ucapan atau perkataan, maka berarti suatu perkataan yang menjadikan pihak lain tetap dalam kemuliaan, atau perkataan yang dapat membawa manfaat bagi pihak lain tanpa bermaksud merendahkan. Di sinilah Sayyid Quub menyatakan bahwa perkataan yang karim pada hakikatnya adalah tingkatan yang tertinggi yang harus dilakukan seseorang, seperti yang tergambar dalam hubungan anak dengan kedua orang tuanya. Ibnu ‘Asyūr menyatakan bahwa qawl karīm adalah perkataan yang tidak memojokkan pihak lain yang membuat dirinya merasa terhina dan tidak menyinggung perasaannya. Sementara karīm yang terkait dengan sikap dan perilaku tersebut mengandung unsur pemuliaan dan penghormatan.
2.      Prinsip qawl ma’rūf
Menurut al-Rāzī, bahwa qawl ma’rūf adalah perkataan yang baik, yang menancap ke dalam jiwa, sehingga yang diajak bicara tidak merasa dianggap bodoh (safīh), perkataan yang mengandung penyesalan ketika tidak dapat memberi atau membantu, perkataan yang tidak menyakitkan dan yang sudah dikenal sebagai perkataan yang baik.
3.      Prinsip qawl maisūr
Yakni perkataan yang baik, lembut, dan melegakan; menjawab dengan cara yang sangat baik, dan tidak mengada-ada.
4.      Prinsip qawl layyin
Yakni perkataan yang mengandung anjuran, ajakan, pemberian contoh, pembicara berusaha meyakinkan kepada pihak lain bahwa apa yang disampaikannya adalah benar dan rasional, dengan tidak bermaksud merendahkan pendapat atau pandangan orang yang diajak bicara tersebut.
Dengan berpegang pada keempat prinsip tersebut maka jelaslah bahwa hukum Islam dengan mengacu aspek maslahatnya berorientasi pada terealisasinya hifz al-nasl (terjaganya kehormatan manusia) dan hifz al-ummah (kesatuan umat). Dengan mengedepankan keempat prinsip tersebut niscaya berbagai problem keumatan dapat diminimalisir tanpa ada lagi aksi saling hujat, penistaan, pelecehan, dan penghinaan satu pihak kepada pihak lainnya. Islam yang kehadirannya menghendaki terwujudnya ummatan wāhidah sangat menentang segala bentuk sikap yang berpotensi merendahkan martabat atau kehormatan manusia, termasuk dalam hal ini adalah perbuatan menghujat yang akhir-akhir ini seolah telah menjadi lumrah. Tidak ada satu pihak pun yang diuntungkan jika aksi saling hujat ini mengakar dalam interaksi sosial, sebaliknya, hal tersebut hanya akan mendatangkan murka Allah dan tercabutnya keberkahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.


III.    PENUTUP
Manusia diciptakan oleh Allah swt. agar menjadi khalifah di muka bumi. Salah satu ciri khalifah adalah mampu menciptakan suasana keamanan dan kedamaian yang dapat dirasakan oleh semua pihak, baik manusia, hewan maupun alam semesta. Salah satu cara menciptakan kedamaian dan keamanan adalah menumbuhkan rasa saling menghargai dan saling menghormati privasi masing-masing dan menghindari hal-hal yang dapat menguak dan membuka jendela permusuhan.
Suatu kenyataan yang tak dapat dipungkiri lagi, bahwa menjaga kehormatan diri dan orang lain adalah hal yang terpenting untuk menjaga kesatuan dalam tubuh masyarakat. Sebaliknya, menghina kehormatan atau martabat orang lain akan menimbulkan rasa saling membenci, perpecahan dan hilangnya rasa gotong-royong. Oleh karena itu, Islam menganggap bahwa setiap hal yang menyentuh kehormatan orang lain termasuk perbuatan dosa yang harus dijauhi oleh orang-orang yang beriman. Di antara hal-hal yang masuk dalam kategori menghina martabat orang lain ialah: menghina orang lain, menuduh dan memberi julukan yang dibenci olehnya, jelek sangkaan, mengintai dan membicarakan perihal orang lain saat orang tersebut tidak ada.
Istilah unjuk rasa/demonstrasi dalam politik Islam memiliki banyak pengertian yaitu mużāharah, aksi unjuk rasa yang identik dengan kekerasan (anarkis) dan juga bisa dikatakan sebagai aksi mendukung sebagai bentuk dukungan terhadap individu maupun golongan. Istilah lainnya adalah masīrah, merupakan kebalikan dari mużāharah tanpa berujung anarkisme. Sulit menempatkan istilah demonstrasi dalam perspektif fikih politik Islam, karena konsepsi demonstrasi tak mempunyai akar dalam tradisi politik Islam klasik. Meski demikian, bukan berarti aksi demonstrasi tidak ditemukan jejaknya dalam tradisi politik Islam, karena pada aras implementatif, aksi yang serupa dengan demonstrasi tersebut telah menapakkan jejaknya pada masa Rasulullah dan al-Khulafa al-Rasyidun. Adapun dalam hukum Islam demonstrasi merupakan saran untuk menasihati kepada mereka yang telah berbuat kemunkaran agar kembali kepada kebaikan, sebagai bentuk amar makruf nahi mungkar yang telah di jelaskan dalam nas maupun hadis Nabi saw.
Agar unjuk rasa tidak berujung pada aksi anarkis dan pelanggaran syariat maka diperlukan manajemen unjuk rasa yang baik, di antaranya adalah: tidak mengikutsertakan anak-anak; memisahkan antara laki-laki dengan perempuan; tidak menutup jalan atau menghalangi pengguna jalan lainnya; menghindari kalimat atau kata-kata yang mengandung unsur pencemaran nama baik seperti menghujat, menghina, melecehkan, atau pun mencaci maki pihak lain; menghindari provokasi pihak-pihak yang bertendensi negatif; membawa poster atau spanduk yang berisi gambar dan tulisan yang tidak edukatif; menjaga anggota pengunjuk rasa dari masuknya pihak-pihak lain yang mencoba mengeruhkan suasana; dan kepada aparat hukum agar mengikuti standar operasional penanganan unjuk rasa yang telah diatur undang-undang dengan mengedepankan bentuk persuasif.


DAFTAR PUSTAKA

‘Ālī, ‘Abdullāh Yūsuf. The Holly Qur’an. Beirut: Dār al-Fikr, t.th.
‘Awdah, ‘Abd al-Qādir. al-Tasyri’ al-Jinā’ī al-Islāmī, Juz I. Beirut: Mu’assasah al-Risālah, 1412 H/1992 M.
Al-Albānī, Muhammad Nair al-Dīn. Z|ilāl al-Jannah fī Takhrīj al-Sunnah. Cet. V; Beirut: al-Maktab al-Islāmī, 1426 H. 
Al-Bukhārī, Muhammad bin Ismā‘il bin Ibrāhim bin al-Mugīrah. aī Bukhārī, juz 1. Cet. I; Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmīyah, 1992 M/1412 H.
Al-Da’ur, ‘Abd al-Rahmān al-Malīkī. Sistem Sanksi dan Hukum Pembuktian dalam Islam, Terj. Syamsudin. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2004.
Departemen Agama RI. Hubungan Antar-Umat Beragama; Tafsir Al-Qur’an Tematik. Cet. I; Jakarta: Badan Litbang dan Diklat, Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama RI, 2008. 
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-3. Jakarta: Balai Pustaka, 2005. 
Djalil, Abdul dkk., Fiqh Rakyat; Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan. Cet. I; Yogyakarta: LkiS, 2000.
Djazuli, H.A. Fiqh Siyāsah; Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syariah. Cet. IV; Jakarta: Kencana, 2009. 
Al-Farmāwī, ‘Abd al-Hayy. “al-Atsarīyah”, Buletin Jum’at. Edisi 26 Tahun 2010.
Al-Ghazālī, Muhammad bin Muhammad. Ihyā’ Ulūm al-Dīn. Beirut: Dār al-Fikr, 1989 M/1409 H.
Hamzah, Alfian. Suara Mahasiswa Suara Rakyat. Bandung: Remaja Rosda Karya, 1998. 
Hawkins, Joyce M. Oxford Universal Dictionary. Oxford: Oxford University Press, 1995.
Hiem, Yap Thiam. Gerakan Massa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988. 
http://id.wikipedia.org. Wikipedia Ensiklopedia Bebas, posted tanggal 10 Mei 2013.
http://longman-dictionary.org. Posted tanggal 10 Mei 2013.
http://www.geocities.com. Posted tanggal 10 Mei 2013.
http://www.syariahonline.com. Posted tanggal 10 Mei 2013.
Ibnu ‘Asyūr, Muhammad al-T{āhir. al-Tarīr wa al-Tanwīr, jilid 6. Mesir: ‘Isa al-Bābi al-H{alābī, 1384 H. 
Ibnu Hanbal, Abū ‘Abdullāh Amad. Musnad Amad ibn Hanbal, Juz 35. Beirut: Maktabah al-Islāmī, 1978.
Ibnu Manżūr, Abū al-Fal Jamāl al-Dīn Muhammad bin Mukrim. Lisān al-’Arab Jilid IV. Beirut: Dār al-Fikr, t.th.
Ibnu Rusyd, Abū al-Walīd Muhammad ibn Ah{mad. Muqaddimah Ibn Rusyd, juz 1. Kairo: al-Maktabah al-Azharīyah li al-Turā, t.th.
Ibnu Surah, Abū Īsā Muhammad Ibn Īsā. al-Jamī‘ al-aī Sunan al-Turmużī, Juz 7. Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmīyah, t.th.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Jakarta: Dirjen Perpu, 2000.
Kementerian Urusan Agama Islam, Wakaf, dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabia, Al-Qur’an dan Terjemahannya. Madinah: Percetakan Al-Qur’an Raja Fadh, 1426 H. 
Madaniy, Malik. Politik Berpayung Fiqh. Cet. I; Yogyakarta: LkiS, 2010.
Madjid, Nurcholish. “Memberdayakan Masyarakat; Menuju Masyarakat yang Adil, Terbuka, dan Demokratis”, dalam Beragama di Abad Dua Satu. Jakarta: Zikrul Hakim, 1997.
Mahardika, Timur. Gerakan Massa. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2000.
Mahfudh, Sahal. Nuansa Fiqih Sosial. Yogyakarta: LKis, 2003.
Marpaung, Marbun. Kamus Politik. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996.
Mawardi, Imam. Wahai Ulama Kembalilah Kepada Umat. Surabaya: Putra Pelajar, 2002. 
Muhyiddin, Asep. Metode Pengembangan Dakwah. Bandung: Pustaka Setia, 2002.
Al-Naisabūrī, Muslim Ibn al-Hajjāj al-Qusyairī. aī Muslim, Juz 12. Cet. I; Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmīyah, 1994.
Al-Nawawī, Abū Zakariya Muhy al-Dīn Yahya bin Syarf. aīh{ Muslim bi Syarh al-Nawawī, juz 2. Beirut: Dār al-Fikr, 1398 H/1978 M. 
O’dea, Thomas F. Sosiologi Agama; Suatu Pengenalan Awal. Cet. VI; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995. 
Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta, Balai Pustaka, 2003.
Pulungan, J. Suyuthi. Fiqh Siyasah; Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994.
Al-Qurubī, Abū ‘Abdullāh Muhammad ibn Ahmad al-Anāri. al-Jamī‘ al-Akām al-Qur’ān, jilid 7. Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmīyah, 1993. 
Rachmat, Jalaluddin. Islam Aktual. Cet. IV; Bandung: Mizan, 1992.
--------------. Psikologi Komunikasi. Cet. X; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996.
Al-Rāzī, al-Imām Fakhr. Mafāti al-Gayb, jilid 6. Beirut: Dār Ihya al-Tura al’Arabī, 1415 H/1995 M. 
--------------. al-Tafsīr al-Kabīr, jilid 20. Beirut: Dār Ihya al-Tura, t.th.
Al-Sakhawī, Syams al-Dīn Muhammad ibn ‘Abd al-Rahmān. al-Maqāid al-Hasanah. Beirut: Dār al-Hijrah, 1986.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishbah, vol. 13. Jakarta: Lentera Hati, 2007. 
Sihabudi, Rizal. Menyandera Timur Tengah. Cet. I; Bandung: Mizan, 2007. 
Al-Sijistānī, Abū Dāwud Sulaimān bin al-Asy’a Ibn Syaddād al-Azadī. Sunan Abū Dāwud, Juz 13. Beirut: Dār al-Fikr, 1968.
Siradj, Said Aqil. Tasawuf sebagai Kritik Sosial; Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi, bukan Aspirasi. Cet. I; Bandung: Mizan Pustaka, 2006. 
Siswanto, Joko. Reaksi Intelektualis untuk Demokrasi. Cet. I; Palembang: Yayasan Bakti Nusantara, 2006.
Al-Suyūī, Jalāl al-Dīn Muhammad bin Ahmād al-Mahallī dan Jalāl al-Dīn ‘Abd al-Rahmān bin Bahr, Tafsīr Jalalain. Cet. II; Beirut: Dār al-Ma’ārif, 1995.
Syadzili, Sayyid Qub Ibrāhim Husain. ilāl al-Qur’ān, juz 13. Kairo: Dār al-Syuruq, 1402 H/1982 M.
Syamsuddin, Din. Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani. Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000. 
Yasid, H. Abu. Fiqh Realitas; Respon Ma’had Aly terhadap Wacana Hukum Islam Kontemporer. Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Al-Zuhaylī, Wahbah. al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, Juz VI. Beirut: Dār al-Fikr, 1409 H/1989 M.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar