Dialektika Konfigurasi
antara Adat dengan Syariat
dalam Tradisi Molonthalo
di Gorontalo
Oleh: M. Gazali
Rahman
A. PENDAHULUAN
Salah
satu topik yang bersifat dialektis dan menarik di kalangan para cendekiawan
muslim dan juga orientalis Barat adalah perbincangan tentang sejarah
pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam yang kemudian dikenal dengan Fiqh
Islam atau Syariat Islam. Istilah ini diartikan oleh para ahli sebagai “koleksi
dan upaya para fukaha dalam menerapkan syariat Islam sesuai dengan kebutuhan
masyarakat”.
Sebagian
orientalis Barat seperti Joseph Schacht beranggapan bahwa pemikiran hukum Islam
baru muncul pada akhir pemerintahan Bani Umayyah dan bukti tentang hukum Islam
hanya didapatkan pada tahun seratus hijriah. Maksudnya, selama abad pertama
hijriah, dalam pengertian teknis sebenarnya hukum Islam belum ada. Dalam hal
ini, Schacht seperti dikutip Suhar mengatakan kewenangan Nabi Muhammad Saw.,
dalam pembentukan hukum Islam dapat disimpulkan bahwa Muhammad Saw., hampir
tidak mempunyai alasan untuk mengganti hukum adat (adat Arab) yang sudah ada.
Tugasnya sebagai Rasul bukan untuk menciptakan suatu sistem hukum yang baru,
melainkan untuk mengajarkan manusia bagaimana bertindak, apa yang harus dan apa
yang tidak boleh dikerjakan. Tujuannya agar nanti mendapatkan keselamatan pada
hari pembalasan dan berhak masuk surga. Wewenang Muhammad bukan dalam masalah
hukum, melainkan pada masalah agama dan politik.
Pada
dimensi yang lain, jika dilihat dari beberapa fenomena yang hingga sekarang
masih terlihat dengan nyata di tengah masyarakat, ada gejala penguatan terhadap
praktek penyelenggaraan tradisi lokal atau upaya menggali kembali kearifan
lokal (local wisdom), seirama dengan semakin intensifnya gerakan
pemurnian Islam, fundamentalisme, dan pengembangan Islam dewasa ini.
Kontak
kebudayaan di dalam proses ekspansi nilai-nilai ajaran Islam dengan kebudayaan
masyarakat menyebabkan adanya proses tarik menarik antara keduanya yang tak
jarang menghasilkan dinamika budaya masyarakat setempat. Kemudian, yang terjadi
ialah sinkretisme dan atau akulturasi budaya, seperti; praktek meyakini iman di
dalam ajaran Islam akan tetapi masih mempercayai berbagai keyakinan lokal.
Dengan
demikian, tradisi lokal diposisikan berlawanan dengan tradisi purifikasi yang
menekankan pada pengamalan keagamaan yang harus bersumber dari nilai-nilai
ajaran Islam. Bahkan, tidak dapat dipungkiri, pergulatan ini berakibat terhadap
persoalan interaksi di antara masyarakat dalam bingkai sosial, budaya, dan
politik. Satu hal yang jelas adalah bahwa setiap tradisi dilestarikan melalui
proses pelembagaan yang dilakukan oleh kaum elitnya, yang sesungguhnya
dimaksudkan agar tradisi yang memiliki rangkaian panjang dengan tradisi
sebelumnya tidak hilang begitu saja, akan tetapi menjadi bagian tak terpisahkan
dari generasi ke generasi berikutnya.
Siklus tradisi dalam medan budaya masyarakat yang banyak
dijumpai sampai saat ini pada dasarnya merupakan suatu bentuk penghayatan yang
bersifat transkosmik terhadap keyakinan adanya kekuatan yang Maha Dahsyat untuk
mengubah kehidupan mereka. Sehingga yang terjadi adalah terkonstruksinya
berbagai prosesi atau ritual yang dimaksudkan untuk memperoleh berkah dari-Nya.
Begitupula
terhadap tradisi molonthalo yang menjadi topik kajian pada tulisan ini.
Tradisi yang dilaksanakan bagi perempuan hamil dalam usia kandungan 7-8 bulan
ini adalah ritual yang terkait dengan permohonan dan pengharapan kepada Tuhan
untuk memperoleh keselamatan dan sekaligus dianggap sebagai wujud rasa syukur.
Persoalan kehamilan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan kehamilan, oleh
masyarakat tidak dianggap sebagai masalah sepele yang tidak ada kaitannya
dengan agama atau keyakinan.
B. Sintesa Adat dengan Syariat dalam
Tradisi Molonthalo
Banyaknya
tradisi atau adat istiadat yang tumbuh di masyarakat merupakan warisan dari
nenek moyang. Di antara tradisi-tradisi atau adat istiadat tersebut telah ada
sebelum agama Islam masuk ke Indonesia, yang pada akhirnya setelah Islam masuk
memberi corak bagi budaya Islam. Masyarakat Islam yang sebelumnya menganut
tradisi dan adat istiadat tersebut, tidak serta merta dapat meninggalkan
tradisi mereka terutama dalam hal kepercayaan terhadap nenek moyang mereka.
Abdurrahman Wahid dalam Pribumisasi Islam, memaparkan
pertimbangan lokal di dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa merubah hukum
itu sendiri. Juga bukannya meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar
norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan menggunakan
peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash, dengan tetap memberikan
peranan kepada formulasi historis ushul fikih dan kaidah fikih.
Istilah “tradisi” mengandung pengertian tentang adanya kaitan masa lalu
dengan masa sekarang. Ia menunjukkan kepada sesuatu yang diwariskan dari
generasi ke generasi, dan wujudnya masih ada hingga sekarang. Oleh karena itu,
secara ringkas dapat dinyatakan bahwa tradisi adalah sesuatu yang diwariskan
atau ditransmisikan dari masa lalu ke masa kini. Pada umumnya tujuan penyelenggaraan suatu upacara
tradisional adalah untuk menghormati, mensyukuri, memuja, dan memohon
keselamatan kepada Tuhan.
Pada dasarnya suatu kepercayaan diungkapkan dengan
upacara-upacara yang merupakan perilaku pemujaan atau ketaatan yang dilakukan
untuk menunjukkan komitmen terhadap suatu kepercayaan yang dianut. Dengan
upacara-upacara tersebut, orang di bawah keadaan dimana getaran-getaran jiwa
terhadap keyakinan mereka menjadi lebih kuat dari dalam. Dengan demikian, upacara
tradisonal pada dasarnya berfungsi sebagai media komunikasi antara manusia
dengan kekuatan lain yang ada di luar diri manusia.
Merujuk dari uraian tersebut perlu dipahami bahwa untuk
menghadapi tahap pertumbuhannya yang baru, maka dalam lingkaran hidupnya
manusia juga memerlukan "regenerasi" semangat kehidupan sosial. Oleh
karena itu, rangkaian ritus dan upacara sepanjang tahap-tahap pertumbuhan oleh
banyak kebudayaan sangatlah penting, misalnya dalam upacara hamil tua, upacara
saat anak tumbuh, upacara memotong rambut pertama, upacara keluar gigi yang
pertama, upacara penyentuhan si bayi untuk pertama kali, upacara sunatan,
upacara perkawinan, upacara kematian dan sebagainya.
Hal yang paling penting dalam
upacara tersebut adalah adanya mekanisme-mekanisme atau proses-proses
pelaksanaan upacara. Selain itu, terdapat juga lambang-lambang, sesaji atau
simbol-simbol upacara yang memiliki makna dan nilai tersendiri bagi
pelaksananya. Mekanisme-mekanisme serta simbol-simbol, lambang-lambang, dan atau sesaji tersebut tidak dibakukan secara formal, tetapi diyakini,
diakui, dipatuhi oleh masyarakat penganutnya. Sehingga menjadi sosial kontrol
dan pedoman berperilaku dalam masyarakat pendukungnya.
Sebagai serangkaian ajaran atau
doktrin, tradisi juga bukan sesuatu yang stagnan, karena ia diwariskan dari
satu orang atau generasi kepada orang lain atau generasi berikutnya. Akibatnya,
akan terdapat perubahan-perubahan, baik dalam skala besar maupun kecil. Dengan
kata lain, bahwa tradisi tidak hanya diwariskan tetapi juga dikonstruksikan
atau invented. Proses pewarisan tersebut melahirkan ide atau
gagasan-gagasan baru yang dikembangkan dengan berpijak pada medan budaya
setempat. Sehingga pemaknaan terhadap hakekat suatu benda dan prilaku yang
dirituskan menghasilkan modifikasi baru terhadap tradisi. Hal ini terjadi oleh
karena dalam invented tradition, tradisi dinilai sebagai serangkaian
tindakan yang ditujukan untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma melalui
pengulangan (repetition), yang secara otomatis mengacu kepada
kesinambungan dengan masa lalu.
Studi terhadap sejarah teori hukum Islam dalam dunia
intelektual Islam merupakan hal menarik, apalagi jika hal tersebut berkaitan
dengan pergulatan hukum dan tradisi yang seiring dengan islamisasi. Hal ini
disebabkan oleh aktualisasi ajaran yang mengalami pengembangan ruang yang
disebabkan oleh aspek geografis yang menembus sekat tradisi masyarakat. Tradisi
yang merupakan sebuah interpretasi budaya menjadi sesuatu yang amat
diperhatikan dalam penetapan hukum.
Hal ini menjadi menarik karena ada praktek yang
dicontohkan Nabi Saw., yang
melegalisasikan kebiasaan-kebiasaan pra-Islam menjadi
sebuah sistem hukum. Hukum Islam selalu mengalami perkembangan dan perubahan
sesuai dengan tuntutan dan peluangnya. Peluang transformasi ini sekalipun
terbuka lebar namun kendali efektif berjalan ketat sehingga keragaman
interpretasi menjadi fenomena yang konfiguratif dalam wacana pemikiran hukum
Islam tetap terjaga.
Dalam spektrum yang berbeda, kajian terhadap pertautan
agama dan budaya juga dapat dilihat dengan cara pandang lokalisasi untuk
menolak konsep sinkretisasi. Dengan menggunakan cara pandang lokalisasi, maka
yang terjadi adalah agama yang telah mengalami proses lokalisasi, yaitu
pengaruh kekuatan budaya lokal terhadap agama yang datang kepadanya. Artinya,
Islamlah yang kemudian menyerap tradisi atau budaya lokal dan bukan sebaliknya
budaya lokal yang menyerap nilai-nilai Islam.
Di dalam proses lokalisasi, unsur Islam yang diposisikan
sebagai pendatang harus menemukan lahannya di dalam budaya lokal. Pencangkokan
ini terjadi dengan bertemunya nilai-nilai yang dianggap serasi satu sama lain
dan meresap sedemikian jauh dalam tradisi yang terbentuk. Inilah sebabnya,
tradisi molonthalo ataupun tradisi lainnya yang identik dengan ritual
yang sama, pada hakekatnya adalah Islam yang telah menyerap tradisi lokal,
sehingga meskipun kulitnya Islam namun ternyata di dalamnya ialah keyakinan
lokal.
Dalam lanskap
pertautan antara nilai-nilai Islam dengan budaya lokal inilah ditemukan suatu
perubahan yang signifikan, yaitu bergesernya tradisi lokal menjadi tradisi
Islam lokal atau tradisi Islam dalam konteks lokalitasnya. Perubahan ini
mengarah kepada proses akulturasi dan bukan adaptasi, sebab di dalam perubahan
itu tidak terjadi proses saling meniru atau menyesuaikan, akan tetapi
mengakomodasi dua elemen menjadi satu kesatuan yang baru. Tentunya ada unsur
yang dimasukkan dan ada unsur yang dibuang. Salah satu yang tampak jelas
merepresentasikan nilai-nilai Islam misalnya berupa pembacaan ayat-ayat suci
Alquran, shalawat, serta doa dalam berbagai variasinya.
Secara filosofis, kultur keberagamaan masyarakat di Kota
Gorontalo mengakui eksistensinya sebagai serambi Madinah. Adapun istilah “Adat Bersendikan Syara’,
Syara’ Bersendikan Kitabullah” pada dasarnya tumbuh dan menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dalam proses pergulatan antara agama dengan
budaya yang terjadi hampir di seluruh wilayah nusantara dalam proses islamisasi
secara struktural (top down). Begitu pula di Gorontalo, dalam
bahasa daerahnya, istilah tersebut yaitu “adati hula-hulaa to saraa, saraa
hula-hulaa to Qur’ani”. Istilah ini hadir seiring dengan
perkembangan islamisasi yang tidak ingin membenturkan antara adat dengan ajaran
Islam secara frontal.
Terkait
dengan masalah kehamilan, sering dijumpai suatu tradisi yang berlaku di tengah
masyarakat, yaitu selamatan perempuan hamil yang biasa dilakukan dengan kenduri
dan acara-acara tertentu pada saat kandungan seorang perempuan telah berumur
tujuh bulan, untuk lingkungan masyarakat Gorontalo dikenal dengan istilah
"molonthalo".
Persoalan kehamilan adalah persoalan hidup dan mati
sehingga berbagai macam cara yang dilakukan oleh masyarakat untuk meringankan
dan memudahkan pada saat persalinan. Khususnya di daerah Gorontalo, pada umur
kehamilan 7-8 bulan diadakan upacara molonthalo sebagai doa selamat agar
dalam persalinan nanti dimudahkan oleh Allah Swt.
Upacara
molonthalo yang berlaku pada masyarakat Gorontalo, biasanya diisi dengan
pembacaan Alquran dan shalawat kepada Nabi oleh seorang kiayi yang didengarkan
oleh para undangan di kediaman orang yang berhajat. Dalam upacara ini
disertakan pula berbagai makanan tertentu sebagai sesaji yang diletakkan di
tengah para undangan, biasanya ditempatkan di depan kiayi (imam atau seorang
tokoh agama) yang membaca Alquran dan salawatan.
Dalam buku yang disusun oleh Farha
Daulima (dkk.), disebutkan bahwa molonthalo atau raba puru bagi
sang istri yang hamil 7 bulan anak pertama, merupakan pra-acara adat dalam
rangka peristiwa adat kelahiran dan keremajaan, yang telah baku pada masyarakat
Gorontalo. Hakekat dari acara ini antara lain adalah: 1) pernyataan dari
keluarga pihak suami bahwa kehamilan pertama, adalah harapan yang terpenuhi
akan kelanjutan turunan dari perkawinan yang sah; 2) merupakan maklumat kepada
pihak keluarga kedua belah pihak bahwa sang istri benar-benar suci, dan
merupakan dorongan bagi gadis-gadis lainnya untuk menjaga diri dan
kehormatannya; 3) pernyataan syukur atas nikmat Tuhan yang telah diberikan
kepada sepasang suami-istri melalui ngadi salawati (doa shalawat), agar
kelahiran sang bayi memperoleh kemudahan; 4) pemantapan kehidupan sepasang
suami istri menyambut sang bayi, sebagai penerus keturunan mereka dan persiapan
fisik dan mental menjadi ayah dan ibu yang baik dengan memelihara kelangsungan
rumah tangga yang dilambangkan dengan makan saling suap menyuapi.
Sejalan dengan itu, mengutip pendapat M. Quraish Shihab,
syukur adalah menampakkan nikmat, yaitu menggunakannya pada tempat dan sesuai
dengan yang dikehendaki oleh pemberinya, serta menyebut-nyebut nikmat dan
pemberinya dengan lidah. Oleh karena itu, pada dasarnya syukur mencakup tiga
sisi, yakni: pertama, syukur dengan hati, yaitu kepuasan batin atas nikmat. Kedua, syukur
dengan lidah, yaitu dengan mengakui nikmat dan memuji
pemberinya. Sedangkan sisi ketiga, syukur dengan perbuatan, yaitu dengan
memanfaatkan anugerah yang diperoleh sesuai dengan tujuan penganugerahannya.
Dari proses yang dilakukan, upacara molonthalo
juga merupakan manifestasi rasa syukur kedua orangtua kepada Allah dengan
hadirnya anak yang dikandung oleh sang ibu. Dalam pelaksanaannya,
ditanamkan nilai-nilai tauhid kepada sang bayi sedini mugkin agar nantinya bayi
ini menjadi manusia yang bertauhid. Selain dari itu, molonthalo juga
mengandung nilai pengajaran terutama bagi orang tua, keluarga, lingkungan, dan
masyarakat pada umumnya. Selanjutnya, juga sebagai media informasi bagi
masyarakat yang hadir dalam pelaksanaan upacara molonthalo bahwasanya
ibu yang sedang di-lonthalo benar-benar hamil setelah pernikahan.
Memperhatikan realitas kandungan Alquran, terlihat adanya
interaksi Alquran dengan berbagai aspek adat/tradisi yang merupakan bagian dari
kehidupan masyarakat (khususnya Arab) dan Alquran memberikan respon dan jawaban
atas aneka peristiwa yang terjadi pada masa itu. Respon Alquran terhadap adat
Arab misalnya, dapat diartikan sebagai sikap akomodatif terhadap adat dimaksud
tanpa perubahan seperti halnya praktek syirkah dalam bidang muamalah.
Perhatian itu juga menyangkut perubahan dan penyesuaian adat Arab dengan ajaran
Alquran, seperti pemberian mahar kepada istri dalam perkawinan, batasan waktu
melakukan ila’ terhadap istri, batasan atau ketentuan jumlah bilangan
istri, dan sebagainya. Sementara itu, Alquran juga melakukan penolakan terhadap
adat Arab dan menetapkannya sebagai larangan, seperti khamar, maisir, riba, dan
sebagainya. Reformasi yang diperkenalkan Alquran dalam perjumpaannya dengan
budaya masyarakat berjalan akomodatif dan fleksibel, baik dalam bentuk
penerimaan tanpa perubahan atau dalam bentuk pengubahsuaian.
Islam
sebagai agama tidak datang kepada komunitas manusia dalam kondisi yang hampa
budaya. Islam hadir kepada suatu masyarakat yang sudah sarat dengan keyakinan,
tradisi, dan praktek-praktek kehidupan sesuai dengan budaya yang membingkainya.
Konteks sosiologis yang dihadapi Islam membuktikan bahwa agama yang beresensi
kepasrahan dan ketundukan secara total kepada Tuhan dengan berbagai ajaran-Nya,
keberadaannya tidak dapat dihindarkan dari kondisi sosial yang memang telah ada
dalam masyarakat. Meskipun dalam perjalanannya, Islam selalu berdialog dengan
fenomena dan realitas budaya di mana Islam itu hadir.
Kesediaan
Islam berdialog dengan budaya lokal masyarakat, selanjutnya mengantarkan
diapresiasinya secara kritis nilai-nilai lokalitas dari budaya masyarakat
beserta karakteristik yang mengiringi nilai-nilai itu. Selama nilai
tersebut sejalan dengan semangat yang dikembangkan oleh Islam, selama itu pula
diapresiasi secara positif namun kritis.
Sadar atau tidak sadar, manusia secara individu maupun
kolektif (masyarakat) akan terpengaruh dan menerima berbagai warisan, ajaran,
kepercayaan, dan ideologi tertentu dari hasil komunitasnya melalui
internalisasi dan sosialisasi sejak ia lahir dari rumah tangga, serta pengaruh
dari lingkungan hidupnya tempat manusia itu tumbuh. Jika tradisi budaya
masyarakat telah diresapi oleh setiap orang, maka perilaku yang dibingkai dalam
bentuk tradisi itu hampir menjadi otomatis dan tanpa disadari sudah diterima
secara sosial pula.
Seiring dengan itu, tradisi molonthalo juga
merupakan kreasi masyarakat berbudaya yang secara inovatif tumbuh dan
berkembang sejalan dengan keyakinan dan kepercayaan masyarakat setempat
terhadap pentingnya sebuah prosesi ritual yang menjadi mediator kedekatan
mereka dengan pencipta alam semesta.
Penelitian terhadap tradisi ini sekaligus merupakan
kajian etnografi terhadap masyarakat Gorontalo dimana mereka menerapkan
berbagai upacara, seperti upacara lingkaran hidup, kalenderikal, upacara tolak
bala, maupun upacara-upacara hari baik. Dalam proses kontruksi sosial, inti
upacara ini pada hakekatnya adalah memperoleh berkah. Apapun namanya, yang
jelas bahwa motif penyebab penyelenggaraan berbagai upacara atau ritual adalah
keinginan yang kuat untuk memperoleh rahmat dan kebahagiaan. Ketika memandang
berkah yang berkaitan dengan alam, manusia, dan Tuhan, maka di sinilah terdapat
dialektika sakralisasi, mistifikasi, dan mitologi.
Hal ini dapat dilihat dari beberapa fenomena yang hingga
sekarang masih terlihat dengan nyata di masyarakat, termasuk masyarakat
Gorontalo. Ada gejala penguatan terhadap praktek penyelenggaraan tradisi lokal,
seirama dengan semakin intensifnya gerakan pemurnian Islam, fundamentalisme dan
pengembangan Islam dewasa ini.
Kontak antara budaya masyarakat yang
diyakini sebagai suatu bentuk kearifan lokal dengan ajaran dan nilai-nilai yang
dibawa oleh Islam tak jarang menghasilkan dinamika budaya pada masyarakat
setempat. Kemudian, yang terjadi ialah akulturasi dan mungkin sinkretisme
budaya, seperti praktek meyakini iman di dalam ajaran Islam akan tetapi masih
mempercayai berbagai keyakinan lokal.
Dengan demikian, tradisi lokal diposisikan berlawanan
dengan tradisi purifikasi dilihat dari perspektif pola pengamalan dan
penyebaran ajaran keagamaan di antara keduanya. Tradisi Islam lokal sebagai
pengamalan keagamaan yang memberikan toleransi sedemikian rupa terhadap
praktek-praktek keyakinan setempat, sedangkan tradisi purifikasi menekankan
pada pengamalan keagamaan yang dianggap harus bersumber dan sama dengan tradisi
besar Islam. Tidak dipungkiri pula, berbagai perbedaan ini berakibat terhadap
persoalan interaksi di antara mereka dalam bingkai sosial, budaya, dan politik.
Di bidang interaksi sosial jelas kelihatan bahwa
perbedaan tradisi dan paham keagamaan tersebut berakibat adanya identifikasi
sebagai “orang NU” dan “orang Muhammadiyah”. Identifikasi seperti ini berdampak
terhadap sekat-sekat interaksi bahkan tak jarang berubah menjadi halangan
berkomunikasi.
Terlepas dari problema tersebut, yang menjadi masalah
kemudian adalah apakah tradisi molonthalo merupakan suatu bentuk adat
secara total, ataukah sudah menjadi bagian dari tradisi keagamaan. Pemilahan
ini tetap diperlukan untuk melihat seberapa jauh ritual tersebut sesuai ataupun
bertentangan dengan syariat. Jika merujuk kepada pendapat yang dikemukakan oleh
Nur Syam, setiap tradisi keagamaan memuat simbol-simbol suci yang dengannya orang
melakukan serangkaian tindakan untuk menumpahkan keyakinan dalam bentuk
melakukan ritual, penghormatan, dan penghambaan. Baik ritual yang memiliki
sumber asasi di dalam ajaran agama yang disebut Islam Offisial atau Islam
Murni, atau yang dianggap tidak memiliki sumber asasi di dalam ajaran agama
yang disebut sebagai Islam Popular atau Islam Rakyat.
Jika merujuk pada pemikiran tentang ortodoksi syariah
yang dikonstruksi oleh para ulama dalam bentuk fikih, maka tradisi molonthalo
juga dapat direlevansikan dengan konsep al-‘urf. Oleh karena itu, penulis menimbang
bahwasanya dalam tradsi molonthalo tersebut ada ‘urf shahih dan
ada pula ‘urf fasid. Al-‘urf al-shahih adalah kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah
masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash, tidak menghilangkan
kemaslahatan dan tidak membawa kemudaratan. Sedangkan al-‘urf al-fasid adalah
kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah
dasar yang terdapat dalam syara’.
Maka dalam konteks
tradisi molonthalo ini, ‘urf shahih adalah beberapa ritual yang
tidak bertentangan dengan syariat dan ‘urf fasid adalah beberapa ritual
yg bertentangan dengan syariat. Untuk lebih menemukan hal-hal spesifik dari
tradisi molonthalo dalam perspektif syariat, penulisan ini akan
memaparkan klasifikasi antara ritual yang menurut penulis sesuai dengan syariat
(‘urf shahih) dan ritual yang tidak sesuai dengan syariat (‘urf fasid)
berdasarkan penelitian langsung dan keikutsertaan penulis dalam prosesi tradisi
molonthalo.
Adapun ritual yang sesuai dengan syariat hanya terletak
pada bacaan-bacaan yang dilakukan oleh Imam (Hatibi) yang biasa dikenal ngadi
salawati. Selebihnya hanyalah sebuah budaya yang bisa diidentikkan dengan
kebiasaan-kebiasaan hinduisme. Meskipun pada dasarnya setiap prosesi dan benda
budaya yang digunakan memiliki hakekat dan makna yang positif, namun prosesi
tersebut seolah menjadi sesuatu yang wajib bagi masyarakat dengan pola
pelaksanaan yang tidak bisa dianggap mudah dan ringan dari sisi biaya yang
harus dikeluarkan.
Sedangkan beberapa ritual yang tidak sesuai dengan
syariat antara lain dari segi penyediaan dan pelaksanaannya misalnya adanya
dupa yang disediakan di depan Hatibi (Imam) serta Hulante yang
berarti persembahan. Penulis melihat bahwa semua benda-benda budaya yang
disiapkan itu terkesan mubazzir karena tidak ada pengaruhnya dengan doa dan
harapan keluarga yang memohonkan keselamatan ibu dan bayi.
Menyandarkan adat tersebut pada konsep syara’ tentunya
melibatkan konstruksi yang telah dibangun oleh para fuqaha dalam
beberapa istinbat hukum yang mereka hasilkan. Salah satu kaidah penting
yang bisa dilibatkan dalam hal ini adalah kaidah ushul yang mengatakan:
مَا حُرِّمَ اِسْتَعْمَالُهُ حُرِّمَ اِتِّخَاذُهُ
Artinya:
”Sesuatu yang diharamkan menggunakannya, diharamkan pula
mengambilnya”.
مَا حُرِّمَ اِسْتَعْمَالُهُ كُرِهَ اِتِّخَاذُهُ
Artinya:
“Sesuatu
yang diharamkan memakainya dimakruhkan pula mengambilnya”
Menyikapi prosesi tradisi molonthalo dalam kaitan
dengan kedua kaidah ushul tersebut, maka dapat ditemukan wajah ambigu dan
paradoks dalam ritualnya. Sebab di satu sisi Imam/Hatibi membaca ayat,
shalawat dan beberapa variasi doa, tapi di sisi lain juga menggunakan dupa-dupa
yang bertendensi animisme. Sehingga dengan itu, meskipun pembacaan ayat dan
shalawat dilakukan, namun jika berpijak pada kaidah yang tersebut maka prosesi
tersebut dapat divonis salah karena digunakannya dupa-dupa yang tidak
dibenarkan dalam syariat.
Dalam pengembangan selanjutnya, ‘urf fasid yang
termuat dalam prosesi molonthalo akan tetap ditelusuri secara
substansial dengan tidak menafikan adanya pertimbangan maslahat yang
kemungkinan dikandungnya. Penulis tentunya juga tidak sepakat jika tradisi yang
menjadi kebudayaan suatu masyarakat harus ditinggalkan ataupun dibuang. Sebab di
samping memiliki makna-makna filosofis kearifan lokal, kebudayaan masyarakat
juga menjadi ciri khas yang mendeskripsikan eksistensi dan jati diri mereka.
Namun untuk lebih menjadikan setiap prosesi adat tersebut lebih islami, maka
ada baiknya dilakukan beberapa perubahan terhadap tradisi tersebut agar tidak
lagi terkesan ada hal-hal yang melanggar syariat. Sehingga dengan itu, tepat
pula rumusan bahwa adat bersendi syara’ dan syara’ bersendi Kitabullah .
Jika mengacu kepada teori integrasi menurut sosiologi,
maka term adat bersendi syara’ dan syara’ bersendi Kitabullah dapat
dijabarkan dalam kategori integrasi substansial asimilasi dan integrasi
substansial adaptasi. Melalui teori tersebut dipahami bahwa bentuk islamisasi
yang terjadi hampir di seluruh wilayah nusantara mencoba untuk mengintegrasikan
konsep-konsep adat yang sudah berurat mengakar dalam masyarakat dengan konsep
dan nilai-nilai Islam yang luhur. Dengan integrasi itu pula adat dan syara’ dapat
membentuk struktur dan sistem secara bulat dan padu menjadi suatu bentuk budaya
atau pola tradisi baru yang menggabungkan antara nilai filosofis adat dan
nilai-nilai agama.
Pada spetrum yang lain, adanya kemungkinan akulturasi
timbal balik antara Islam dan budaya lokal diakui dalam suatu kaidah atau ketentuan
dasar dalam Ilmu Ushul Fikih, bahwa: “Adat itu dihukumkan” (al-‘adah
muhakkamah), artinya, adat dan kebiasaan suatu masyarakat, yaitu budaya
lokalnya, adalah sumber hukum dalam Islam.
Sejalan dengan itu, arti penting kehadiran Islam pada
suatu tempat atau negeri sesungguhnya memiliki peran dalam mengeliminir unsur
jahiliah setiap masyarakat yang senantiasa ada dan dimiliki oleh rumpun bangsa
manapun yang sebanding dengan jahiliah yang pernah terjadi di tanah Arab.
Oleh karena itu, beberapa perubahan penting sangat
dimungkinkan untuk dilakukan terhadap prosesi tradisi molonthalo, misalnya
dengan tidak harus mengikutsertakan perangkat dupa yang bertendensi animisme.
Kemudian sang ibu yang diacarakan sebaiknya tidak dibaringkan pada ruang yang
terbuka atau di depan undangan lain yang bukan muhrimnya. Oleh karena dalam
prosesi tersebut mengharuskan ritual perabaan perut, maka sebaiknya sang ibu
dibaringkan di dalam kamar atau jika tetap harus di luar maka dibuatkan penutup
yang bisa menghalangi pandangan langsung ke aurat sang ibu.
Perubahan tersebut sekaligus tetap
berpijak pada tiga azas penegakan syariat Islam yang juga menjadi prasyarat
yang telah ditetapkan oleh para ahli ushul, yakni dengan tiga: azas tidak
memberatkan, azas tidak memperbanyak beban, dan azas tadarruj (bertahap). Sehingga dalam upaya rekonstruksi
baru perubahan dari ‘urf fasid menjadi
urf shahih, maka pendekatan dakwah kultural menjadi pilihan
solusi terbaik untuk tidak membenturkan terlalu jauh antara Islam dan tradisi
lokal masyarakat yang sudah terlanjur mengakar. Dalam hal ini, islamisasi yang
dilakukan adalah suatu bentuk konversi dari ‘urf fasid menjadi urf shahih
yang berlangsung secara adhesi dari kepercayaan lama kepada ajaran
tauhid.
Strategi dakwah kultural yang dimaksud adalah bagaimana
melakukan rasionalisasi terhadap medan budaya yang terjebak pada sakralisasi,
mistifikasi, dan mitologi yang dianut oleh masyarakat. Sebab dakwah
sesungguhnya adalah usaha rekonstruksi masyarakat yang masih mengandung
unsur-unsur jahili agar menjadi masyarakat yang islami, yakni proses pembebasan
manusia dari segenap tradisi yang bersifat magis, mitologis, animistis, dan
budaya yang irasional.
Seiring dengan itu, rasionalisasi juga diarahkan kepada
penjabaran nilai-nilai tauhid dan rekonstruksi akidah bahwa Tuhan adalah pusat
dari segala sesuatu, sebagaimana dilansir dalam Q.S. Al-Ikhlas (112): 2, Allahu
al-Shamad (Allah tempat bergantung segala sesuatu), dan manusia harus
mengabdikan diri sepenuhnya kepada-Nya.
Konsep tauhid ini mengandung implikasi doktrinal yang
lebih jauh, bahwa tujuan hidup manusia tidak lain kecuali menyembah kepada-Nya.
Doktrin bahwa hidup harus diorientasikan untuk pengabdian kepada Allah inilah
yang merupakan kunci dari seluruh ajaran Islam. Dengan kata lain, dalam ajaran
Islam konsep kehidupan adalah konsep yang Allah-sentris (teosentris), yakni bahwa
seluruh kehidupan berpusat kepada Allah Swt.
Berpijak pada landasan teori ‘urf yang dikembangkan oleh ulama tersebut,
maka tradisi molonthalo dapat dikategorikan sebagai al-‘urf ‘amali jika dilihat dari segi objeknya, dan juga
sebagai al-‘urf al-‘am jika
dipandang dari segi cakupannya. Namun untuk mengkategorikannya dari sudut
pandang keabsahan masih diperlukan pengkajian ulang yang mendalam, sehingga
pada akhirnya dapat ditegaskan apakah tradisi molonthalo sepenuhnya
merupakan al-‘urf al-shahih atau sebaliknya (al-‘urf al-fasid).
Oleh karena itu, pengembangan pengkajian terhadap tradisi molonthalo tidak
dimaksudkan untuk mensejajarkan makna al-‘urf sebagai suatu bentuk
tradisi yang berimplikasi pada terbentuknya suatu penetapan hukum semata,
melainkan dimaksudkan juga untuk menelaah implikasi terbentuknya “perspektif
syariah” yang terlahir dari pemaknaan terhadap nilai dan simbol ritualnya.
Tampak jelas bahwa diterimanya ‘urf sebagai dalil
penetapan hukum berdasarkan empat syarat tersebut lebih ditekankan pada wilayah
‘urf yang terkait dengan aspek
muamalah yang memerlukan kesepakatan yuridis. Hal ini akan berbeda ketika
diperhadapkan dengan bentuk ‘urf yang terkait
dengan aspek yang bersinggungan dengan akidah dan ruang lingkup akhlak sosial.
Sehingga pemenuhan terhadap keempat syarat tersebut hanya bisa disentuhkan pada
syarat pertama, yakni ‘urf sebagai bentuk dari kebiasaan atau tradisi
yang melembaga dalam sistem budaya masyarakat. Begitupula dengan bentuk
tradisi molonthalo, tradisi ini sepenuhnya tidak dikategorikan sebagai
adat yang pengulangan ritus dan medan budaya yang mengitarinya berimplikasi
kepada terbentuknya hukum muamalah. Sehingga pertentangan ‘urf dengan
nash dalam konteks ini lebih dimaksudkan untuk mengklasifikasikan
antara ‘urf shahih dan ‘urf fasid yang kemungkinan ditemukan
dalam beberapa ritus molonthalo.
Dari perspektif sosiologis, local wisdom yang diperpegangi
oleh masyarakat Gorontalo sebagai way of life sebenarnya merupakan
bentuk akulturasi Islam terhadap budaya setempat. Meskipun pada dasarnya hal
itu merupakan proses kreatif dan inovatif dalam rangka memperluas horizon
budaya Islam. Pemahaman yang tidak utuh atau yang sepotong-sepotong terhadapnya
terkadang mengundang reaksi yang bersifat regresif. Meskipun demikian, para
mujtahid Gorontalo tampaknya bertujuan memberikan ruang gerak bagi proses
kreatif dan akulturasi Islam melalui tawaran kultural.
Hal ini dimaksudkan bahwa dijadikannya adat sebagai salah
satu sumber hukum tidak perlu dipertentangkan, sebab Gorontalo merupakan daerah
yang memiliki keunikan sosio historis tersendiri yang berbeda dengan
asal-muasal (social origin) kelahiran dan keberadaan Islam dari tempat
aslinya (Saudi Arabia). Atas dasar ini, tidaklah relevan manakala proses
islamisasi untuk kasus Gorontalo mesti diidentikkan dengan daerah-daerah lain,
apalagi Arab. Sebab arabisasi atau jawanisasi belum tentu relevan dengan
kebutuhan lokal, yang dalam bahasa Abdurrahman Wahid, ada Islam universal dan
ada Islam lokal, dan penerapan adat merupakan alternatif dari Islam lokal.
Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, adat telah
memberikan warna dalam kehidupan masyarakat Gorontalo, terlebih kontribusinya
dalam mempersatukan kelima wilayah Gorontalo yang sampai saat ini tetap kokoh,
yang dikenal dengan istilah duluwo limo pohalaa.
Selanjutnya, tolak ukur dari pandangan teosentris ini
adalah keyakinan religius yang ditindaklanjuti dengan amalan dan pola pikir
yang Allah-sentris pula. Sehingga dengan aktualisasi iman dan amal yang tak
terpisahkan, maka kebudayan dan peradaban yang dihasilkan manusia juga akan
berkiblat kepada paradigma Allah-sentris, yakni kebudayaan dan peradaban yang
tidak terjebak pada belenggu-belenggu budaya yang irasional.
Namun demikian, kehendak untuk melakukan perubahan
seyogyanya tetap mengambil sikap yang akomodatif dan toleran terhadap
pelaksanaan adat-istiadat yang mengakar dalam budaya masyarakat, sehingga adat
dan syara’ bisa berjalan bersamaan. Sikap tersebut dimaksudkan untuk
menghindari terjadinya kekacauan yang bisa menggoyahkan sendi-sendi kehidupan
bermasyarakat yang pada gilirannya akan berimbas kepada gagalnya islamisasi.
Begitupula,
cita-cita reformasi peradaban yang dikehendaki Allah melalui wahyu dan
Rasul-Nya sebagai sample insan kamil menghendaki suatu proses hijrah
secara kontinuitas, massif, dan gradual dari tradisi jahiliah menuju tradisi
ilahiah. Reformasi peradaban yang dimaksudkan mengembalikan pola hidup, sikap,
dan pikir serta berbagai ritual agar memperoleh
sentuhan ajaran Islam
sehingga dapat dibingkai dengan paradigma yang berlandaskan nilai-nilai
ketauhidan. Ada proses tarik menarik bukan dalam bentuknya saling
mengalahkan atau menafikan, tetapi adalah proses saling memberi dalam koridor
saling menerima yang dianggap sesuai. Islam tidak menghilangkan tradisi lokal
selama tradisi tersebut tidak bertentangan dengan Islam murni, akan tetapi
Islam juga tidak membabat habis tradisi-tradisi lokal yang masih memiliki
relevansi dengan tradisi besar Islam (Islamic
great tradition).
Persentuhan
adat dan syariat secara akomodatif dan fleksibel ini membentuk spektrum Islam yang
kolaboratif, yaitu corak hubungan antara Islam dengan budaya
lokal yang bercorak inkulturatif sebagai hasil konstruksi bersama antara agen
(elit-elit lokal) dengan masyarakat dalam sebuah proses dialektika yang terjadi
secara terus menerus. Ciri-ciri Islam kolaboratif adalah bangunan Islam yang
bercorak khas, mengadopsi unsur lokal yang tidak bertentangan dengan Islam dan
menguatkan ajaran Islam melalui
proses transformasi secara terus menerus dengan melegitimasinya berdasarkan
atas teks-teks Islam yang dipahami atas dasar interpretasi elit-elit lokal.
Islam yang bernuansa lokalitas tersebut hadir melalui tafsiran agen-agen sosial
yang secara aktif berkolaborasi dengan masyarakat luas dalam kerangka
mewujudkan Islam yang bercorak khas, yaitu Islam yang begitu menghargai
terhadap tradisi-tradisi yang dianggapnya absah/sahih.
Berbagai
medan budaya yang diwarnai ataupun disentuhkan dengan syariat pada akhirnya
berorientasi secara konseptual untuk memperoleh “berkah” sebagai suatu yang
sakral, mistis, dan magis. Dengan demikian, genuinitas atau lokalitas Islam
hakikatnya adalah hasil konstruksi sosial masyarakat lokal terhadap Islam yang
memang datang kepadanya ketika di wilayah tersebut telah terdapat budaya yang
bercorak mapan. Islam memang datang ke suatu
wilayah yang tidak vakum budaya. Makanya, ketika Islam datang ke wilayah
tertentu maka konstruksi lokal pun turut serta membangun Islam sebagaimana yang
ada sekarang.
C.
Penutup
Konfigurasi
perjumpaan antara adat dan syariat pada tradisi molonthalo sesungguhnya
mendeskripsikan suatu pergumulan yang dinamis antara proses kehadiran dan
perkembangan Islam (islamisasi) dengan kebudayaan lokal masyarakat yang telah
hidup dan mengakar. Oleh karena itu, selayaknya hal tersebut diapresiasi oleh
umat Islam sebagai suatu yang perlu dikembangkan dan dipertahankan. Dengan cara
itu, masyarakat tetap menjadikan keluhuran budaya mereka sebagai pijakan yang
kokoh dalam memperkaya khazanah kebudayaan dan peradaban Islam yang
disandingkan dengan nilai-nilai Qur’ani.
Menggiring
tradisi molonthalo ini ke dalam perspektif syariat, maka tulisan ini
mencoba mengklasifikasikannya dalam kategori ‘urf shahih dan ‘urf fasid. Dengan
klasifikasi ini maka teridentifikasi pula adanya beberapa ritual yang sejatinya
sejalan dengan syariat Islam dan ada pula yang bertentangan dengan syariat
Islam. Upaya selanjutnya adalah bagaimana mengeliminir ‘urf fasid tersebut
ke dalam suatu format ritual yang perubahannya tidak menghilangkan hakekat atau
makna-makna penting yang lahir dari medan budaya masyarakat. Sehingga
rekonstruksi terhadap tradisi molonthalo ini tetap diarahkan kepada
rasionalisasi dan konversi tradisi yang berorientasi kepada Allah-sentris,
serta melepaskan paradigma masyarakat dari jebakan belenggu-belenggu tradisi
yang bersifat magis, mitologis, animistis, dan budaya yang irasional.
Demi terwujudnya pola hidup dan paradigma pikir yang
islami, maka para elit-elit masyarakat yang terlibat dalam medan budaya masyarakat
sedianya memikirkan ulang berbagai bentuk prosesi dari tradisi molonthalo
agar menjadi kebudayaan lokal yang tetap berlandaskan pada ide, gagasan, dan
nilai-nilai yang dikehendaki oleh Alqur’an dan apa yang disunnahkan oleh
Rasulullah Saw. Oleh karena itu, setiap
konversi budaya dikehendaki tetap diarahkan kepada pola-pola yang
tauhid-sentris.
Perspektif
syariat yang menemukan beberapa kejanggalan pada pola-pola ritual dari tradisi
masyarakat seyogyanya tetap mengedepankan sikap bi al-hikmah yang tetap
tegas, realistis, tetapi simpatik dan akomodatif. Sehingga pendekatan kultural
yang dilakukan mampu memelihara nilai-nilai lama yang baik dan menggali
nilai-nilai baru yang lebih baik.
Daftar Pustaka
AM,
Suhar. “Reformasi Al-Qur’an terhadap Adat Arab dan Implikasinya dalam
Pembentukan Hukum Islam”, Innovatio. Vol. 5; No. 10, Edisi
Juli-Desember, 2006
Ash-Shiddieqy,
M. Hasbi. Falsafah Hukum Islam. Cet. V; Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Schacht,
Joseph. An Introduction to Islamic Law. Oxford: Clarendon, 1985.
Arfa,
Faisar Ananda. Sejarah Pembentukan Hukum Islam; Studi Kritis Tentang Hukum
Islam di Barat. Cet. I; Pustaka Firdaus, 1996.
Wahid,
Abdurrahman. "Pribumisasi Islam" dalam Muntaha Azhari dan Abdul
Mun'im Saleh (ed.) Islam Indonesia Menatap Masa Depan. Jakarta: P3EM,
1989.
Budiwanti,
Erni. Islam Sasak. Cet. I; Yogyakarta: LKiS, 2000.
Ani, Rostiyati. dkk,
Fungsi Upacara Tradisional, Bagi Masyarakat Pendukungnya Masa Kini. Yogyakarta:.Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1995.
Koentjaraningrat. Beberapa Pokok
Antropologi Sosial. Cet: III; Jakarta: Dian Jakarta, 1990.
Syam, Nur. Islam Pesisir. Cet.
I; Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2005.
Hallaq, Wael B. A History of Islamic
Legal Theories yang diterjamahkan oleh Kusnadiningrat dan Abdul Haris
dengan Judul Sejarah Teori Hukum Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2000.
Sewang,
Ahmad M..Islamisasi Kerajaan Gowa; Abad XVI sampai Abad XVII. Cet. I;
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.
Tuloli, H. Nani. dkk., (Ed.), Membumikan
Islam; Seminar Nasional Pengembangan Kebudayaan Islam Kawasan Timur Indonesia. Cet.
I; Gorontalo: Grafika Karya Gorontalo, 2004.
Tuloli, Nani. dkk., Ragama Upacara Tradisional Daerah
Gorontalo. Cet. I; Gorontalo: Sub
Dinas Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Gorontalo, 2006
Botutihe, Medi dan Nani Tuloli, Tata Upacara Adat
Gorontalo (Dari Upacara Adat Kelahiran, Perkawinan, Penyambutan Tamu, Penobatan
dan Pemberian Gelar Adat sampai Upacara Adat Pemakaman). t.tp: tp., 2003.
Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas
Pelbagai Persoalan Umat. Cet. I; Bandung:
Mizan, 1998).
Khallaf, Abdul Wahab. Ushul Fiqhi
yang diterjamahkan oleh Moh. Zuhri dan Ahmad Qarib dengan judul Ilmu Ushul
Fiqhi. Cet. I: Semarang: Dina
Utama, 1994
R. Carol, Ember dan Melvin Ember, Pokok-pokok
Antropologi Budaya, T.O. Ihromi (Ed.) Cet. XI; Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2000.
Yahya, Mukhtar dan Fatchurrahman, Dasar-dasar
Pembinaan Hukum Fiqh Islam.
Cet.
IV; Bandung: al-Ma’arifh, 1997.
Soekanto, Soerjono. Kamus
Sosiologi. Cet. I; Jakarta: C.V. Rajawali, 1983.
Haq, Hamka. Syari’at Islam; Wacana dan Penerapannya. Makassar: Yayasan
al-Ahkam, 2003.
Rais, M. Amin. Cakrawala
Islam; Antara Cita dan Fakta. Cet. III; Bandung: Mizan, 1991.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar