REKONSTRUKSI MANAJEMEN PENDIDIKAN
(Kritik Atas Kurikulum Pendidikan Nasional Dalam
Internalisasi Nilai Etika Ilmu Pengetahuan)
Oleh: St. Rahmah
Syarifuddin
Pendahuluan
Adalah sebuah keniscayaan sejarah bahwa majunya suatu
bangsa tergantung pada tingkat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Asumsi ini dapat kita benarkan. Misalnya dalam tarikh Islam yang dimulai dari
pembentukan Negara Madinah oleh Nabi Muhammad saw. sampai pada zaman Dinasti
Abbasiyyah terlihat betapa majunya negara-negara Islam pada saat itu. Hal ini
disebabkan karena ilmu pengetahuan merupakan hal yang "wajib" untuk
dimiliki oleh setiap orang. Bahkan seorang panglima perang Sultan Ma'mum
mengatakan kepada anaknya "jikalau engkau ke pasar dan ingin berhenti,
maka berhentilah di depan toko buku atau toko penjual senjata. Hal ini
memberikan gambaran kepada kita betapa ilmu pengetahuan itu sangat penting.
Selanjutnya
percepatan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut membawa manusia untuk
memperoleh kemudahan dalam semua aktivitas kesehariannya. Bahkan perkembangan
tersebut telah memicu terjadinya gerakan revolusi industri di Inggris dan
revolusi politik di Perancis. Revolusi ini sekaligus merupakan babak baru
terhadap perjalanan dunia ilmu pengetahun sampai sekarang ini.
Loncatan-loncatan berpikir manusia pasca revolusi telah
memberikan peluang lebih banyak terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, menyebabkan pola hidup manusia bergeser dari kualitatif-spiritual
menjadi kuantitatif-material. Lebih jauh manusia senantiasa diperhadapkan pada
kebenaran-kebenaran praktis-pragmatis, di mana nilai sesuatu dilihat dari
kegunaannya.
Nilai praktis-pragmatis selanjutnya terinternalisasi
dalam dunia pendidikan, sehingga pola pendidikan cenderung mengarah kepada
pembobotan kognitif dan psikomotorik belaka. Padahal konsepsi pendidikan tidak
hanya bertumpu pada aspek kognitif dan psikomotorik, akan tetapi aspek afektif
adalah hal yang cukup fundamental dalam membentuk sikap seseorang.
Kerangka Pikir
Filsafat sangat penting karena merupakan alat pertimbangan dalam
mengambil keputusan tentang setiap aspek kurikulum. Hal ini disebabkan karena filsafat
itu sebagaimana yang kita pahami memiliki tiga aspek paradigma ilmu
pengetahuan, yaitu :
1.
Aspek ontologis.
2.
Aspek epistemologis.
3.
Aspek etis.
Ad. 1 Aspek ontologis.
Aspek ontologis merupakan jawaban atas pertanyaan apa dan
mengapa ilmu pengetahuan itu ada. Oleh karena itu aspek ini bertitik sentral
pada obyek, baik material maupun formal. Mengangkat obyek materi yaitu ilmu
pengetahuan itu sendiri. Seperti diketahui bahwa filsafat mempunyai obyek
materi segala sesuatu yang ada, bahkan yang adanya dalam kemungkinan sekalipun
menjadi sasaran penyelidikan. Sedangkan ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang
ada, maka wajarlah jika segala jenis dan bentuk ilmu pengetahuan menjadi obyek
materi filsafat.
ad.2. Aspek epistemologi
Aspek ini merupakan
jawaban dari pertanyaan bagaimanakah ilmu pengetahuan itu. Titik sentral
persoalannya adalah apakah kebenaran dan bagaimana mengetahuinya, yang dapat
diketahui melalui tiga teori kebenaran yaitu teori koheren, teori koresponden
dan teori pragmatik.
ad.3. Aspek etis,
Aspek etis
merupakan pertanggungjawaban atas kebenaran epistemologis ke dalam prilaku
eksistensial, demi tujuan kehidupan manusia menurut dasar realita ontologis.
Jadi aspek ini bersangkutan langsung dengan prilaku yaitu tanggungjawab ilmu
pengetahuan dan teknologi terhadap tujuan kehidupan yaitu kebahagiaan.[1]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa dengan pendekatan
ketiga aspek paradigma filsafat ilmu pengetahuan, manusia diharapkan agar dapat
mengerti dan mempunyai pandangan yang menyeluruh dan sistematis mengenai alam
semesta tempat manusia berada, serta manusia menyadari bahwa dirinya merupakan
bahagian dari alam semesta ini.[2]
Untuk mencapai pemahaman tersebut, dunia pendidikan
menjadi sorotan yang cukup signifikan. Hal ini dimungkinkan karena dunia
pendidikan adalah merupakan ujung-tombak untuk mensosialisasikannya melalui
kurikulum. Kurikulum sebagai jantung hatinya pendidikan sesuai dengan asal
pengertiannya, menurut bahasa Latin ialah suatu "landasan-terbang”, suatu
arah yang dilalui seseorang untuk mencapai tujuan, seperti di dalam suatu
perlombaan. Bentuk pelajaran ini dimasukkan di dalam istilah pendidikan sebagai
kurikulum, atau kadang-kadang disebut bahan pelajaran. Apapun namanya,
kurikulum itu menggambarkan landasan di atas, di mana murid dan guru berjalan
mencapai tujuan pendidikan.[3]
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kurikulum adalah
merupakan instrumen pendidikan yang dipergunakan oleh murid dan guru untuk
mencapai tujuan pendidikan.
Oleh karena itu, rancang-bangun sebuah kurikulum dalam
tulisan ini mengacu pada tiga aspek paradigma filsafat ilmu pengetahuan, yakni
rancang-bangun kurikulum yang secara ontologis harus memperhatikan tentang
hakikat manusia, khususnya hakikat anak dan sifat-sifatnya, secara
epistemologis senantiasa memperhatikan sumber-sumber kebenaran, dan bagaimana
mencapainya, dan secara etis harus memperhatikan tentang nilai-nilai yang
hendaknya menjadi pegangan hidup kita, tentang apakah yang baik, apakah hidup
yang baik, apakah yang sebaiknya diajarkan kepada anak-didik, apakah peranan
sekolah dalam masyarakat, apakah peranan guru dalam proses belajar mengajar,
dan lain-lain. Bahkan lebih jauh dapat memberikan pemahaman bahwa ilmu
pengetahun yang ajarkan tidak terpisah dan terkotak-kotakkan antara satu dengan
yang lainnya. Tetapi sebaliknya terkait secara interdisipliner dan bahkan
multidisipliner.[4]
Filsafat yang kabur akan menimbulkan kurikulum yang tidak menentu arahnya.[5]
Oleh karena itu dapat
dipahami bahwa rancang-bangun kurikulum pendidikan dalam tulisan ini adalah
untuk menjadi landasan dalam memahami tentang hakikat manusia, khususnya
hakikat anak dan sifat-sifatnya, sumber kebenaran dan nilai-nilai yang
hendaknya menjadi pegangan hidup kita, tentang hidup yang baik, hal-hal yang
sebaiknya diajarkan kepada anak-didik.
Kurikulum Pendidikan Nasional dalam Internalisasi Nilai Etis
Telah dimaklumi bersama bahwa salah satu tujuan nasional
seperti telah digariskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah
"mencerdaskan kehidupan bangsa" dan khusus mengenai pendidikan pada
bab XIII pasal 31 ditetapkan bahwa "1) tiap-tiap warga negara berhak
mendapat pengajaran; 2) pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu
sistim pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang.
Dalam rangka melaksanakan amanat dan melaksanakan
ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, maka Garis-Garis Besar Haluan
Negara (GBHN) menetapkan bahwa pembangunan pendidikan nasional berdasarkan atas
pancasila dan bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat
kepribadian, dan mempertebal semangat kebangsaan. Dengan demikian diusahakan
agar pembangunan pendidikan dapat menumbuhkan manusia-manusia yang dapat
membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggungjawab terhadap
pembangunan bangsa.[6]
Apabila kita mencermati pembangunan pendidikan di atas,
dapat dipahami bahwa pembangunan pendidikan nasional bertujuan, 1) meningkatkan
ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, 2) mencerdaskan, 3) meningkatkan keterampilan,
4) mempertinggi budi pekerti, 5) memperkuat kepribadian dan 6) mempertebal
semangat kebangsaan.
Namun demikian,
setelah terjadinya perubahan kurikulum sedemikian rupa yang lebih condong
kepada hal-hal yang kuantitatif, maka sistem yang terbangun adalah sistem
pendidikan yang bermodel "pabrik". Pendidikan dengan model pabrik
menekankan pada penetapan kurikulum semata-mata untuk menjawab setiap tahapan
produksi. Dalam pekembangan selanjutnya, di mana tuntutan hidup yang semakin
kompleks dan ukuran keberhasilan senantiasa bertumpu pada nilai material, maka
orientasi dunia pendidikan pun mulai bergeser. Pengembangan kurikulum telah
didekati dengan asumsi "bagaimana peserta didik dengan ilmunya dapat
bekerja dengan cepat atau peserta didik siap pakai."[7]
Hal ini sejalan dengan pendapat Dewey bahwa tujuan pendidikan adalah warga
masyarakat yang demokratis. Isi pendidikannya lebih mengutamakan bidang-bidang
studi seperti IPA, sejarah, keterampilan, serta hal-hal yang berguna atau yang
langsung dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Metode saintifik lebih
dipentingkan dan bukan metode memorisasi seperti pada esensialisme. Praktek
kerja di laboratorium, bengkel, kebun percontohan merupakan kegiatan-kegiatan
yang dianjurkan dalam rangka terlaksananya learning by doing. Pandangan
Dewey tersebut berkaitan erat dengan progresivisme yang menolak otoritarianisme
dan absolutisme dalam segala bentuk, misalnya terdapat dalam agama, politik,
etika dan epistemologi. Aliran ini juga berkeyakinan bahwa tugas pendidikan
sebenarnya tidak lain adalah meneliti sejelas-jelasnya kesanggupan-kesanggupan
manusia itu dan menguji kesanggupan-kesanggupan itu dalam pekerjaan praktis
yang berarti manusia hendaknya mengkaryakan ide-ide dan pikiran-pikirannya.[8]
Hal ini dapat disepakati. Oleh karena keberhasilan suatu
sistem pendidikan ditentukan dari kompetensi keluarannya dalam menghadapi
zamannya. Karenanya, kurikulum pendidikan pun disusun sedemikian rupa, sehingga
beberapa materi mengalami pengurangan porsi waktu. Misalnya materi agama di
sekolah-sekolah umum dan beberapa sekolah agama terpaksa "menjamak"
beberapa materi ke dalam satu materi.
Akhirnya, pendidikan kita dewasa ini dengan pendekatan
kurikulum yang mengarah kepada "siap pakai" tidak dapat menanamkan
nilai-nilai moral-etika kepada peserta didik. Dalam hal ini aspek afektif tidak
berjalan seimbang dengan aspek kognitif dan psikomotorik. Penulis ingin
mengilustrasikan dunia pendidikan kita bahwa jikalau "si A secara kognitif
telah memahami tentang teori "bom", kemudian secara psikomotorik ia
terampil dalam memparktekkan/merakit bom, maka ia telah dianggap lulus. Tetapi
karena nilai afektif (penghayatan akan nilai-nilai baik yang bersumber dari
budaya maupun agama) tidak tertanam dengan baik, maka si A menggunakan ilmunya
tentang bom itu tanpa memperhitungkan sekelilingnya. Contoh kasus yang masih
hangat dalam ingatan kita adalah terdapatnya ancaman bom di mana-mana dan
bahkan ada yang meledakkannya karena rupiah. Melihat fenomena tersebut, maka
dapat disimpulkan bahwa kurikulum pendidikan nasional tidak sepenuhnya
memberikan andil dalam internalisasi nilai moral-etis kepada anak didik.
Rancang-Bangun Kurikulum yang Efektif
Pada pembahasan sebelumnya secara gamblang dapat
dilihat bahwa kurikulum pendidikan tidak dapat mengakumulasi proses penanaman
nilai-nilai moral kepada anak didik. Selanjutnya pada bagian ini membahas
kurikulum yang efektif menurut paradigma filsafat ilmu pengetahuan, namun
sebelumnya akan diuraikan aliran-aliran filsafat yang mendasari terbentuknya
kurikulum, yakni :
1. Aliran Perenialisme
Aliran ini bertujuan
mengembangkan kemampuan intelektual anak melalui pengetahuan yang "abadi,
universal dan absolute" atau "perennial". Kurikulum yang
didinginkan oleh aliran ini adalah subjeck atau mata pelajaran yang terpisah
sebagai disiplin ilmu dengan menolak penggabungan seperti IPA atau IPS. Aliran
ini menganggap yang dapat mengembangkan intelektual seperti matematika, fisika,
kimia, dan biologi. Sedangkan yang berkenaan emosi dan jasmani seperti seni
rupa dan olah raga sebaiknya dikesampingkan.
2. Aliran Idealisme
Aliran ini berpendapat
bahwa kebenarana itu berasal dari "atas", dari dunia supranatural
dari Tuhan. Kebenaran ini, termasuk dogma dan norma-normanya bersifat mutlak.
Apa yang datang dari Tuhan baik dan benar. Tujuan hidup ialah memenuhi kehendak
Tuhan.
Umumnya teori ini
diterapkan di sekolah yang berorientasi religius. Semua siswa diharuskan
mengikuti pelajaran agama, menghadiri khotbah dan membaca kitab suci. Biasanya
disiplin termasuk ketat, pelanggaran diberi hukukma yang setimpal bahkan dapat
dikeluarkan dari sekolah. Namun pendidikan intelektual tetap diutamakan dengan
menetukan standar mutu yang yang tinggi.
3. Aliran Realisme
Aliran ini mencari
kebenaran melalui pengamatan dan penelitian ilmiah dan menekankan bahwa tujuan
hidup adalah memperbaiki kehidupan melalui penelitian ilmiah. Dalam sekolah
yang beraliran realisme mengutamakan pengetahuan yang sudah mantap sebagai
hasil penelitian ilmiah yang dituangkan secara sistematis dalam berbagai
disiplin ilmu dan mata pelajaran, mulai dari teori dan prinsip yang fundamental
sampai pada praktek dan aplikasinya. Karena mengutamakan pengetahuan yang
esensial, maka pelajaran "embel-embel" seperti keterampilan dan kesenian
dianggap tidak perlu.
4. Aliran Pragmatisme
Aliran ini disebut juga
aliran instrumentalisme atau utilitarianisme dan berpendapat bahwa kebenaran
adalah buatan manusia berdasarkan pengalamannya. Tidak ada kebenaran mutlak,
kebenaran adalah tentative dan dapat berubah. Dalam aliran ini tugas guru bukan
mengajar dalam arti menyampaikan pengetahuan, melainkan memberi kesempatan
kepada anak untuk malakukan berbagai kegiatan guna memecahkan masalah. Dengan
dasar kepercayaan bahwa belajar itu hanya dapat dilakukan oleh anak sendiri,
bukan karena "dipompakan ke dalam otaknya".
5. Aliran Eksistensialisme
Aliran ini mengutamakan
individu sebagai factor dalam menetukan apa yang baik dan benar. Norma-norma
hidup berbeda secara individual dan ditentukan masing-masing secara bebas,
namun dengan pertimbangan jangan menyinggung perasaan orang lain. Tujuan hidup
adalah menyempurnakan diri, merealisasikan diri.
Sekolah yang berdasarkan
aliran ini mendidik anak agar ia menemtukan pilihan dan keputusan sendiri
dengan menolak otoritas orang lain. Sekolah ini menolak segala kurikulum,
pedoman, instruksi, buku wajib, dan lain-lain dari pihak luar. Anak harus
mencari identitasnya sendiri, menentukan standarnya sendiri dan kurikulumnya
sendiri. Dengan sendirinya mereka tidak dipersiapkan untuk menempuh ujian
nasional. Pendidikan moral tidak diajarkan juga tidak ditetapkan aturan-aturan
yang harus mereka patuhi. Bimbingan yang diberikan sering bersifat nondirektif,
dimana guru banyak mendengarkan dan mengajukan pertanyaan tanpa mengingatkan
apa yang harus dilakukan anak.[9]
Aliran-aliran filsafat di
atas masing-masing memiliki dasar pemikiran sendiri dan memiliki kelebihan dan
kekurangan. Jikalau hanya salah satunya yang mendasari terbentuknya kurikulum
pendidikan, jelas tidak akan representatif dalam mengakumulasi paradigma
filsafat ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu, meninjau
kembali rancang-bangun pendidikan nasional saat ini, dengan mengacu kepada
kebutuhan masyarakat "global", maka restrukturisasi subtansi
kurikulum dan konsistensi pelaksanaannya merupakan harapan semua pihak. Dengan
demikian, menata kembali "paradigma lalu" merupakan pilihan utama,
yakni dengan merestrukturisasi atau me-reshaping-kan kembali kurikulum
pendidikan nasional dari aspek subtansial, ideal, agar relevan, dan mampu
mengembangkan aspek kognitif, afektif dan psikomotor (pengetahuan, sikap dan
keterampilan) anak didik.
Dengan demikian
satu-satunya jalan yang dianggap sebagai "saver" terhadap masa
depan anak didik dan masa depan bangsa adalah dengan mereformasi pendidikan
nasional, dengan menciptakan paradigma baru pendidikan nasional yang menekankan
pada kurikulum yang ideal-subtansial dan aktual-operasional.[10]
Selanjutnya dalam konteks
filsafat ilmu pengetahuan paradigma baru pendidikan adalah memadukan antara
subtansialisme dengan progresivisme. Di mana orientasi subtansialisme banyak
menitikberatkan pada aspek kepribadian, nilai-nilai intrinsik, kualitatif dan
primer. Sedangkan orientasi progresivisme banyak menekankan pada penampilan,
nilai-nilai ekstrinsik, kuantitatif dan sekunder. Dengan demikian dari hasil
perpaduan itu akan melahirkan paradigma baru dalam pendidikan yang disebut
kostruktivisme. Paradigma inilah yang menjadi dasar dalam membuat
rancang-bangun kurikulum pendidikan nasional. Rancang-bangun kurikulum
pendidikan nasional inilah yang diharapkan menjadi solusi dalam memecahkan
persoalan pendidikan di Indonesia dewasa ini. Hal ini dimungkinkan karena
dengan kurikulum itu dapat menghasilkan anak didik yang memiliki kecerdasan
intelektual dan bermoral yang tinggi, sehingga melahirkan kepribadian yang
utuh.[11]
Pada akhir tulisan ini penulis ingin menyatakan bahwa idealnya pendidikan
Indonesia seperti bangsa Jepang yang mengusai sains dan teknologi canggih,
tetapi mereka dikatakan pula agamis karena diilhami oleh ajaran Shinto. Atau
dengan kata lain penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih oleh Negara
Jepang tetap balance dengan nilai-nilai moralitasnya.
Kesimpulan
Berdasarkan dari uraian tersebut di atas, dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
1. Kurikulum pendidikan nasional banyak
mengarah kepada pencerdasan dan penguasaan keterampilan, sehingga tidak
representatif dalam menjembatani nilai-nilai moral terhadap anak didik.
2. Rancang-bangun kurikulum pendidikan
yang efektif dalam menginternalisasi nilai-nilai moralitas adalah
rancang-bangun kurikulum konstruktifisme.
[1]Suparlan
Suhartono, 1997: i
[2]Abdullah
Idi, 1999: 57.
[3]Abdullah
Idi, op. cit: 57.
[4]Suparlan Suhartono, op. cit: 3.
[6]Imansyah Alipandie, 1984: 11.
[7]Lihat situs internet Email :
info@mizan.com, Plong Hernowo, Tujuh Penyakit Pendidikan.
[8]Orientasi Jurnal Agama, Filsafat, dan
Sosial, edisi I tahun 1997/Sya'ban 1418 : Fakultas Agama Islam Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta, h. 43.
[9]S. Nasution, op. cit: 23.
[10]Abdullah Idi, op.cit:
221.
[11]Suparlan Suhartono, Transparan Materi
Kuliah PPs UNM, tanggal 1 Oktober 2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar