ABU KALAM AZAD
(Nasionalisme dan Pemikirannya)
Oleh: Moh. Ghazali
Rahman
A. Pendahuluan
Wajah
peradaban Islam di India pasca kemerdekaan dapat dikatakan sebagai suatu potret
antitesa dari wajah peradaban Islam di Indonesia. Meskipun demikian, akar
progresivitas keislaman kedua perwajahan ini memiliki titik temu pada
representasi Islam sebagai ideologi yang mampu menjadi senjata ampuh dalam
membangun kesadaran anti imperialis dan kolonialis. Respon dalam bentuk
perlawanan politik, semangat militansi ataupun kesadaran kultural dengan
gerakan revivalis, selalu diinspirasikan oleh Islam sebagai senjata ideologis.
Dominasi bangsa Eropa di seluruh wilayah muslim merupakan
hegemoni bagi pemaksaan institusi dan pola kultural mereka terhadap
bangsa-bangsa non Eropa. Lebih dari itu, intervensi politik dengan kontrol yang
berlebihan, mengantarkan pada konstruksi negara-negara teritorial birokratik
yang memusat. Sampai hari ini, dengan tameng demokratisasi dunia, wajah baru
imperialis Eropa -Amerika Serikat sebagai kekuatan adi daya- dalam bentuk
intervensi dan aneksasi setiap kebijakan politik negara-negara muslim lebih
mendeskripsikan sebuah demokrasi yang dipaksakan.
Secara umum, hegemoni kaum imperialis tidak semata
melakukan panetrasi ekonomi, tetapi juga panetrasi politik dan kultural.
Terlebih lagi, pengaruh hegomoni tersebut terhadap masyarakat muslim dimediasi
oleh kolaborasi dan perlawanan elit lokal. Dengan demikian, transformasi yang
terjadi di masyarakat muslim berlangsung dalam bentuk interes, persepsi, dan
respon elit internal terhadap tekanan dan dorongan yang dimunculkan oleh
kekuatan imperialis. Di sisi lain, respon elit internal itu juga dimotivasi
oleh keinginan mereka mengeksploitasi pengaruh imperialis dalam perjuangan
perebutan pengaruh di dalam masyarakat mereka sendiri.
Tentu akan sangat prematur untuk menilai kegagalan Islam
di India sebagai historical accident ataupun historical absolute.
Sebab, putaran roda sejarah dan peradaban manusia akan terus bergulir dan
melakukan seleksi alam terhadap sensitifitas sosial-politik. Hal ini merupakan
suatu tantangan terhadap politik, ekonomi, moral, dan kebudayaan Islam. Lebih
dari itu, kolonialisme dan imperialisme dalam bentuk apapun mengancam sejarah
dan identitas politik dan religio-kultural peradaban manusia masa depan.
Salah satu obyek kajian dalam fokus elit internal dalam
pembahasan ini adalah Abu Kalam Azad dengan pemikiran revivalis dan
nasionalismenya. Terlepas dari tokoh-tokoh besar di belakangnya, Abu Kalam Azad
dikenal sebagai sosok nasionalis yang cukup monumental dalam proses kemerdekaan
India.
B. Pembahasan
1. Biografi Abu Kalam Azad
Abu Kalam
Azad lahir di Makkah (1888) ketika ayahnya, Khairuddin Dihlawi (1831-1908)
pindah ke sana (1858) dan menikahi putri seorang mufti Madinah. Silsilah
intelektual dan spiritual Azad memiliki mata rantai dengan Syaikh Ahmad
Sirhindi (w. 1624), Shah Wali Allah Dihlawi (w. 1762), dan Shah Abd al-Aziz (w.
1824). Ayahnya adalah seorang syaikh tarekat/ulama yang berpengaruh dan secara
terang-terangan menentang paham Wahabi. Keluarga Azad kemudian
kembali ke India sekitar tahun 1898.
Pendidikan
awal Azad diterimanya di Mekkah, kemudian dilanjutkan ke al-Azhar di Kairo.
Azad adalah seorang jurnalis dengan kemampuan sastra India yang baik, pemikir
Islam, dan cendekiawan yang menampilkan simbol-simbol universal religius Islam
dalam pergerakan untuk membangun nasionalisme India. Kegemaran menulisnya
dibuktikan ketika ia menulis riwayat hidup al-Ghazali pada usia dua belas
tahun. Dua tahun kemudian ia menulis artikel-artikel ilmiah di Makhzan, majalah
sastra yang paling baik ketika itu dan ia juga mulai menghadiri
pertemuan-pertemuan nasional.
Karir jurnalistik Azad dimulai ketika ia meluncurkan
jurnal reformasi Lisan al-Sidq meskipun hanya berumur pendek. Setelah
itu ia diangkat menjadi editor al-Nadwah, majalah resmi Nadwah
al-Ulama di bawah pimpinan Muh. Shibli Nu’mani (w. 1914) yang juga banyak
mempengaruhi paradigma pikir Azad. Pada tahun 1906 ia diangkat menjadi editor majalah
Vakil di Amristar yang cukup berpengaruh pada masa itu. Dedikasi politik
dan jurnalistik Azad semakin terealisasikan ketika ia mampu menerbitkan majalah
al-Hilal di Kalkutta pada tahun 1912 untuk membangkitkan kesadaran
politik umat Islam India dari dominasi Inggris. Jika ide-ide baru keagamaan
yang ia kemukakan mengejutkan golongan ulama tradisional, maka ide-ide dan
kritik tajam anti politik kolonialnya mengejutkan pemerintah Inggris.
Jiwa dan semangat politiknya kemudian disalurkan melalui
lembaga kepartaian, Partai Kongres. Pandangan dan aktivitas politik Azad yang
dinilai berbahaya oleh pemerintah kolonial membuatnya sering keluar masuk
penjara. Namun demikian, prestasi politiknya semakin naik ketika pada tahun
1923 ia terpilih menjadi Presiden Partai Kongres dan dipilih untuk kedua
kalinya pada 1940. Setelah kemerdekaan India, Azad diangkat menjadi Mentri
Pendidikan India karena reputasi politik yang berhasil ditunjukkannya. Abu
Kalam Azad meninggal dunia pada tahun 1958.
2. Nasionalisme dan Pemikirannya
a. Nasionalisme
Nasionalisme berasal dari kata nation yang berarti
“bangsa” dengan dua pengertian, yaitu secara sosiologis-antropologis, dan dalam
pengertian politis. Dalam pengertian sosiologis-antropologis, bangsa adalah
suatu masyarakat –mayoritas ataupun minoritas- yang merupakan suatu persekutuan
hidup yang berdiri sendiri dan merasa sebagai satu kesatuan ras, bahasa, agama,
sejarah, dan adat istiadat. Sedangkan dalam pengertian politik adalah
masyarakat dalam suatu daerah yang sama, dan mereka tunduk kepada kedaulatan
negaranya sebagai kekuasaan tertinggi secara internal dan eksternal.
Nation (bangsa) dalam pengertian politik inilah
yang menjadi pokok pembahasan tentang nasionalisme. Namun tidak berarti
mengabaikan pengertian bangsa secara antropologis-sosiologis, sebab ia memiliki
faktor obyektif. Meskipun tidak menjadi hal pokok, tetapi sering menentukan
bagi terbentuknya bangsa dalam pengertian politik. Sehingga kedua pengertian
bangsa tersebut memiliki relevansi yang signifikan. Relevansi ini juga
mendeskripsikan suatu kesadaran eksistensi individu dalam sikap sosial yang
membangkitkan rasa cinta, asosiasi simpatik terhadap tanah air, dan
ketergantungan timbal balik antar individu yang berbeda.
Hal
tersebut juga ditemukan dalam konstruk nasionalisme India yang terbangun atas
dasar kesadaran kesatuan dan kesamaan budaya, meskipun sintesa kultural antara
mayoritas Hindu dengan minoritas Islam sebagai dua potensi besar nasionalisme
India masih perlu ditinjau lebih jauh.
Pada sisi lain, faktor lain yang juga cukup esensial dan
masih menjadi perdebatan kontemporer adalah terelaborasinya ideologi Islam ke
dalam nasionalisme. Hal ini akan cukup membingungkan karena adanya polarisasi
antara Muslim Nasionalis dan Nasionalis Muslim. Dalam posisi ini, Azad pernah
memerankan kedua bentuk ini dalam dua fase yang berbeda. Pada fase awal, Azad
adalah seorang Muslim Nasionalis yang pernah ikut mendukung Pan-Islamisme yang
dikembangkan oleh Jamaluddin al-Afghani. Hal ini juga tidak terlepas dari
pengaruh hilangnya kekhalifahan Islam di Turki oleh sekularisme yang
dikembangkan oleh Kemal Attaturk. Umat Islam pada masa itu menilai kekhalifahan
sebagai institusi yang sangat signifikan bagi kesatuan Islam sebagai ideologi.
Keruntuhan kekhalifahan ini menjadikan muslim India harus memilih antara dua
tujuan, Swaraj (pemerintahan sendiri) bagi India atau Khilafah.
Pada fase kedua, Azad adalah seorang Nasionalis Muslim
yang melihat nasionalisme sebagai suatu alat efektif menuju keberhasilan
kemerdekaan India. Bagi Azad, Islam adalah agama yang sangat fleksibel dan
memiliki solidaritas yang tinggi terhadap perbedaan-perbedaan paham dalam
keagamaan. Nasionalisme yang dilontarkan Azad pada fase ini berupaya menyatukan
antara umat Islam dengan umat Hindu dalam menghadapi bangsa asing. Olehnya itu,
perpaduan kultur Hindu dan Muslim dinilai akan menjadi kekuatan potensial dan
suatu unsur esensial bagi nasionalisme India.
Namun
pada perkembangannya, kendala utama bagi nasionalisme India adalah tidak adanya
solusi bagi komunitas yang berbeda tersebut menuju kebersamaan entitas kultural
India. Perpecahan yang terjadi selalu diwarnai oleh kecurigaan satu sama lain
atas otoritas politik apabila kemerdekaan telah tercapai. Upaya Azad dalam
menjembatani pertikaian komunal antara Hindu dan Islam tidak sepenuhnya
tercapai, bahkan perkembangan selanjutnya malah telah menimbulkan dua kubu
besar yang tidak bisa disatukan lagi, yaitu dengan berdirinya negara Islam
Pakistan yang terpisah dari India.
Ditemukannya
dualisme dalam polarisasi fase perjuangan nasionalisme Azad tentunya bukan
berarti suatu bentuk hipokrit dari golongan-golongan oportunis. Sebagaimana
telah diungkapkan bahwa aspek esensial dalam diskursus elit internal India
–bahkan menjadi diskursus global- adalah upaya integralisasi ideologi Islam ke
dalam nasionalisme. Pengkajian tentang nasionalisme disepakati bukan dari
ortodoksi keislaman, karena hal itu dinilai bersumber dari ide sekularisasi
Barat dengan berbagai tendensi yang perlu dikaji lebih jauh.
Salah
satu analisa tentang hal tersebut adalah adanya kecenderungan kuat nasionalisme
untuk menghidupkan kembali ashabiyah-qaumiyah al-Jahiliyah dan
membangkitkan paganisme. Nasionalisme bahkan akan menjadikan seseorang lebih
mengutamakan bangsa dan negara di atas kepentingan agama berdasarkan prinsip wathaniyah.
Lebih dari itu, nasionalisme -yang diciptakan oleh Barat- berhasil
mengkonstruk semangat baru bagi mayoritas negeri Islam untuk melawan
imperialisme Barat, tetapi tidak didasari oleh spirit jihad membela Islam,
namun karena sikap fanatik kepada bangsanya. Dalam pengertian lain,
nasionalisme adalah bentuk baru dari politik pecah belah yang mengeksploitasi
isu-isu agama ke dalam sekat-sekat geografis-teritorial.
Membandingkan
hal tersebut dengan fenomena kompleksitas yang membingkai masyarakat India,
maka Azad tidak melihat kepentingan politik Islam dan Hindu secara dikotomis,
tetapi melihatnya dalam konteks kepentingan nasional. Hal yang signifikan
menurut Azad adalah bagaimana perjuangan politik tersebut menghasilkan
kemerdekaan India. Adapun kepentingan politik Islam bisa dirundingkan kemudian
setelah India memperoleh kemerdekaan. Meskipun pada akhirnya Azad juga tidak
berhasil menghapus kekhawatiran umat Islam terhadap masyarakat Hindu.
Hipotesa
pertama yang dapat dirumuskan oleh Zeenath Kausar terhadap ide nasionalisme
Azad adalah kecenderungannya untuk mengkompromikan antara nasionalisme dengan
ideologi Islam, meskipun hal itu dinilai sebagai bentuk apologi yang hanya
mengadopsi sekularisme di Turki dan menerapkannya secara kaku dalam situasi
politik di India. Upaya ini tidak jauh berbeda dengan ashabiyah yang
dipahami oleh Ibnu Khaldun dalam teori sosialnya. Bagi Ibnu Khladun, prinsip ashabiyah
merupakan investasi besar bagi terpeliharanya agama, dan agama tanpa ashabiyah
tidaklah sempurna. Sisi lain dari hal itu adalah anggapan Azad bahwa umat Islam
tidak mempunyai kekuatan untuk membebaskan diri secara langsung dari kekuatan
politik imperialis tanpa menjadikan kelompok Hindu sebagai patner perjuangan
dan melepaskan sekat-sekat ideologis.
Lanjut
dari itu adalah adanya tarik ulur gagasan nasionalisme Azad yang mau tidak mau
harus mengambil jalan tengah antara perbenturan ideologi yang tidak saja
terjadi antara Hindu-Islam, tetapi juga terhadap ideologi-ideologi Barat.
Kecenderungan politik Barat yang utama adalah upaya membangun kontroversi
ideologis dengan tawaran-tawaran sekularisme, nasionalisme, dan demokratisasi
serta beberapa doktrin lain berdasar pada materialisme. Namun hal itu tidaklah
signifikan bagi Azad jika umat Islam bisa memahami bahwa bangunan politik Islam
dapat disesuaikan dengan kondisi waktu dan tempat di tengah keniscayaan kemerdekaan
India.
b. Pemikiran Azad
Suatu
pemikiran, secara aksiomatis tidak tumbuh dengan sia-sia atau independen dari
kondisi objektif; sosiologis maupun politisnya. Pemikiran pada dasarnya
merupakan jawaban atau solusi -baik untuk persoalan sosial maupun politis- yang
bersifat mengubah atau melegitimasi pemikiran sebelumnya.
Sebagai
murid Shibli, ide pembaharuan Azad lebih moderat meskipun tidak ditemukan hal
baru yang lebih spektakuler dalam setiap gagasannya. Sepak terjang Azad dalam
nasionalismenya menjadikan ia lebih sebagai seorang politikus daripada seorang
pemikir. Hal ini tampak pada upaya politik unifikasi kultural yang
diharapkannya dapat mengintegralisasikan Hindu-Islam sebagai kekuatan ideologis
bagi kemenangan cita-cita nasionalismenya.
Senada
dengan para pendahulunya, Azad juga melihat kemunduran umat Islam lebih
disebabkan oleh dogmatisme dan sikap taklid terhadap pemikiran-pemikiran abad
pertengahan. Selain itu, juga karena umat Islam tidak lagi seluruhnya
menjalankan ajaran-ajaran Islam. Ia menganjurkan kembali kepada Alquran dan
untuk itu ia menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa Urdu dengan memberi tafsiran
yang terlepas dari pengaruh pemikiran ahli hukum, sufi, teolog, filosof dan
sebagainya. Sementara itu, fenomena umat Islam India dapat dikatakan masih
hidup dengan tradisi kebesaran dan kemegahan masa lalu. Meskipun sebagian mampu
bangkit dengan gagasan revivalis, namun pada akhirnya hanya berupa visi yang
campur aduk antara kebesaran masa lalu yang telah hilang dan impian kebesaran
yang akan datang.
Selain pada upaya penterjemahan Alquran, Azad juga
banyak melakukan terobosan pemikiran dalam bidang pendidikan. Salah satu ide
yang ia ejawantahkan ketika menjabat sebagai Menteri di bidang pendidikan
adalah perbaikan kurikulum dengan melakukan elaborasi kurikulum Barat dan
Islam. Dalam hal ini Azad menitikberatkan pada signifikansi Bahasa Inggris
sebagai langkah awal transformasi sains dan teknologi yang saat itu -hingga
kini- masih didominasi oleh Barat.
Pemikiran Azad di
bidang pendidikan ternyata juga dipengaruhi oleh ide-ide pembaharuan sosial
Ibnu Khaldun yang menilai bahwa tingkat pertumbuhan dan kemunduran intelektual
suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh sistem pendidikan atau kurikulum yang
mereka gunakan. Pendidikan dalam perspektif sosial ini menghendaki tumbuhnya
suatu dedikasi dan orientasi hidup yang jelas bagi seseorang untuk membawa arah
sejarah bangsanya. Oleh karena itu, melalui ide pendidikannya, Azad mencoba
menumbuhkan kesadaran kultural bangsa India –Hindu dan Islam- sebagai bangsa
yang mampu berdiri dalam nasionalisme yang utuh.
C. Penutup
Persoalan
tentang kemerdekaan dan nasionalisme melewati dua fase penting di India dan
wilayah Asia Selatan secara umum. Pada mulanya orang-orang Hindu dan Islam
dalam Partai Kongres Nasional India telah bekerja sama dalam perjuangan
kemerdekaan. Namun demikian, ternyata masih banyak orang-orang Islam yang takut
kehilangan hak-haknya sebagai minoritas dalam pergulatan politik internal di
India yang didominasi Hindu.
Pada
akhirnya, -ibarat buah simalakama- umat Islam lebih memilih suatu bentuk negara
nasional-teritorial daripada harus menjadi negara sekuler. Pada medan lain,
India juga diperhadapkan pada politik imperialis yang secara destruktif telah
mereduksi tatanan sosio kultural Hindu-Muslim. Sehingga nasionalisme seolah
menjadi alternatif terakhir meskipun sebagian Muslim berpendapat bahwa
nasionalisme dalam bantuk apapun bertentangan dengan Islam, sebab masyarakat
Islam atau ummah adalah masyarakat yang tidak ada sangkut pautnya dengan
segala macam ikatan etnis, suku, daerah ataupun perbedaan-perbedaan ras.
Meskipun
area pengkajian ini difokuskan pada nasionalisme dan pemikiran Azad serta
kondisi sosio-kultural India secara makro, hasilnya secara umum dan sampai
batas tertentu mempunyai validitas dalam menganalisis kejadian yang terjadi di
negara lain, khususnya di Indonesia. Berangkat dari itu, pembaharuan ataupun
perubahan secara gradual disadari tidaklah bisa diatasi dengan sendirian. Ia
memerlukan gerakan-gerakan kolektif yang mungkin saja dalam konteks ini adalah
gerakan yang berskala nasional. Sehingga bagaimanapun tetap disadari perlunya
membangun kesadaran kolektif yang berbentuk kesadaran politik, sosial, dan
budaya. Asumsi ini lebih menyadarkan lagi pada aksioma yang menegaskan bahwa
hanya dengan kesadaran kolektiflah maka perubahan dunia dapat berlangsung.
Sementara itu akan juga mencul pergerakan yang lebih
mondial ketika generasi hari ini akan semakin menemukan jati diri dan
potensinya untuk menjadi subyek sejarah. Paling tidak, Abu Kalam Azad dalam
studi pemikiran dan modernitas adalah sosok “hidden generation” yang telah
menampilkan kapasitasnya sebagai “social of historical change” yang
selalu menginvestasikan progresivitas dan rasa melawan, meskipun belum jelas
apakah tindakan itu terkait dengan soal militansi, terobosan kultural, atau
juga semacam bentuk ketegaran untuk bersikap demokratis dan egaliter. Satu hal
yang jelas, kondisi realistik zaman ketika itu menuntut suatu ijtihad politik
bagi Azad sebagai counter terhadap politik imperialis sekaligus sebagai
kontribusi efektif bagi suatu perubahan yang semoga ada benarnya.
Daftar Pustaka
Ali, Mukti. Alam Pikiran Islam Modern di India
dan Pakistan. Cet. I; Bandung: Mizan, 1996.
Baali, Fuad dan Ali Wardi, Ibnu Khaldun and
Islamic Thought Style A Sosial Perspective, diterjemahkan oleh Mansuruddin
dan Ahmadie Thaha dalam judul Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam. Cet.
I; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi
Islam, Jilid I. Cet. III; Jakarta: Iktiar Baru Van Houve, 1994.
Espsosito, John L. The Islamic Threat; Myth or
Reality ? diterjemahkan oleh Alwiyah Abdurrahman dan MISSI dengan judul Ancaman
Islam; Mitos atau Realitas ?. Cet. I; Bandung: Mizan, 1994.
Kausar, Zeenath. Islam and Nationalism; An
Analysis of The Views of Azad, Iqbal and Maududi. Kuala Lumpur: A.S.
Noordeen, 1994.
Lapidus, Ira M. A History of Islamic Societies,
diterjemahkan oleh Ghufron A. Mas’adi dalam judul Sejarah Sosial Ummat
Islam, Bagian Ketiga. Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999.
al-Nabhani, Taqiyuddin. Nizham al-Islam. Cet.
VI; Beirut: al-Quds, 2001.
Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam;
Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Cet. IX; Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Rais, M. Amien. Cakrawala Islam; Antara Cita dan
Fakta. Cet. III; Bandung: Mizan, 1991.
Sani, Abdul. Lintasan Sejarah Pemikiran;
Perkembangan Modern dalam Islam. Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1998.
Troll, Christian W. “Abu Kalam Azad,” John L.
Esposito (ed.), The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, Vol.
I. New York: Oxford University Press, 1995.
Yatim, Badri. Soekarno, Islam, dan Nasionalisme.
Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar