PROPOSAL TESIS
Nama :
Muhammad Ghazali Rahman
NIM :
P0100203021
Konsentrasi : Syari’ah / Hukum Islam
Judul Tesis : Problematika Penegakan Syariat Islam
(Studi terhadap Eksistensi KPPSI di Sulawesi Selatan)
A. Latar Belakang Masalah
Hadirnya kelompok-kelompok dan gerakan-gerakan, biasanya ditampilkan dalam
bentuk gerakan pembela hak asasi atau perbaikan harkat kaum lemah dan tersisih.
Kehendak seperti ini dengan sendirinya menegaskan suatu klaim moral, yakni
humanitas universal. Dalam bentuknya yang lain, gerakan moral ini boleh jadi
berdiri tegak sebagai oposisi terhadap pemerintah dengan melakukan check and
balance dalam bingkai demokratisasi. Kehadiran tersebut juga merupakan
suatu bentuk keprihatinan, responsibilitas dan juga suatu kesadaran kolektif
atas berbagai krisis kemanusiaan.
Dalam
konteks berbangsa dan bernegara di Indonesia, setidaknya sejak negara Indonesia
berdiri, kesadaran semacam itu telah mengental di kalangan umat Islam. Sebab
disadari bahwa agama pada dasarnya mempunyai peran strategis dalam
mengembangkan etika sosial, ekonomi dan politik. Persoalan kemudian adalah,
apakah proses artikulasi nilai-nilai Islam yang mesti diperjuangkan itu perlu
melibatkan institusionalisasi agama dalam praksis sosial-politik yang bersifat
formalistik atau tidak ?
Sampai
saat ini, polemik seputar penegakan syari’at Islam misalnya, masih menjadi isu
yang hangat untuk tetap diperbincangkan. Diskursus ini mengkristal sedemikian
rupa dalam tesa dan antitesa yang secara tidak langsung mendeskripsikan suatu
polarisasi umat Islam Indonesia bahkan dunia. Upaya kelompok-kelompok tertentu
untuk mengaktualisasikan syari’at Islam di Indonesia bukanlah tidak menghadapi
tantangan. Aspirasi ini dapat dilihat sejak awal kemerdekaan melalui konsep
Piagam Jakarta yang dengan alasan tertentu pada akhirnya harus dihapus.[1]
Kehendak untuk mengembalikan konsep
Piagam Jakarta tersebut kembali bergulir pasca reformasi, sebagaimana diketahui
bahwa iklim reformasi telah membuka lebar kebebasan berpendapat yang selama
Orde Baru selalu dikekang. Seiring itu pula, menciutnya sentralisasi kekuasaan
pusat melalui perluasan otonomi daerah ikut memberi peluang bagi daerah-daerah
tertentu yang memiliki basis keislaman yang kuat secara historis untuk kembali mencoba mengaspirasikan ide penegakan
syari’at Islam.[2]
Ada beberapa asumsi yang bisa lahir
atas dasar fenomena tersebut. Tumbuhnya kegairahan untuk menegakkan syari’at
Islam boleh jadi sebagai suatu bentuk respon terhadap krisis multidimensi yang
melanda dunia, khususnya bangsa Indonesia. Berbagai penyimpangan moral di
berbagai aspek kehidupan masyarakat, bahkan di lingkungan birokrasi /
pemerintahan yang sering dikenal dengan istilah KKN (Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme) menjadi stimulus reaktif untuk mencari alternatif format baru sistem
hukum dan kenegaraan di Indonesia. Terlebih lagi jika menelusuri sejarah pahit
perjalanan hukum di Indonesia yang hingga kini belum mampu menjamin
ditegakkannya tujuan hukum, apalagi untuk tercapainya rasa keadilan.
Salah satu kesimpulan awal atas dasar gejala tersebut adalah dengan
melihatnya sebagai indikasi munculnya "Islam Politik", meskipun
istilah Islam Politik dalam pandangan umum lebih dimaknai sebagai Islam yang
ditampilkan atau diaktualisasikan dalam kekuasaan, khususnya pada bidang
eksekutif dan legislatif.[3] Tetapi lebih dari itu, Islam Politik
tentunya tidak bisa dilepaskan dari upaya ataupun bentuk ideologisasi Islam ke
dalam kekuasaan politik. Oleh sebagian yang lain memandang fenomena tersebut
sebagai ekspresi-ekspresi yang akrab dengan istilah-istilah simbolik seperti
halnya dengan istilah revivalisme Islam, bangkitnya kembali Islam, revolusi
Islam, mempertegas kembali Islam, atau juga Islam fundamentalis. Meskipun
ekspresi-ekspresi itu mengandung motivasi yang baik, namun hal itu masih
dinilai sebagai bentuk apologetis dari dominasi dan hegemoni komunitas Islam
yang memang mayoritas.[4]
Secara kilas balik dapat dilihat kembali bahwa sejarah politik Islam di
Indonesia lebih diwarnai oleh
cerita-cerita muram. Dalam sejarahnya, pemerintah selalu menganggap Islam
politik sebagai fenomena yang membahayakan. Hal ini tidak hanya dalam konteks
persaingan kekuasaan, tetapi juga dikaitkan dengan ideologi dan dasar negara.
Karena itulah maka pemerintahan selalu berusaha untuk melemahkan dan
menjinakkan Islam politik. Sikap dasar ini ikut mempengaruhi kegagalan politik
Islam dalam memperjuangkan aspirasi ideologisnya, bahkan yang lebih
menyedihkan, seluruh kegiatan politik Islam tetap dicurigai sebagai manifestasi
keinginan, baik terbuka maupun tidak, untuk mengganti Pancasila dengan Islam
sebagai dasar negara. Hal ini menjadi
sangat ironis jika argumen ini diteruskan, sebab bagaimana mungkin dalam sebuah
negara yang mayoritas penduduknya muslim, keterkaitan antara Islam dan politik
yang berkembang di dalamnya tidak dapat diciptakan secara lebih baik.
Seperti halnya sebuah konstalasi,
hal ini menjadi sangat krusial ketika perkembangannya mengarah kepada
antagonisme yang bersifat timbal balik. Jika dari pemerintah mengembangkan rasa
curiga terhadap Islam politik sebagai kekuatan yang membahayakan ideologi
negara, maka sebaliknya komunitas Islam juga melakukan hal yang sebanding,
yakni pemerintah dianggap berusaha mengembangkan sekularisme politik sebagai
bagian dari apa yang sering disebut dengan “islamophobia”.[5]
Situasi yang tidak kondusif inilah
yang mendorong sejumlah aktivis dan pemikir Islam “generasi kedua” untuk
mengembangkan format baru politik Islam. Meskipun pergulatannya mengambil
bentuk-bentuk percaturan politik, namun akar persoalannya juga tetap bersifat
teologis. Ini dalam pengertian bahwa setiap interpretasi terhadap Islam akan
mempengaruhi dan membentuk pemikiran dan aktivitas politik komunitas Islam.
Maka dalam kerangka seperti itu, kaitan antara Islam dan politik merupakan
bagian penting dari upaya melahirkan jalan keluar atas benturan-benturan
ideologis sekaligus mencari rumusan format-format politik baru yang bisa lebih
sesuai dengan konteks temporal keindonesiaan.
Sehingga pada dasarnya, epistem
teologis dari politik Islam yang ingin dikembangkan adalah bagaimana
menampilkan Islam dalam bentuknya yang paling objektif ketika berhadapan dengan
lingkungan sosial keagamaan Indonesia yang sudah terlanjur heterogen. Sebab,
walaupun Islam oleh pemeluknya dipercaya sebagai agama pembawa rahmat bagi alam
semesta, dalam rumusannya yang subjektif ia akan dianggap sebagai sesuatu yang
bersifat mengancam dan eksklusif.
Dengan begitu, bentuk integratif transformasi subjektivisme Islam yang partikularistik ke dalam wilayah
plural itu diupayakan dengan menetralisir nuansa ancamannya. Bagaimanapun juga,
penting untuk dicatat bahwa usaha ini tidak hanya sekedar panggilan
religio-politik untuk menciptakan suatu simbolisme Islam di dalam kancah
politik nasional Indonesia. Melainkan secara subtantif hal ini dimaksudkan
untuk memberlakukan nilai-nilai yang tercakup dalam Islam yang “harus”
membimbing norma-norma masyarakat.
Hal ini cukup beralasan, sebab agama, sebagaimana banyak dikemukakan orang
mungkin dilihat sebagai sesuatu instrumen yang baik untuk memahami dunia.[6] Dalam hal ini, Islam mungkin saja
adalah satu agama dengan tingkat kesulitan paling sedikit untuk menerima premis
semacam itu dibandingkan dengan agama lain. Alasan yang yang menjadi dasar
mengapa Islam memiliki sifat yang paling jelas
adalah karena “kemahakuasaan”-Nya. Ini adalah gagasan yang menyatukan
bahwa di manapun Islam hadir akan memberikan sikap moral yang baik bagi bangsa manusia.
Lebih dari itu, gagasan ini sekaligus telah menjadi pedoman sebagian besar
pemeluknya bahwa Islam adalah jalan hidup yang lengkap, yakni suatu yang
menawarkan jalan keluar terhadap segala persoalan hidup. Gambaran yang paling
utuh direpresentasikan melalui syari’at (hukum Islam) yang mencakup tiga hal:
agama (al-din), dunia (al-dunya), dan negara (dawlah).[7] Dengan paradigma seperti itu maka
-bagi kelompok ini- Islam harus diterima apa adanya dan segalanya, harus
diterapkan dalam keluarga dan seluruh aspek kehidupan lainnya untuk membentuk
wujud masyarakat Islam yang ditandai dengan berdirinya negara Islam yang secara
ideologis didasarkan pada penyelenggaraan Islam secara “kaffah”.
Dalam perjalanannya, diskursus tentang syari’at Islam tidak lepas dari cara
pandang terhadap bagaimana syari’at itu dipahami. Sebab, ada sejumlah faktor
yang dapat mempengaruhi dan menentukan hasil dari pemahaman orang Islam atas
syari’at. Persoalan sosiologis, budaya, dan intelektual menjadi bagian yang
ikut menentukan bentuk-bentuk dan substansi penafsiran. Kecenderungan
intelektual yang berbeda dalam usaha memahami syari’at tertentu mungkin
mendasari perbedaan penafsiran terhadap suatu doktrin tertentu. Dengan
demikian, ketika menerima prinsip umum tentang syari’at, orang Islam tidak
hanya mengikuti interpretasi yang tunggal.[8]
Oleh karena itu, pada dasarnya polemik ini kembali menyangkut masalah
penafsiran terhadap syari’at. Perbedaan sejumlah aliran dalam hukum Islam atau
berbagai aliran teologi dan filsafat menunjukkan bahwa ajaran Islam adalah
multi tafsir. Atas dasar sifat majemuk penafsiran dari Islam telah berfungsi
sebagai basis dari fleksibilitas Islam dalam sejarah sekaligus memperkuat
pluralisme dalam tradisi Islam. Sehingga sebagaimana banyak dikatakan orang,
Islam tidak dan tidak mungkin akan diterima secara monolitik. Dalam waktu yang
sama, karena potensi Islam terhadap perbedaan tafsir, maka tidak ada gagasan
tunggal yang bersifat kesatuan tentang bagaimana Islam dan politik seharusnya
dihubungkan.
Pada fenomena ini, Bahtiar Effendy misalnya melihat adanya dua arus besar
intelektual dalam pemikiran politik Islam kontemporer. Karena keduanya mengakui
pentingnya prinsip Islam dalam seluruh lapangan kehidupan, maka mereka
dibedakan secara garis besar dalam tafsir, kecocokannya, dan penerapannya dalam
dunia nyata. Dalam satu ujung spektrum, adalah mereka yang menyatakan bahwa
Islam hendaknya sebagai dasar negara, bahwa syariah harus diadopsi sebagai
konstitusi negara, bahwa kemerdekaan politik berada di tangan Tuhan, bahwa ide
tentang negara-bangsa modern dianggap bertentangan dengan konsep ummah
yang menganggap tidak ada batas politik. Sejalan dengan itu, prinsip syura (konsultasi) merupakan
salah satu bagian konsepsi yang mereka tawarkan, tetapi penerapannya berbeda
dari gagasan demokrasi kontemporer. Dalam perspektif demikian maka sistem
politik modern yang diusung oleh Barat ditempatkan sebagai posisi yang
bertentangan dengan ajaran Islam. [9]
Kemudian pada ujung spektrum yang lain, adalah mereka yang meyakini bahwa
Islam tidak memberikan dasar yang jelas dan bentuk definitif yang siap pakai
menyangkut teori negara atau teori politik yang harus diikuti oleh umat.
Seperti itu pula argumentasi yang melihat Islam sebagai sebuah agama tanpa
memiliki sistem pemerintahan yang khas, yang lahir dari logika agama yang
sesuai dengan segala zaman dan tempat, yang selalu berubah dengan kekuatan
evolusi yang tidak selalu mengikuti pemikiran rasional manusia, mampu
memaksakan kondisi menurut kepentingan umum dan di dalam kerangka kerja
persepsi umum menurut kehendak agama.[10]
Bagi alur teoretis ini, Alquran bukanlah risalah tentang ilmu politik.
Bahkan istilah negara (dawlah) menurut mereka tidak dapat dibangun di
dalam Alquran. Walaupun memang ada sejumlah ekspresi di dalam Alquran yang
merujuk pada kekuasaan dan otoritas politik, namun ekspresi ini adalah
kata-kata yang bersifat kebetulan dan tidak memiliki konsekuensi teoritis
tentang politik.[11]
Tanpa harus terjebak pada diskursus tersebut, berbagai aspek baik historis,
yuridis, maupun sosiologis tampaknya memang sedikit memberi ruang gerak bagi
kelompok atau gerakan tertentu yang memiliki basis pemikiran fundamental untuk
tegaknya hukum Tuhan di muka bumi. Hal itu bisa jadi diupayakan dalam
mengedepankan bentuk Islam struktural atau mungkin Islam kultural. Dalam
formatnya yang berbeda, KPSI (Komite Penegakan Syari’at Islam) merupakan salah
satu contoh kasus yang hendak penulis angkat dan kaji pada tesis ini.
Keberadaan kelompok atau organisasi ini dapat dikatakan menjadi salah satu
bukti bahwa kehendak untuk menegakkan syari’at Islam masih menjadi harapan
banyak orang.
B. Rumusan Masalah
Beberapa rumusan masalah yang akan
penulis angkat atas dasar latar belakang tersebut antara lain yaitu:
- Bagaimana upaya KPSI untuk mencapai visi dan misi penegakan syari’at Islam ?
- Bagaimana peran KPSI sebagai wadah yang diharapkan mampu menjadi ujung tombak penegakan syari’at Islam ?
- Bagaimana prospek tegaknya syari’at Islam yang ingin diperjuangkan oleh KPSI ?
C. Pengertian Judul
Sebagaimana lazimnya, pengertian
judul yang dimaksud dalam hal ini adalah dimaksudkan untuk memberikan batasan
operasional judul. Adapun KPSI yang dimaksudkan dalam judul tesis ini adalah
singkatan dari Komite Penegakan Syari’at Islam. Dengan itu maka yang
dimaksudkan melalui judul “Eksistensi KPSI dan Cita-cita Penegakan Syari’at
Islam” adalah upaya menggambarkan keberadaan Komite Penegakan Syari’at
Islam (KPSI) yang dibatasi pada wilayah Sulawesi Selatan serta bagaimana
kontribusinya dalam cita-cita penegakan syari’at Islam. “Komite Penegakan
Syari’at Islam” dalam tulisan ini selanjutnya akan lebih banyak disingkat
dengan “KPSI”.
D. Tinjauan Pustaka
Beberapa literatur yang menjadi
rujukan dalam penulisan tesis ini yakni berupa
buku-buku yang diedarkan dan ditulis sendiri oleh Komite Penegakan
Syari’at Islam Sulawesi Selatan.
Buku-buku tersebut merupakan beberapa panduan yang sengaja disosialisasikan
untuk lebih memperkenalkan KPSI di masyarakat luas. Selain itu penulis juga
mengacu pada beberapa “Surat Keputusan” yang dikeluarkan oleh KPSI melalui
acara-acara resmi seperti Milad KPSI maupun yang dihasilkan melalui Kongres
Umat Islam.
Salah satu buku yang secara jelas
telah memaparkan dan memperkenalkan KPSI sekaligus menjadi buku pertama yang
diedarkan oleh KPSI dalam rangka sosialisasinya yaitu buku “Ikhtiar Menuju
Darussalam; Perjuangan Menegakkan Syari’at Islam di Sulawesi Selatan” yang
disusun oleh beberapa aktivis KPSI. Buku yang diberi pengantar langsung oleh H.
A. M. Fatwa dan Abd. Aziz Qahhar Muzakkar ini banyak memaparkan derap langkah
perjuangan KPSI, urgensi penerapan syari’at Islam serta gambaran idealisme,
realitas dan peluang KPSI.
Adapun buku-buku menyangkut syari’at
Islam secara umum yang menjadi acuan penulis telah banyak ditulis oleh beberapa
pakar. Tulisan-tulisan tersebut merupakan pandangan-pandangan mereka dalam
beberapa aspek tentang syari’at Islam, baik yang setuju/pro maupun mereka yang
tidak setuju/kontra.
Yusuf Qardhawi dalam bukunya Membumikan
Syari’at Islam menjelaskan tentang kelebihan, kepraktisan, dan
keuniversalan syari’at Islam dibandingkan hukum produk manusia. Beliau juga menjelaskan
syarat-syarat yang harus dimiliki dalam menerapkan syari’at Islam di zaman
sekarang.
Dalam buku Hukum Islam di Indonesia oleh Rifyal
Ka’bah dijelaskan tentang hasil pengkajian keputusan-keputusan menyangkut hukum
Islam yang dikeluarkan oleh Lajnah Tarjih Muhammadiyah Lajnah Bahsul Nahdatul Ulama.
Menegakkan Syari’at Islam dalam Konteks ke
Indonesiaan; Proses perubahan Nilai-nilai Islam dalam Aspek Hukum, Politik dan
Lembaga Negara yang
ditulis oleh Hartono Marjono menjelaskan tentang kandungan-kandungan Alquran,
dalam bentuk pemikiran manusia, khususnya dalam bidang hukum, dan umumnya dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Membumikan Hukum Pidana Islam (Penegakan
Syari,at Islam dalam Wacana dan Agenda) oleh Topo Santoso, dijelaskan tentang potret
hukum pidana Islam secara utuh dan efektifitas penerapan syari’at Islam untuk
membentuk Non criminal society ‘masyarakat antikriminal’ serta agenda
dan tantangan untuk membumikan hukum Islam.
Daud Rasyid dalam buku Islam Dalam Berbagai Dimennsi, dijelaskan
tentang keberadaan syari’at dalam melihat berbagai fenomena-fenomena atau
peristiwa-peristiwa yang terjadi dewasa ini untuk menjadi bahan renungan dan
pelajaran bagi umat Islam.
Dalam buku Hukum dan Konstitusi; Sistem Politik
Islam oleh Abul A’la Al-Maududi dijelaskan tentang aspek-aspek hukum Islam,
yang meliputi legislasi ijtihad dalam Islam serta upaya-upaya konstruktif
penegakan hukum Islam dalam suatu negara, juga membahas pemikiran politik dan
konstitusi Islam, yang meliputi pembahasan teori politik Islam, konsep politik
Alquran, prinsip-prinsip dasar pemerintahan Islam, landasan konstitusi Islam
menurut Alquran dan Sunnah, dan terakhir membahas mengenai hak-hak non Muslim
di suatu negara Islam.
Beberapa literatur tersebut merupakan bahan analisis
komparatif bagi penulis untuk melihat setiap paradigma pikir para pakar
terhadap syari’at Islam yang kemudian membawanya pada konsep syari’at Islam
yang ditawarkan oleh KPSI. Sehingga
dengan itu dapat dilihat sejauhmana eksistensi KPSI dapat menjadi pionir
bagi upaya penegakan syari’at Islam di Sulawesi Selatan.
E. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian
lapangan (field research) yang akan dianalisis secara
deskriptif-kualitatif. Beberapa pendekatan yang penulis gunakan dalam analisis
tersebut yakni:
1.
Historis, dengan pendekatan ini penulis akan
memaparkan secara kronologis latar belakang lahirnya KPSI di Sulawesi Selatan.
2.
Sosiologis, pendekatan ini dimaksudkan untuk
menganalisa kondisi objektif masyarakat yang mendorong KPSI bermaksud untuk menegakkan syari’at Islam di Sulawesi
Selatan.
3.
Politik, yakni melihat prospek eksistensi
KPSI secara organisatoris di tengah
situasi politik bangsa, hal ini menyangkut tanggapan atau respon pemerintah
terhadap KPSI serta peluang dan tantangannya ke depan dalam mencapai cita-cita
penegakan syari’at Islam.
Dengan pendekatan tersebut, maka pengumpulan data secara
teknis diperoleh melalui wawancara terhadap tokoh-tokoh KPSI maupun dari pihak
pemerintah dan beberapa dokumentasi kegiatan KPSI sejak awal berdirinya.
F. Tujuan dan Kegunaan
Penelitian
Penelitian ini merupakan syarat penyelesaian akhir studi
penulis pada program pascasarjana yang secara akademis (academic
significance) bertujuan untuk menambah informasi dan memperkaya khazanah
ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu keislaman pada khususnya, sekaligus
menjadi sarana sosialisasi terhadap eksistensi KPSI di Sulawesi Selatan. Dengan
itu maka hasil penelitian ini diharapkan mempunyai arti kemasyarakatan (social
significance), khususnya bagi masyarakat muslim yang mempunyai kepedulian
terhadap perlunya syari’at Islam ditegakkan.
G. Garis-garis Besar Isi
Bab pertama, sebagai bab pendahuluan
yang menguraikan latar belakang masalah, yakni hadirnya KPSI sebagai wadah
penegakan syari’at Islam dan pandangan umum terhadap urgensitas syari’at Islam;
rumusan masalah; pengertian judul yang dimaksudkan untuk mengetahui
definisi operasional dari ruang lingkup
pembahasan; tinjauan pustaka, dengan tujuan untuk mengetahui orisinalitas
penelitian tesis ini; metode penelitian; serta tujuan dan kegunaan penelitian
secara teoritis maupun praktis.
Bab kedua, dalam bab ini penulis
akan memaparkan tentang kondisi umum KPSI secara organisatoris, baik menyangkut
awal eksisnya, visi dan misi, serta konsep gerakannya atau arah perjuangannya.
Bab ketiga, melalui bab ini penulis
akan memaparkan strategi KPSI dalam menegakkan syari’at Islam, yakni menyangkut
sosialisasi dan percontohan daerah penrapan syari’at Islam serta upaya alternatif melalui
Peraturan Daerah (PERDA Syari’at) di Sulawesi Selatan.
Bab keempat, bab ini akan
menguraikan peran dan prospek KPSI secara organisatoris bagi upaya penegakan
syari’at Islam di Sulawesi Selatan. Dalam hal ini adalah menyangkut tantangan
dan peluangnya secara politis serta respon pemerintah terhadap sepak terjang
KPSI Sulawesi Selatan.
Bab kelima, merupakan bab penutup
yang akan menguraikan beberapa kesimpulan dan saran berdasarkan hasil
penelitian penulis menyangkut eksistensi KPSI dan cita-cita penegakan syari’at
Islam di Sulawesi Selatan.
KOMPOSISI BAB
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
B.
Rumusan Masalah
C.
Pengertian Judul
D.
Tinjauan Pustaka
E.
Metode Penelitian
F.
Tujuan dan Kegunaan
G.
Garis Besar Isi
BAB
II MENGENAL KPSI
A.
Latar Belakang Lahirnya KPSI
B.
Konsep Gerakan KPSI
BAB III STRATEGI KPSI DALAM MENEGAKKAN
SYARI’AT ISLAM DI SULAWESI SELATAN
A. Maksimalisasi Daerah Percontohan Pemberlakuan
Syari’at
B. Alternatif Pemberlakuan Peraturan Daerah (PERDA Syari’at)
BAB IV PERAN DAN PROSPEK KPSI DALAM
MENEGAKKAN SYARI’AT ISLAM DI SULAWESI
SELATAN
A.
Kontribusi KPSI Bagi Penegakan Syari’at Islam
B. Prospek KPSI Secara Organisatoris Dalam Tantangan dan Peluang
Penegakan Syari’at Islam
C. Respon Pemerintah
Terhadap Perjuangan KPSI Di Sulawesi Selatan
BAB
V PENUTUP
A.
Kesimpulan
B.
Saran-saran
Daftar Pustaka
Amal, Taufik
Adnan dan Samsu Rizal Panggabean, Politik Syari’at Islam ,dari indonesia
hingga Nigeria, Cet. I; Jakarta: Pustaka Advokat, 2004.
Arifin,
Busthanul. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia; Sejarah, Hambatan, dan
Prosepeknya. Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Ayudi, Nazih. Political Islam; Religion and Politic
in The Arab World. Cet. I; New York: Routledge, 1991.
Azra, Azyumardi. “Islam di Tengah Arus Transisi Menuju
Demokrasi” dalam Abdul Mu’nim D.Z., (ed.) Islam di Tengah Arus Transisi
Menuju Demokrasi. Cet. I; Jakarta: Kompas, 2000.
Bellah, Robert N. Beyond Belief; Essays on Religion
in a Post-Tradisionalist World. Cet. I; Berkeley and Los Angeles:
University of California Press, 1991.
Do’i. A. Rahman. Syari'ah The Islamic Law,
diterjemahkan oleh Zainuddin dan Rusydi Sulaiman dalam judul Syari'a II;
Hudud dan Kewarisan, Ed. I, Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.
Effendy, Bahtiar. Masyarakat Agama dan Pluralisme
Keagamaan; Perbincangan Mengenai Islam, Masyarakat Madani dan Etos
Kewirausahaan. Cet. I; Yogyakarta: Galang Press, 2001.
Haq, Hamka. Syari’at
Islam; Wacana dan Penerapannya. Cet. I; Ujung Pandang: Yayasan al-Ahkam,
2001.
KPSI Sulawesi
Selatan, “Laporan Hasil Musyawarah Kerja KPSI Sulawesi Selatan” pada
tanggal; 23-24 Rabiul Akhir 1425H/12-13 Juni 2004M, bertempat di Pondok Madinah
Makassar, Makassar: KPSI SulSel, 2004.
________________,
Dakwah dan Jihad KPSI Sulawesi Selatan, Makassar: KPSI SulSel, 2003.
________________, Tiga Tahun (21
Oktober 2000-2003) KPSI Sulawesi Selatan,”Otonomi Khusus Daerah Sulawesi
Selatan untuk Tegaknya Syari’at Islam”, Makassar: KPSI SulSel, 2003.
KPPSI, Ikhtiar
Menuju Darussalam; Perjuangan Menegakkan Syari’at Islam di Sulawesi Selatan. Cet.
I; Jakarta: Mitra Sukses Billah, 2005.
Lindrung,
Tamsil. “Peran dan stategi Pemda dalam membumikan Syari’at Islam”, Makalah,
disampaiakan dalam seminar pada Kongres III Umat Islam di Bulukumba.
Mahrus. A. H.A.
Patabai Pabokori; Mengawal Bulukumba Ke Gerbang Syari’at Islam. Cet. I;
Makassar: Karier Utama, 2005.
Mardjono,
Hartono. Menegakkan Syari'at Islam dalam Konteks Keindonesiaan; Proses
Penerapan Nilai-nilai Islam dalam Aspek Hukum , Politik, dan Lembaga Negara.
Cet. I; Bandung: Mizan, 1997.
Al-Maududi,
Abu A’la. The Islamic Law and Contitusion, ed. 5. Lahore (Pakistan):
Islamic Publication, 1975).
Diterjemahkan oleh Asep Hikmat, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik
Islam. Cet. VI; Bandung: Mizan, 1998.
Minhajuddin.
Sistematika Filsafat Hukum Islam. Cet. I; Ujung Pandang: AHKAM, 1999
Muchsin.
H. Masa depan Hukum Islam di
Indonesia. Cet. I; Jakarta: Badan Penerbit IBLAM, 2004.
Muslehuddin,
Muhammad, Philosophy of Islamic Law and The Orientalist; A Comparative Study
of Islamic Legal System. Diterjemahkan oleh Yudian Wahyudi Asmin, et. al.,
dalam judul Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis; Studi
Perbandingan Sistem Hukum Islam. Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997.
Qardhawi,
Yusuf. Madkhal Li Diasah Al-Syari’ah Al-Islamiyyah, terjemahannya; Membumikan
Syari’at Islam, Keluwesan Aturan Ilahi Untuk Manusia. Cet. I;
Bandung: Mizan, 2003.
Santoso, Topo. Membumikan
Hukum Pidana Islam; Penegakan Syari’at Islam Dlam Wacana dan Agenda. Cet. I;
Jakarta: Gema Insani, 2003.
Shihab, Alwi. “Piagam Jakarta; Kisah Tujuh Kata Sakral”
dalam A. Syafi’I Ma’arif, et. al., Syari'at Islam Yes Syari'at Islam No;
Dilema Piagam Jakarta dalam Amandemen UUD 1945. Cet. I; Jakarta:
Paramadina, 2001.
[1]Lihat, Alwi Shihab, “Piagam Jakarta; Kisah Tujuh Kata Sakral” dalam
A. Syafi’I Ma’arif, et. al., Syari'at Islam Yes Syari'at Islam No; Dilema
Piagam Jakarta dalam Amandemen UUD 1945 (Cet. I; Jakarta: Paramadina,
2001), h. 3-7.
[2]Gejolak tersebut dapat dilihat misalnya di Aceh dan Sulawesi
Selatan.
[3]Lihat, Azyumardi Azra, “Islam di Tengah Arus Transisi Menuju
Demokrasi” dalam Abdul Mu’nim D.Z., (ed.), Islam di Tengah Arus Transisi
Menuju Demokrasi (Cet. I; Jakarta: Kompas, 2000), h. xxiii.
[4]Lihat, Bahtiar Effendy, Masyarakat Agama dan Pluralisme
Keagamaan; Perbincangan Mengenai Islam, Masyarakat Madani dan Etos
Kewirausahaan (Cet. I; Yogyakarta: Galang Press, 2001), h. 167.
[5]Lihat, Hadimulyo “Islamofobia “ dalam A. Syafi’i Ma’arif, et. al., Syari'at
Islam Yes…h. 51-55.
[6]Alasan tersebut merupakan argumen yang dipertahankan oleh Robert N.
Bellah. Lihat, “Islamic Transition and the Problems of Modernization”, dalam Beyond
Belief; Essays on Religion in a Post-Tradisionalist World (Cet. I; Berkeley
and Los Angeles: University of California Press, 1991), h. 146.
[7]Nazih Ayudi, Political Islam; Religion and Politic in The Arab
World (Cet. I; New York: Routledge, 1991), h. 63-64.
[8]Lihat, Bahtiar Effendy, Masyarakat Agama… h. 169.
[11]Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar