TANGGUNG JAWAB PARA ILMUWAN
DITINJAU DARI SEGI SOSIAL,
POLITIK, MORAL, DAN AGAMA
St. Rahmah. Sy.
PENDAHULUAN
Ketika Plato mendeskripsikan tentang
struktur dan komposisi ideal sebuah masyarakat, ia sedang menempatkan
keberadaan ilmuan, dalam posisi yang sangat penting dan terhormat, layaknya
posisi vital dalam anatomi tubuh manusia.
Tidak hanya Plato,
kita juga kemudian memahami keberadaan kaum ilmuan ini pada posisi yang sangat
strategis dalam sebuah masyarakat. Karena itu dalam perkembangannya juga
memberi pemahaman yang komprehensif tentang mereka.[1]
Bagi
manusia modern seperti kita sekarang, fungsi pemikiran menjadi sangat penting
karena dialah yang sesungguhnya mengendalikan kehidupan kita dari hari kehari.
Semua sektor kehidupan yang penting seperti social, politik ekonomi, hukum dll
diatur dalam sisitem dan kesepakatan yang semuanya merupakan hasil buah
pemikiran manusia par excellence.[2]
Cara
pandang idealistik umumnya melihat ilmuan berikut posisi dan perannya dalam
masyarakat dalam kerangka normatif dan umumnya ahistoris. Ia cenderung melihat
kelompok strategis ini sebagai suatu kelompok yang homogen dengan kesadaran dan
tingkat kerekatan social yang tinggi.[3]
Seringkali
ilmuan dipandang darti kelas sosialnya (social class origin) yang lebih
luas, meskipun tetap menolak pendapat reduksionis yang menyiaratkan bahwa
ilmuan selalu merupakan instrumen dari kelas. Oleh sebab itu, ilmuan tidak lagi
hanya dimengerti secara elistis di mana ia dimonopoli oleh kaum filosofis,
seniman atau kaum terpelajar. Pemahaman tentang ilmuan secara
kontektual/struktural semacam ini sudah barang tentu akan menganalisis kaum
ilmuan dan fungsinya dalam masyarakat secara lebih dinamis dan fleksibel. Ia
akan menitikberatkan pada kerja-kerja kongkret apa yang dituntut dari dan
direalitaskan oleh kaum ilmuan dalam formasi sosialnya dan kelompok sosial.
PEMBAHASAN
A. Pengertian judul
Tanggung Jawab
Dalam segi
filsafat, nilai dari tanggung jawab itu dijadikan sebagai salah satu dari
kriteriadari kepribadian (personality) seseorang.
Unsur-unsur tanggung jawab :
Dari
segi filsafat, sesuatu tanggung jawab itu sedikitnya didukung oleh 3 unsur :
a. Kesadaran.
b. Kecintaan/kesukaan.
c. Keberanian.
1.
kesadaran.
Sadar berisi
pengertian : tahu, kenal, mengerti dapat memperhitungkan arti, guna sampai
kepada soal akibat dari sesuatu perbuatan atau pekerjaan yang dihadapi. Orang
baru dapat dimintai tanggung jawab, bila ia sadar tentang apa yang
diperbuatnya.
2.
kecintaan = love, affection
Cinta, suka
menimbulkan rasa kepatuhan, kerelaan dan kesediaan berkorban. Sadar akan arti
tanggung jawab.
3.
keberanian. Courage, bravery
Berani berbuat,
berani bertanggung jawab. Berani disini, didorong oleh rasa keihklasan, tidak
bersifat ragu-ragu dan takut kepada segala macam rintangan yang timbul sebagai
konsekuensi dari tindak perbuatan. Karena adanya tanggung jawab itulah, maka
seorang yang berani, juga memerlukan adanya pertimbangan-pertimbangan,
perhitungan dan kewaspadaan sebelum bertindak, jadi tidak sembrono atau membabi
buta.8
Menurut kamus
ilmiah kata social berarti : kemasyarakatan, yang suka bergaul, santun.9
Politik
Politik berarti 1).
Segala yang berkenaan dengan cara-cara dan kebijksanaan dalam mengatur negara
dan masyarakat bangsa.10
Moral
1). Istilah moral
bersal dari kata latin: Morale, yang berarti Costom, kebiasaan, adat istiadat.
Tahu adat disebut bermoral, dan sebaliknya disebut immoral. Kelakuan yang tidak
baik disebut a moral. Orang yang tahu adat, mengerti tertib sopan santun inilah
yang disebut moralis.11
Agama
Agama menurut kamus
ilmiah berarti suatu kepercayaan yang dianut oleh manusia dalam usahanya
mencari hakekat dari hidupnya dan yang mengajarkan kepadanya tentang
hubungannya dengan tuhan.12
B. Tanggung Jawab Para Ilmuan di
Tinjau:
1. Bidang Sosial
Metode ilmu-ilmu
social selalu melekat pada suatu bidang atau cabang sistim ilmu social
tertentu. Pada mulanya, metode itu sangat dipengaruhi atau bahkan ditentukan
ketika bidang atau cabang ilmu-ilmu social lahir. Tetapi kemudian mengalami
perubahan dan perkembangan. Metode yang dipakai oleh ilmuan atau kelompok
ilmuan juga dipengaruhi pada saat ilmu itu dipelajari atau diterapkan kemudian
ditempat dan waktu lain, sebagai respon terhadap suatu perkembangan atau
tuntutan perubahan social tertentu. Ilmu sosiologi sendiri baru pada masa
revolusi industri, baik dieropa barat atau di amerika utara, pada awal abad 19.
ilmuan-ilmuan Auguste Comte, Herbert Spencer, Lester Ward, emile Durkheim atau
Max Weber, menulis buku-buku yang menjadi fondasi/fundamen sosiologi industri
atau masa terbentuknya kapitalisme industri.13
Seorang ilmuan
ilmu-ilmu social memualai tugas dan tanggung jawab dengan menemukan atau
menggapai pengetahuan dengan melakukan formulasi teoritis yang kemudian harus
diuji secara empiris. Kalau tidak data empiris yang dikumpulkan menrut
cara-cara dan prosedur itu tertentu itu hanya ternyata mendukung formulasi
teoritis yang telah disusun, maka formulasi itu kemudian berkembang atau dapat
dikembangkan atau dapat dapat dikembangkan menjadi rumusan hasil pengetahuan
yang didalamya terkandung teori ilmu social yang telah dibuktikan kebenarannya,
yaitu kebenaran empiris.
Ada satu hal yang
ikut memperkuat “kebenaran” ilmu pengetahuan social, yaitu citranya seperti ilmu kealaman dan hayat. Citra itu
terealisasikan dengan memenuhi beberapa “keharusan”, yang secara etis netral si
ilmuan harus memisahkan diri dari pandangan yang sifatnya pribadi atau memiliki
pandangan yang impersonal sehingga dapat diperoleh apa yang disebut
“objektifitas”, serta memenuhi segala persyaratan akurasitas dalam pengumpulan
data.
Seorang ilmuan juga
masih dituntut tanggung jawab sosialnya. Ia hanya diminta untuk menyatakan
sikap terhadap suatu masalah masyarakat tempat ia hidup. Bahkan ada kalanya
dituntut keterlibatannya dalam perubahan social guna mencapai tujuan tertentu.
Jika tifak memiliki tanggung jawab social.
Masalah itu memang
masih dan akan tetap merupakan kontroversi. Disatu pihak terdapat pandangan
bahwa seorang ilmuan sejati harus tetap setia kepada fungsi alam ilmu
pengetahuan “yang sebenarnya”, yaitu menyajikan dan menemukan kebenarannya
ilmiah. Pemakaian hasil pemikiran dan penelitian itu sudah merupakan tanggung
jawab yang lain, misalnya, negarawan, teknokrat, birograt, ruhaniawan atau
agamawan, pengusaha, dan lain sebagainya yang selain ilmuan itu sendiri. sudah
barang tentu seorang ilmuan dapat pindah profesi atau mengambil peranan yang
lain sebagai konsumen atau pelaksana yang menerapkan hasil dan penelitian
ilmiah dan dapat memenuhi tanggung jawab moral atau social yang dituntut oleh
masyarakat. Tetapi, selama ia masih menjadi ilmuan, maka ketiga tanggung jawab
saja yang mungkin disebut sebagai tanggung jawab ilmiah atau akademis yang
bercirikan netralitas etis, objektifitas da disiplin dalam prosedur ilmiah.15
2. Bidang Politik
Masyarakat sipili
pada dasarnya tidak akan berkembang lebih luas atau akan berhenti berproses
jika tidak disertai dengan perubahan-perubahan mendasar pada dimensi masyarakat
politik. Dalam masyarakat politik inilah individu maupun kekuatan politik
bersaing secara terbuka untuk mendapatkan dan menguasai jabatan-jabatan publik.
Ini merupakan letak perbedaan yang mendasar dari masyarakat sipil bukanlah
arena persaingan untuk mendapatkan jabatan publik. Sementara masyarakat politik
adalah arena yang sah untuk menggalang kekuatan politik guna merebut
jabatan-jabatan publik dalam pemerintahan. Kedua arena ini saling berinteraksi
dan kualitas interaksi inilah yang akan menentukan apakah subuah masyarakat
benar-benar menujuh kearah demokrasi atau kembali kesebuah sistim otoriter
lagi.16
Secara ideal, di
dalam masyarakat politik tidak dibenarkan adanya kekuatan social maupun politik
yang tidak bertanggung jawab, misalnya militer yang merupakan sebuah unsure
yang memegang peranan yang besar dalam perpolitikan yang cenderung dominan
persaingan anatara politisi sipil dan membuat kalangan sipil tidak berkutib.
Persaingan antar partai tidak akan berlangsung secara maksiaml dan pair jika
unsure ini tidak dihilangkan bahkan lebih patal lagi proses reformasi politik
akan terhalangi.17
Perdebatan
fungsionalis tentang peran dan tanggung jawab kaum ilmuan, belum malampaui
kecaman klasik julien benda yang sangat popular tentang “penghianatan kaum
intelektual “ (1927). Sejak Sumartana dan sobary melontarkan keprihatinan dan
kritiknya tentang kemerosotan posisi dan peran intelektual sebagai kritik
social, maka bermunculanglah tanggpan dan komentar yang mengarah kepada dua
focus diskursus. Pertama, soal hubungan fungsional antara cendekiawan dan kekuasaan (baca : negara) dan
kedua soal posisi kaum cendekiawan.18
Peranan ilmuan,
politisi, cendekiawan, serta badan-badan politik lainnya diharapkan mampu
manjadi kontrol terhadap badan-badan politik utama seperti eksekutip,
legislative, tudikatif agar tidak menjadi sebuah kekuatan yang tumbuh subur dan
tidak terkendali (otoriter). Jadi pada dasarnya peranan ilmuan dalam persoalan
politik ini adalah berfungsi sebagai social control dan sparing partner.
Sebagai seorang
ilmuan juga mempunyai tanggung jawab politik diantaranya :
Pertama: seorang
ilmuan harus menyiapkan perangkap konsititusi yang baik dan membuat suatu
sistim politik yang bebas dari kekuatan politik yang tidak bertanggung jawab
kepada rakyat.
Kedua: para ilmuan
juga harus bisa menjadi social control bagi seksekutif sebagai pelaksana publik
harus dibatasi kekuasannya agar tidak menjadi kekuatan yang korup dan otoriter.
Ketiga: memberikan
pemahaman kepada masyarakat awam tentang posisi dan kepentingannya semua
lembaga peradilan, kepolisian dll.
Keempat: ilmuan
juga menggunakan media dalam memberikan pembelajaran politik kepada masyarakat
dan memberikan masukan terhadap sistim pemerntahan yang ada. Dalam artian
posisi media masa seharusnya berpihak kepada kalangan masyarakat bukan kepada
penguasa (pemerintah).20
Jadi posisi ilmuan
sangatlah penting didalam membangun suatu masyarakat yang demokratis, dan
posisi ilmuan juga menjadi masalah yang sangat urgen dikarenakan maju dan
mudurnya suatu negara tergantung bagaimana peran aktif masyarakat dan ilmuan.
3. Tanggung jawab Ilmuan dari Segi Moral
Istilah moral,
moralitas berasal dari kata bahasa latin “mos” (tunggal), “mores” (jamak) dan
kata sifat “moralitas”. Bentuk jamak “mores” berarti : kebiasaan, kelakuan,
kesusilaan. Kata sifat “moralis” berarti susilah. Sebagai manusia dari segi
baik buruknya ditinjau dari hubungannya dari tujuan hidup manusia yang
terakhir.21 dalam filsafat moral
atau ditinjau atau dalam etika dapat kita bedakan manjadi :
a. perbuatan
insani: “actus humanus” : ialah perbuatan yang dilakukan orang dengan sadar,
dengan tahu betul apa yang dilakukan, dengan kesengajaan kehendaknya.
Perbuatan-perbuatan semacam ini merupakan pormal objek filsafat atau etika.
b. Perbuatan
manusia “ectus hominis” : ialah perbuatan-perbuatan yang dilakukan tidak dengan
penuh kesadaran atau kesengajaan. Umpamanya perbuatan manusia dalam keadaan
tidur, dalam keadaan mabuk, dalam jatuh pingsan. Perbuatan ini dilakukan diluar
kontrol manusia sebagai subjek pelaku. Perbuatan semacam ini ada diluar
perhatian filsafat moral.22
Peranan ilmuan
dalam persoalan moral dapat digambarkan bahwa seorang ilmua harus memandang
moralitas sebagai sebuah standar untuk memeriksa perbuatan menusiawi guna
menentukan kebaikan dan keburukannya. Disamping itupula diperlukan dua norma
1). Norma dekat (proximate norm) sebagai norma yang dapat diterapkan secara langsung.
2). Norma terakhir (ultimate norm) yang berfungsi sebagai penjamin norma dekat.23
Jadi suatu
perbuatan dapat dikatakan baik bila sesuai dengan pikiran benar (right reason).
Akan tetapi kapan kita dapat mengatakan jika pikiran itu sungguh-sungguh benar.
Meskipun perbuatan baik adalah perbuatan yang membimbing ketujuan terakhir.
Untuk mengetahui kesemuanya itu maka seorang ilmuan memerlukan sebuah norma
moralitas tentang hakekat kodrat manusia yang dalam hal ini diambil sepenuhnya
dalam seluruh bagian dari nisbah-nisbahnya.24
4. Tanggung Jawab ilmuan Dari Segi
Agama
Kebudayaan renaissance
menempatkan manusia sebagai pusat perhatian. Manusia bebas mengembangkan
bakat dan keahliannya demi kebahagiaan hidupnya di dunia. Untuk mencapai
kebahagiaan hidup di dunia, rasio (akal) harus dikembangkan. Daya kreasi
manusia yang berfikir dan bertindak bebas, mamainkan peranan penting.
Namun agama sebagai
kontroling yang berpegan kepada kekuatan iman kepada tuhan yang maha esa. Ilmu
pengetahuan berdasarkan penyelidikan dan eksperimen. Agama menerima, yakin dan
percaya akan kebesaran tuhan. Ilmu pengetahuan bertujuan untuk mencapai
kebahagiaan hidup di dunia dan agama befikir kepada keduanya dunia dan akhirat.25
Religi/agama
merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan dalam kehidupan masyarakat. Dalam
masyarakat sederhana religi merupakan sumber utama koheni social. Pembagian
dunia dalam yang sacral dan yang profan merupakan ciri khas pemikiran religius.
Didalam agama hal yang dapart dicapai bukanlah hanya sistim tanda-tanda yng
menerjemahkan kepercayaan secara lahiriyah melainkan secara kolektif untuk
menciptakan kembali kepercayaan itu sendiri. Dalam masalah religi, aturan moral dan hukum tak
dapat dipisahkan secara terinci dari aturan-aturan religi itu sendiri.26
Dalam tubuh
tiap-tiap agama ada sifat yang statis dan ada yang dinamis. Manusia memiliki
insting atau nurani dan intelegensi atau intelek. Intelek atau akal ini dalam
bekerjanya sedikit banyak mendorong egoisme.27
Yang membedakan
sosok manusia dengan makhluk lainnya adalah akal pikiran yang dimiliki dan
kemampuannya dalam bertanggung jawab baik itu secara perorangan maupun secara
kelompok yang lebih besar.28
Didalam sistim
pemahaman islam mengenai posisi penerus Nabi itu diwariskan kepada para anbiya’
(ulama) untuk meneruskan perjuangan Nabi dalam memberikan pemahaman kepada umat
islam mengenai ajaran Islam itu sendiri, dikarenakan pada saat-saat ini telah
banyak yang berupa pada tataran perkembangan dunia yang membutuhkan peran aktif
para ilmuan/ulama dalam memberikan pemahaman yang meyeluruh terhadap umat
mengenai kondisi saat ini dengan suatu metode pendekatan yang responsip kepada
masyarakat kita, yang dari aspek kesejarahan dimana masyarakat kita sangat lama
dibelenggu dengan tradisi-tradisi agama mereka sebelumnya. Mungkin ini yang
manjadi tugas dan tanggung jawab para ulama, ilmuan, cendekiawan, dalam
melakukan metode dakwah yang lebih memberikan nuansa-nuansa baru dalam
memberikan pemahaman Islam yang kaffah kepada umat yang dibelenggu oleh tradisi
nenek moyangnya yang penuh dengan tradisi penuh dengan bid’ah, dan yang
bersifat mistik/tahayyul, dan mengkultuskan para wali-wali yang telah mati,
sehingga masyarakat kita menjadi jumud, stati, tidak ingin maju. Sehingga
dibutuhkan suatu reformasi dalam pemahaman masyarakat awam tentang pemikiran
yang dinamis dan menghindari hal-hal yang sifatnya tidak berguna. Kemudian yang
lebih riskan adalah bagaimana peran para ulama/ilmuan dalam mengantisipasi era
globalisasi yang semakin menggila berimbas ke negara-negara dunia ketiga
(Islam), yang sangat dibutuhkan adalah posisi ilmuan dalam
memberikan/mengaktualisasikan konsep Islam yang sesuai dengan perkembangan
zaman dan menjaga umatnya agar supaya tidak ikut larut dengan kondisi kegilaan
budaya-budaya barat yang tampa nilai dan etika apalagi dibarengi dengan tradisi
keagamaan yang kuat.
Dan yang paling
utama adalah bagaimana peran aktif para ulama dengan proses transpormasi social
budaya dalam kehidupan umat Islam, terutama dari posisi da peran yang besifat
ideal religius-kultural keposisi danperan yang bersifat keperubahan orientasi
hidup yang pragmatis-ultilitarian dalam dinamika kehidupan masyarakat, umat.29
Kemudian dalam
memberikan pemahaman kepada umat peran seorang ulama itu jangan terlalu
muluk-muluk, tetapi dengan cara tidak memberikan penyampaian keterangan yang
menyangkut hal-hal mendasar tentang agama begitu saja, tampa mempertimbangkan
tingkat pemahaman dan penyerapan umat. Cara atau metode yang revesentatif
digunakan adalah yang mengandung nilai
kebenaran, keadilan, kebaikan, cinta, pengorbanan, kesabaran, kearifan, dana
kebijaksanaan, sehingga tercipta suatu pertanggung jawaban yang sifatnya
universal antara ilmuan/ulama dan masyarakat.30
KESIMPULAN
Apabila Kita
memposisikan seorang pigur ilmuan pada posisi yang terhormat ditengah
masyarakat, maka wajarlah akan hal demikian, disebabkan peran dan tanggung
jawab yang kita bebenkan kepada mereka sehingga secara otomatis mereka lebih
dari masyarakat lain. Ditangan merekalah digantungkan harapan, karena majunya
suatu masyarakat dan negara itu tergantung dari bagaimana peran dan posisi
seorang ilmuan melihat dan mananggapi fenomena-fenomena yang terjadi
dimasyarakat dan negara.
Tanggung jawab
seorang ilmuan dari berbagai aspek, termasuk aspek sosial, politik, moral,
agama dll. Merupakan suatu tugas dan tanggung jawab SSagar supaya disemua aspek
itu peran dan tanggung jawab itu bisa diperankan dengan baik, bukan bukan
posisi ilmuan itu berada jauh dari tnggung jawab moral yang diharapkan
masyarakatnya, seperti keberpihakan seorang ilmuan kepada satu sekte/kelompok,
di dalam masyarakat, sehingga aspek indenpendensinya sebagai ilmuan tercemari
oleh kegiatan-kegiatannya, taukah seorang ilmuan lebih dekat kepada birokrasi
dan pengusaha dalam semua sepak terjangnya sehingga masyarakat yang dominan
dianiaya dan dimarjinalkan dalam kehidupan sosialnya, politiknya, moral dan
agamanya.
Jadi yang
dibutuhkan bagi seorang ilmuan adalah keberpihakan mereka kepada arus bawah dan
ia berada disegala lapisan masyarakat dan semua keputusan dan keberpihakan
mereka itu ditujukan kepada masyarakat.
[1]Tim Editor Masika, 1996: 55.
8Burhanuddin Salam, 1997: 49.
9Indrawan WS. t.th: 267.
11Burhanuddin Salam, loc. cit.
12Indrawan WS, op. cit: 16
13Dawam Raharjo, 1993: 120.
16Bambang Cipto, 1999: 86.
17Ibid
18Tim editor Masika, Op Cit: 116.
20Bambang Cipto, Op. Cit: 95.
21A. Gunawan Setiardjo, 1990: 90.
25Poerwantana. Dkk., 1994: 85.
26Djuratna A. Iman Muhni, 2000: 128.
28Ibid.
29Kuntowijoyo, dkk, 1995: 58.
30Ibid: 156.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar