Jumat, 21 Februari 2014

ABU KALAM AZAD (Nasionalisme dan Pemikirannya)


ABU KALAM AZAD
(Nasionalisme dan Pemikirannya)
Oleh: Moh. Ghazali Rahman

A. Pendahuluan
Wajah peradaban Islam di India pasca kemerdekaan dapat dikatakan sebagai suatu potret antitesa dari wajah peradaban Islam di Indonesia. Meskipun demikian, akar progresivitas keislaman kedua perwajahan ini memiliki titik temu pada representasi Islam sebagai ideologi yang mampu menjadi senjata ampuh dalam membangun kesadaran anti imperialis dan kolonialis. Respon dalam bentuk perlawanan politik, semangat militansi ataupun kesadaran kultural dengan gerakan revivalis, selalu diinspirasikan oleh Islam sebagai senjata ideologis.

            Dominasi bangsa Eropa di seluruh wilayah muslim merupakan hegemoni bagi pemaksaan institusi dan pola kultural mereka terhadap bangsa-bangsa non Eropa. Lebih dari itu, intervensi politik dengan kontrol yang berlebihan, mengantarkan pada konstruksi negara-negara teritorial birokratik yang memusat. Sampai hari ini, dengan tameng demokratisasi dunia, wajah baru imperialis Eropa -Amerika Serikat sebagai kekuatan adi daya- dalam bentuk intervensi dan aneksasi setiap kebijakan politik negara-negara muslim lebih mendeskripsikan sebuah demokrasi yang dipaksakan.
            Secara umum, hegemoni kaum imperialis tidak semata melakukan panetrasi ekonomi, tetapi juga panetrasi politik dan kultural. Terlebih lagi, pengaruh hegomoni tersebut terhadap masyarakat muslim dimediasi oleh kolaborasi dan perlawanan elit lokal. Dengan demikian, transformasi yang terjadi di masyarakat muslim berlangsung dalam bentuk interes, persepsi, dan respon elit internal terhadap tekanan dan dorongan yang dimunculkan oleh kekuatan imperialis. Di sisi lain, respon elit internal itu juga dimotivasi oleh keinginan mereka mengeksploitasi pengaruh imperialis dalam perjuangan perebutan pengaruh di dalam masyarakat mereka sendiri.
            Tentu akan sangat prematur untuk menilai kegagalan Islam di India sebagai historical accident ataupun historical absolute. Sebab, putaran roda sejarah dan peradaban manusia akan terus bergulir dan melakukan seleksi alam terhadap sensitifitas sosial-politik. Hal ini merupakan suatu tantangan terhadap politik, ekonomi, moral, dan kebudayaan Islam. Lebih dari itu, kolonialisme dan imperialisme dalam bentuk apapun mengancam sejarah dan identitas politik dan religio-kultural peradaban manusia masa depan.
            Salah satu obyek kajian dalam fokus elit internal dalam pembahasan ini adalah Abu Kalam Azad dengan pemikiran revivalis dan nasionalismenya. Terlepas dari tokoh-tokoh besar di belakangnya, Abu Kalam Azad dikenal sebagai sosok nasionalis yang cukup monumental dalam proses kemerdekaan India.
B. Pembahasan
 1. Biografi Abu Kalam Azad
Abu Kalam Azad lahir di Makkah (1888) ketika ayahnya, Khairuddin Dihlawi (1831-1908) pindah ke sana (1858) dan menikahi putri seorang mufti Madinah. Silsilah intelektual dan spiritual Azad memiliki mata rantai dengan Syaikh Ahmad Sirhindi (w. 1624), Shah Wali Allah Dihlawi (w. 1762), dan Shah Abd al-Aziz (w. 1824). Ayahnya adalah seorang syaikh tarekat/ulama yang berpengaruh dan secara terang-terangan menentang paham Wahabi. Keluarga Azad kemudian kembali ke India sekitar tahun 1898.
Pendidikan awal Azad diterimanya di Mekkah, kemudian dilanjutkan ke al-Azhar di Kairo. Azad adalah seorang jurnalis dengan kemampuan sastra India yang baik, pemikir Islam, dan cendekiawan yang menampilkan simbol-simbol universal religius Islam dalam pergerakan untuk membangun nasionalisme India. Kegemaran menulisnya dibuktikan ketika ia menulis riwayat hidup al-Ghazali pada usia dua belas tahun. Dua tahun kemudian ia menulis artikel-artikel ilmiah di Makhzan, majalah sastra yang paling baik ketika itu dan ia juga mulai menghadiri pertemuan-pertemuan nasional.
            Karir jurnalistik Azad dimulai ketika ia meluncurkan jurnal reformasi Lisan al-Sidq meskipun hanya berumur pendek. Setelah itu ia diangkat menjadi editor al-Nadwah, majalah resmi Nadwah al-Ulama di bawah pimpinan Muh. Shibli Nu’mani (w. 1914) yang juga banyak mempengaruhi paradigma pikir Azad. Pada tahun 1906 ia diangkat menjadi editor majalah Vakil di Amristar yang cukup berpengaruh pada masa itu. Dedikasi politik dan jurnalistik Azad semakin terealisasikan ketika ia mampu menerbitkan majalah al-Hilal di Kalkutta pada tahun 1912 untuk membangkitkan kesadaran politik umat Islam India dari dominasi Inggris. Jika ide-ide baru keagamaan yang ia kemukakan mengejutkan golongan ulama tradisional, maka ide-ide dan kritik tajam anti politik kolonialnya mengejutkan pemerintah Inggris.
            Jiwa dan semangat politiknya kemudian disalurkan melalui lembaga kepartaian, Partai Kongres. Pandangan dan aktivitas politik Azad yang dinilai berbahaya oleh pemerintah kolonial membuatnya sering keluar masuk penjara. Namun demikian, prestasi politiknya semakin naik ketika pada tahun 1923 ia terpilih menjadi Presiden Partai Kongres dan dipilih untuk kedua kalinya pada 1940. Setelah kemerdekaan India, Azad diangkat menjadi Mentri Pendidikan India karena reputasi politik yang berhasil ditunjukkannya. Abu Kalam Azad meninggal dunia pada tahun 1958.

2. Nasionalisme dan Pemikirannya
a. Nasionalisme
            Nasionalisme berasal dari kata nation yang berarti “bangsa” dengan dua pengertian, yaitu secara sosiologis-antropologis, dan dalam pengertian politis. Dalam pengertian sosiologis-antropologis, bangsa adalah suatu masyarakat –mayoritas ataupun minoritas- yang merupakan suatu persekutuan hidup yang berdiri sendiri dan merasa sebagai satu kesatuan ras, bahasa, agama, sejarah, dan adat istiadat. Sedangkan dalam pengertian politik adalah masyarakat dalam suatu daerah yang sama, dan mereka tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai kekuasaan tertinggi secara internal dan eksternal.
            Nation (bangsa) dalam pengertian politik inilah yang menjadi pokok pembahasan tentang nasionalisme. Namun tidak berarti mengabaikan pengertian bangsa secara antropologis-sosiologis, sebab ia memiliki faktor obyektif. Meskipun tidak menjadi hal pokok, tetapi sering menentukan bagi terbentuknya bangsa dalam pengertian politik. Sehingga kedua pengertian bangsa tersebut memiliki relevansi yang signifikan. Relevansi ini juga mendeskripsikan suatu kesadaran eksistensi individu dalam sikap sosial yang membangkitkan rasa cinta, asosiasi simpatik terhadap tanah air, dan ketergantungan timbal balik antar individu yang berbeda.
Hal tersebut juga ditemukan dalam konstruk nasionalisme India yang terbangun atas dasar kesadaran kesatuan dan kesamaan budaya, meskipun sintesa kultural antara mayoritas Hindu dengan minoritas Islam sebagai dua potensi besar nasionalisme India masih perlu ditinjau lebih jauh.
            Pada sisi lain, faktor lain yang juga cukup esensial dan masih menjadi perdebatan kontemporer adalah terelaborasinya ideologi Islam ke dalam nasionalisme. Hal ini akan cukup membingungkan karena adanya polarisasi antara Muslim Nasionalis dan Nasionalis Muslim. Dalam posisi ini, Azad pernah memerankan kedua bentuk ini dalam dua fase yang berbeda. Pada fase awal, Azad adalah seorang Muslim Nasionalis yang pernah ikut mendukung Pan-Islamisme yang dikembangkan oleh Jamaluddin al-Afghani. Hal ini juga tidak terlepas dari pengaruh hilangnya kekhalifahan Islam di Turki oleh sekularisme yang dikembangkan oleh Kemal Attaturk. Umat Islam pada masa itu menilai kekhalifahan sebagai institusi yang sangat signifikan bagi kesatuan Islam sebagai ideologi. Keruntuhan kekhalifahan ini menjadikan muslim India harus memilih antara dua tujuan, Swaraj (pemerintahan sendiri) bagi India atau Khilafah.
            Pada fase kedua, Azad adalah seorang Nasionalis Muslim yang melihat nasionalisme sebagai suatu alat efektif menuju keberhasilan kemerdekaan India. Bagi Azad, Islam adalah agama yang sangat fleksibel dan memiliki solidaritas yang tinggi terhadap perbedaan-perbedaan paham dalam keagamaan. Nasionalisme yang dilontarkan Azad pada fase ini berupaya menyatukan antara umat Islam dengan umat Hindu dalam menghadapi bangsa asing. Olehnya itu, perpaduan kultur Hindu dan Muslim dinilai akan menjadi kekuatan potensial dan suatu unsur esensial bagi nasionalisme India.
Namun pada perkembangannya, kendala utama bagi nasionalisme India adalah tidak adanya solusi bagi komunitas yang berbeda tersebut menuju kebersamaan entitas kultural India. Perpecahan yang terjadi selalu diwarnai oleh kecurigaan satu sama lain atas otoritas politik apabila kemerdekaan telah tercapai. Upaya Azad dalam menjembatani pertikaian komunal antara Hindu dan Islam tidak sepenuhnya tercapai, bahkan perkembangan selanjutnya malah telah menimbulkan dua kubu besar yang tidak bisa disatukan lagi, yaitu dengan berdirinya negara Islam Pakistan yang terpisah dari India.
Ditemukannya dualisme dalam polarisasi fase perjuangan nasionalisme Azad tentunya bukan berarti suatu bentuk hipokrit dari golongan-golongan oportunis. Sebagaimana telah diungkapkan bahwa aspek esensial dalam diskursus elit internal India –bahkan menjadi diskursus global- adalah upaya integralisasi ideologi Islam ke dalam nasionalisme. Pengkajian tentang nasionalisme disepakati bukan dari ortodoksi keislaman, karena hal itu dinilai bersumber dari ide sekularisasi Barat dengan berbagai tendensi yang perlu dikaji lebih jauh.
Salah satu analisa tentang hal tersebut adalah adanya kecenderungan kuat nasionalisme untuk menghidupkan kembali ashabiyah-qaumiyah al-Jahiliyah dan membangkitkan paganisme. Nasionalisme bahkan akan menjadikan seseorang lebih mengutamakan bangsa dan negara di atas kepentingan agama berdasarkan prinsip wathaniyah. Lebih dari itu, nasionalisme -yang diciptakan oleh Barat- berhasil mengkonstruk semangat baru bagi mayoritas negeri Islam untuk melawan imperialisme Barat, tetapi tidak didasari oleh spirit jihad membela Islam, namun karena sikap fanatik kepada bangsanya. Dalam pengertian lain, nasionalisme adalah bentuk baru dari politik pecah belah yang mengeksploitasi isu-isu agama ke dalam sekat-sekat geografis-teritorial.
Membandingkan hal tersebut dengan fenomena kompleksitas yang membingkai masyarakat India, maka Azad tidak melihat kepentingan politik Islam dan Hindu secara dikotomis, tetapi melihatnya dalam konteks kepentingan nasional. Hal yang signifikan menurut Azad adalah bagaimana perjuangan politik tersebut menghasilkan kemerdekaan India. Adapun kepentingan politik Islam bisa dirundingkan kemudian setelah India memperoleh kemerdekaan. Meskipun pada akhirnya Azad juga tidak berhasil menghapus kekhawatiran umat Islam terhadap masyarakat Hindu.
Hipotesa pertama yang dapat dirumuskan oleh Zeenath Kausar terhadap ide nasionalisme Azad adalah kecenderungannya untuk mengkompromikan antara nasionalisme dengan ideologi Islam, meskipun hal itu dinilai sebagai bentuk apologi yang hanya mengadopsi sekularisme di Turki dan menerapkannya secara kaku dalam situasi politik di India. Upaya ini tidak jauh berbeda dengan ashabiyah yang dipahami oleh Ibnu Khaldun dalam teori sosialnya. Bagi Ibnu Khladun, prinsip ashabiyah merupakan investasi besar bagi terpeliharanya agama, dan agama tanpa ashabiyah tidaklah sempurna. Sisi lain dari hal itu adalah anggapan Azad bahwa umat Islam tidak mempunyai kekuatan untuk membebaskan diri secara langsung dari kekuatan politik imperialis tanpa menjadikan kelompok Hindu sebagai patner perjuangan dan melepaskan sekat-sekat ideologis.
Lanjut dari itu adalah adanya tarik ulur gagasan nasionalisme Azad yang mau tidak mau harus mengambil jalan tengah antara perbenturan ideologi yang tidak saja terjadi antara Hindu-Islam, tetapi juga terhadap ideologi-ideologi Barat. Kecenderungan politik Barat yang utama adalah upaya membangun kontroversi ideologis dengan tawaran-tawaran sekularisme, nasionalisme, dan demokratisasi serta beberapa doktrin lain berdasar pada materialisme. Namun hal itu tidaklah signifikan bagi Azad jika umat Islam bisa memahami bahwa bangunan politik Islam dapat disesuaikan dengan kondisi waktu dan tempat di tengah keniscayaan kemerdekaan India.
b. Pemikiran Azad
Suatu pemikiran, secara aksiomatis tidak tumbuh dengan sia-sia atau independen dari kondisi objektif; sosiologis maupun politisnya. Pemikiran pada dasarnya merupakan jawaban atau solusi -baik untuk persoalan sosial maupun politis- yang bersifat mengubah atau melegitimasi pemikiran sebelumnya.
Sebagai murid Shibli, ide pembaharuan Azad lebih moderat meskipun tidak ditemukan hal baru yang lebih spektakuler dalam setiap gagasannya. Sepak terjang Azad dalam nasionalismenya menjadikan ia lebih sebagai seorang politikus daripada seorang pemikir. Hal ini tampak pada upaya politik unifikasi kultural yang diharapkannya dapat mengintegralisasikan Hindu-Islam sebagai kekuatan ideologis bagi kemenangan cita-cita nasionalismenya.
Senada dengan para pendahulunya, Azad juga melihat kemunduran umat Islam lebih disebabkan oleh dogmatisme dan sikap taklid terhadap pemikiran-pemikiran abad pertengahan. Selain itu, juga karena umat Islam tidak lagi seluruhnya menjalankan ajaran-ajaran Islam. Ia menganjurkan kembali kepada Alquran dan untuk itu ia menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa Urdu dengan memberi tafsiran yang terlepas dari pengaruh pemikiran ahli hukum, sufi, teolog, filosof dan sebagainya. Sementara itu, fenomena umat Islam India dapat dikatakan masih hidup dengan tradisi kebesaran dan kemegahan masa lalu. Meskipun sebagian mampu bangkit dengan gagasan revivalis, namun pada akhirnya hanya berupa visi yang campur aduk antara kebesaran masa lalu yang telah hilang dan impian kebesaran yang akan datang.
            Selain pada upaya penterjemahan Alquran, Azad juga banyak melakukan terobosan pemikiran dalam bidang pendidikan. Salah satu ide yang ia ejawantahkan ketika menjabat sebagai Menteri di bidang pendidikan adalah perbaikan kurikulum dengan melakukan elaborasi kurikulum Barat dan Islam. Dalam hal ini Azad menitikberatkan pada signifikansi Bahasa Inggris sebagai langkah awal transformasi sains dan teknologi yang saat itu -hingga kini- masih didominasi oleh Barat.
            Pemikiran Azad di bidang pendidikan ternyata juga dipengaruhi oleh ide-ide pembaharuan sosial Ibnu Khaldun yang menilai bahwa tingkat pertumbuhan dan kemunduran intelektual suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh sistem pendidikan atau kurikulum yang mereka gunakan. Pendidikan dalam perspektif sosial ini menghendaki tumbuhnya suatu dedikasi dan orientasi hidup yang jelas bagi seseorang untuk membawa arah sejarah bangsanya. Oleh karena itu, melalui ide pendidikannya, Azad mencoba menumbuhkan kesadaran kultural bangsa India –Hindu dan Islam- sebagai bangsa yang mampu berdiri dalam nasionalisme yang utuh.

C. Penutup
Persoalan tentang kemerdekaan dan nasionalisme melewati dua fase penting di India dan wilayah Asia Selatan secara umum. Pada mulanya orang-orang Hindu dan Islam dalam Partai Kongres Nasional India telah bekerja sama dalam perjuangan kemerdekaan. Namun demikian, ternyata masih banyak orang-orang Islam yang takut kehilangan hak-haknya sebagai minoritas dalam pergulatan politik internal di India yang didominasi Hindu.
Pada akhirnya, -ibarat buah simalakama- umat Islam lebih memilih suatu bentuk negara nasional-teritorial daripada harus menjadi negara sekuler. Pada medan lain, India juga diperhadapkan pada politik imperialis yang secara destruktif telah mereduksi tatanan sosio kultural Hindu-Muslim. Sehingga nasionalisme seolah menjadi alternatif terakhir meskipun sebagian Muslim berpendapat bahwa nasionalisme dalam bantuk apapun bertentangan dengan Islam, sebab masyarakat Islam atau ummah adalah masyarakat yang tidak ada sangkut pautnya dengan segala macam ikatan etnis, suku, daerah ataupun perbedaan-perbedaan ras.
Meskipun area pengkajian ini difokuskan pada nasionalisme dan pemikiran Azad serta kondisi sosio-kultural India secara makro, hasilnya secara umum dan sampai batas tertentu mempunyai validitas dalam menganalisis kejadian yang terjadi di negara lain, khususnya di Indonesia. Berangkat dari itu, pembaharuan ataupun perubahan secara gradual disadari tidaklah bisa diatasi dengan sendirian. Ia memerlukan gerakan-gerakan kolektif yang mungkin saja dalam konteks ini adalah gerakan yang berskala nasional. Sehingga bagaimanapun tetap disadari perlunya membangun kesadaran kolektif yang berbentuk kesadaran politik, sosial, dan budaya. Asumsi ini lebih menyadarkan lagi pada aksioma yang menegaskan bahwa hanya dengan kesadaran kolektiflah maka perubahan dunia dapat berlangsung.
            Sementara itu akan juga mencul pergerakan yang lebih mondial ketika generasi hari ini akan semakin menemukan jati diri dan potensinya untuk menjadi subyek sejarah. Paling tidak, Abu Kalam Azad dalam studi pemikiran dan modernitas adalah sosok “hidden generation” yang telah menampilkan kapasitasnya sebagai “social of historical change” yang selalu menginvestasikan progresivitas dan rasa melawan, meskipun belum jelas apakah tindakan itu terkait dengan soal militansi, terobosan kultural, atau juga semacam bentuk ketegaran untuk bersikap demokratis dan egaliter. Satu hal yang jelas, kondisi realistik zaman ketika itu menuntut suatu ijtihad politik bagi Azad sebagai counter terhadap politik imperialis sekaligus sebagai kontribusi efektif bagi suatu perubahan yang semoga ada benarnya.

Daftar Pustaka
Ali, Mukti. Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan. Cet. I; Bandung: Mizan, 1996.
Baali, Fuad dan Ali Wardi, Ibnu Khaldun and Islamic Thought Style A Sosial Perspective, diterjemahkan oleh Mansuruddin dan Ahmadie Thaha dalam judul Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam. Cet. I; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid I. Cet. III; Jakarta: Iktiar Baru Van Houve, 1994.
Espsosito, John L. The Islamic Threat; Myth or Reality ? diterjemahkan oleh Alwiyah Abdurrahman dan MISSI dengan judul Ancaman Islam; Mitos atau Realitas ?. Cet. I; Bandung: Mizan, 1994.
Kausar, Zeenath. Islam and Nationalism; An Analysis of The Views of Azad, Iqbal and Maududi. Kuala Lumpur: A.S. Noordeen, 1994.
Lapidus, Ira M. A History of Islamic Societies, diterjemahkan oleh Ghufron A. Mas’adi dalam judul Sejarah Sosial Ummat Islam, Bagian Ketiga. Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999.
al-Nabhani, Taqiyuddin. Nizham al-Islam. Cet. VI; Beirut: al-Quds, 2001.
Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Cet. IX; Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Rais, M. Amien. Cakrawala Islam; Antara Cita dan Fakta. Cet. III; Bandung: Mizan, 1991.
Sani, Abdul. Lintasan Sejarah Pemikiran; Perkembangan Modern dalam Islam. Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998.
Troll, Christian W. “Abu Kalam Azad,” John L. Esposito (ed.), The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, Vol. I. New York: Oxford University Press, 1995.
Yatim, Badri. Soekarno, Islam, dan Nasionalisme. Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar